Riri, Dini dan Yura mereka bertiga bersantai di salah satu warung kecil. Di warung itu juga ada pak ilham pak Juned yang duduk tidak jauh dari mereka bertiga. Seperti biasa suasana istirahat penuh dengan wajah anak kantoran yang di landa kelaparan. Beruntungnya Yura dan lainnya sudah lebih dulu sampai sehingga tidak terjebak antrian panjang.
“Sini atuh eneng-eneng! Gabung aja.” Ujar Pak Juned. Dia adalah satu satu orang yang sering melawak di dalam kantor. Badanya tinggi kurus rambutnya gondrong.- bayangin aja sendiri.
“Iya sini biar makin arab.” Ujar Ilham menambahkan ucapan Juned. Pak ilham ini yang selalu mengingatkan Yura dan lainnya untuk jangan melupakan beribadah. “Kapan lagi kan makan bareng gini.” Yura dan lainya langsung berpindah tempat sekalian mengobrol ringan mendengarkan bualan bapak-bapak beristri.
“Emang iya ini minggu kalian terakhir magang?” Tanya Juned.
“Iya pak jangan kangen loh sama kita.” Jawab Riri menimpali pak Juned,
Kiano membantu melepaskan ikatan helm milik Yura, “Jangan baper!” Ledek Kiano langsung mendapat tatapan tajam dari Yura. Sekarang hubungan Yura dan Kiano mulai membaik seperti dulu lagi walaupun mereka berdua tidak lagi memiliki hubungan spesial. Tapi seperti ini jauh lebih nyaman menurut Yura. Kiano juga mulai sadar dengan posisinya dan mulai mencoba kencan buta agar tidak lagi berharap dengan Yura. “Awas!” Yura menepis tangan Kiano. “Yaelah Yur sensi amat lagi dapet lo yak!” Ucap Kiano yang hanya memperhatikan Yura yang kesulitan melepaskan kaitanya, “Gak bisa kan lo! Makanya gausah ngeyel kalo dibantuin.” Yura langsung cemberut, “Bantuin buruan!” “Mandiri dah gede.” Jawab Kiano sambil menahan tawa melihat Yura yang berniat menimpuknya dengan ponselnya. “Ki, buruan ih! Gue capek banget pengen rebahan ini.” Rengek Yura detik berikutnya. “Ck, bayi banget cengeng! Sini gue bantuin.” Yura mendekat ke sisi Kiano agar dibantu untuk membuka
Raka meraih gagang pintu kamar kemudian membukanya perlahan. Memperlihatkan dinding merah muda dnegan hiasan kupu-kupu dan langit-langitnya berwarna biru seperti terlihat lekungan awan tercetak. Tampak Yura yang memunggunginya sesenggukan sedang menangis. Yura hanya mendengar ada yang masuk ke kamarnya. Yura membentengi diri agar kedua orang tuanya menyerah membujuknya. Raka masuk perlahan sedangkan Yura sudah siap mengoceh lagi, kali ini Yura pikir adalah papanya. Tapi penciumanya sangat tajam di tengoklah olehnya langsung. “Ngapain lo kesini?” “Gue lebih tua dari lo ya, sopan dikit.” Jawab Raka berjalan ke sisi nakas tempat belajar Yura. Badan Raka dibiarkan berpaku pada meja. Tanganya bersilang bersiap untuk mebujuk rayu wanita didepanya. Yura menatap penuh permusuhan. Yura sangat kesal melihat Raka yang mengambil piguranya. “Gausah megang-megang najis nanti.” Yura mengambil pigura dari tangan Raka dan memintanya jangan pernah menyentuh barang apapun di ka
Yura sama sekali belum tidur matanya terbuka sempurna karena sudah tidur di mobil tadi. Setelah membereskan barang-barangnya sedikit dia memilih berbaring di sisi tempat tidur. Yura memilih kamar tidur yang memiliki pemandangan area taman yang terbentang tepat di tanah rumah barunya. Keadaan yang gelap sedikit cahaya membuat bunga diujung sana menutup dirinya. Yura bergerak kesana kemari karena merasa bosan. Alhasil Yura turun menuju lantai bawah terlihat satu orang wanita seumur mamanya sedang berada di dapur. “Nyonya apa saya membangunkan anda?” Suti pembantu rumah yang akan melayani Yura di rumah ini. Suti dipekerjakan oleh Gilang untuk mengawasi perkembangan menantu dan anaknya. Gilang memilihkan seorang wanita berumur yang sudah memiliki keluarga karena pasti sudah berpengalaman dan pastinya agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan kekacauan. “Jangan terlalu formal, Bi.” Ujar Yura karena tidak terbiasa adanya pembantu rumah tangga, “Buat siapa?” Tanya
