Share

Menuju Pulau Bintan

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Zhou Hoaren menaiki sebuah kapal kecil bersayap dengan satu layar. Setidaknya, ada lima penumpang lainnya di kapal kecil tersebut. Dia duduk paling depan, di haluan sebab tidak ingin mendengar apa pun yang akan dikatakan oleh orang-orang terhadap dirinya.

Duduk lama seperti itu dan terus menerus terkena terpaan angin bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi Hoaren, akan tetapi, dia tidak punya pilihan.

Meskipun dia belum tahu apa yang akan dia kejar dan temui, tapi keinginannya sudah cukup kuat untuk segera tiba di daratan besar.

Dan tujuan kapal kecil yang membawanya dari Pulau Tioman itu adalah Bandar Penawar seperti yang pernah dikatakan oleh Hasan padanya.

Sebelum sang mentari tenggelam di ufuk barat, kapal kecil itu akhirnya berlabuh di salah satu dermaga yang ada di Bandar Penawar.

Hoaren menyeringai pada si pemilik kapal yang melambaikan tangan padanya, lalu melanjutkan langkahnya di antara keramaian di pelabuhan itu sendiri.

Pada saat yang sama, Feng, Huang, Guru Ma, dan Daiyun
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Pertarungan di Pulau Bintan

    Fajar baru saja menyingsing ketika enam kapal yang berukuran hampir sama dengan masing-masing memilii satu layar bergerak mendekati sebuah dermaga di tepi pantai, yang berada di wilayah Lagoi.Satu per satu kapal-kapal itu merapat ke dermaga, di antara kapal-kapal nelayan lainnya. Lalu semua penumpang pun turun.Zhou Hoaren sudah melihat rombongan Guru Ma, namun dia tetap menjaga jarak agar tidak diketahui oleh mereka yang ia kuntit.“Oh, jadi Guru hendak menuju ke Swarnadwipa,” ujar seorang wanita pada Guru Ma.“Amitabha,” Guru Ma mengangguk.“Maaf, Bibi,” ujar Feng. “Apakah Swarnadwipa masih jauh dari sini?”Sang wanita tersenyum. “Tidak,” jawabnya. “Jika dari sini, pulau besar itu memang tidak terlihat sebab begitu banyaknya pulau-pulau kecil yang menghalangi. Akan tetapi, dengan sekali pelayaran saja, kalian sudah bisa sampai di sana.”Huang mengedarkan pandangannya ke sana kemari, lalu berkata pada sang wanita. “Apakah di sini memang sepi?”“Begitulah, Nona manis,” jawab sang wan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Berpisah

    Di luar dugaan, Hoaren cukup terkejut mendapati bahwa ternyata, Daiyun mampu menahan kekuatan serangannya.Daiyun mengernyit. “Cakar Naga Sholin? Kau―”Desg!Hoaren melancarkan satu serangan berupa tendangan cepat hingga mengenai dada Daiyun. Sementara Daiyun bergeser pijakannya ke belakang, Hoaren pula memanfaatkan daya pantul serangannya dengan berjumpalitan dua kali di udara ke arah belakangnya.Teph!Guru Ma menggunakan satu tangan menahan punggung Daiyun atau si Biksu Muda itu akan terjengkang menubruknya.Dentuman akibat beradunya tenaga dalam Hoaren dan Daiyun dalam jurus yang sama telah menarik perhatian banyak orang di sekitar. Termasuk, Kasim, si pemilik kapal yang sedianya akan ditumpangi oleh Feng, Huang, Guru Ma, dan Daiyun untuk meneruskan perjalanan mereka ke Swarnadwipa alias Andalas.“Apa yang terjadi di sana?” ucap Kasim pada seorang awaknya.“Entahlah, Pakcik,” jawab sang pemuda. “Sepertinya seorang itu hendak merampas barang bawaan Guru Besar.”“Kau bodoh!” balas K

