Pria tua memerhatikan kondisi berkabut di depannya sebelum akhirnya memutuskan untuk memeriksa lebih jauh.“Datuk!” Liyan cukup bingung harus melakukan apa.“Tetap di tempatmu!” seru sang datuk tanpa berpaling.“Tapi, Datuk―”“Liyan!” Datuk Gomo menghela napas dalam-dalam. “Kali ini, aku merasakan bahaya yang besar. Ini tidak seperti yang sering kau hadapi. Kau mengerti?”Liyan mengangguk meskipun pria tua tidak melihat itu sebab membelakanginya.“Tetap di sini,” lanjut sang datuk. “Dan bila aku memanggilmu nanti, maka segeralah kau datang dengan tetap menjaga pernapasanmu. Kurasa, kabut itu punya pengaruh tertentu pada tubuh manusia!”“Baik, Datuk!”Seorang Datuk Gomo bukanlah pendekar yang menguasai silat dan kesaktian bela diri. Seorang Gomo hanyalah sebatas dukun sakti yang memiliki indra keenam lebih tajam tentang hal-hal berbau mistik.Meski demikian, yang satu ini sepertinya memiliki hal yang lebih daripada sekadar seorang Gomo.Dia melangkah dengan tenang, memasuki kawasan Bat
“Adik,” balas Feng dengan berbasaha Mandarin pula. “Kita akan mengahadapi ini dengan bersama-sama. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap berada di sisimu!”Huang tersenyum tipis dan genggaman tangan mereka semakin erat.“Para Tetua,” ucap seorang pemuka adat di sisi kiri. “Datuk Gomo, kami khawatir jika kita menunda-nunda hukum adat pada kedua orang ini, maka tulah yang akan kita terima hanya akan semakin buruk.”Dan suara-suara berdengung seketika memenuhi balai desa, belum lagi dari mereka yang mengintip jalannya sidang adat tersebut dari luar.Feng mengeratkan genggaman tangannya di tangan sang kekasih, menatap pasti ke dalam matanya, dan menganggukkan kepala dengan senyuman.“Setidaknya,” bisik Huang pada tunangannya. “Aku bisa mati di sampingmu, Kakak.”“Datuk Gomo,” ujar tetua wanita pada sang dukun. “Jika kita tidak memutuskan perkara ini dengan segera, takutnya orang-orang akan bertindak atas kemauan mereka sendiri. Aku khawatir ini hanya akan menjadi penyesalan bagi kita semua
Malam hari, di hari ketiga masa hukuman adat atas Feng dan Huang.Keduanya yang ditempatkan terpisah sama-sama sudah kelihatan sangat lemah. Duduk bersila sedemikian rupa, bersemadi, tiga hari tiga malam tanpa istirahat, juga harus berpuasa makan, sedangkan untuk minum hanya mereka dapatkan dari embun yang menyentuh bibir masing-masing atau pula dari gerimis hujan yang turun seolah enggan.Dan kalaulah mereka berdua hanya orang biasa, maka mereka pasti tidak akan mampu bertahan sampai ke malam ini. Setidaknya, salah satu atau keduanya pasti akan pingsan. Kemungkinan terburuk, mati karena dehidrasi atau pula kelaparan hebat.Datuk Gomo bersama Liyan dan beberapa pemuda di kampung itu sama-sama menunggu berakhirnya masa hukuman. Mereka mengawasi dari tepi hutan di sisi timur laut.Tepat ketika sang rembulan telah tergelincir dari singgasana tertingginya ke sisi barat, sang datuk langsung memerintahkan belasan orang itu untuk menjemput Feng dan Huang.Feng membuka mata ketika setengah lu
Hari kedelapan di pagi harinya barulah Feng dan Huang siuman. Dan setelah mendapatkan perawatan yang baik dari Datuk Gomo dan Liyan, ditambah dengan semadi setengah harian, pasangan suami-istri baru itu akhirnya bisa memulihkan tenaga mereka seperti semula.Feng dan Huang sama membungkuk di hadapan lima tetua, Datuk Gomo, dan beberapa orang pemangku adat di hadapan mereka.“Terima kasih,” ucap Feng. “Kami hanya bisa berharap agar kampung ini akan senantiasa baik-baik saja. Dan sekali lagi, maafkan kami atas apa yang sudah terjadi.”“Maafkan kami,” kata Huang pula. “Akan tetapi, kami tak lagi bisa menunda, takutnya, kami akan semakin kehilangan jejak si penjahat itu. Jika itu terjadi, kami tidak ada muka untuk kembali ke Tiongkok.”“Kami mengerti,” kata Datuk Gomo. “Kedepannya, harap perhatikan langkah kalian terhadap duri-duri yang dapat mengganjal perjalanan kalian, meski hanya sebuah duri yang kecil, sebab hal-hal besar selalunya bermula dari yang kecil.”Suami-istri itu kembali mem
