Kiano membantu melepaskan ikatan helm milik Yura, “Jangan baper!” Ledek Kiano langsung mendapat tatapan tajam dari Yura. Sekarang hubungan Yura dan Kiano mulai membaik seperti dulu lagi walaupun mereka berdua tidak lagi memiliki hubungan spesial. Tapi seperti ini jauh lebih nyaman menurut Yura. Kiano juga mulai sadar dengan posisinya dan mulai mencoba kencan buta agar tidak lagi berharap dengan Yura.
“Awas!” Yura menepis tangan Kiano.
“Yaelah Yur sensi amat lagi dapet lo yak!” Ucap Kiano yang hanya memperhatikan Yura yang kesulitan melepaskan kaitanya, “Gak bisa kan lo! Makanya gausah ngeyel kalo dibantuin.”
Yura langsung cemberut, “Bantuin buruan!”
“Mandiri dah gede.” Jawab Kiano sambil menahan tawa melihat Yura yang berniat menimpuknya dengan ponselnya.
“Ki, buruan ih! Gue capek banget pengen rebahan ini.” Rengek Yura detik berikutnya.
“Ck, bayi banget cengeng! Sini gue bantuin.” Yura mendekat ke sisi Kiano agar dibantu untuk membuka
Raka meraih gagang pintu kamar kemudian membukanya perlahan. Memperlihatkan dinding merah muda dnegan hiasan kupu-kupu dan langit-langitnya berwarna biru seperti terlihat lekungan awan tercetak. Tampak Yura yang memunggunginya sesenggukan sedang menangis. Yura hanya mendengar ada yang masuk ke kamarnya. Yura membentengi diri agar kedua orang tuanya menyerah membujuknya. Raka masuk perlahan sedangkan Yura sudah siap mengoceh lagi, kali ini Yura pikir adalah papanya. Tapi penciumanya sangat tajam di tengoklah olehnya langsung. “Ngapain lo kesini?” “Gue lebih tua dari lo ya, sopan dikit.” Jawab Raka berjalan ke sisi nakas tempat belajar Yura. Badan Raka dibiarkan berpaku pada meja. Tanganya bersilang bersiap untuk mebujuk rayu wanita didepanya. Yura menatap penuh permusuhan. Yura sangat kesal melihat Raka yang mengambil piguranya. “Gausah megang-megang najis nanti.” Yura mengambil pigura dari tangan Raka dan memintanya jangan pernah menyentuh barang apapun di ka
Yura sama sekali belum tidur matanya terbuka sempurna karena sudah tidur di mobil tadi. Setelah membereskan barang-barangnya sedikit dia memilih berbaring di sisi tempat tidur. Yura memilih kamar tidur yang memiliki pemandangan area taman yang terbentang tepat di tanah rumah barunya. Keadaan yang gelap sedikit cahaya membuat bunga diujung sana menutup dirinya. Yura bergerak kesana kemari karena merasa bosan. Alhasil Yura turun menuju lantai bawah terlihat satu orang wanita seumur mamanya sedang berada di dapur. “Nyonya apa saya membangunkan anda?” Suti pembantu rumah yang akan melayani Yura di rumah ini. Suti dipekerjakan oleh Gilang untuk mengawasi perkembangan menantu dan anaknya. Gilang memilihkan seorang wanita berumur yang sudah memiliki keluarga karena pasti sudah berpengalaman dan pastinya agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan kekacauan. “Jangan terlalu formal, Bi.” Ujar Yura karena tidak terbiasa adanya pembantu rumah tangga, “Buat siapa?” Tanya
“Yura kenapa bengong sih dari tadi?” Dini yang sedari tadi mengoceh di depan Yura merasa sia-sia. Yura merasa tidak enak hati melihat wajah Dini yang cemberut. Yura mengeluarkan makanan ringan dari dalam tasnya untuk menyumpal bibir Dini yang manyun itu. Dengan riang Dini meraih jajanan itu dengan senang hati. Riri terlambat datang kali ini, karena tidak ada yang mengantar. Karena kakaknya Abi harus mengurus kerjaan penting jadi dia menebeng pada Kiano. Keduanya datang dengan wajah Riri yang di tekuk. “Lama lo elah!” Dini mengoceh pada dua orang yang baru saja sampai. “Gue nunguin dua jam anjir! ini anak kaga nongol-nongol.” Riri berucap seraya ingin melahap Kinao ke dalam mulutnya. “Yang lain gimana?” Tanya Yura tidak ingin memncampuri perdebatan mereka. “Masih pada otw, tuh. Ngaret lah dari jaman maba juga terusan ngaret.” Ucap Kiano enteng. Mereka berada di fakultas teknik untuk merembukan rencana kegiatan setiap tahun yang rutin di gelar. Walau
“Maaf iya sayang aku telat.” Raka datang mengitari mobilnya untuk menghampiri Geby. Tanganya terulur memeluk dari samping. Kini Raka menghadap Geby dengan perasaan bersalah. “Sekalian aja enggak usah jemput.” Ujar Geby dengan kesal. Raka mengelus kepala Geby secara lembut. Seakan menandakan kepemilikanya di sana. “Janji lain kali enggak akan begini lagi.” Bujuk Raka sedangkan Geby masih saja cemberut namun karena ini hari yang menyenangkan untuknya jadi dia mengontrol emosinya sedikit, “Bagaimana kalo kita makan dulu. Kamu pasti lapar kan seharian ini.” “Aku sudah kenyang.” Jawab Geby yang baru saja diajak makan oleh Bram. Mereka berdua berpisah sepuluh menitan yang lalu sebelum Raka sampai jadi tidak ada yang tahu sama sekali. Terkecuali satu orang yang melihatnya yaitu Yura. Yura berdiri di seberang tempat Raka dan Geby berada. Yura berdiri dengan wajah yang sulit diartikan. “Ayok masuk! Anak lain udah pada nunggu di dalem.” Kiano menarik tangan Yura untu