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Memburu Hoaren

    “Berengsek!” Zhou Hoaren mempercepat larinya sehingga dia terlihat tidak lagi mencecah tanah melainkan berlari di atas rumpun belukar. “Siapa bisa menduga, hah? Biksu sialan itu ternyata punya tenaga dalam yang dahsyat!”Dia terus melesat ke arah selatan, sesekali, dia memanfaatkan batang pohon di hutan untuk melontarkan tubuhnya lebih jauh lagi ke depan.Lalu dia berjumpalitan beberapa kali hingga sepasang kakinya mendarat ringan di atas sebuah bukit batu rendah.Dia menyeringai menatap ke arah utara. “Apakah mereka masih mengejarku?”Swiing!Sosok bayangan merah diiringi suara berdesing menerabas semak belukar dengan sangat cepat.“Hoaren!” teriaknya dengan pengerahan tenaga dalam. “Jangan lari kau, keparat!”Burung-burung liar yang bertengger di beberapa pohon berterbangan ke udara sebab terkejut mendengar suara yang cukup lantang dan bergema di dalam hutan.“Cih!” Hoaren meludah. “Kau keras kepala, Nona Huang,” gumamnya. “Kejar saja aku, jika kau mampu!”Hoaren tidak berpikir bahw

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Mengutuk Keadaan

    Feng Da Jian tersenyum memandang Huang Fang Yin. Kekasihnya itu duduk dengan wajah yang datar dan dijejali oleh rasa kesal yang besar, di atas sebuah patahan batang pohon, di depan sebuah api unggun, di tengah belantara.Tapi setidaknya, Feng berpikir bahwa mereka tidak akan kelaparan malam ini sebab dia datang dengan membawa seekor anak menjangan di bahunya.Anak menjangan itu sendiri sudah ia potong-potong dan dibersihkan di sumber air yang dia temukan di hutan itu sebelumnya.Sekejap saja, potongan-potongan daging dengan tusukan ranting telah ditancapkan di sekeliling api unggun. Dia juga menaruh dua kantong kulit yang tampak menggelembung karena telah penuh terisi dengan air minum.Dia melirik sang gadis dan tersenyum lagi sebab masih mendapati wajah indah itu sedikit terlihat buram dengan kekesalan di dirinya.“Sudahlah, Adik,” ujarnya seraya mengawasi tusukan-tusukan daging yang dipanggang. “Jangan terlalu engkau pikirkan. Itu tidak baik.”“Aku hanya kesal, Kakak,” jawab Huang,

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tiga Penjahat

    “Ahh, ke sinilah, Tuan Muda,” si pemilik penginapan berdiri dan melambaikan tangannya pada Hoaren. “Mari, duduk di sini bersamaku.”Zhou Hoaren tersenyum lalu duduk di samping kanan sang pemilik.Selagi pria Tiongkok tersebut menghampiri sang pemilik warung, ada tiga pria yang duduk di antara orang yang sedang menyantap sarapan mereka memerhatikan Hoaren.“Silakan!”Si pemilik menunjuk pada satu dari tiga penjaga warung. Salah satunya adalah si gadis yang tadi mendatangi kamar Hoaren.“Kau minta saja apa yang akan kau makan untuk sarapanmu,” lanjut si pemilik. “Juga, minumanmu. Tidak perlu bayar sebab uang yang kau berikan semalam padaku cukup banyak.”“Ah, senang mendengar itu,” sahut Hoaren.Pria Tiongkok tersebut memerhatikan setiap menu masakan yang tersusun rapi di dalam etalase tanpa kaca. Lalu menunjuk beberapa masakan yang ia inginkan.“Bagaimana dengan minumannya?”Hoaren tersenyum, gadis itu lagi yang bertanya padanya. Dia mengedipkan sebelah mata, tapi si gadis acuh tak acu

