Feng telah tiba sedari tadi di titik pertemuan itu, di dekat pantai, di selatan Hengmei. Tempat di mana dia dan sang kekasih berjanji untuk bertemu kembali begitu mentari telah berada di titik tertingginya.Sayangnya, meski sang mentari telah berada di singgasana tertingginya, namun Huang belum jua terlihat batang hidungnya. Dan itu membuat si Tuan Muda menjadi sedikit gelisah.“Kemana dia?” gumamnya sembari memandang ke sana kemari.Mungkin saja Huang tengah membeli sesuatu di kedai-kedai yang ada di sekitar sana, pikirnya.“Oh, Adik Huang, kenapa kau lama sekali?”Feng mengernyit memandang sang mentari yang telah sedikit bergeser dari titik tertingginya, dengan demikian, kekhawatirannya semakin meningkat.Dia ingin saja berlalu dari titik itu sebab tengah hari ini terasa cukup panas sehingga membuatnya kegerahan. Hanya saja, jika dia berpindah, maka dia takut Huang justru akan menganggapnya tidak bersungguh-sungguh dengan ucapan yang telah disepakati.Akan tetapi, begitu matanya men
Sementara Huang masih bimbang sebab mengejar Hoaren sama saja seperti mengejar bayangan yang tak pasti, Feng langsung membuat keputusan untuk segera menyusul ke Pulau Hainan.Dia mengangguk menanggapi si pria kedua. “Apakah kapal di sana itu adalah kapal Anda?”Pria kedua tersenyum dan menggeleng. “Sayangnya, tidak. Maaf, Anak Muda. Sepertinya kami tidak dapat membantumu untuk ke Hainan.”Feng menghela napas dalam-dalam. Baru saja dia seolah mendapatkan satu harapan, namun kemudian harapan itu memudar begitu saja bersama dengan ucapan si pria kedua.“Kakak,” ucap Huang dengan sedikit pelan pada Feng. “Apa kau yakin?”“Yaah …” jawab Feng dengan setengah nelangsa.Huang tersenyum sebab dia cukup mengerti apa yang sekarang sedang dirasakan kekasihnya itu. Dia mungkin sedikit kecewa dengan tidak adanya kapal menuju ke Hainan, pikirnya.Setidaknya, tidak sekarang.“Hei,” Huang menyentuh bahu sang kekasih. “Jika kau yakin, maka aku pasti akan bersamamu, ke mana pun kau pergi.”Feng tersenyu
Huang melangkah mondar-mandir di dermaga kayu itu. Sesekali, dia memandang ke arah belakang, arah hutan rindang di tepi pantai, lalu beralih memandangi sang rembulan yang telah berada di titik tertingginya.“Oh, demi para Dewa-Dewi di Istana Langit,” ucapnya dengan raut wajah setengah kesal, “apakah mereka jadi berangkat atau kita harus menunggu lagi sampai esok hari?”Feng membuka matanya dan tersenyum tipis. Dia sedang duduk tenang di satu bangku kayu di samping satu-satunya bangunan tak bersekat di dermaga tersebut.“Sabarlah, Adik Huang,” balasnya dengan lembut. “Kegelisahanmu tidak akan mengantarkan kita lebih jauh lagi daripada sekarang.”“Atau mungkin orang-orang di sore tadi itu berbohong pada kita?” Huang bertolak pinggang sembari memandang ke arah laut, lalu berpaling pada sang kekasih. “Berengsek!”“Tidak,” Feng menghela napas lebih dalam. “Kurasa tidak ada alasan bagi mereka untuk membohongi kita. Lagi pula, kita dan mereka tidak saling mengenal.”Kapal bertiang satu itu m
Yang Huajin melirik pada tangan Huang yang menutupi sesuatu itu dengan kening mengernyit.“Apa itu?” tanyanya dan lantas mereguk habis minuman di tangannya. “A Yin?”“Biaya atas tumpangan kami berdua,” jawab Huang.Yang Huajin terkekeh. Sementara Huang saling pandang dengan Feng.“Satu tael emas, hah?” Lagi, si pemilik kapal tertawa-tawa dengan gelengan kepala.“Jika kau merasa kurang,” kata Huang, “kami bersedia menambahkan satu tael emas lagi.”“Oh, tidak, tidak, A Yin,” ucap Yang Huajin. “Jangan salah menanggapiku. Aku tertawa sebab jarang-jarang ada yang memberiku uang sebanyak ini.”Feng dan Huang sama merasa lega.“Apa pun yang kalian kejar ke Hainan,” lanjut Yang Huajin seraya melirik pada Feng dan Huang bergantian. “Sepertinya sesuatu yang besar. Dan aku lebih baik tidak mengetahuinya.”Feng dan Huang kembali saling pandang. Intuisi si pemilik kapal ini sepertinya tidak bisa dianggap remeh.“Kami belum mengatakan apa-apa,” kata Huang. “Tapi―”Yang Huajin kembali mengangkat sat