“Yura kenapa bengong sih dari tadi?” Dini yang sedari tadi mengoceh di depan Yura merasa sia-sia. Yura merasa tidak enak hati melihat wajah Dini yang cemberut. Yura mengeluarkan makanan ringan dari dalam tasnya untuk menyumpal bibir Dini yang manyun itu. Dengan riang Dini meraih jajanan itu dengan senang hati. Riri terlambat datang kali ini, karena tidak ada yang mengantar. Karena kakaknya Abi harus mengurus kerjaan penting jadi dia menebeng pada Kiano. Keduanya datang dengan wajah Riri yang di tekuk. “Lama lo elah!” Dini mengoceh pada dua orang yang baru saja sampai. “Gue nunguin dua jam anjir! ini anak kaga nongol-nongol.” Riri berucap seraya ingin melahap Kinao ke dalam mulutnya. “Yang lain gimana?” Tanya Yura tidak ingin memncampuri perdebatan mereka. “Masih pada otw, tuh. Ngaret lah dari jaman maba juga terusan ngaret.” Ucap Kiano enteng. Mereka berada di fakultas teknik untuk merembukan rencana kegiatan setiap tahun yang rutin di gelar. Walau
“Maaf iya sayang aku telat.” Raka datang mengitari mobilnya untuk menghampiri Geby. Tanganya terulur memeluk dari samping. Kini Raka menghadap Geby dengan perasaan bersalah. “Sekalian aja enggak usah jemput.” Ujar Geby dengan kesal. Raka mengelus kepala Geby secara lembut. Seakan menandakan kepemilikanya di sana. “Janji lain kali enggak akan begini lagi.” Bujuk Raka sedangkan Geby masih saja cemberut namun karena ini hari yang menyenangkan untuknya jadi dia mengontrol emosinya sedikit, “Bagaimana kalo kita makan dulu. Kamu pasti lapar kan seharian ini.” “Aku sudah kenyang.” Jawab Geby yang baru saja diajak makan oleh Bram. Mereka berdua berpisah sepuluh menitan yang lalu sebelum Raka sampai jadi tidak ada yang tahu sama sekali. Terkecuali satu orang yang melihatnya yaitu Yura. Yura berdiri di seberang tempat Raka dan Geby berada. Yura berdiri dengan wajah yang sulit diartikan. “Ayok masuk! Anak lain udah pada nunggu di dalem.” Kiano menarik tangan Yura untu
Dari jarak pandang ketika masih di pintu masuk Kiano tampa melihat kedekatan Yura dengan Abi. Namun rasa mengganjal dihati di tepisnya karena Yura sekarang berhak dekat dengan siapapun. Jikalau dia masih berpacaran mungkin yang sekarang dia lakukan adalah membuat pria disamping Yura itu mampus dengan tanganya. “Beneran yak kakak lo.” Ucap Dini melihat cara pandang Abi pada Yura yang berbeda tampak tatapan suka. “Ck, iya beneran lah liat aja tuh. Gue ikhlas deh dari pada kakak gue jomblo sape mati mikirin tunanganya yang udah nggak ada. Lebih baik gini lah setidaknya dia udah bisa buka hati jadi enggak gangguin gue mulu.” Dini tertawa karena mendengar alasan Riri. Karena Riri pernah curhat diputus oleh kekasihnya gara-gara kakaknya sendiri. Sampai dia mogok makan dua hari. Riri berjalan santai mengahampiri kakaknya, “Dibilang gue pulang bareng Dini masih aja di jemput ada maksud lain pasti.” Canda Riri mengarah pada Abi namun beralih menggoda ke Yura. Yura mer
