Beranda / Pendekar / Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga / Dari Satu Pulau ke Pulau Lainnya

Share

Dari Satu Pulau ke Pulau Lainnya

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dengung ketakutan dari penumpang kapal di bawah atap yang ia pijak membuat Huang akhirnya menyadari jika memaksa untuk bertarung dengan Hoaren sekarang juga, maka orang-orang tang bersalah itu pasti akan ikut terkena imbasnya.

“Adik,” bisik Feng. “Tahan dulu amarahmu. Ini bukan tempat yang bisa kita jadikan sebagai medan pertarungan.”

Sang gadis menghela napas lebih dalam untuk menenangkan gejolak amarah di dalam dadanya. Akan tetapi, dia juga tidak menyarungkan pedangnya demi mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin saja akan dilakukan oleh Hoaren.

“Baiklah!” ucapnya dengan tegas. “Aku tidak akan melakukan apa-apa padamu, penjahat!” tunjuknya pada Hoaren. “Akan tetapi, kau jangan senang dulu. Ini hanya sampai kapal berlabuh di pulau berikutnya!”

Hoaren masih saja tertawa menanggapi dengan tangan berada di pinggang.

“Aku semakin suka padamu, Nona Huang,” ujarnya tanpa memedulikan bahwa ada tunangan sang gadis di sana. “Selalu saja datang dengan mulut besar. Mungkin sifat pamanmu yang
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Perangkap di Pulau Alai

    Pada keesokan harinya, di siang hari, Feng dan Huang akhirnya juga tiba di Pulau Sugi. Dan setelah hampir seharian mengitari pulau tersebut tanpa lelah, keduanya mendapatkan informasi bahwa malam sebelumnya, Hoaren pernah menginap di salah satu pemukiman yang ada di selatan pulau.Sayangnya, si penjahat tersebut telah menghilang dari Pulau Sugi. Informasi tambahan yang didapat keduanya dari sebuah dermaga kecil di selatan itu, bahwa Hoaren telah pula menumpang sebuah kapal kecil menuju pulau berikutnya, Pulau Durian.Dengan tidak menghiraukan kondisi tubuhnya sendiri yang sudah kelelahan, Huang bersikeras untuk mengejar Hoaren. Dan mau tidak mau, Feng terpaksa menemani sang kekasih menuju Pulau Durian.“Keparat!”Brakk!Huang meluahkan kekesalannya pada sebuah batu besar di tepi laut hingga batu seukuran manusia itu hancur berantakan.Feng hanya bisa menyaksikan itu dengan helaan napas yang panjang. Dalam keadaan seperti ini, sang tunangan sudah sulit untuk diberi nasihat. Yaah, dia t

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Segel Batu Giok

    Pagi-pagi sekali, Feng dan Huang telah keluar dari penginapan, menyusuri pesisir timur Pulau Alai, dari utara bergerak ke selatan.Setiap keramaian yang mereka temukan, keduanya pasti bertanya pada penduduk tempatan tentang di mana letak kawasan Batu Limau. Dan mereka akan langsung bergerak begitu mendapatkan petunjuk arah.Sementara itu, di kawasan Batu Limau sendiri. Hoaren telah mendapat tahu tentang larangan apa saja yang tidak boleh dilakukan di lokasi yang dikeramatkan oleh warga lokal tersebut.“Jadi,” kata seorang tua kisaran 80 tahun. “Kau harus berhati-hati, Anak Muda. Mungkin di matamu kawasan ini tidak memiliki kekuatan mistis. Tapi percayalah, jika kau bertindak gegabah, maka hanya kesialan dan penyesalan yang akan kau dapatkan untuk sisa hidupmu.”Hoaren tersenyum dan mengangguk-angguk. “Tentu saja, Tuk Gomo. Aku hanya berpelesir biasa saja. Lagi pula, siapa yang mau dikutuk seumur hidupnya?”Pria tua yang bergelar Datuk Gomo terkekeh. Gomo dalam bahasa Melayu Kuno adala