“Tapi, tunggu dulu!” Hoaren mendelik memandangi si pemilik penginapan, lalu pada gadis pelayan di belakangnya. “Bagaimana kalian bisa tahu?”Kebingungan juga muncul di wajah si pemilik penginapan dan si gadis pelayan terhadap Hoaren sendiri.“Tuan Muda?”“Sebentar, sebentar!” Hoaren mengangkat satu tangan. “Apakah aku pernah mengatakan padamu,” deliknya pada wanita paruh baya berdandan sedikit menor itu, “bahwa aku sedang mencari seorang Biksu?”“Bukan mencari,” kata si pemilik penginapan. “Anda justru hendak menghindarinya, Tuan Muda.”Hoaren mengernyit lagi sembari memijit keningnya. Dia bahkan tidak bisa mengingat sama sekali kapan dia mengatakan hal semacam itu pada si pemilik penginapan.“Hei, hei, hei … Sepertinya ada yang salah di sini!”Wanita paruh baya tersenyum lebar. “Oh, Tuan Muda,” ujarnya. “Aku tidak akan heran jika Anda tidak mengingat ucapan Anda sendiri, Tuan Muda.”“Jadi, aku benar-benar mengatakan hal ini padamu?”“Bukan hanya padaku,” jawab si pemilik penginapan,
Pelayaran di atas kapal yang lebih besar tentu saja memberikan sensasi yang lebih menyenangkan dan lebih menenangkan. Alunan ombak yang mengguncang kapal tidak begitu terasa berbanding ketika berada di atas kapal yang lebih kecil.Meskipun perjalanan mereka bukanlah untuk bersenang-senang, bukan sebuah darmawisata, akan tetapi, mereka cukup menikmati ketenangan yang ada, terutama pada Huang yang belakangan suasana hatinya menjadi tak terlalu baik.Setidaknya, ada sekitar lima puluh penumpang di kapal itu, termasuk dengan Feng dan Huang sendiri, dan sekitar lima belas orang awak kapal beserta nakhodanya.Di geladak kapal, sebagian besar mereka sedang menikmati makanan dalam kelompok-kelompok kecil. Lainnya ada yang menikmati pemandang laut di siang hari, ada yang bersama kekasihnya, ada pula yang bersama anak-istri mereka.“Mungkin pria itu sudah berada di Hainan,” ucap Huang. “Mungkin pula dia telah menyeberang ke daratan lainnya.”“Adik―”“Yang ingin aku katakan adalah,” Huang meliri
Dari satu atap, Hoaren melompat lagi ke atap lainnya, dan berpindah lagi dengan gerakan yang sangat ringan, tanpa kesulitan. Dia sengaja memilih sisi yang sepi sehingga gerak-geriknya yang mencurigakan itu tidak diketahui oleh orang lain.Hoaren mengawasi kondisi di bawah. Dia melihat dua biksu muda sedang menuju ke sebuah kuil yang berada paling belakang. Dua biksu muda masing-masing membawa kain bersih yang terlipat dengan baik.Dia tersenyum, menunggu kedua biksu muda memasuki kuil di belakang, dan kemudian melompat lagi dengan ilmu meringankan tubuhnya yang baik hingga dia menjejakkan kakinya di atap kuil itu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.Hoaren mencari celah agar dapat melihat bagian dalam kuil atau setidaknya, mendengar pembicaraan di dalam.“Guru Ma,” ujar seorang tetua kuil dengan sedikit membungkukkan badan.Dari segi usia, dia jelas lebih tua daripada Guru Ma sendiri. Akan tetapi, soal pendalaman ilmu Sutra, Guru Ma jelas lebih unggul.“Perjalanan menuju Laut Melayu
“Anak Muda!” Tetua kedua melesat dengan satu cakar terjulur pada Hoaren.Teph!Cakar itu hinggap di bahu kanan Hoaren. Akan tetapi, dia sudah bersiap untuk itu sehingga cakar sang tetua tidak mampu menembus pertahanan tenaga dalamnya.Desg!Sebaliknya, dengan menggeser sedikit bahunya, Hoaren telah mampu memaksa tetua kedua menjauh dan dia sendiri melompat dua langkah ke belakang.“Kau!” Tetua kedua tertegun. “Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau menguasai jurus-jurus Shaolin?”Hoaren menyeringai sementara dua biksu muda dengan toya dan sepasang ruyung terlihat ragu-ragu, berdiri di belakang tetua kedua.“Benar!” sahut biksu muda bertoya sembari menunjuk Hoaren. “Kau mengalahkan adik kami dengan jurus Tinju Baju Besi. Dari mana kau mempelajari itu?!”Hoaren menyeringai dan berkata, “Aku tidak perlu menjawab keingintahuan kalian.”“Lancang!” hardik biksu muda dengan sepasang ruyung di tangannya.“Lagi pula,” lanjut Hoaren tanpa menghiraukan si biksu muda. “Bukan hanya Shaolin saja yang pun
“Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan
“Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J
“Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan
Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke
“Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan
Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,
“Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe
Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.
“Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n