***
Sabrina seketika panik setelah melakukan panggilan dengan Meryem. Apa yang dikatakan Meryem cukup masuk akal dan mengganggu pikirannya. Dia memutuskan untuk menemui Nyonya Adeline di kediaman Ahbity.
"Aku tidak bisa menolak keinginan putraku sendiri, ini semua tidak akan terjadi jika bukan kamu yang memulai," ucap Nyonya Adeline setelah Sabrina berusaha untuk meyakinkan wanita itu, untuk tetap mempertimbangkan perjodohan antara Omar dengan dirinya.
"... Terus terang aku kecewa padamu Sabrina. Omar memang bersalah karena diam-diam merahasiakan hubungan dengan wanita yang tidak aku kenal, tapi bukan berarti kamu bisa menyakitinya. Apa lagi, dia sedang mengandung," sindirnya.
"Tapi, Tante aku mencintai Omar. Bukankah aku sudah mencoba untuk mengklarifikasi berita yang sudah beredar di luaran sana?" Sabrina mengucapkan kata-kata itu seolah-olah bersikap bak pahlawan. Tanpa dia sadari jika Nyonya Adeline begitu muak akan kehadirannya.
Wanita be
Terima kasih karena sudah berkenan mampir di karya ini. Berikan KOMENTAR POSITIF + BINTANG 5 dan VOTE sebanyak-banyaknya, ya. Agar Author semakin bersemangat memberikan karya terbaik. Dan jangan lupa untuk mampir ke karya Author yang lain, ya...! ^_^
Di ruang perawatan Lotus. "Jika mama tidak salah duga, yang menghubungimu barusan adalah Sabrina, bukan?" "Ck ... bagaimana bisa Papamu dulu mau saja membuat kesepakatan konyol itu. Mama tidak bisa membayangkan apa jadinya keluarga kita jika kamu atau Omran menikahi wanita ular itu." "Maaf, Ma sudah membuat keluarga kita harus berurusan dengan keluarga Benmoussa. Aku yakin sebentar lagi akan ada utusan dari Maroko yang datang menemui kita. Tapi Mama jangan khawatir, aku sudah mempersiapkan bukti yang kuat." "Mama sudah lama tidak melewati tantangan hidup. Jadi kali ini anggap saja mama sedang bernostalgia." Nyonya Adeline terkekeh, dia teringat peristiwa di masa lalu saat hubungannya dengan sang suami mendapatkan pertentangan dari kedua belah pihak keluarga. Akan tetapi mereka tetap berhasil bersatu hingga melewati banyak ujian dan sampai ke titik ini. Titik di mana mereka bisa membuktikan bahwa mereka berdua bukan hanya memiliki keluarga bahagi
Keesokan harinya. Tangan Omar meraih baskom dan handuk yang ditinggalkan perawat. Dia bersikeras untuk merawat Fatma dengan tangannya sendiri, terkecuali bagian-bagian tubuh yang tertutup. Setelah mendengar penjelasan dokter beberapa kali, dia memberanikan diri untuk menyentuh Fatma. Sesekali dia memberikan afeksi di punggung tangan wanitanya itu. Mengecupnya dengan kasih sayang dan kerinduan yang sulit untuk dibendung. Dia membersihkan kaki-kaki dan pergelangan tangan Fatma yang masih bisa dijangkau. "Maafkan aku, Fatma. Jika bukan karena aku, kamu tidak akan mungkin menderita begini. Apa yang sedang kamu mimpikan sehingga kamu enggan untuk pulang menemuiku, Sayang? Apa karena kamu tidak ingin melihat orang jahat sepertiku lagi? Apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memaafkanku?" Hari ini seperti yang direncanakan sebelumnya, akan ada rapat internal antar investor dan anggota direksi untuk membahas mengenai rumor hampir jatuhnya perusahaan di Lebano
Berkali-kali Omar melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu yang dia habiskan di dalam rapat tidak sesingkat seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Bukan hanya perusahaan yang berada di Lebanon nyaris tumbang, melainkan hampir seluruh cabang yang tersebar di kawasan Asia. Setelah rapat berakhir, Omar tak lantas dapat pergi begitu saja. Tuan Khaleed yang baru saja tiba di Paris meminta seluruh keluarga berkumpul untuk membahas hal yang sama. Terkecuali Omran, ia memilih pergi dan meninggalkan kediaman keluarga Ahbity. "Papa tahu kamu sangat kompeten dalam berbisnis, tapi bagaimana ini bisa terjadi?" Ucapan Tuan Khaleed begitu menohok meskipun dia tidak bermaksud untuk menyalahkan Omar atas apa yang sudah terjadi. "... Kita bisa saja berdiskusi dengan keluarga Benmoussa untuk membatalkan perjodohan, tapi dengan tindakanmu seperti ini keluarga kita justru seperti sedang menabuh genderang perang," lanjutnya. Sebelum Omar membuka suara, Nyonya Adeline
Sejak rapat internal yang dilaksanakan di kediaman keluarga Ahbity berakhir, Omran memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Di sisi kekosongan waktu yang ia miliki, Omran mengambil secarik kertas yang diberikan Soraya kepadanya. Dia kemudian mencoba mengirim pesan singkat kepada Soraya untuk sekedar menyapa sahabat lamanya itu. Tanpa dia ketahui, Soraya sudah menunggu pesan Omran untuk mengajaknya bertemu. Dan, di sinilah mereka sekarang, setelah membuat janji temu di sebuah cafe yang lokasinya tidak begitu jauh dari rumah sakit. "Maaf karna sudah membuatmu menunggu," ucap Omran kepada sahabatnya yang mengenakan seragam khas tenaga kesehatan. Seperti biasanya, penampilan Omran selalu saja membuat kaum wanita seolah ingin meneteskan air liur mereka. Pria itu terlihat nyaris sempurna dengan wajah tampan dan tubuh atletis. Meskipun terlahir kembar dengan Omar dan memiliki ketampanan yang sama, Omran memiliki daya tarik lain yang membuat dirinya terlihat berbeda.
