Keesokan paginya Bima termenung. Dia mendapatkan chat dari muridnya yang keras kepala tersebut. Namun yang berbeda chat tersebut berisikan "Jangan datang!". Kemarin Bima yakin sekali bahwa Gita sudah membuka hati untuknya, tetapi mengapa kini gadis itu kembali menutup hatinya. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke rumah Gita. Entah mengapa dirinya penasaran dengan gadis itu.
Sesampainya tiba di kediaman Gita. Bima melihat mobil hitam melintas keluar. Diikuti oleh beberapa mobil ajudan. Bima menyangka bahwa itu mobil ayah Gita. Bima mengetahui bahwa ayahnya berprofesi sebagai anggota DPR tingkat nasional.
Dia memarkirkan kendaraannya di dalam. Kemudian bergegas langsung ke pintu rumah. Bima pun membawa sekotak coklat agar Gita kembali luluh.
Ting tong
Bel dibunyikan, namun tidak ada jawaban. Akhirnya Bima mencoba untuk membunyikan kedua kali. Batinnya ragu, 'apa tidak ada orang?'
Tidak lama kemudian pintu dibuka. Bukan Gita yang ada di sana na
"Hari ini mau makan di mana?" tanya Gita. Dia menggelayut manja di lengan guru lesnya tersebut. Sejak peristiwa malam itu mereka jadi sering bertemu satu sama lain. Setiap hari Bima menemui Gita dengan alasan belajar. Namun seperti biasa mereka mencuri-curi kesempatan untuk saling cium satu dengan yang lain. Bima terlihat berfikir keras. "Kalau semua jawabanmu benar. Aku akan memberikan hadiah." Gita tersenyum gembira. Dalam benaknya, dia menyangka jika hadiah yang diberikan oleh Bima adalah sekotak es krim ataupun berjalan-jalan malam hari. "Boleh!" Selembar soal diberikan kepada Gita. Hari itu mereka sedang belajar matematika. Gita dengan antusias mengerjakannya. Sebetulnya dia adalah anak yang pintar, namun keadaan rumahnya yang berantakan membuatnya menjadi seperti ini. Dia hanya menginginkan perhatian dari orang lain. Bima melihat wajah Gita yang serius mengerjakan soal. Baginya wajah Gita sangatlah manis. Namun seperti halnya laki-laki pandangan
Hari ini Bima masih mengajari les Gita. Namun dia melihat tatapan yang lesu dari gadis itu. Dirinya bingung, bukankah kemarin dia berwajah ceria. Akhirnya Bima memutuskan untuk bertanya, "Ada masalah?"Gadis itu menggeleng. "Engga ka.""Terus kenapa?" tanya Bima.Gita enggan berbicara. Tidak mungkin dia memberitahu perihal dirinya yang cemburu. Memang siapa dia? Cemburu dengan pacar orang lain. "Cuman cape aja kok.""Hmm!" Bima menyilangkan tangannya. Dia berfikir bagaimana membuat gadis itu tersenyum kembali. "Mau jalan-jalan?"Dia menggeleng. Membuat Bima tambah resah akhirnya. "Gimana kalau kita-!"Prang...Belum selesai Bima meneruskan ajakannya. Terdengar suara benda pecah dari luar. Keduanya nampak terkejut. Gita yang mengerti akan situasinya langsung mengalihkan muka. Dia tahu orangtuanya sedang bertengkar satu sama lain. Mereka akan mulai saling menyalahkan.Bima bangkit berdiri. Namun lengan Gita mencegahnya. Dia membe
Amara menaruh kembali ponselnya. Wajahnya terlihat kesal. Della yang memperhatikannya sedari tadi mendadak bingung. Dia kemudian bertanya, "Kenapa? Bukannya happy udah teleponan.""Yang angkat buat dia," ucap Amara.Della menjadi penasaran. "Siapa? Gita?" Amara sendiri sudah memberitahukan semuanya kepada Della. Sehingga tidak ada lagi rahasia di antara mereka."Diana." Amara menyebut nama Diana dengan nada kesal."Jangan-jangan mereka balikan." Della mencoba memanas-manasi. "Kata kamu waktu itupun Satria milih buat anter Diana kan."Amara hanya diam. Dalam hatinya pun cemas. Namun jika memang mereka balikan, dia menganggap itu karmanya. Karma karena mempermainkan perasaan Satria.Della kemudian mengusap punggung sahabatnya tersebut. "Mau dia sama siapapun ga penting bagi kamu, yang penting sekarang kamu lulus dengan nilai baik. Sayang kan selama ini cumlaude karena cowo doang sampe ga lulus."Tersungging senyum kecut di bibir Amara.