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Bukan Hari Sial

    “Hei, kau baik-baik saja?” penjahat kedua menghampiri penjahat pertama yang menerima pukulan lebih banyak di antara mereka bertiga. Bahkan, satu tulang rusuknya ada yang patah. “Ayo!”Penjahat ketiga pun menghampiri satu rekan mereka tersebut, membantunya berdiri, dan kemudian membawanya beristirahat di bawah sebuah pohon waru laut yang cukup besar dan rindang dengan bunganya yang kemerah-merahan.“Berengsek!” penjahat pertama mendengus, terduduk dengan bersandar ke batang pohon. Dia terbatuk lagi dan muntah darah lagi. “Sial! Kita tidak mendapatkan apa-apa, bagaimana aku akan bisa mengobati putriku?”Dua temannya hanya bisa mendesah halus.“Yah,” kata penjahat ketiga. “Sepertinya hari ini adalah hari sial bagi kita.”“Kupikir,” kata penjahat kedua. “Kita mungkin akan bisa mencari mangsa di pulau lain. Di sini masih terbilang cukup ramai dan pasti ada saja orang seperti pria yang tadi itu.”“Hei!” Penjahat ketiga melihat bayangan. Dia menunjuk ke arah tersebut. “Lihat dua orang itu!”

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Di Atas Kapal Kecil

    Setidaknya, ada tiga kapal yang melepas tali dan memulai pelayaran ketika Feng dan Huang tiba di sebuah dermaga yang ada di sisi barat Seri Kuala Tanjung. Kapal-kapal itu bukanlah jenis kapal besar yang memiliki banyak geladak.Hanya sebuah kapal kecil yang terlihat seperti sebuah perahu yang cukup panjang lalu diberi atap. Sedangkan para penumpangnya, duduk dengan sedikit berdesak-desakkan pada bangku-bangku papan yang bersekat.Masing-masing kapal memiliki sayap di kiri kanannya, atau sering juga disebut cadik. Dan sebuah layar terkembang di bagian sepertiga ke depan, dikendalikan oleh seorang awak yang duduk santai di atas atap kapal.Dua awak lainnya berdiri di bagian haluan sebagai penunjuk arah, dan awak terakhir berdiri di buritan sebagai pengatur arah kapal.“Di mana?” Huang berdiri di tepi dermaga, menelisik kapal-kapal yang ada. “Di mana bajingan itu?”“Di sana!” Feng menunjuk pada kapal yang di tengah di antara tiga kapal yang telah bergerak menjauh.Sementara itu, Hoaren m

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Dari Satu Pulau ke Pulau Lainnya

    Dengung ketakutan dari penumpang kapal di bawah atap yang ia pijak membuat Huang akhirnya menyadari jika memaksa untuk bertarung dengan Hoaren sekarang juga, maka orang-orang tang bersalah itu pasti akan ikut terkena imbasnya.“Adik,” bisik Feng. “Tahan dulu amarahmu. Ini bukan tempat yang bisa kita jadikan sebagai medan pertarungan.”Sang gadis menghela napas lebih dalam untuk menenangkan gejolak amarah di dalam dadanya. Akan tetapi, dia juga tidak menyarungkan pedangnya demi mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin saja akan dilakukan oleh Hoaren.“Baiklah!” ucapnya dengan tegas. “Aku tidak akan melakukan apa-apa padamu, penjahat!” tunjuknya pada Hoaren. “Akan tetapi, kau jangan senang dulu. Ini hanya sampai kapal berlabuh di pulau berikutnya!”Hoaren masih saja tertawa menanggapi dengan tangan berada di pinggang.“Aku semakin suka padamu, Nona Huang,” ujarnya tanpa memedulikan bahwa ada tunangan sang gadis di sana. “Selalu saja datang dengan mulut besar. Mungkin sifat pamanmu yang

Bab terbaru

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Kondisi yang Berbeda

    “Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Bukan Sebuah Perlombaan

    “Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Di Bukit Tiga Puluh

    “Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tapak Suci Bodhisatva

    Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tidak Pandang Bulu

    “Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tekad Hoaren

    Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Memohon Petunjuk

    “Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Kembali Ditahan

    Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Menjemput Saksi

    “Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n

DMCA.com Protection Status