Fatma merasa bersalah atas sikapnya sendiri. Dia tidak habis pikir jika akhir-akhir ini mulutnya lebih sering mengatakan kata-kata pedas terhadap Omar. Pria berhati tulus yang tidak semestinya dipelakukan demikian. Justru berkat Omar-lah Fatma masih bisa menghirup udara kebebasan hingga detik ini. Jika tidak memiliki perasaan yang sama seperti yang Omar miliki, paling tidak dia bisa bersikap baik dengan pria itu.
Tidak, Fatma merasa pasti ada yang salah dengan kepribadiannya dan sungguh, dia membenci itu. Sikap yang muncul entah sejak kapan. Namun, dia menyadari perubahan emosionalnya hadir seiring waktu di mana ia berkali-kali disakiti orang-orang terdekat. Kemana hilangnya sikap lemah lembut yang selalu menjadi ciri khas Fatma? Fatma ingin melawan rasa itu. Rasa yang membuatnya selalu merasa benci melihat sosok pria.
Sekian lama wanita itu merenung hingga tanpa terasa langit Paris berangsur-angsur menghitam. Dia berkali-kali keluar masuk kamar hanya untuk memeriksa
"Anda bisa membawa istri Anda ke tempat-tempat yang indah untuk menghilangkan traumanya," ucap dokter yang menangani masalah gangguan emosional Fatma. "Kamu dengar itu Fatma? Bagaimana jika kita mencobanya?" Tatapan sayang Omar berikan untuk wanita di sampingnya. Entah sejak kapan, rasa nyaman semakin menjadi-jadi dirasakan oleh Fatma terhadap perhatian yang diberikan oleh Omar. Dia mengangguk, membiarkan Omar menggenggam tangannya ke luar ruang konsultasi. Tidak ada penolakan lagi, tidak ada kata-kata ketus lagi. Sepertinya wanita itu berhasil untuk mengontrol dirinya sendiri. Karena dia tahu sikapnya selama ini salah, meskipun Omar selalu mendapatkan sikap buruk darinya selalu memaklumi dan tetap bersabar. Setelah membelah jalanan sejak kepulangan mereka dari klinik konsultasi, Omar membawa Fatma ke Jembatan Les Pont des Art, tempat di mana setiap pasangan kekasih biasanya datang untuk menautkan gembok cinta ke sisi pagar jembatan. Namun, sayangnya, saa
Malam telah mendekap bumi sepenuhnya. Kembali ke mansion adalah sebuah pilihan yang masuk akal, terlebih lagi Fatma sudah tidak memungkinkan untuk dibawa ke tempat lain sementara dirinya sudah tertidur lelap. Omar memperhatikan wajah Fatma yang terlelap di kursi penumpang. Bola mata besarnya menonjol, terkesan seperti sedang mengintip di balik kelopak mata yang sedikit terbuka, dan dipagari rambut-rambut halus yang tumbuh melengkung di sana. Omar terkekeh mengingat bagaimana wanita itu berada di atas gendongannya tadi. Entah sadar atau tidak, Fatma menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Omar sambil mengeratkan pelukan di leher pria itu. Namun dengan mata yang terpejam dan napas tenang seperti itu, Omar yakin jika reaksi tubuh Fatma menunjukkan insting semata. Omar menyibak rambut Fatma yang terserak hampir menutupi setengah wajahnya. Memandangi sejenak wanita yang akan menjadi istrinya itu. Satu-satunya wanita yang pernah hadir di dalam hidupnya. Atau ... mungkin menja
Sejak dua minggu pekerjaan di Perusahaan Ahbity Group sedikit terbengkalai karena salah satu petingginya disibukkan dengan urusan pribadi. Ya, sudah dua minggu berlalu Omar berusaha menemukan pendonor jantung untuk saudara kembarnya, Omran. Kini tiba saatnya ia harus kembali fokus dengan kemajuan perusahaan, meskipun pada kenyataannya pikiran Omar masih saja mengkhawatirkan nasib Omran di masa mendatang. Namun kehadiran Fatma seolah menjadi penyejuk di saat-saat suasana hatinya tidak nyaman. Sebagai seorang pimpinan, Omar terkenal dengan sikap ramah terhadap semua karyawannya. Meski mereka berasal dari jabatan terendah sekalipun. Beda halnya dengan Omran, yang terkenal dengan sebutan pria berwajah datar di kalangan karyawan-karyawan yang gemar bergosip. Pria itu bahkan sangat jarang terlihat mengurusi perusahaan. Seperti hari ini, Omar tak sekalipun menemukan kehadiran saudara kembarnya di dalam ruang rapat direksi. Padahal, di saat seperti itu semestinya Omran hadir bagaima
