“Adik,” balas Feng dengan berbasaha Mandarin pula. “Kita akan mengahadapi ini dengan bersama-sama. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap berada di sisimu!”Huang tersenyum tipis dan genggaman tangan mereka semakin erat.“Para Tetua,” ucap seorang pemuka adat di sisi kiri. “Datuk Gomo, kami khawatir jika kita menunda-nunda hukum adat pada kedua orang ini, maka tulah yang akan kita terima hanya akan semakin buruk.”Dan suara-suara berdengung seketika memenuhi balai desa, belum lagi dari mereka yang mengintip jalannya sidang adat tersebut dari luar.Feng mengeratkan genggaman tangannya di tangan sang kekasih, menatap pasti ke dalam matanya, dan menganggukkan kepala dengan senyuman.“Setidaknya,” bisik Huang pada tunangannya. “Aku bisa mati di sampingmu, Kakak.”“Datuk Gomo,” ujar tetua wanita pada sang dukun. “Jika kita tidak memutuskan perkara ini dengan segera, takutnya orang-orang akan bertindak atas kemauan mereka sendiri. Aku khawatir ini hanya akan menjadi penyesalan bagi kita semua
Malam hari, di hari ketiga masa hukuman adat atas Feng dan Huang.Keduanya yang ditempatkan terpisah sama-sama sudah kelihatan sangat lemah. Duduk bersila sedemikian rupa, bersemadi, tiga hari tiga malam tanpa istirahat, juga harus berpuasa makan, sedangkan untuk minum hanya mereka dapatkan dari embun yang menyentuh bibir masing-masing atau pula dari gerimis hujan yang turun seolah enggan.Dan kalaulah mereka berdua hanya orang biasa, maka mereka pasti tidak akan mampu bertahan sampai ke malam ini. Setidaknya, salah satu atau keduanya pasti akan pingsan. Kemungkinan terburuk, mati karena dehidrasi atau pula kelaparan hebat.Datuk Gomo bersama Liyan dan beberapa pemuda di kampung itu sama-sama menunggu berakhirnya masa hukuman. Mereka mengawasi dari tepi hutan di sisi timur laut.Tepat ketika sang rembulan telah tergelincir dari singgasana tertingginya ke sisi barat, sang datuk langsung memerintahkan belasan orang itu untuk menjemput Feng dan Huang.Feng membuka mata ketika setengah lu
Hari kedelapan di pagi harinya barulah Feng dan Huang siuman. Dan setelah mendapatkan perawatan yang baik dari Datuk Gomo dan Liyan, ditambah dengan semadi setengah harian, pasangan suami-istri baru itu akhirnya bisa memulihkan tenaga mereka seperti semula.Feng dan Huang sama membungkuk di hadapan lima tetua, Datuk Gomo, dan beberapa orang pemangku adat di hadapan mereka.“Terima kasih,” ucap Feng. “Kami hanya bisa berharap agar kampung ini akan senantiasa baik-baik saja. Dan sekali lagi, maafkan kami atas apa yang sudah terjadi.”“Maafkan kami,” kata Huang pula. “Akan tetapi, kami tak lagi bisa menunda, takutnya, kami akan semakin kehilangan jejak si penjahat itu. Jika itu terjadi, kami tidak ada muka untuk kembali ke Tiongkok.”“Kami mengerti,” kata Datuk Gomo. “Kedepannya, harap perhatikan langkah kalian terhadap duri-duri yang dapat mengganjal perjalanan kalian, meski hanya sebuah duri yang kecil, sebab hal-hal besar selalunya bermula dari yang kecil.”Suami-istri itu kembali mem
Tepat seperti yang diperkirakan oleh Datuk Gomo, Feng dan Huang akhirnya memasuki mulut Sungai Kampar yang memang langsung bermuara ke laut tanpa batas sekitar tengah malam.Kondisi yang gelap gulita membuat pasangan suami-istri baru tersebut sangat berhati-hati. Satu-satunya penerangan hanya didapat dari bulan separo di atas sana.“Kita beruntung,” ucap Feng dengan pelan sembari mengayuh sampan. “Langit malam ini sangat bersih.”“Yaah!” Huang menghela napas dalam-dalam. Aroma amis dan asin garam cukup kuat yang ia rasakan. “Kita harus berhati-hati, Kakak. Ibuku berasal dari kawasan yang hampir sama dengan situasi di sini.”Feng sudah pernah mendengar tentang itu. Tentang, asal muasal ibu dari istrinya di salah satu desa yang ada di timur Tiongkok.“Ibuku pernah bilang,” lanjut Huang. “Jika laut berbau amis―dan aku juga melihat bahwa air laut ini sedikit keruh, maka, buaya akan lebih sering naik ke permukaan.”“Yaah!” Feng mengangguk saja meskipun dia belum tahu tentang itu.“Berhati-
