Sore hari, ketika cuaca cukup teduh sebab sang mentari yang bersembunyi di balik awan, di langit barat, Feng dan Huang baru saja menjejakkan kaki mereka di kawasan Hengmei.“Kawasan ini tidak seramai di Shibei,” ucap Feng. “Tapi di sini punya panorama yang lebih indah.”Huang menatap sang kekasih lalu tersenyum.Feng mengernyit. “Kenapa?” tanyanya dengan lugu, lantas bergegas menyusul Huang. “Adik?”“Hengmei menghadap ke selatan, Kakak Feng,” jawab Huang. “Laut yang lebih luas. Sedangkan Shibei menghadap ke utara, ke daratan utama Tiongkok. Tentu saja, di sana jauh lebih ramai daripada di sini.”Feng tersenyum sembari menggaruk kepala yang tidak gatal. Dia mengiringi sang kekasih dari sisi kanan.“Semenjak tadi,” lanjut Huang sembari melirik ke sana kemari, pada orang-orang yang berlalu-lalang, atau pada pengunjung di beberapa kedai. “Kita belum mendapatkan satu informasi pun tentang Hoaren. Dan sebentar lagi, langit akan gelap.”Feng menghela napas dalam-dalam. “Ada baiknya kita menc
“Mari, Nona, Tuan Muda,” ucap si pelayan dengan sikap tubuh yang terlalu sopan. “Mari, ini kamar Anda berdua.”“Terima kasih,” Huang langsung memasuki kamar yang terlihat cukup tertata dengan rapi serta bersih itu.Feng menghela napas dalam-dalam. Beginilah wanita, pikirnya. Ada saja alasan untuk memarahi lelaki. Padahal aku tidak sengaja!Dia berpaling pada si pelayan. “Hei, A Feng.”“Iya, Tuan Muda?”“Bisakah engkau menyediakan air untuk kami membasuh muka?”“Tentu saja, Tuan Muda,” jawab A Feng. “Ada lagi yang hendak Anda pesan, mungkin? Kami punya arak wangi terbaik di sini, Tuan Muda.”“Begitu, ya?” Feng tersenyum. “Baiklah, sediakan juga buat kami barang seteko.”“Baiklah!”“Hei, ini uangmu,” Feng menyerahkan sejumlah koin berlubang pada sang pelayan.Sang pelayan tersenyum lebar ketika menerima jumlah uang yang melebihi harga seteko arak wangi yang ia tawarkan barusan.“Tuan Muda?”Feng menepuk bahu si pelayan. “Sudah, kau simpan saja selebihnya.”“Terima kasih,” si pelayan mem
Saat tiba di Haikou, Pulau Hainan―yang merupakan pulau kedua terbesar yang dimiliki negeri Tiongkok―Guru Ma bermaksud hendak langsung melanjutkan perjalanannya menuju Laut Melayu.“Guru, maafkan saya,” ujar seorang pelaut muda pada sang Biksu Budha dengan gestur yang sangat sopan. “Kapal terakhir telah berangkat beberapa saat yang lalu.”“Shan cai, shan cai,” Guru Ma menghela napas lebih dalam. “Anak Muda, apakah tidak ada kapal besar lainnya yang akan berangkat ke Laut Melayu?”Sang pemuda melirik ke sana kemari. Akan tetapi, sejauh dia mampu melihat, hanya kapal-kapal berukuran sedang dan bertiang dua saja yang terlihat di pelabuhan besar dan cukup sibuk itu.Dibutuhkan kapal yang lebih besar dan bertiang tiga untuk melanjutkan perjalanan ke Laut Melayu. Kapal yang lebih kuat dan menjelalah lebih tangguh, sebab laut luas memiliki ombak dan gelombang yang lebih besar.“Maafkan saya, Guru,” ujarnya. “Takutnya, Guru harus menunggu beberapa hari ke depan untuk kapal besar masuk ke Haiko
Pagi datang bersama deburan ombak yang memecah di tepian, tiada pernah bosan menyapa penghuni alam. Juga, pekik riang burung-burung camar yang berputar agung di angkasa.Kawasan di selatan Hengmei ini tidak sesibuk Shibei yang ada di sebelah utara Pulau Hailing. Meski demikian, masyarakat yang ada di pesisir itu sudah pun memulai kegiatan mereka sehari-hari sedari awal pagi.Begitu juga dengan Feng dan Huang. Mereka telah berada di luar penginapan dengan tubuh yang segar dan pakaian yang sudah rapi. Untuk sesaat, keduanya tampak ragu-ragu harus memulai pencarian dari arah yang mana satu.“Ini benar-benar menjengkelkan,” gumam Huang.“Begini saja,” ujar Feng. “Adik, kau pergilah ke arah timur dan aku akan ke arah barat. Ketika matahari tepat berada di atas kepala, kita bertemu lagi di titik ini. Bagaimana menurutmu?”Huang menghela napas lebih dalam. “Baiklah, begitu lebih cepat!”Feng mengangguk. “Berhati-hatilah, Adik,” lanjutnya. “Hoaren bukanlah penjahat amatiran. Dia seorang yang
