Yura memasuki ruangan Bram dengan berkas ditanganya. Ini adalah berkas lamaran kerja yang Yura persiapkan semalam yang di pinta oleh Bram. Yura sebenarnya masih trauma mengenai kejadian waktu itu diruangan Bram tapi Yura bersikap profesinal. Bram tampa duduk di singgasananya mengenakan jas dengan wajah gagahnya. Yura sempat berhenti berpikir dahulu sebelum masuk ke dalam. Setelah berdebat dengan pikiranya akhirnya Yura meletakan tanganya pada pintu dan mulai mengetuknya pelan.
“Permisi, pak. Saya mau mengantar berkas.”
Bram sedang menerima telpon sehingga tanganya hanya melambai mempersilahkan Yura untuk masuk. Seperti biasa pintu dibiarkan terbuka agar kejadian sebelumnya tidak terulang kembali. Bram meletakan kembali ponselnya lalu melihat berkas yang di berikan Yura.
Bram tersenyum, “Baiklah selamat bergabung. Nanti saya hubungi kamu kemungkinan minggu depan kamu sudah bisa masuk.”
“Baik pak terimakasih sudah memberikan saya kesempatan.” Ujar Yura
Rombongan Yura sampai di sebuah rumah makan mewah, setelah tadi Bram memberikan opsi pilihan mengenai beberapa tempat makan diputuskan teman makan yang menyediakan makanan aneka bebek menjadi pilihan utama. Gerimis mendera setibanya Yura di tempat makan yang bernama sedap malam. Begitu sampai mereka semua langsung memilih tempat di pinggir tengah. Semakin malam tempat yang mereka sambangi ini semakin penuh terus-terusan bergantian makan. Setelah memesan dan menunggu makanan datang, semua terlihat asik berbincang. “Gimana laporan?” Tanya Bram yang kebetulan depan-depanan dengan Yura. “Masih dicicil, pak.” Jawab Yura. “Gimana mau kelar orang enggak di kerjain. Kalo ada yang bingung tanyain aja ke saya juga bisa.” Ujar Bram, “Kalian berdua pasti juga belum saya tahu.” Riri dan Dini terekekeh pelan mendengar ucapan Bram. Tidak lama setelah Bram memberikan nasehat makanan yang di pesan oleh mereka sudah tersaji di meja dan mereka langsung menikmatinya. Tan
Pesta pernikahan digelar sangat mewah di sebuah hotel terkenal di Jakarta. Satu persatu tamu terlihat memasuki pintu masuk pesta. Kedua mempelai terlihat menawan dengan gaun adat yang dikenakan keduanya. Gilang juga tampak hadir di pesta pernikahan Nesya. Kedua orang tua Nesya dan Gilang memang sudah akrab sejak dulu.“Selamat iya Nesya, Om doain, semoga langgeng sampai maut memisahkan kalian berdua.”“Makasih banyak om, sempet-sempetin dateng ke acara Nesya..” Ucap Nesya senang.“Nak Bani jagain Nesya biarpun dia bukan anak kandung om kalo ada apa-apa sama dia om juga bisa pukul kamu loh iya.” Canda Gil;ang membuat Bani sungkem dengan Gilang.“Anakmu kapan lang?” Gilang mendekati sumber suara, “Aku duluan ini yang bakal dapet cucu nanti.” Candanya lagi.“Sudah cuma belum ada resepsi.”Danu agak kaget mendengarnya, “Saya enggak sabar pengen lihat menantumu lang. Ki
Raka begitu memanjakan Geby begitu sampai dia langsung menggendongnya lagi masuk ke dalam rumah. Rumah kali ini adalah rumah barunya bersama Yura istrinya. Raka sengaja membawa Geby ke rumah baru karena jaraknya yang lebih dekat dari tempat acara. “Sayang, ini rumah siapa?” Tanya Geby yang berada di gendongan Raka tanganya melingkar manis di lehernya Raka. “Anggap aja rumah kita berdua.” Jawab Raka membuat Geby tersenyum senang. Jika berkaitan dengan uang tentu Geby akan senang. Apalagi melihat rumah yang sebesar dua kali lipat dari miliknya. Matanya langusung berbinar-binar seperti menatap berlian. Suti membukakan pintu untuk tuanya dan sedikit terkejut karena wanita yang di gendong bukanlah Yura istri majikanya. Raka membawa Geby masuk dan meletakanya di sofa ruang tamu. Suti menatap kemesraan dua manusia di hadapanya. “Ya gusti.” Pekiknya spontan begitu melihat adegan perselingkuhan di matanyanya langsung, “Kalo ini suami saya sudah saya potong-pot