“Dasar!” Huang mendengus pelan dengan membuang muka. “Tidak di sini, tidak di Tiongkok, semua orang sama saja. Kalau sudah menyangkut uang, sikap yang kasar berubah menjadi lembut. Tak peduli tua maupun muda.”“Sst!” Feng menahan tawa seraya menyenggol punggung sang istri dengan bahunya. “Tidak baik berkata seperti itu. Lagi pula, dia masih kecil dan sedang mencoba mengais rezeki dengan caranya sendiri. Yang terpenting, dia tidak mengambil hak orang lain.”“Ya, ya …” Huang mendesah halus sembari mengusap keningnya.“Baiklah, Adik Kecil,” kata Feng pada si remaja. “Jadi, dengan uang sebanyak itu, kau akan bersedia menjaga sampan kami, bukan?”Sang remaja terkekeh dengan melipat tangan ke dada.“Koko dan Cici tidak perlu khawatir,” ucapnya. “Aku akan menjaga sampan kalian dengan nyawaku.”Huang tidak bisa menahan senyumannya karena ucapan dan tingkah sang remaja, begitu pula dengan Feng yang mengusap kepala sang remaja dengan hangat.“Satu hal lagi,” kata Feng pada sang remaja. “Jika ak
“Jika tujuan kalian adalah Istana Minanga,” kata seorang perempuan paruh baya pada Feng dan Huang di sebuah jalan di tepi hutan, sisi selatan Teluk Meranti. “Maka kalian berdua hanya perlu pergi ke arah sana!”Pasangan muda-mudi melirik ke arah belakang mereka, arah selatan memasuki rimba belantara.Keduanya telah meninggalkan penginapan di tengah keramaian itu di awal pagi sebab tak ingin mengulur-ulur waktu untuk tujuan mereka. Dan tujuan itu kini berganti menjadi menemukan Guru Ma dan Daiyun sebab mereka yakin bahwa Haoren sedang mengincar kedua Biksu Budha tersebut.“Apakah kalian menggunakan kuda?”“Ah, tidak,” jawab Feng dengan sopan. “Kami hanya berjalan kaki saja.”“Hmm, begitu, ya?” perempuan paruh baya mengangguk-angguk. “Kalau kalian menggunakan kuda tanpa istirahat, aku rasa dalam dua hari kalian bisa tiba di Sungai Batang Kuantan. Setelah itu, kalian tinggal meneruskan ke hulu sungai itu dengan menggunakan perahu, dan kalian akan tiba di Istana Minanga dalam beberapa hari
Mendapat serangan bertubi-tubi dari tiga orang membuat sang pendekar akhirnya terjengkang.Seorang gadis manis menyaksikan perkelahian itu dari barisan para pedagang. Berbeda dengan para pedagang dan saudagar yang ketakutan dan cemas, sang gadis tampak terlihat jauh lebih tenang.Tidak hanya sang pendekar yang tadi saja yang bertumbangan ke tanah tapi juga dengan kesembilan temannya yang satu per satu terjengkang.“Habisi mereka!” teriak seorang di antara bertiga.Dan ketiganya lantas melompat dengan mengayunkan senjata masing-masing pada si pendekar pertama yang terjengkang tadi.Si gadis manis secara diam-diam menjentikkan jarinya sebanyak tiga kali.Syu! Syu! Syu!Tiga cahaya kuning pudar yang nyaris tak terlihat melesat sangat cepat, mematahkan setiap senjata di tangan ketiga penjahat, dan sekaligus membuat ketiganya terjengkang, terhempas keras ke tanah.“Si-Siapa?” teriak penjahat yang sama sembari mengedarkan pandangan dengan wajah pucat pasi. “Siapa yang membokong? Keluar, tun
“Astaga,” Kanteh terlihat sangat khawatir. “Apa yang dilakukan gadis itu? Tidakkah ada rasa jerih di hatinya terhadap si Mata Malaikat dan orang-orangnya?”“Paduko?” kata Kirat pula.Pemuda rupawan hanya tersenyum saja dengan pandangan yang tak lepas pada sosok Hoa Nhai di bawah sana.“Dia gadis yang menarik!”Empat pengawal pribadi sang pemuda rupawan hanya bisa mengernyit dan saling pandang.Kamba kemudian terkekeh. “Tampaknya, Angku Mudo kita ini sedang terpesona hatinya.”“Yaah!” Kirawah dan dua lainnya mengangguk.“Tidak, bukan seperti itu,” sahut si pemuda rupawan. “Ahh, sudahlah. Susah untuk bicara dengan kalian berempat!”Tapi tentu saja, keempat pengawal khusus tersebut justru tersenyum-senyum dan tahu benar bahwa Tuan Muda mereka sedang jatuh hati, atau … sesuatu yang mengarah ke sana terhadap di gadis imut yang sangat pemberani.“Kau tidak gentar sama sekali!” ucap si Mata Malaikat dengan seringai lebar di wajahnya. “Luar biasa, Hoa Nhai. Luar biasa!”“Lalu apa?” sang gadis