Tepat seperti yang diperkirakan oleh Datuk Gomo, Feng dan Huang akhirnya memasuki mulut Sungai Kampar yang memang langsung bermuara ke laut tanpa batas sekitar tengah malam.Kondisi yang gelap gulita membuat pasangan suami-istri baru tersebut sangat berhati-hati. Satu-satunya penerangan hanya didapat dari bulan separo di atas sana.“Kita beruntung,” ucap Feng dengan pelan sembari mengayuh sampan. “Langit malam ini sangat bersih.”“Yaah!” Huang menghela napas dalam-dalam. Aroma amis dan asin garam cukup kuat yang ia rasakan. “Kita harus berhati-hati, Kakak. Ibuku berasal dari kawasan yang hampir sama dengan situasi di sini.”Feng sudah pernah mendengar tentang itu. Tentang, asal muasal ibu dari istrinya di salah satu desa yang ada di timur Tiongkok.“Ibuku pernah bilang,” lanjut Huang. “Jika laut berbau amis―dan aku juga melihat bahwa air laut ini sedikit keruh, maka, buaya akan lebih sering naik ke permukaan.”“Yaah!” Feng mengangguk saja meskipun dia belum tahu tentang itu.“Berhati-
“Dasar!” Huang mendengus pelan dengan membuang muka. “Tidak di sini, tidak di Tiongkok, semua orang sama saja. Kalau sudah menyangkut uang, sikap yang kasar berubah menjadi lembut. Tak peduli tua maupun muda.”“Sst!” Feng menahan tawa seraya menyenggol punggung sang istri dengan bahunya. “Tidak baik berkata seperti itu. Lagi pula, dia masih kecil dan sedang mencoba mengais rezeki dengan caranya sendiri. Yang terpenting, dia tidak mengambil hak orang lain.”“Ya, ya …” Huang mendesah halus sembari mengusap keningnya.“Baiklah, Adik Kecil,” kata Feng pada si remaja. “Jadi, dengan uang sebanyak itu, kau akan bersedia menjaga sampan kami, bukan?”Sang remaja terkekeh dengan melipat tangan ke dada.“Koko dan Cici tidak perlu khawatir,” ucapnya. “Aku akan menjaga sampan kalian dengan nyawaku.”Huang tidak bisa menahan senyumannya karena ucapan dan tingkah sang remaja, begitu pula dengan Feng yang mengusap kepala sang remaja dengan hangat.“Satu hal lagi,” kata Feng pada sang remaja. “Jika ak
“Jika tujuan kalian adalah Istana Minanga,” kata seorang perempuan paruh baya pada Feng dan Huang di sebuah jalan di tepi hutan, sisi selatan Teluk Meranti. “Maka kalian berdua hanya perlu pergi ke arah sana!”Pasangan muda-mudi melirik ke arah belakang mereka, arah selatan memasuki rimba belantara.Keduanya telah meninggalkan penginapan di tengah keramaian itu di awal pagi sebab tak ingin mengulur-ulur waktu untuk tujuan mereka. Dan tujuan itu kini berganti menjadi menemukan Guru Ma dan Daiyun sebab mereka yakin bahwa Haoren sedang mengincar kedua Biksu Budha tersebut.“Apakah kalian menggunakan kuda?”“Ah, tidak,” jawab Feng dengan sopan. “Kami hanya berjalan kaki saja.”“Hmm, begitu, ya?” perempuan paruh baya mengangguk-angguk. “Kalau kalian menggunakan kuda tanpa istirahat, aku rasa dalam dua hari kalian bisa tiba di Sungai Batang Kuantan. Setelah itu, kalian tinggal meneruskan ke hulu sungai itu dengan menggunakan perahu, dan kalian akan tiba di Istana Minanga dalam beberapa hari
Mendapat serangan bertubi-tubi dari tiga orang membuat sang pendekar akhirnya terjengkang.Seorang gadis manis menyaksikan perkelahian itu dari barisan para pedagang. Berbeda dengan para pedagang dan saudagar yang ketakutan dan cemas, sang gadis tampak terlihat jauh lebih tenang.Tidak hanya sang pendekar yang tadi saja yang bertumbangan ke tanah tapi juga dengan kesembilan temannya yang satu per satu terjengkang.“Habisi mereka!” teriak seorang di antara bertiga.Dan ketiganya lantas melompat dengan mengayunkan senjata masing-masing pada si pendekar pertama yang terjengkang tadi.Si gadis manis secara diam-diam menjentikkan jarinya sebanyak tiga kali.Syu! Syu! Syu!Tiga cahaya kuning pudar yang nyaris tak terlihat melesat sangat cepat, mematahkan setiap senjata di tangan ketiga penjahat, dan sekaligus membuat ketiganya terjengkang, terhempas keras ke tanah.“Si-Siapa?” teriak penjahat yang sama sembari mengedarkan pandangan dengan wajah pucat pasi. “Siapa yang membokong? Keluar, tun
“Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan
“Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J
“Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan
Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke
“Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan
Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,
“Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe
Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.
“Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n