“Mau dibuatkan lagi tuan?” Tanya Suti pada Gilang ayah dari majikanya. Gilang datang sejak tadi tapi Raka dan menantunya Yura belum kunjung pulang. Gilang seja tadi mengamati pintu masuk karena mengingat hari sudah malam namun baik putranya maupun menantu belum kembali. “Tidak usah. Apa kamu tau mereka berdua kemana?” Tanya Gilang. Suti tahu jika tuanya akan menanyakan ini jadi dia sudah mempersiapkanya, “Nona Yura pergi ke kampus tuan kalo tuan Raka sepertinya pergi ke kantor jika di lihat dari pakaianya tadi pagi.” “Apa mereka berdua berangkat bersama?” “Kalo itu sepertinya tidak tuan.” Ucap Suti melihat kemarahan dari Gilang dari sorot matanya. Suti tida berani berbohong dengan tuanya ini. Dia mengatakan apa yang dia ketahui tidak berani mengambil resiko. Setelah menghabiskan waktu bersama Geby Raka tersenyum lebar di sela-sela kegiatan mereka berdua. Raka berakhir di pangkuan Geby dengan manja. Raka sekarang masih berada di kediaman Geby hunian keci
Raka dan Yura menduduki sofa yang berbeda mereka memberikan jarak sambil mengumpat dalam hati. Gilang sedang mode marah. Baik Raka maupun Yura belum ada yang bersuara sama sekali. Gilang sebenarnya lebih marah dengan anaknya Raka karena tidak bertanggung jawab sebagai suami pada istrinya. “Yura kembalilah ke kamar. Papah akan berbicara dengan suamimu.” Ujar Gilang kali ini memutuskan untuk memberi peringatan pada anaknya Raka saja. Yura mendongak heran tapi tersenyum mengganguk patuh. Sebelum pergi Yura meletakan obat Gilang di meja karena mertuanya yang menyuruhnya. Tanpa melihat kebelakang lagi Yura bergegas menuju kamar tampak santai. Yura tidak memikirkan apa yang mertuanya akan katakan bersama Raka suaminya. Gilang memandang Raka yang tidak bersuara apalagi meminta maaf kesalahanya hari ini. “Apa sudah tau letak kesalahanmu?” “Aku sama sekali enggak merasa bersalah. Aku seharian sibuk kerja terus letak kesalahanya dimana? Papah jangan nyalahin aku terus
“Pak, puter balik iya ke jalan Y.” Ujar Raka padahal sebentar lagi sudah sampai ke rumah tempat tinggal ayahnya. Sang sopir juga sedikit bingung, “Nanti saya bayar dua kali lipat, bapak tenang aja.” Ujar Raka yang tentu saja langsung di sangupkan oleh sang supir taksi.Raka langsung tersenyum senang begitu mendapat balasan dari Gebynya, belahan jiwanya. Otak Raka memang sudah terisi dengan Geby. Raka tidak memikirkan wajahnya yang terluka bahkan sampai melupakan urusanya dengan Yura. Mobil tampak melaju kencang begitu jalanan disekitar terlihat lengang. Begitu sampai yang dilakukannya yaitu memeluk erat kekasihnya tanpa berniat melepaskanya sama sekali. Geby yang terlihat sumpek langsung menjauhkan dirinya dari dekapan Raka.“Kamu masih hutang penjelasan iya sama aku.”“Iya sayang. Tapi kamu maafin aku kan? Aku janji lain kali enggak akan ditutupin dari kamu.” Jawab Raka menggandeng Geby masuk ke dalam rumah milik Geby.“Tapi pernikahan kamu…”“Udah aku bilang kalo sebentar lagi perni
Begitu turun dari mobil Yura baru berucap, “Makasih kak.” Yura tersenyum sangat-sangat berterimakasih karena Hafiz bersedia membantunya. Jika bukan karena memikirkan perasaan Abi mungkin Hafiz bisa saja membeberkan pernikahan Raka. Hafiz dengan santainya melambaikan tangan kemudian langsung pergi meninggalkan Yura tepat di depan kediaman mertuanya Gilang.“Non, sudah ditunggu tuan di dalam.” Baru saja menginjakan kakinya Yura sudah langsung disambut oleh penjaga rumah. Yura saja masih belum hapal betul asisten ada di rumah mertuanya tapi mereka tampak sudah tahu bahwa Yura adalah menantu di rumah ini.Yura seharusnya langsung menuju kantor milik Bram sesuai dengan pesan yang dikirimkan oleh atasanya itu tadi pagi. Bram memang mengontak Yura untuk masuk membantunya membereskan beberapa dokumen penting di kantor. Namun karena mertuanya memintanya datang jadi Yura memutuskan untuk mampir sebentar.Anto mengetuk pintu kamar Raka dengan pelan.
