Di dalam ruang CEO.
Omar merapikan penampilannya yang sempat terlihat acak-acakan. Di depan kaca yang berada di dalam toilet pribadinya, dia mengamati tanda kemerahan yang diberikan oleh Sabrina.
Brak!!!
"Breng**k!" Omar meninju cermin dan mengumpat dengan keras. Urat-urat di wajahnya menegang. Dia yakin jika Fatma sudah melihat tanda kemerahan itu dengan jelas. Dan pastinya wanita itu akan semakin salah paham. Semakin dilanda rasa frustasi, Omar menjambak rambutnya dan merutuki kebodohannya yang tidak mampu mengelak dari godaan Sabrina.
Dia membasuh wajah yang seolah terasa panas akibat terbakar amarah, untuk memberikan sedikit efek sejuk. Dengan langkah tak bersemangat dia kemudian kembali ke ruang kerja dan menemukan Omran sudah duduk di atas sofa dengan begitu santai.
Melihat siluet Omar yang semakin jelas, Omran kembali memperhatikan raut wajah Omar yang matanya terlihat memerah. Ini untuk pertama kalinya Omar menampakkan raut wajah seper
"Kamu marah padaku? Marahlah, tapi aku bisa buktikan bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah, Fatma," rungut Omar. Ekor mata Fatma melirik ke arah Omar untuk beberapa detik, "Aku tidak ada sangkut pautnya dengan kisah asmaramu bersama karyawanmu itu. Lagi pula kita tidak punya hubungan yang kuat. Ingat, aku tidak pernah bilang jika aku mencintaimu, bukan? Jadi, apa aku punya alasan untuk marah? Aku memukulmu karena kamu yang meminta." Fatma menyentuhkan ujung jari telunjuk tepat di dada bidang Omar. Omar menatapnya penuh harap agar wanitanya itu mau sedikit saja memberinya kesempatan. Dia hanya ingin membuktikan bahwa kejadian yang dilihat Fatma sesungguhnya tidak seperti yang wanita itu pikirkan. Namun, hatinya bagai tercubit ketika wanita itu mengatakan sebuah kenyataan bahwa memang benar Fatma tidak pernah mengatakan bahwa dirinya mencintai Omar. Omar menunjukkan rekaman CCTV yang berada di tangannya. Meski enggan, Fatma mau tidak mau tetap menyaksikan rekaman
Pagi ini Omran datang ke kantor dalam keadaan kantung mata menghitam. Akan tetapi hal itu tidak terlalu berpengaruh dengan ketampanannya. Semalam dia memutuskan untuk pergi ke club malam untuk mencari hiburan. Melampiaskan kekesalannya atas sikap Omar yang dirasa berubah sejak kehadiran Fatma. Bagi Omran, menjejakkan kaki ke dunia malam seperti itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa lebih nyaman. Seolah adegan slow motion, pagi itu Omran berpapasan dengan Omar yang sedang merangkul Fatma dengan mesra. Mereka sama-sama menoleh ketika bahu keduanya hampir berbenturan. Ini pertama kalinya bagi Fatma menyaksikan kedua saudara kembar itu secara bersamaan. Dia cukup takjub dengan apa yang dia lihat. Hampir saja tidak bisa membedakan keduanya, jika tidak melihat warna mata yang unik milik Omran. Namun, sepertinya ada yang salah dengan sikap kedua bersaudara itu. Mereka saling menunjukkan tatapan permusuhan, sehingga Fatma tidak sedikitpun berani untuk
Sabrina ke luar dari ruang CEO dengan wajah berantakan. Dia merasa kalah telak dengan seseorang yang sudah dia remehkan. Tadinya, Sabrina berpikir jika Fatma hanyalah kerabat jauh dari keluarga Ahbity. Meskipun tidak memungkiri kecantikan Fatma, bagi Sabrina penampilan Fatma tidak mungkin membuat Omar tertarik. Tadi pagi secara tidak sengaja Sabrina mendengar desas desus dari para karyawan yang berkumpul. Mereka membahas tentang Omar yang kedapatan sedang merangkul wanita muda di loby. Wanita itu adalah wanita yang kemarin sempat menjadi pusat perhatian. Saat itu juga Sabrina yakin jika wanita yang dimaksud adalah Fatma. Wanita yang dia curigai sejak kejadian di mana dia mencumbui Omar kemarin. Dia semakin merasa terbakar saat Omar justru membela Fatma di hadapannya. "Hallo, Tante [........................]" senyum smirk terbit di wajah Sabrina. Matanya menyipit setelah panggilan telpon yang dia lakukan berakhir. *** Di dalam ruang CEO.