"F-fatma ... jangan salah paham. A-aku ..." Omar berusaha meraih tangan Fatma, namun Fatma menolak dengan mengibaskan tangannya. "Makan siangmu, aku sangaja membuatkannya. Ah, ya... Aku baru tahu kamu sudah punya makan siang yang lebih nikmat." Fatma menunjuk papper bag yang sempat ditinggalkan Sabrina di atas meja. Namun, matanya justru menelisik dada Omar yang terekspos dan sangat terlihat jelas terdapat sisa kecupan kemerahan yang sempat ditinggalkan Sabrina di sana. Entah apa maksud dari kata 'nikmat' yang Fatma ucapkan. Mungkin saja itu adalah sebuah sindiran untuk Omar, jika dia mengerti. Senyum miring dia tunjukkan kepada Omar, "Sebaiknya aku pulang sekarang." "Fatma!" Omar ingin meluruskan kesalah pahaman yang baru saja terjadi, akan tetapi tenggorokannya terasa kering dan lidahnya terasa kaku. Tidak ada reaksi yang ditunjukkan Fatma seperti wanita-wanita kebanyakan. Wanita yang biasanya marah atau mengamuk setelah menyaks
Di dalam ruang CEO. Omar merapikan penampilannya yang sempat terlihat acak-acakan. Di depan kaca yang berada di dalam toilet pribadinya, dia mengamati tanda kemerahan yang diberikan oleh Sabrina. Brak!!! "Breng**k!" Omar meninju cermin dan mengumpat dengan keras. Urat-urat di wajahnya menegang. Dia yakin jika Fatma sudah melihat tanda kemerahan itu dengan jelas. Dan pastinya wanita itu akan semakin salah paham. Semakin dilanda rasa frustasi, Omar menjambak rambutnya dan merutuki kebodohannya yang tidak mampu mengelak dari godaan Sabrina. Dia membasuh wajah yang seolah terasa panas akibat terbakar amarah, untuk memberikan sedikit efek sejuk. Dengan langkah tak bersemangat dia kemudian kembali ke ruang kerja dan menemukan Omran sudah duduk di atas sofa dengan begitu santai. Melihat siluet Omar yang semakin jelas, Omran kembali memperhatikan raut wajah Omar yang matanya terlihat memerah. Ini untuk pertama kalinya Omar menampakkan raut wajah seper
"Kamu marah padaku? Marahlah, tapi aku bisa buktikan bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah, Fatma," rungut Omar. Ekor mata Fatma melirik ke arah Omar untuk beberapa detik, "Aku tidak ada sangkut pautnya dengan kisah asmaramu bersama karyawanmu itu. Lagi pula kita tidak punya hubungan yang kuat. Ingat, aku tidak pernah bilang jika aku mencintaimu, bukan? Jadi, apa aku punya alasan untuk marah? Aku memukulmu karena kamu yang meminta." Fatma menyentuhkan ujung jari telunjuk tepat di dada bidang Omar. Omar menatapnya penuh harap agar wanitanya itu mau sedikit saja memberinya kesempatan. Dia hanya ingin membuktikan bahwa kejadian yang dilihat Fatma sesungguhnya tidak seperti yang wanita itu pikirkan. Namun, hatinya bagai tercubit ketika wanita itu mengatakan sebuah kenyataan bahwa memang benar Fatma tidak pernah mengatakan bahwa dirinya mencintai Omar. Omar menunjukkan rekaman CCTV yang berada di tangannya. Meski enggan, Fatma mau tidak mau tetap menyaksikan rekaman
Pagi ini Omran datang ke kantor dalam keadaan kantung mata menghitam. Akan tetapi hal itu tidak terlalu berpengaruh dengan ketampanannya. Semalam dia memutuskan untuk pergi ke club malam untuk mencari hiburan. Melampiaskan kekesalannya atas sikap Omar yang dirasa berubah sejak kehadiran Fatma. Bagi Omran, menjejakkan kaki ke dunia malam seperti itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa lebih nyaman. Seolah adegan slow motion, pagi itu Omran berpapasan dengan Omar yang sedang merangkul Fatma dengan mesra. Mereka sama-sama menoleh ketika bahu keduanya hampir berbenturan. Ini pertama kalinya bagi Fatma menyaksikan kedua saudara kembar itu secara bersamaan. Dia cukup takjub dengan apa yang dia lihat. Hampir saja tidak bisa membedakan keduanya, jika tidak melihat warna mata yang unik milik Omran. Namun, sepertinya ada yang salah dengan sikap kedua bersaudara itu. Mereka saling menunjukkan tatapan permusuhan, sehingga Fatma tidak sedikitpun berani untuk
Sabrina ke luar dari ruang CEO dengan wajah berantakan. Dia merasa kalah telak dengan seseorang yang sudah dia remehkan. Tadinya, Sabrina berpikir jika Fatma hanyalah kerabat jauh dari keluarga Ahbity. Meskipun tidak memungkiri kecantikan Fatma, bagi Sabrina penampilan Fatma tidak mungkin membuat Omar tertarik. Tadi pagi secara tidak sengaja Sabrina mendengar desas desus dari para karyawan yang berkumpul. Mereka membahas tentang Omar yang kedapatan sedang merangkul wanita muda di loby. Wanita itu adalah wanita yang kemarin sempat menjadi pusat perhatian. Saat itu juga Sabrina yakin jika wanita yang dimaksud adalah Fatma. Wanita yang dia curigai sejak kejadian di mana dia mencumbui Omar kemarin. Dia semakin merasa terbakar saat Omar justru membela Fatma di hadapannya. "Hallo, Tante [........................]" senyum smirk terbit di wajah Sabrina. Matanya menyipit setelah panggilan telpon yang dia lakukan berakhir. *** Di dalam ruang CEO.