Yura yang baru mau menutup pintu langsung terdorong hingga terjatuh kebelakang. Handuk yang berada di atas kepalanya sampai ikut terlepas hingga rambut basahnya tergerai membuat bau semerbak tercium di indera penciuman Raka. Yura langsung berdiri begitu hendak mendorong Raka agar keluar dari kamarnya justru hembusan nafas berbau alkohol membuatnya ingin muntah karena terlalu bau. “Sayang.” “Sayang pala lo!” Yura langsung menjauhkan diri dari pelukan Raka yang tidak mau lepas, “Lo mabuk, sadar gila gue bukan pacar lo.” Yura semain panik karena Raka semakin membuat dirinya tidak bisa terlepas dari pelukan yang begitu erat dari Raka. “Sayang mau kabur kemana? Jangan kabur lagi iya.” Ujar Raka bak anak kecil membuat seluruh badan Yura menjadi bergidik ngeri. Yura segera mengambil jaket menutupi bagian lengan yang terbuka karena hanya menggunakan baju tidur yang memang berbentuk gaun. Yura sengaja membiarkan Raka memeluknya sebelum meninggalkanya dan meman
“Rak! Udah cok. Lo mau mati hah!” Hafiz merebut botol minuman yang berada ditangan Raka, “Lo kalo patah hati nggak gini caranya.” Hafiz lagi-lagi merebut minuman dan menjauhkanya dari jangkauan Raka. Raka sudah mulai teler sehingga kehilangan kesadaran gaya bicaranya juga ngawur. Raka menggerang sambil menangis, “Geby nggilang, ngapain gue hidup.” Ujar Raka dibalik tangisanya membuat Hafiz bergidik. “Ck, setan nih bocah.” Umpat Hafiz begitu memapah Raka masuk ke dalam mobilnya, “Rio sialan gue yang musti ngurusin bayi gede.” Umpat Hafiz lagi pada satu temanya yang mengatakan tidak bisa membantu karena sedang kencan tidak dapat diganggu sama sekali, “Bisa banget ini bocah ketempat yang beginian.” “Maaf mas, ini tadi masnya bilang sebelum mabuk buat dianter ke alamat yang ini.” Hafiz langsung mengangguk menaruhnya ke dalam saku celana. “Makasih, pak.” Hafiz mengangkat tangan sebagai lambaian salam perpisahan. Tidak lupa Hafiz memberikan tips pada petugas yang m
“Hey! Mau kemana?” Abi meraih tangan Yura yang hendak pergi. Yura berbalik melihat Abi datang dengan beberapa dokumen ditanganya. Begitu melihat ke sisi jendela lagi mobil itu sudah berlalu pergi dan Yura belum sempat mengonfirmasi apa yang baru saja di lihatnya.“Udah iya, kirain masih lama.”“Ini pipi kamu kenapa merah begini?” Tanya Abi sambil menunjuk pipi Yura yang terlihat cukup jelas berbeda dari pipi yang satunya.“Enggak kenapa kok kak, ini kelamaan diginiin pake tangan kak nanti juga ilang.” Alibi Yura yang tidak ingin memberitahu kejadian sebenarnya pada Abi. Abi masih belum percaya tentunya karena masih terlihat mengamati dengan tatapan matanya menelisik kebohongan dimata Yura. Yura jelas langsung sengaja berbalik, “Langsung pulang kan kak?” Melihat Abi masih diam ditempat Yura kembali berbalik tapi setengah menampakan wajahnya yang tidak terkena tamparan. Baru setelahnya Abi langsung mengan