Omar mondar-mandir di depan ruang UGD dalam keadaan panik. Mulutnya terlihat sedang merapalkan sesuatu dengan kedua tangan yang mengepal. Dia berharap keadaan Fatma dan janinnya baik-baik saja. Ceklek ... Pintu ruang unit gawat darurat terbuka, menampilkan dua orang tenaga kesehatan mengenakan seragam putih yang kemudian menghampiri Omar. "Tuan, istri Anda harus segera mendapatkan tindakan operasi. Plasentanya pecah dan harus segera diangkat secepat mungkin. Jika tidak, bisa membahayakan nyawanya. Kami memohon maaf sebesar-besarnya karena tidak bisa menyelamatkan bayi yang dia kandung," ucap salah satu perawat. "Kami membutuhkan tanda tangan Anda untuk menyetujui tindakan yang akan kami lakukan." Perawat yang lain ikut menimpali. *** "Omar!" Dari arah koridor terlihat Nyonya Adeline berjalan dengan langkah cepat menghampiri keberadaan Omar. Wajah tuanya terlihat panik, namun masih terlihat aura kecantikannya yang mendominasi. Pantas saja kedua
Di tempat yang berbeda. Brukkk! Seorang wanita terjerembab dan menjatuhkan barang-barang yang dia bawa hingga berserakan di permukaan halaman parkir. Sejak keluar dari taksi, di bahkan tidak memperhatikan langkahnya. Kepalanya mendongak kagum ke arah puncak gedung rumah sakit yang tinggi menjulang. Di sanalah dia akan ditugaskan, setelah sebelumnya bekerja di rumah sakit yang lebih kecil. Tapi ... Jika diamati sekali lagi, kejadian itu bukanlah keteledorannya. Seseorang yang berjalan lebih cepat dari arah berlawananlah yang tiba-tiba menyenggol bahunya dengan keras. Wanita itu adalah Soraya. Ini adalah hari di mana ia harus menyerahkan berkas yang berisikan surat kontrak kerja untuk dapat bertugas di rumah sakit terbesar di kota Paris. Karena besok pagi adalah hari pertamanya untuk memulai karir di tempat itu. Dia berdiri sesaat setelah barang-barang yang jatuh berserakan itu dikumpulkan. Sejenak Soraya mengamati wajah pria yang sudah menabraknya. Dia
Suara jam dinding berdetak tak ubahnya seperti degup jantung. Detik demi detik yang dilalui membuat Omar merasakan resah karena sampai saat ini Fatma masih enggan membuka matanya. Omar memilih untuk tidak tidur malam ini. Dia takut jika ia bangun nanti, Fatma pergi meninggalkannya. Berkali-kali dia mengajak Fatma berbicara. Berharap jika wanita itu bersedia untuk merespon. Berulang kali dia memastikan dengan bertanya kepada dokter yang mengunjungi Fatma di ruang perawatan. Namun jawabannya tetap sama, Omar hanya perlu menunggu dan berdoa, tak lupa disarankan agar selalu mengajak Fatma berkomunikasi meskipun wanita itu tidak bereaksi sama sekali. Keesokan harinya. "Tolong pastikan agar bukti-bukti yang kamu kumpulkan tetap terjaga keamanannya. Saya tidak bisa ke kantor sebelum Fatma sadar. Jadi tolong kamu dan Lorenz segera temui saya di rumah sakit," perintah Omar kepada sekretarisnya melalui sambungan telepon. "Chips ... chips itu sudah berada pada t
*** Sabrina seketika panik setelah melakukan panggilan dengan Meryem. Apa yang dikatakan Meryem cukup masuk akal dan mengganggu pikirannya. Dia memutuskan untuk menemui Nyonya Adeline di kediaman Ahbity. "Aku tidak bisa menolak keinginan putraku sendiri, ini semua tidak akan terjadi jika bukan kamu yang memulai," ucap Nyonya Adeline setelah Sabrina berusaha untuk meyakinkan wanita itu, untuk tetap mempertimbangkan perjodohan antara Omar dengan dirinya. "... Terus terang aku kecewa padamu Sabrina. Omar memang bersalah