"F-fatma ... jangan salah paham. A-aku ..." Omar berusaha meraih tangan Fatma, namun Fatma menolak dengan mengibaskan tangannya.
"Makan siangmu, aku sangaja membuatkannya. Ah, ya... Aku baru tahu kamu sudah punya makan siang yang lebih nikmat." Fatma menunjuk papper bag yang sempat ditinggalkan Sabrina di atas meja. Namun, matanya justru menelisik dada Omar yang terekspos dan sangat terlihat jelas terdapat sisa kecupan kemerahan yang sempat ditinggalkan Sabrina di sana. Entah apa maksud dari kata 'nikmat' yang Fatma ucapkan. Mungkin saja itu adalah sebuah sindiran untuk Omar, jika dia mengerti.
Senyum miring dia tunjukkan kepada Omar, "Sebaiknya aku pulang sekarang."
"Fatma!" Omar ingin meluruskan kesalah pahaman yang baru saja terjadi, akan tetapi tenggorokannya terasa kering dan lidahnya terasa kaku.
Tidak ada reaksi yang ditunjukkan Fatma seperti wanita-wanita kebanyakan. Wanita yang biasanya marah atau mengamuk setelah menyaks
Di dalam ruang CEO. Omar merapikan penampilannya yang sempat terlihat acak-acakan. Di depan kaca yang berada di dalam toilet pribadinya, dia mengamati tanda kemerahan yang diberikan oleh Sabrina. Brak!!! "Breng**k!" Omar meninju cermin dan mengumpat dengan keras. Urat-urat di wajahnya menegang. Dia yakin jika Fatma sudah melihat tanda kemerahan itu dengan jelas. Dan pastinya wanita itu akan semakin salah paham. Semakin dilanda rasa frustasi, Omar menjambak rambutnya dan merutuki kebodohannya yang tidak mampu mengelak dari godaan Sabrina. Dia membasuh wajah yang seolah terasa panas akibat terbakar amarah, untuk memberikan sedikit efek sejuk. Dengan langkah tak bersemangat dia kemudian kembali ke ruang kerja dan menemukan Omran sudah duduk di atas sofa dengan begitu santai. Melihat siluet Omar yang semakin jelas, Omran kembali memperhatikan raut wajah Omar yang matanya terlihat memerah. Ini untuk pertama kalinya Omar menampakkan raut wajah seper
"Kamu marah padaku? Marahlah, tapi aku bisa buktikan bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah, Fatma," rungut Omar. Ekor mata Fatma melirik ke arah Omar untuk beberapa detik, "Aku tidak ada sangkut pautnya dengan kisah asmaramu bersama karyawanmu itu. Lagi pula kita tidak punya hubungan yang kuat. Ingat, aku tidak pernah bilang jika aku mencintaimu, bukan? Jadi, apa aku punya alasan untuk marah? Aku memukulmu karena kamu yang meminta." Fatma menyentuhkan ujung jari telunjuk tepat di dada bidang Omar. Omar menatapnya penuh harap agar wanitanya itu mau sedikit saja memberinya kesempatan. Dia hanya ingin membuktikan bahwa kejadian yang dilihat Fatma sesungguhnya tidak seperti yang wanita itu pikirkan. Namun, hatinya bagai tercubit ketika wanita itu mengatakan sebuah kenyataan bahwa memang benar Fatma tidak pernah mengatakan bahwa dirinya mencintai Omar. Omar menunjukkan rekaman CCTV yang berada di tangannya. Meski enggan, Fatma mau tidak mau tetap menyaksikan rekaman
Pagi ini Omran datang ke kantor dalam keadaan kantung mata menghitam. Akan tetapi hal itu tidak terlalu berpengaruh dengan ketampanannya. Semalam dia memutuskan untuk pergi ke club malam untuk mencari hiburan. Melampiaskan kekesalannya atas sikap Omar yang dirasa berubah sejak kehadiran Fatma. Bagi Omran, menjejakkan kaki ke dunia malam seperti itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa lebih nyaman. Seolah adegan slow motion, pagi itu Omran berpapasan dengan Omar yang sedang merangkul Fatma dengan mesra. Mereka sama-sama menoleh ketika bahu keduanya hampir berbenturan. Ini pertama kalinya bagi Fatma menyaksikan kedua saudara kembar itu secara bersamaan. Dia cukup takjub dengan apa yang dia lihat. Hampir saja tidak bisa membedakan keduanya, jika tidak melihat warna mata yang unik milik Omran. Namun, sepertinya ada yang salah dengan sikap kedua bersaudara itu. Mereka saling menunjukkan tatapan permusuhan, sehingga Fatma tidak sedikitpun berani untuk
Sabrina ke luar dari ruang CEO dengan wajah berantakan. Dia merasa kalah telak dengan seseorang yang sudah dia remehkan. Tadinya, Sabrina berpikir jika Fatma hanyalah kerabat jauh dari keluarga Ahbity. Meskipun tidak memungkiri kecantikan Fatma, bagi Sabrina penampilan Fatma tidak mungkin membuat Omar tertarik. Tadi pagi secara tidak sengaja Sabrina mendengar desas desus dari para karyawan yang berkumpul. Mereka membahas tentang Omar yang kedapatan sedang merangkul wanita muda di loby. Wanita itu adalah wanita yang kemarin sempat menjadi pusat perhatian. Saat itu juga Sabrina yakin jika wanita yang dimaksud adalah Fatma. Wanita yang dia curigai sejak kejadian di mana dia mencumbui Omar kemarin. Dia semakin merasa terbakar saat Omar justru membela Fatma di hadapannya. "Hallo, Tante [........................]" senyum smirk terbit di wajah Sabrina. Matanya menyipit setelah panggilan telpon yang dia lakukan berakhir. *** Di dalam ruang CEO.