“Bisa nggak jangan narik-narik lagi, tangan gue sakit.” Ujar Yura memelas sementara Raka tetap tidak peduli rasa sakit istrinya sama sekali. Pergelangan tangan Yura sampai memerah karena genggaman tangan Raka sedari tadi sehingga menciptakan rasa sedikit sensasi perih. Sedangkan kakinya juga sedikit lecet karena kebetulan Yura menggunakan sepatu sandal yang berbahan kasar. “Lo matipun gue juga enggak akan peduli.” Sinis Raka yang seakan sudah menjadi gila karena cintanya sedang hilang. Geby seakan sudah menjadi setengah tubunya sehingga rasanya seperti kehilangan setengah nyawanya. “Yaudah bunuh aja sekalian biar lo puas.” Runtuk Yura karena sedari tadi dirinya selalu menurut sedari tadi diperlakukan tidak manusiawi oleh raka suaminya sendiri. Walaupun pernikahan mereka dilakukan secara paksa seharusnya Raka lebih bersikap baik terhadap Yura. Justru ini sebaliknya tidak ada kata baik untuk istrinya Yura didalam pikiran Raka yang ada hanya pikiran jahat tentang wanita
Yura menarik Kiano menuju taman belakang yang memang sepi tapi terlihat rindang dengan pohon manga besar dengan kursi dibawahnya. Kiano hanya menurut begitu ditarik tanpa adanya melawan sedikitpun. Begitu sampai Yura melepaskan tangan Kiano dan langsung menatapnya sambil berkaca pinggang.“Enggak Gaga enggak yang ini. Semua nggak ada yang waras.” Ujar Kiano membaweli Yura.“Lo tau dari mana tempat ini?” Tanya Yura tidak menggubris bawelan Kiano yang mengarah padanya.“Tau lah gue kan cenayang.”“Serisan, Ki. Tau dari mana?” Ujar Yura yang penasaran setengah mati. Bahkan Riri dan Dini sama sekali tidak diberitahunya mengenai hal ini, “Apa lo ngikutin gue?” Selidik Yura mencari jawaban dari sorot mata Kiano.“Mana ada ngikutin.”“Iya terus!”“Mau tau aja apa mau tau banget.” Ujar Kiano palah bercanda membuat Yura berujung kesal.&ldquo
Sasa melayangkan protes kepada suaminya Bram setelah mendengar bahwa Yura dipekerjakan di perusahaan milik suaminya itu. Bram yang baru saja pulang lembur karena mengurus masalah yang terjadi minggu belakangan ini menjadi masam melihat istrinya marah saat baru membuka pintu kamar. Sasa dengan kesal menuntut penjelasan pada suaminya mengapa harus wanita itu sungguh Sasa tidak habis pikir dengan pikiran suaminya.“Mas kita harus bicara.”“Yasudah bicara.” Bram memejamkan matanya namun masih belum tertidur di atas kasur. Badanya serasa remuk karena harus berkutat dengan banyak dokumen yang membengkak dan harus kejar target dalam waktu dua hari. Maka dari minggu depan Bram sudah mengontak Yura untuk masuk dan membantunya. Bram sudah lelah dan hampir terlelap namun badanya berasa gempa karena Sasa istrinya membuatnya terjaga dan bukanya membiarkan dirinya istirahat. Bram langsung mengubah posisi menjadi terduduk dengan tatapan marah, “Aku
Raka begitu memanjakan Geby begitu sampai dia langsung menggendongnya lagi masuk ke dalam rumah. Rumah kali ini adalah rumah barunya bersama Yura istrinya. Raka sengaja membawa Geby ke rumah baru karena jaraknya yang lebih dekat dari tempat acara. “Sayang, ini rumah siapa?” Tanya Geby yang berada di gendongan Raka tanganya melingkar manis di lehernya Raka. “Anggap aja rumah kita berdua.” Jawab Raka membuat Geby tersenyum senang. Jika berkaitan dengan uang tentu Geby akan senang. Apalagi melihat rumah yang sebesar dua kali lipat dari miliknya. Matanya langusung berbinar-binar seperti menatap berlian. Suti membukakan pintu untuk tuanya dan sedikit terkejut karena wanita yang di gendong bukanlah Yura istri majikanya. Raka membawa Geby masuk dan meletakanya di sofa ruang tamu. Suti menatap kemesraan dua manusia di hadapanya. “Ya gusti.” Pekiknya spontan begitu melihat adegan perselingkuhan di matanyanya langsung, “Kalo ini suami saya sudah saya potong-pot