karena diam-diam merahasiakan hubungan dengan wanita yang tidak aku kenal, tapi bukan berarti kamu bisa menyakitinya. Apa lagi, dia sedang mengandung," sindirnya. "Tapi, Tante aku mencintai Omar. Bukankah aku sudah mencoba untuk mengklarifikasi berita yang sudah beredar di luaran sana?" Sabrina mengucapkan kata-kata itu seolah-olah bersikap bak pahlawan. Tanpa dia sadari jika Nyonya Adeline begitu muak akan kehadirannya. Wanita be
Di ruang perawatan Lotus. "Jika mama tidak salah duga, yang menghubungimu barusan adalah Sabrina, bukan?" "Ck ... bagaimana bisa Papamu dulu mau saja membuat kesepakatan konyol itu. Mama tidak bisa membayangkan apa jadinya keluarga kita jika kamu atau Omran menikahi wanita ular itu." "Maaf, Ma sudah membuat keluarga kita harus berurusan dengan keluarga Benmoussa. Aku yakin sebentar lagi akan ada utusan dari Maroko yang datang menemui kita. Tapi Mama jangan khawatir, aku sudah mempersiapkan bukti yang kuat." "Mama sudah lama tidak melewati tantangan hidup. Jadi kali ini anggap saja mama sedang bernostalgia." Nyonya Adeline terkekeh, dia teringat peristiwa di masa lalu saat hubungannya dengan sang suami mendapatkan pertentangan dari kedua belah pihak keluarga. Akan tetapi mereka tetap berhasil bersatu hingga melewati banyak ujian dan sampai ke titik ini. Titik di mana mereka bisa membuktikan bahwa mereka berdua bukan hanya memiliki keluarga bahagi
Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh ... Salam Sejahtera ... Dear, Sahabat Readers. Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti kisah FATMA BOUSSETTA ini dari awal hingga akhir. Semoga ada banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari kisah ini. Kisah ini sebagian besar diambil dari kisah nyata kehidupan milik mertua Author yang berasal dari Negara Maroko (Maghriby). Fatma Boussetta kini sudah berusia 87 tahun dan masih terlihat bugar, meskipun saat ini hidupnya ditunjang dengan pacemaker (sebuah alat pacu jantung yang menggunakan tenaga baterai yang ditanamkan melalui pembedahan ke dalam dada). Mohon kiranya Sahabat Readers berkenan meluangkan waktu untuk memberikan doa kepada beliau agar memiliki kesehatan serta umur yang panjang. Kisah ini sudah mendapatkan persetujuan dari beliau untuk dipublikasikan oleh Author. Semoga para Sahabat Readers menyukai kisah ini dan jangan lupa untuk terus memberikan dukungan d
"Maju satu langkah lagi, maka aku akan melenyapkan nyawa istrimu." Tuan Gamal memberikan ancaman yang serius. Ujung kayu itu sudah menyentuh perut tawanannya. Dia siap menghujamkan benda itu jika dirinya merasa terancam. Salah satu penjaga mendekati Tuan Gamal, kemudian membisikkan sesuatu. "Bagus, kau sudah menyiapkan helikopter itu." Tuan Gamal tersenyum puas, dengan satu kibasan tangan dia mengisyaratkan penjaga itu untuk berdiri tepat di belakang tubuh tawanannya. "Brengs**k!" umpat Omran. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain mengikuti kemauan Tuan Gamal. "Jangan banyak mengulur waktu, lepaskan cucuku sekarang juga!" ucap Tuan Besar Benmoussa. Matanya melirik ke arah wanita yang bersimbah darah terduduk dan terikat di kursi tua itu. Tuan Benmoussa tidak bisa membayangkan betapa sakit yang dirasakan cucu kesayangannya. Tapi dia bisa memastikan wanita itu masih bergerak. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala saat ujung kayu terasa menyentuh perutnya. Se