Omar mondar-mandir di depan ruang UGD dalam keadaan panik. Mulutnya terlihat sedang merapalkan sesuatu dengan kedua tangan yang mengepal. Dia berharap keadaan Fatma dan janinnya baik-baik saja. Ceklek ... Pintu ruang unit gawat darurat terbuka, menampilkan dua orang tenaga kesehatan mengenakan seragam putih yang kemudian menghampiri Omar. "Tuan, istri Anda harus segera mendapatkan tindakan operasi. Plasentanya pecah dan harus segera diangkat secepat mungkin. Jika tidak, bisa membahayakan nyawanya. Kami memohon maaf sebesar-besarnya karena tidak bisa menyelamatkan bayi yang dia kandung," ucap salah satu perawat. "Kami membutuhkan tanda tangan Anda untuk menyetujui tindakan yang akan kami lakukan." Perawat yang lain ikut menimpali. *** "Omar!" Dari arah koridor terlihat Nyonya Adeline berjalan dengan langkah cepat menghampiri keberadaan Omar. Wajah tuanya terlihat panik, namun masih terlihat aura kecantikannya yang mendominasi. Pantas saja kedua
Di tempat yang berbeda. Brukkk! Seorang wanita terjerembab dan menjatuhkan barang-barang yang dia bawa hingga berserakan di permukaan halaman parkir. Sejak keluar dari taksi, di bahkan tidak memperhatikan langkahnya. Kepalanya mendongak kagum ke arah puncak gedung rumah sakit yang tinggi menjulang. Di sanalah dia akan ditugaskan, setelah sebelumnya bekerja di rumah sakit yang lebih kecil. Tapi ... Jika diamati sekali lagi, kejadian itu bukanlah keteledorannya. Seseorang yang berjalan lebih cepat dari arah berlawananlah yang tiba-tiba menyenggol bahunya dengan keras. Wanita itu adalah Soraya. Ini adalah hari di mana ia harus menyerahkan berkas yang berisikan surat kontrak kerja untuk dapat bertugas di rumah sakit terbesar di kota Paris. Karena besok pagi adalah hari pertamanya untuk memulai karir di tempat itu. Dia berdiri sesaat setelah barang-barang yang jatuh berserakan itu dikumpulkan. Sejenak Soraya mengamati wajah pria yang sudah menabraknya. Dia
Suara jam dinding berdetak tak ubahnya seperti degup jantung. Detik demi detik yang dilalui membuat Omar merasakan resah karena sampai saat ini Fatma masih enggan membuka matanya. Omar memilih untuk tidak tidur malam ini. Dia takut jika ia bangun nanti, Fatma pergi meninggalkannya. Berkali-kali dia mengajak Fatma berbicara. Berharap jika wanita itu bersedia untuk merespon. Berulang kali dia memastikan dengan bertanya kepada dokter yang mengunjungi Fatma di ruang perawatan. Namun jawabannya tetap sama, Omar hanya perlu menunggu dan berdoa, tak lupa disarankan agar selalu mengajak Fatma berkomunikasi meskipun wanita itu tidak bereaksi sama sekali. Keesokan harinya. "Tolong pastikan agar bukti-bukti yang kamu kumpulkan tetap terjaga keamanannya. Saya tidak bisa ke kantor sebelum Fatma sadar. Jadi tolong kamu dan Lorenz segera temui saya di rumah sakit," perintah Omar kepada sekretarisnya melalui sambungan telepon. "Chips ... chips itu sudah berada pada t
*** Sabrina seketika panik setelah melakukan panggilan dengan Meryem. Apa yang dikatakan Meryem cukup masuk akal dan mengganggu pikirannya. Dia memutuskan untuk menemui Nyonya Adeline di kediaman Ahbity. "Aku tidak bisa menolak keinginan putraku sendiri, ini semua tidak akan terjadi jika bukan kamu yang memulai," ucap Nyonya Adeline setelah Sabrina berusaha untuk meyakinkan wanita itu, untuk tetap mempertimbangkan perjodohan antara Omar dengan dirinya. "... Terus terang aku kecewa padamu Sabrina. Omar memang bersalah karena diam-diam merahasiakan hubungan dengan wanita yang tidak aku kenal, tapi bukan berarti kamu bisa menyakitinya. Apa lagi, dia sedang mengandung," sindirnya. "Tapi, Tante aku mencintai Omar. Bukankah aku sudah mencoba untuk mengklarifikasi berita yang sudah beredar di luaran sana?" Sabrina mengucapkan kata-kata itu seolah-olah bersikap bak pahlawan. Tanpa dia sadari jika Nyonya Adeline begitu muak akan kehadirannya. Wanita be