Tanpa basa-basi, Satria langsung menuju ke kediamannya. Saat itu hujan sudah turun. Dia menerobos motornya melewati jalanan yang basah dan dingin. Hanya satu yang ada di pikirannya saat itu, Gita.Beberapa lama kemudian, Satria sampai ke kediamannya. Dia langsung menuju bagasi. Terlihat kendaraan milik orangtuanya tidak ada di sana. Kemudian dia naik ke lantai atas untuk sampai ke kamar adiknya.Tok.. tok.. tok...Gita membuka pintu kamar. Satria melihat dia menangis, karena matanya yang sembab. "Kamu kenapa?""Gapapa kak," ucapnya sambil tersenyum kecut."Bener gapapa?" Satria terlihat sangat khawatir. Dia membelai rambut adiknya. "Kalau gapapa kenapa nangis?""Aku baru bangun tidur ka," ucapnya. Dia menyenderkan kepalanya di bahu Satria. Tersungging senyum hangat dari bibirnya. "Kakak memang yang terbaik."Dielus rambut hitam legam milik Gita. "Kamu kagetin loh, tau-tau chat kaya gitu.""Kak!" panggilnya. Satria melirik. Dia
Gita membuka matanya lagi. Setelah hanyut dalam kenangan lama. Dia memikirkan tindakannya saat menelpon Amara. Benar, Gita sengaja menelpon Amara agar membuat hubungan mereka rusak. Dia ingat esoknya Bima menghubunginya. Dia langsung mendatanginya ke rumah."Kamu menelpon Amara?" tanya Bima. Gita bisa melihat raut wajahnya yang kesal.Agar Bima tidak marah, dia memasang wajah polosnya. "Kakak marah? Maaf aku cuman pengen kenal aja sama pacar kakak."Bima diam. Dia tidak merespon. Dalam hati dia kesal, serta takut Amara akan curiga. Hubungan mereka baik-baik saja. Amara tidak perlu tahu."Aku minta maaf ka!" ulang Gita.Bima yang mendengar permintaan maaf tersebut akhirnya menghela nafas panjang. "Iya gapapa, biar dimaafin boleh kakak minta hari ini?"Gita mengangguk. Dan kembali tersadar di masa kini. Dia ingat itulah pertama kalinya Bima tidak menggunakan pengaman. Dengan alasan agar dimaafkan olehnya. Gita kemudian tertawa dengan ker
"Git!" panggil Putri. Gadis itu menoleh. Putri melihat dirinya dari atas ke bawah. "Kok aku merasa kamu gendutan ya?"Gita hanya bisa mengalihkan muka. Hari itu pengumuman kelulusan mereka. Gita juga sudah diterima di kampus yang dia inginkan. Sementara Bima tidak pernah lagi menemuinya sejak hari itu. Tentu saja itu membuatnya sedih."Kamu makan banyak atau gimana?" tanya Putri. "Ga banyak sih. Cuman badan kamu kan bagus ya. Aga kaget aja gitu ngeliatnya sedikit berisi.""Iya karena di rumah terus setelah ujian kan, aku kerjanya makan. Ga nyadar badanku sedikit membesar," ucapnya.Putri tetap memperhatikan tubuh temannya tersebut. Dia memang merasa ada yang aneh, namun tetap memilih untuk tidak melanjutkan topik. "Mungkin aja kamu bahagia, apalagi waktu itu sempat cerita udah jadian beneran kan sama kakak mahasiswa yang itu tuh!"Telinga Gita memanas. Percaya atau tidak dia kesal kepada Bima. Lelaki itu benar-benar sulit untuk dihubungi. Padahal s
"Ini minum dulu!" Arya memberikan sebotol minuman kepada Gita. Mereka berdua tengah berada di taman kota. Arya meminta Gita untuk mengobrol di tempat yang lebih terbuka saja. Kali ini Gita menurut, dirinya pun tidak segalak sebelumnya kepada teman satu sekolahnya tersebut."Terimakasih." Ucap Gita. Beberapa detik kemudian botol tersebut diminum sedikit demi sedikit. Mata Gita masih sembab sehabis menangis. Dia telah menceritakan semuanya kepada Arya. "Menurutmu aku harus gimana?""Sebetulnya cepat atau lambat kamu harus memberitahukan orangtuamu," bujuk Arya. Wajah Gita terlihat keberatan, Arya tahu itu. Kemudian dia melanjutkan, "Karena bayi di dalam kandunganmu butuh biaya, butuh perlindungan dari orang yang sudah dewasa.""Bagaimana kalau aku menyetujui perintah ka Bima?" tanya Gita. Dia melirik Arya, wajah Arya menegang. Dari sorot matanya ada sedikit rasa marah. Namun dia tetap berusaha untuk tenang.Arya kemudian menoleh kepada Gita. Membuat gadis i
Amara keluar dari ruangan ibu Melinda. Dia terlihat kebingungan. Dipeluknya erat draft skripsi yang telah direvisi tersebut. ‘Sedikit lagi aku lulus,’ batinnya. Namun di balik itu semua dia terlihat kebingungan. Awalnya dia dan Delia berencana untuk ikut andil dalam aksi demonstrasi. Dia pun sudah beberapa kali ikut kajian dari BEM Fakultasnya sendiri. Namun ternyata ada ancaman, siapapun yang mengikuti demonstrasi tersebut akan dikenakan sanksi drop out.“Hufh!” Dia menghembuskan nafas panjang.“Lelah?” sebuah suara terdengar dari sebelahnya. Amara menengok, dia tidak menyangka dengan siapa yang dilihatnya. Satria sedang berdiri tepat di sebelahnya. Melayangkan senyum yang menawan. Dia mengenakan jaket almamater jurusannya dan memakai topi yang menutupi Sebagian wajahnya. Sambil tersenyum dia bertanya kepada Amara, “Mau ga kamu ikut aku sebentar? Aku pengen ajak kamu jalan-jalan.”Gadis itu mengangguk. Sejujurnya