["Bu, aku tidak bisa menemuimu, ada banyak orang-orang suruhan Keluarga Benmoussa sedang berkeliran mencari keberadaanku."] Pesan singkat diterima oleh Meryem yang berasal dari ponsel milik Sabrina. Sebenarnya Meryem ingin menyiksa Fatma secara bergantian bersama Sabrina--putri kesayangannya. Namun, sepertinya hal itu tidak memungkinkan saat ini."Ibu akan memastikan kamu mendapatkan apa yang semestinya kamu dapatkan, Sayang." Maryem kemudian mengirimkan video rekaman penyiksaan yang dia lakukan terhadap tawanannya.["Aku serahkan semuanya kepadamu, Bu. Aku menyesal tidak bisa membalaskan dendam itu dengan tanganku sendiri. Maafkan aku."]"Tenanglah, Sayang ... Sepertinya Keluarga Ahbity dan Benmoussa sudah masuk ke dalam perangkap, sebentar lagi ayahmu akan bernegosiasi dengan mereka. Ibu bisa pastikan setelah ini kita bisa hidup bebas." Meryem begitu bangga dengan pencapaiannya hari ini. Suara ringisan dan penyiksaan itu seolah membuatnya semakin bersemangat m
Tuan Khaleed segera menghubungi Tuan Ayyoub melalui sambungan telepon untuk memastikan bahwa Fatma sudah tiba di kediaman mereka. Namun, sayangnya Tuan Ayyoub justru mengatakan bahwa putrinya dan Faissal tidak dapat dihubungi, setelah tadi Fatma sempat menghubunginya dan mengatakan bahwa mereka baru saja mendarat melalui bandara yang berada di Tangier.Kegelisahan tiba-tiba saja membuat semua orang kini tidak mampu mengenyahkan pikiran buruk mereka tentang Fatma. Sabrina mungkin belum lari terlalu jauh. Tapi, tidak menutup kemungkinan dia bisa melancarkan aksinya melalui orang lain.Kepanikan semakin menyerang membabi buta di dalam benak Omran kala cuaca buruk tiba-tiba saja menyelimuti langit Paris, sehingga tidak memungkinkan bagi Omran dan kedua orang tuanya untuk segera menyusul Fatma menggunakan jet pribadi yang mereka miliki. Waktu seolah tidak berpihak pada mereka. Di kala Fatma sedang terancam, seolah langkah mereka harus berhenti tanpa bisa melakukan apa-apa s
"Apa kamu tidak sedang bercanda, Omar?" tanya Nyonya Adeline yang kini merasakan sendi-sendinya melemah sehingga dia seolah tidak lagi mampu berpijak. "Maaf, Ma ... Kami memiliki sebuah alasan menyembunyikannya yang kini alasan itu sudah tidak penting lagi." Omran menatap ke arah Sabrina yang kikuk, secepat mungkin wanita itu merubah raut wajahnya seolah terlihat bersalah, sehingga Omran yakin untuk tidak perlu membuka jati diri Sabrina yang menyamar sebagai Cassandra. "Kami benar-benar menikah sejak beberapa bulan yang lalu." Omran meneruskan ucapannya. "Ja-jadi ... Fatma mengandung janin siapa?" tanya Nyonya Adeline. "Janin si brengsek ini!" Omran menoleh kasar ke arah Dokter Farouk. "... Dia pasti sudah menjebak Fatma, karena aku yakin Fatma tidak serendah itu jika bukan karena dijebak," lanjutnya. "Benarkah itu, Dok?" tanya Soraya berusaha tegar. "Ibu sering melihat kebersamaan mereka di kantin." Bibi Halima menegaskan opini yang belum dipastikan kebe
"Wanita itu meninggalkanku," ucap Omran dengan suara yang lemah."Wanita itu meninggalkanku!" Dia mengulangi kalimat itu dengan suara yang sedikit lebih keras. Sesaat kemudian dia bangkit sambil meneriakkan kalimat yang sama, " Wanita itu meninggalkanku!" Kali ini suara Omran terdengar lebih keras lagi, bersamaan dengan kerasnya suara pecahan kaca meja rias yang baru saya dia pukul menggunakan genggaman tangannya."Aaaakh ..." Nyonya Adeline yang terkejut ikut berteriak histeris sambil memejamkan mata dengan kedua tangan mengepal menutupi wajah. Ketika matanya terbuka, dia harus kembali berteriak untuk kedua kali. Darah segar mengalir dari kepalan tangan Omran. Namun, pria itu seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu, jika dibandingkan dengan luka itu, hatinya merasakan sakit yang jauh lebih besar.Tuan Khaleed refleks memeluk Nyonya Adeline yang terlihat syok."Omran! Kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?" Tuan Khaleed meninggikan inton