"Semakin lama kelakuannya semakin kurang waras!" Soraya merutuki sikap Omran. Dia berjalan cepat dan meninggalkan pria itu setelah menyadari jika sebentar lagi jam kerjanya akan dimulai. Saat Soraya bergegas pergi dari hadapan Omran, saat itu juga Omran terkekeh seolah mengejek Soraya yang terlihat ketakutan. Soraya menggunakan jasa taksi untuk tiba ke rumah sakit, meskipun jaraknya tidak terlalu jauh, mengingat khawatir jika dengan berjalan kaki akan memakan waktu lama. Setibanya di rumah sakit, dia buru-buru melangkahkan kaki ke dalam. Namun, langkahnya terhenti saat melihat ibunya juga berada di rumah sakit itu. "Bu, apa yang ibu lakukan di sini?" Soraya menepuk bahu sang ibu. Bibi Halima terlonjak dari posisi berdirinya. Hampir saja tubuhnya oleng ke arah anak tangga setelah mendengar suara Soraya secara tiba-tiba, "Kamu mengagetkan ibu." Wanita tua itu mengelus-elus area jantungnya. Soraya menyebik, "Ish, Ibu ... Aku buru-buru. Kataka
Dengan menggunakan pesawat jet pribadi, Omar bersama sang ayah--Tuan Khaled menuju langsung ke Kota Tangier. Tidak butuh waktu lama, karena waktu yang dibutuhkan hanya kurang dari dua jam. Mereka mendarat di Bandar Udara Ibn Battuta, sebuah bandar udara yang tidak begitu besar jika dibandingkan dengan Bandar Udara Mohammed V di Cassablanca yang menjadi kebanggaan Negara Maroko. Begitu mendarat, Tuan Khaleed mengedarkan pandangannya, "Papa merindukan suasana ini. Menurutmu, apa setelah ini kita bisa mampir sebentar ke Kota Tetouan?" "Pa, Fatma sedang koma. Dan aku tidak bisa meninggalkannya lebih lama," ucap Omar dengan wajah sendu. Tuan Khaleed mendesah kasar. Dia bahkan tidak pernah bertemu wanita yang bernama Fatma itu. Wanita yang membuat putranya sangat teguh dalm berpendirian hingga berani melangkah sejauh ini. Setibanya di Kota Tanger, mereka telah disambut oleh pelayan yang berasal dari villa pribadi mereka di kawasan Old Medina, tak jauh dari lokasi m
Tuan Besar Benmoussa membelalakkan kedua matanya ke arah Paman Abbas, "Abbas, ada apa denganmu. Lihat, ini Khaleed dan putranya, calon besanmu jika kamu lupa!" "Calon besan? Besan seperti apa yang Ayah maksud? Calon besan yang sengaja memenjarakan putriku, begitu maksud Ayah?" Tuan Besar Benmoussa menatap Paman Abbas, Omar, dan Tuan Khaleed secara bergantian. Keributan yang terjadi di ruang itu membuat beberapa anggota keluarga yang lainnya keluar dari kamar mereka masing-masing. Tuan Khaleed menahan napasnya, bersiap untuk menghadapi kemarahan keluarga besar ini. Dia merasa sudah masuk ke dalam kandang macan dan siap untuk disantap kapan saja. "Khaleed, ada apa ini?" tanya Tuan Besar Benmoussa. "Kakek, apa yang dikatakan Paman Abbas tentang Sabrina memang benar. Aku sendirilah yang membuat aduan ke kantor polisi." "Sabrina adalah cucuku, dan kau putra Khaleed yang juga kuanggap sebagai anakku. Jadi, kau dan Sabrina memiliki kedudukan yang sam
"Tidak mungkin!" Omar melebarkan kedua matanya, menatap sang ayah dengan perasaan tidak percaya. Suasana kediaman Benmoussa semakin diliputi berbagai tanda tanya. Mulai dari rekaman yang ditunjukkan Omar, yang masih belum tuntas untuk disaksikan. Kehisterisan Tuan Ayyoub yang mencengangkan, serta reaksi Omar terhadap Tuan Ayyoub. Tuan Besar Benmoussa membuka suaranya, "Sebaiknya kalian bersikap tenang. Kita urai benang kusut ini satu per satu." "Ayyoub, sebenarnya ayah bisa membaca pikiranmu. Tapi tolong jelaskan agar semua orang di sini tidak salah paham," lanjut pria berusia senja itu. Tuan Ayyoub mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk ke lantai dengan tumpahan air mata yang tak ada habis-habisnya. Bahkan dia merasakan kepalanya berdenyut akibat kesedihan yang membuncah, "Fatma ... Fatma adalah putri kandungku. Aku baru saja menyelamatkannya dari penderitaan dengan mengirimnya ke Spain. Tapi dia melarikan diri. Dia sedang mengandung." Suara