Sasa melayangkan protes kepada suaminya Bram setelah mendengar bahwa Yura dipekerjakan di perusahaan milik suaminya itu. Bram yang baru saja pulang lembur karena mengurus masalah yang terjadi minggu belakangan ini menjadi masam melihat istrinya marah saat baru membuka pintu kamar. Sasa dengan kesal menuntut penjelasan pada suaminya mengapa harus wanita itu sungguh Sasa tidak habis pikir dengan pikiran suaminya.“Mas kita harus bicara.”“Yasudah bicara.” Bram memejamkan matanya namun masih belum tertidur di atas kasur. Badanya serasa remuk karena harus berkutat dengan banyak dokumen yang membengkak dan harus kejar target dalam waktu dua hari. Maka dari minggu depan Bram sudah mengontak Yura untuk masuk dan membantunya. Bram sudah lelah dan hampir terlelap namun badanya berasa gempa karena Sasa istrinya membuatnya terjaga dan bukanya membiarkan dirinya istirahat. Bram langsung mengubah posisi menjadi terduduk dengan tatapan marah, “Aku
Yura menarik Kiano menuju taman belakang yang memang sepi tapi terlihat rindang dengan pohon manga besar dengan kursi dibawahnya. Kiano hanya menurut begitu ditarik tanpa adanya melawan sedikitpun. Begitu sampai Yura melepaskan tangan Kiano dan langsung menatapnya sambil berkaca pinggang.“Enggak Gaga enggak yang ini. Semua nggak ada yang waras.” Ujar Kiano membaweli Yura.“Lo tau dari mana tempat ini?” Tanya Yura tidak menggubris bawelan Kiano yang mengarah padanya.“Tau lah gue kan cenayang.”“Serisan, Ki. Tau dari mana?” Ujar Yura yang penasaran setengah mati. Bahkan Riri dan Dini sama sekali tidak diberitahunya mengenai hal ini, “Apa lo ngikutin gue?” Selidik Yura mencari jawaban dari sorot mata Kiano.“Mana ada ngikutin.”“Iya terus!”“Mau tau aja apa mau tau banget.” Ujar Kiano palah bercanda membuat Yura berujung kesal.&ldquo
“Bisa nggak jangan narik-narik lagi, tangan gue sakit.” Ujar Yura memelas sementara Raka tetap tidak peduli rasa sakit istrinya sama sekali. Pergelangan tangan Yura sampai memerah karena genggaman tangan Raka sedari tadi sehingga menciptakan rasa sedikit sensasi perih. Sedangkan kakinya juga sedikit lecet karena kebetulan Yura menggunakan sepatu sandal yang berbahan kasar. “Lo matipun gue juga enggak akan peduli.” Sinis Raka yang seakan sudah menjadi gila karena cintanya sedang hilang. Geby seakan sudah menjadi setengah tubunya sehingga rasanya seperti kehilangan setengah nyawanya. “Yaudah bunuh aja sekalian biar lo puas.” Runtuk Yura karena sedari tadi dirinya selalu menurut sedari tadi diperlakukan tidak manusiawi oleh raka suaminya sendiri. Walaupun pernikahan mereka dilakukan secara paksa seharusnya Raka lebih bersikap baik terhadap Yura. Justru ini sebaliknya tidak ada kata baik untuk istrinya Yura didalam pikiran Raka yang ada hanya pikiran jahat tentang wanita
“Hey! Mau kemana?” Abi meraih tangan Yura yang hendak pergi. Yura berbalik melihat Abi datang dengan beberapa dokumen ditanganya. Begitu melihat ke sisi jendela lagi mobil itu sudah berlalu pergi dan Yura belum sempat mengonfirmasi apa yang baru saja di lihatnya.“Udah iya, kirain masih lama.”“Ini pipi kamu kenapa merah begini?” Tanya Abi sambil menunjuk pipi Yura yang terlihat cukup jelas berbeda dari pipi yang satunya.“Enggak kenapa kok kak, ini kelamaan diginiin pake tangan kak nanti juga ilang.” Alibi Yura yang tidak ingin memberitahu kejadian sebenarnya pada Abi. Abi masih belum percaya tentunya karena masih terlihat mengamati dengan tatapan matanya menelisik kebohongan dimata Yura. Yura jelas langsung sengaja berbalik, “Langsung pulang kan kak?” Melihat Abi masih diam ditempat Yura kembali berbalik tapi setengah menampakan wajahnya yang tidak terkena tamparan. Baru setelahnya Abi langsung mengan
“Rak! Udah cok. Lo mau mati hah!” Hafiz merebut botol minuman yang berada ditangan Raka, “Lo kalo patah hati nggak gini caranya.” Hafiz lagi-lagi merebut minuman dan menjauhkanya dari jangkauan Raka. Raka sudah mulai teler sehingga kehilangan kesadaran gaya bicaranya juga ngawur. Raka menggerang sambil menangis, “Geby nggilang, ngapain gue hidup.” Ujar Raka dibalik tangisanya membuat Hafiz bergidik. “Ck, setan nih bocah.” Umpat Hafiz begitu memapah Raka masuk ke dalam mobilnya, “Rio sialan gue yang musti ngurusin bayi gede.” Umpat Hafiz lagi pada satu temanya yang mengatakan tidak bisa membantu karena sedang kencan tidak dapat diganggu sama sekali, “Bisa banget ini bocah ketempat yang beginian.” “Maaf mas, ini tadi masnya bilang sebelum mabuk buat dianter ke alamat yang ini.” Hafiz langsung mengangguk menaruhnya ke dalam saku celana. “Makasih, pak.” Hafiz mengangkat tangan sebagai lambaian salam perpisahan. Tidak lupa Hafiz memberikan tips pada petugas yang m