***"Faissal, sepertinya rencana akan sedikit berubah. Aku pikir ada baiknya kita kembali ke Tangier bersama," ucap Fatma setelah membiarkan keheningan di antara mereka beberapa saat. Bukan tanpa sebab dia memutuskan ini. Dia sempat tersulut oleh sikap Sabrina sehingga harus memberikan beberapa petunjuk bagi wanita ular itu lebih cepat dari apa yang sudah dia rencanakan. Fatma yakin, Sabrina sudah bertindak dengan melibatkan Tuan Gamal dan Meryem dalam persoalan ini. Semestinya dia bisa menunda memberikan petunjuk, setidaknya sampai benar-benar siap. Namun, yang terpenting sekarang adalah berada satu langkah lebih cepat dari Sabrina dan kedua orang tuanya."Aku mengerti," jawab Faissal. Saat itu juga mereka menuju bandara. Ada beberapa itinerary yang dirubah melalui pemesanan tiket khusus yang dilakukan oleh Fatma. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan jet pribadi milik Keluarga Besar Benmoussa, tapi sepertinya hal itu justru menjadi keputusa
"Apa? Aku berkata yang sesungguhnya, 'kan? Dengar Fatma, aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih egois dari pada kamu selama aku hidup. Jadi kamu pikir, dengan meminta perpisahan maka kamu akan bahagia?" Omran tak kuasa untuk mengungkapkan segala beban di dalam hatinya. Keberanian itu muncul begitu saja sejak dia mendengar pengakuan Fatma di hadapan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak mampu mencerna ucapan wanita itu.Sementara Fatma menutup kedua telinganya, Omran masih terus mencercanya dengan kenyataan yang tidak bisa terelakkan."Kamu berkhianat! Itu alasannya. Mari kita permudah ini, Omran! Hiduplah dengan normal bersama wanita ular itu.""... Kamu tahu kesalahanmu, kamu tahu siapa dia, dan kamu tahu semua ini tidak benar, lalu kamu dengan mudah melakukannya. Kamu tidak pantas untuk menerima cintaku!" Fatma menatap Omran dengan tatapan nyalang, seolah membuat lidah pria itu terkunci. Dia tahu, kesalahannya terhadap sang istri sulit untuk dimaafk
Wajah Sabrina memerah dengan rasa panik yang menguasai dirinya. Wanita itu merasa kecolongan dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Pantas saja sikap Omran terlihat berbeda ketika bersinggungan dengan Fatma. Rupanya mereka sudah merahasiakan pernikahan itu. Namun, hal yang masih belum dimengerti oleh Sabrina adalah bagaimana bisa Omran membiarkan istrinya yang sedang hamil pergi meninggalkan Paris. Tidak diragukan lagi bahwa Omran mengetahui kondisi Fatma yang sedang hamil. Akan tetapi, tampaknya pria itu tidak terlihat bahagia. Ada begitu banyak spekulasi di dalam kepala Sabrina, salah satunya adalah dugaan bahwa Omran tidak tahu bahwa janin yang dikandung Fatma adalah darah dagingnya sendiri. Meskipun selalu memandang rendah Fatma, hati kecil Sabrina tidak bisa mengelak bahwa Fatma tidak mungkin hamil dari pria lain selain dari suami sah nya. Kesetiaan wanita itu dalam ikatan pernikahan tidak bisa diragukan. Dugaan itulah yang paling masuk akal di antara dugaan-