Dari jarak pandang ketika masih di pintu masuk Kiano tampa melihat kedekatan Yura dengan Abi. Namun rasa mengganjal dihati di tepisnya karena Yura sekarang berhak dekat dengan siapapun. Jikalau dia masih berpacaran mungkin yang sekarang dia lakukan adalah membuat pria disamping Yura itu mampus dengan tanganya. “Beneran yak kakak lo.” Ucap Dini melihat cara pandang Abi pada Yura yang berbeda tampak tatapan suka. “Ck, iya beneran lah liat aja tuh. Gue ikhlas deh dari pada kakak gue jomblo sape mati mikirin tunanganya yang udah nggak ada. Lebih baik gini lah setidaknya dia udah bisa buka hati jadi enggak gangguin gue mulu.” Dini tertawa karena mendengar alasan Riri. Karena Riri pernah curhat diputus oleh kekasihnya gara-gara kakaknya sendiri. Sampai dia mogok makan dua hari. Riri berjalan santai mengahampiri kakaknya, “Dibilang gue pulang bareng Dini masih aja di jemput ada maksud lain pasti.” Canda Riri mengarah pada Abi namun beralih menggoda ke Yura. Yura mer
“Mau dibuatkan lagi tuan?” Tanya Suti pada Gilang ayah dari majikanya. Gilang datang sejak tadi tapi Raka dan menantunya Yura belum kunjung pulang. Gilang seja tadi mengamati pintu masuk karena mengingat hari sudah malam namun baik putranya maupun menantu belum kembali. “Tidak usah. Apa kamu tau mereka berdua kemana?” Tanya Gilang. Suti tahu jika tuanya akan menanyakan ini jadi dia sudah mempersiapkanya, “Nona Yura pergi ke kampus tuan kalo tuan Raka sepertinya pergi ke kantor jika di lihat dari pakaianya tadi pagi.” “Apa mereka berdua berangkat bersama?” “Kalo itu sepertinya tidak tuan.” Ucap Suti melihat kemarahan dari Gilang dari sorot matanya. Suti tida berani berbohong dengan tuanya ini. Dia mengatakan apa yang dia ketahui tidak berani mengambil resiko. Setelah menghabiskan waktu bersama Geby Raka tersenyum lebar di sela-sela kegiatan mereka berdua. Raka berakhir di pangkuan Geby dengan manja. Raka sekarang masih berada di kediaman Geby hunian keci
Raka dan Yura menduduki sofa yang berbeda mereka memberikan jarak sambil mengumpat dalam hati. Gilang sedang mode marah. Baik Raka maupun Yura belum ada yang bersuara sama sekali. Gilang sebenarnya lebih marah dengan anaknya Raka karena tidak bertanggung jawab sebagai suami pada istrinya. “Yura kembalilah ke kamar. Papah akan berbicara dengan suamimu.” Ujar Gilang kali ini memutuskan untuk memberi peringatan pada anaknya Raka saja. Yura mendongak heran tapi tersenyum mengganguk patuh. Sebelum pergi Yura meletakan obat Gilang di meja karena mertuanya yang menyuruhnya. Tanpa melihat kebelakang lagi Yura bergegas menuju kamar tampak santai. Yura tidak memikirkan apa yang mertuanya akan katakan bersama Raka suaminya. Gilang memandang Raka yang tidak bersuara apalagi meminta maaf kesalahanya hari ini. “Apa sudah tau letak kesalahanmu?” “Aku sama sekali enggak merasa bersalah. Aku seharian sibuk kerja terus letak kesalahanya dimana? Papah jangan nyalahin aku terus
Yura memasuki ruangan Bram dengan berkas ditanganya. Ini adalah berkas lamaran kerja yang Yura persiapkan semalam yang di pinta oleh Bram. Yura sebenarnya masih trauma mengenai kejadian waktu itu diruangan Bram tapi Yura bersikap profesinal. Bram tampa duduk di singgasananya mengenakan jas dengan wajah gagahnya. Yura sempat berhenti berpikir dahulu sebelum masuk ke dalam. Setelah berdebat dengan pikiranya akhirnya Yura meletakan tanganya pada pintu dan mulai mengetuknya pelan. “Permisi, pak. Saya mau mengantar berkas.” Bram sedang menerima telpon sehingga tanganya hanya melambai mempersilahkan Yura untuk masuk. Seperti biasa pintu dibiarkan terbuka agar kejadian sebelumnya tidak terulang kembali. Bram meletakan kembali ponselnya lalu melihat berkas yang di berikan Yura. Bram tersenyum, “Baiklah selamat bergabung. Nanti saya hubungi kamu kemungkinan minggu depan kamu sudah bisa masuk.” “Baik pak terimakasih sudah memberikan saya kesempatan.” Ujar Yura