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Pertarungan di Batu Limau

    “Aku tak hendak menakut-nakuti kalian,” kata Datuk Gomo. “Akan tetapi, berhati-hatilah menghadapi pria itu. Hanya itu yang dapat aku katakan pada kalian berdua.”Feng saling pandang dengan Huang.“Dia memang seorang yang licik,” kata sang gadis kemudian. “Orang biasa mungkin mudah terkecoh dengan wajahnya yang manis dan pandai bertutur kata. Tapi Datuk Gomo jangan khawatir, kami berdua sudah cukup mengenal seorang Hoaren.”Pria tua mengangguk-angguk sembari mengelus jenggot panjangnya yang abu-abu.“Kalau begitu,” kata Feng pula. “Kami permisi, Datuk. Semakin cepat kami menemukan si Hoaren itu, maka akan semakin baik bagi orang-orang di Laut Melayu ini.”“Silakan!”Feng dan Huang akhirnya bergerak ke arah tenggara, bagian paling selatan dari Pulau Alai.Begitu mereka tiba di kawasan Batu Limau yang berada di pinggir pantai itu, keduanya terheran-heran demi melihat pelbagai batu kesar yang membentuk ragam benda seolah-olah, batu-batu besar di tepi laut itu sengaja diukir oleh seseorang

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Sedikit demi Sedikit

    Huang telah lebih dahulu menyadari apa yang akan dilakukan oleh Hoaren sehingga dia dengan cepat menarik serangannya, dan melentingkan tubuhnya jauh ke belakang, berjumpalitan beberapa kali sebelum akhirnya menjejak di atas sebuah batu besar.Pasir-pasir berhamburan ke udara akibat ledakan tenaga dalam Hoaren, lalu turun kembali ke bumi laksana hujan.Haoren menepis-nepis bajunya sembari terkekeh dan melirik pada Huang. “Kau benar-benar tidak tahu apa-apa tentangku, Nona Huang yang cantik!”“Adik!” Feng tiba dan mendarat di samping sang kekasih di atas batu yang sama. “Kau baik-baik saja?”“Kakak,” ujar Huang dan segera menetralisir aliran tenaga dalamnya yang menjadi sedikit kacau. “Bajingan itu,” lanjutnya, “dia menguasai jurus-jurus tertinggi Shaolin. Tinju Baju Besi, aku sangat yakin!”“Aku tahu,” Feng menatap pada Hoaren. “Sebelumnya, dia menahan Cakar Naga Biru-ku dengan Cakar Naga Shaolin.”“Keparat,” Huang meludah ke samping. “Dari mana dia mempelajari semua itu?”“Siapa yang

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Bukan Asap Biasa

    Huang melepaskan lagi jurus Pedang Surga-nya, Cakar Phoenix Menghujani Bumi. Kilatan-kilatan dari bilah pedang bergagang merah yang terlihat menjadi sangat banyak, melesat ke arah Hoaren.Swiing!Crass! Crass!Kilauan-kilauan bilah pedang menghantam apa saja. Membuat satu titik di kawasan itu menjadi semakin menyedihkan dengan batu-batu besar yang tercacah menjadi kepingan-kepingan kecil. Atau lubang-lubang tipis memanjang yang terbentuk di permukaan tanah dna menguarkan asap tipis.Sayangnya, Hoaren telah mengantisipasi jurus mengerikan itu dengan melontarkan tubuhnya lebih tinggi ke arah belakang.Dia menyeringai sebab bagaimanapun, serangan brutal dari Nona Huang barusan justru menyebabkan satu tabung bambu seruas yang juga telah disembunyikan Hoaren di titik yang sama menjadi hancur dan mengepulkan asap.Huang tidak menyadari itu sebab kepulan asap dari tabung ketiga bercampur baur dengan debu dan pasir yang berhamburan ke udara akibat ledakan demi ledakan jurus pedangnya.Sementa