Feng telah tiba sedari tadi di titik pertemuan itu, di dekat pantai, di selatan Hengmei. Tempat di mana dia dan sang kekasih berjanji untuk bertemu kembali begitu mentari telah berada di titik tertingginya.Sayangnya, meski sang mentari telah berada di singgasana tertingginya, namun Huang belum jua terlihat batang hidungnya. Dan itu membuat si Tuan Muda menjadi sedikit gelisah.“Kemana dia?” gumamnya sembari memandang ke sana kemari.Mungkin saja Huang tengah membeli sesuatu di kedai-kedai yang ada di sekitar sana, pikirnya.“Oh, Adik Huang, kenapa kau lama sekali?”Feng mengernyit memandang sang mentari yang telah sedikit bergeser dari titik tertingginya, dengan demikian, kekhawatirannya semakin meningkat.Dia ingin saja berlalu dari titik itu sebab tengah hari ini terasa cukup panas sehingga membuatnya kegerahan. Hanya saja, jika dia berpindah, maka dia takut Huang justru akan menganggapnya tidak bersungguh-sungguh dengan ucapan yang telah disepakati.Akan tetapi, begitu matanya men
Sementara Huang masih bimbang sebab mengejar Hoaren sama saja seperti mengejar bayangan yang tak pasti, Feng langsung membuat keputusan untuk segera menyusul ke Pulau Hainan.Dia mengangguk menanggapi si pria kedua. “Apakah kapal di sana itu adalah kapal Anda?”Pria kedua tersenyum dan menggeleng. “Sayangnya, tidak. Maaf, Anak Muda. Sepertinya kami tidak dapat membantumu untuk ke Hainan.”Feng menghela napas dalam-dalam. Baru saja dia seolah mendapatkan satu harapan, namun kemudian harapan itu memudar begitu saja bersama dengan ucapan si pria kedua.“Kakak,” ucap Huang dengan sedikit pelan pada Feng. “Apa kau yakin?”“Yaah …” jawab Feng dengan setengah nelangsa.Huang tersenyum sebab dia cukup mengerti apa yang sekarang sedang dirasakan kekasihnya itu. Dia mungkin sedikit kecewa dengan tidak adanya kapal menuju ke Hainan, pikirnya.Setidaknya, tidak sekarang.“Hei,” Huang menyentuh bahu sang kekasih. “Jika kau yakin, maka aku pasti akan bersamamu, ke mana pun kau pergi.”Feng tersenyu
Huang melangkah mondar-mandir di dermaga kayu itu. Sesekali, dia memandang ke arah belakang, arah hutan rindang di tepi pantai, lalu beralih memandangi sang rembulan yang telah berada di titik tertingginya.“Oh, demi para Dewa-Dewi di Istana Langit,” ucapnya dengan raut wajah setengah kesal, “apakah mereka jadi berangkat atau kita harus menunggu lagi sampai esok hari?”Feng membuka matanya dan tersenyum tipis. Dia sedang duduk tenang di satu bangku kayu di samping satu-satunya bangunan tak bersekat di dermaga tersebut.“Sabarlah, Adik Huang,” balasnya dengan lembut. “Kegelisahanmu tidak akan mengantarkan kita lebih jauh lagi daripada sekarang.”“Atau mungkin orang-orang di sore tadi itu berbohong pada kita?” Huang bertolak pinggang sembari memandang ke arah laut, lalu berpaling pada sang kekasih. “Berengsek!”“Tidak,” Feng menghela napas lebih dalam. “Kurasa tidak ada alasan bagi mereka untuk membohongi kita. Lagi pula, kita dan mereka tidak saling mengenal.”Kapal bertiang satu itu m
Yang Huajin melirik pada tangan Huang yang menutupi sesuatu itu dengan kening mengernyit.“Apa itu?” tanyanya dan lantas mereguk habis minuman di tangannya. “A Yin?”“Biaya atas tumpangan kami berdua,” jawab Huang.Yang Huajin terkekeh. Sementara Huang saling pandang dengan Feng.“Satu tael emas, hah?” Lagi, si pemilik kapal tertawa-tawa dengan gelengan kepala.“Jika kau merasa kurang,” kata Huang, “kami bersedia menambahkan satu tael emas lagi.”“Oh, tidak, tidak, A Yin,” ucap Yang Huajin. “Jangan salah menanggapiku. Aku tertawa sebab jarang-jarang ada yang memberiku uang sebanyak ini.”Feng dan Huang sama merasa lega.“Apa pun yang kalian kejar ke Hainan,” lanjut Yang Huajin seraya melirik pada Feng dan Huang bergantian. “Sepertinya sesuatu yang besar. Dan aku lebih baik tidak mengetahuinya.”Feng dan Huang kembali saling pandang. Intuisi si pemilik kapal ini sepertinya tidak bisa dianggap remeh.“Kami belum mengatakan apa-apa,” kata Huang. “Tapi―”Yang Huajin kembali mengangkat sat
“Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan
“Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J
“Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan
Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke
“Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan
Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,
“Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe
Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.
“Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n