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Serbuk Kumbang Pelangi

    Feng mengernyit lalu melirik sang kekasih. Dan entah apa yang terjadi, wajah dan tubuh sang tunangan terlihat menggoda hasratnya hingga berahinya sedikit demi sedikit menjadi terbakar.Pun hal yang sama juga dialami oleh Huang sendiri. Akan tetapi, dia tetap bersikeras untuk menepis godaan hasrat tersebut.“Apa maksudmu, Hoaren?!”Hoaren tersenyum lebar sembari menunjuk-nunjuk dua orang di depan sana. “Biar kuberi tahu pada kalian berdua,” ucapnya. “Kawasan ini bernama Batu Limau.”“Cih!” Huang meludah ke tanah. “Apa yang kau katakan, hah? Kau pikir kami tidak mencari tahu tentang kawasan ini terlebih dahulu?”“Oh, begitukah?” Hoaren terkekeh. “Berarti, kalian tahu bahwa ada pantangan di kawasan ini yang tidak boleh dilanggar, bukan?”Feng maju selangkah ke depan sementara itu, asap putih yang samar-samar menutupi kawasan itu terlihat semakin menyebar lebih luas. Bergerak ke sana kemari akibat embusan angin yang tak menentu.“Apa yang telah kau rencanakan?”“Baiklah,” Hoaren mengedipk

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Konsekuensi

    Pria tua memerhatikan kondisi berkabut di depannya sebelum akhirnya memutuskan untuk memeriksa lebih jauh.“Datuk!” Liyan cukup bingung harus melakukan apa.“Tetap di tempatmu!” seru sang datuk tanpa berpaling.“Tapi, Datuk―”“Liyan!” Datuk Gomo menghela napas dalam-dalam. “Kali ini, aku merasakan bahaya yang besar. Ini tidak seperti yang sering kau hadapi. Kau mengerti?”Liyan mengangguk meskipun pria tua tidak melihat itu sebab membelakanginya.“Tetap di sini,” lanjut sang datuk. “Dan bila aku memanggilmu nanti, maka segeralah kau datang dengan tetap menjaga pernapasanmu. Kurasa, kabut itu punya pengaruh tertentu pada tubuh manusia!”“Baik, Datuk!”Seorang Datuk Gomo bukanlah pendekar yang menguasai silat dan kesaktian bela diri. Seorang Gomo hanyalah sebatas dukun sakti yang memiliki indra keenam lebih tajam tentang hal-hal berbau mistik.Meski demikian, yang satu ini sepertinya memiliki hal yang lebih daripada sekadar seorang Gomo.Dia melangkah dengan tenang, memasuki kawasan Bat

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Hukuman Adat

    “Adik,” balas Feng dengan berbasaha Mandarin pula. “Kita akan mengahadapi ini dengan bersama-sama. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap berada di sisimu!”Huang tersenyum tipis dan genggaman tangan mereka semakin erat.“Para Tetua,” ucap seorang pemuka adat di sisi kiri. “Datuk Gomo, kami khawatir jika kita menunda-nunda hukum adat pada kedua orang ini, maka tulah yang akan kita terima hanya akan semakin buruk.”Dan suara-suara berdengung seketika memenuhi balai desa, belum lagi dari mereka yang mengintip jalannya sidang adat tersebut dari luar.Feng mengeratkan genggaman tangannya di tangan sang kekasih, menatap pasti ke dalam matanya, dan menganggukkan kepala dengan senyuman.“Setidaknya,” bisik Huang pada tunangannya. “Aku bisa mati di sampingmu, Kakak.”“Datuk Gomo,” ujar tetua wanita pada sang dukun. “Jika kita tidak memutuskan perkara ini dengan segera, takutnya orang-orang akan bertindak atas kemauan mereka sendiri. Aku khawatir ini hanya akan menjadi penyesalan bagi kita semua

Bab terbaru

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Kondisi yang Berbeda

    “Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Bukan Sebuah Perlombaan

    “Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Di Bukit Tiga Puluh

    “Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tapak Suci Bodhisatva

    Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tidak Pandang Bulu

    “Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tekad Hoaren

    Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Memohon Petunjuk

    “Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Kembali Ditahan

    Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Menjemput Saksi

    “Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n

DMCA.com Protection Status