Pagi ini Omran datang ke kantor dalam keadaan kantung mata menghitam. Akan tetapi hal itu tidak terlalu berpengaruh dengan ketampanannya. Semalam dia memutuskan untuk pergi ke club malam untuk mencari hiburan. Melampiaskan kekesalannya atas sikap Omar yang dirasa berubah sejak kehadiran Fatma. Bagi Omran, menjejakkan kaki ke dunia malam seperti itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa lebih nyaman.
Seolah adegan slow motion, pagi itu Omran berpapasan dengan Omar yang sedang merangkul Fatma dengan mesra. Mereka sama-sama menoleh ketika bahu keduanya hampir berbenturan. Ini pertama kalinya bagi Fatma menyaksikan kedua saudara kembar itu secara bersamaan. Dia cukup takjub dengan apa yang dia lihat.
Hampir saja tidak bisa membedakan keduanya, jika tidak melihat warna mata yang unik milik Omran. Namun, sepertinya ada yang salah dengan sikap kedua bersaudara itu. Mereka saling menunjukkan tatapan permusuhan, sehingga Fatma tidak sedikitpun berani untuk
Sabrina ke luar dari ruang CEO dengan wajah berantakan. Dia merasa kalah telak dengan seseorang yang sudah dia remehkan. Tadinya, Sabrina berpikir jika Fatma hanyalah kerabat jauh dari keluarga Ahbity. Meskipun tidak memungkiri kecantikan Fatma, bagi Sabrina penampilan Fatma tidak mungkin membuat Omar tertarik. Tadi pagi secara tidak sengaja Sabrina mendengar desas desus dari para karyawan yang berkumpul. Mereka membahas tentang Omar yang kedapatan sedang merangkul wanita muda di loby. Wanita itu adalah wanita yang kemarin sempat menjadi pusat perhatian. Saat itu juga Sabrina yakin jika wanita yang dimaksud adalah Fatma. Wanita yang dia curigai sejak kejadian di mana dia mencumbui Omar kemarin. Dia semakin merasa terbakar saat Omar justru membela Fatma di hadapannya. "Hallo, Tante [........................]" senyum smirk terbit di wajah Sabrina. Matanya menyipit setelah panggilan telpon yang dia lakukan berakhir. *** Di dalam ruang CEO.
Omar mondar-mandir di depan ruang UGD dalam keadaan panik. Mulutnya terlihat sedang merapalkan sesuatu dengan kedua tangan yang mengepal. Dia berharap keadaan Fatma dan janinnya baik-baik saja. Ceklek ... Pintu ruang unit gawat darurat terbuka, menampilkan dua orang tenaga kesehatan mengenakan seragam putih yang kemudian menghampiri Omar. "Tuan, istri Anda harus segera mendapatkan tindakan operasi. Plasentanya pecah dan harus segera diangkat secepat mungkin. Jika tidak, bisa membahayakan nyawanya. Kami memohon maaf sebesar-besarnya karena tidak bisa menyelamatkan bayi yang dia kandung," ucap salah satu perawat. "Kami membutuhkan tanda tangan Anda untuk menyetujui tindakan yang akan kami lakukan." Perawat yang lain ikut menimpali. *** "Omar!" Dari arah koridor terlihat Nyonya Adeline berjalan dengan langkah cepat menghampiri keberadaan Omar. Wajah tuanya terlihat panik, namun masih terlihat aura kecantikannya yang mendominasi. Pantas saja kedua
Di tempat yang berbeda. Brukkk! Seorang wanita terjerembab dan menjatuhkan barang-barang yang dia bawa hingga berserakan di permukaan halaman parkir. Sejak keluar dari taksi, di bahkan tidak memperhatikan langkahnya. Kepalanya mendongak kagum ke arah puncak gedung rumah sakit yang tinggi menjulang. Di sanalah dia akan ditugaskan, setelah sebelumnya bekerja di rumah sakit yang lebih kecil. Tapi ... Jika diamati sekali lagi, kejadian itu bukanlah keteledorannya. Seseorang yang berjalan lebih cepat dari arah berlawananlah yang tiba-tiba menyenggol bahunya dengan keras. Wanita itu adalah Soraya. Ini adalah hari di mana ia harus menyerahkan berkas yang berisikan surat kontrak kerja untuk dapat bertugas di rumah sakit terbesar di kota Paris. Karena besok pagi adalah hari pertamanya untuk memulai karir di tempat itu. Dia berdiri sesaat setelah barang-barang yang jatuh berserakan itu dikumpulkan. Sejenak Soraya mengamati wajah pria yang sudah menabraknya. Dia
Suara jam dinding berdetak tak ubahnya seperti degup jantung. Detik demi detik yang dilalui membuat Omar merasakan resah karena sampai saat ini Fatma masih enggan membuka matanya. Omar memilih untuk tidak tidur malam ini. Dia takut jika ia bangun nanti, Fatma pergi meninggalkannya. Berkali-kali dia mengajak Fatma berbicara. Berharap jika wanita itu bersedia untuk merespon. Berulang kali dia memastikan dengan bertanya kepada dokter yang mengunjungi Fatma di ruang perawatan. Namun jawabannya tetap sama, Omar hanya perlu menunggu dan berdoa, tak lupa disarankan agar selalu mengajak Fatma berkomunikasi meskipun wanita itu tidak bereaksi sama sekali. Keesokan harinya. "Tolong pastikan agar bukti-bukti yang kamu kumpulkan tetap terjaga keamanannya. Saya tidak bisa ke kantor sebelum Fatma sadar. Jadi tolong kamu dan Lorenz segera temui saya di rumah sakit," perintah Omar kepada sekretarisnya melalui sambungan telepon. "Chips ... chips itu sudah berada pada t
*** Sabrina seketika panik setelah melakukan panggilan dengan Meryem. Apa yang dikatakan Meryem cukup masuk akal dan mengganggu pikirannya. Dia memutuskan untuk menemui Nyonya Adeline di kediaman Ahbity. "Aku tidak bisa menolak keinginan putraku sendiri, ini semua tidak akan terjadi jika bukan kamu yang memulai," ucap Nyonya Adeline setelah Sabrina berusaha untuk meyakinkan wanita itu, untuk tetap mempertimbangkan perjodohan antara Omar dengan dirinya. "... Terus terang aku kecewa padamu Sabrina. Omar memang bersalah karena diam-diam merahasiakan hubungan dengan wanita yang tidak aku kenal, tapi bukan berarti kamu bisa menyakitinya. Apa lagi, dia sedang mengandung," sindirnya. "Tapi, Tante aku mencintai Omar. Bukankah aku sudah mencoba untuk mengklarifikasi berita yang sudah beredar di luaran sana?" Sabrina mengucapkan kata-kata itu seolah-olah bersikap bak pahlawan. Tanpa dia sadari jika Nyonya Adeline begitu muak akan kehadirannya. Wanita be
Di ruang perawatan Lotus. "Jika mama tidak salah duga, yang menghubungimu barusan adalah Sabrina, bukan?" "Ck ... bagaimana bisa Papamu dulu mau saja membuat kesepakatan konyol itu. Mama tidak bisa membayangkan apa jadinya keluarga kita jika kamu atau Omran menikahi wanita ular itu." "Maaf, Ma sudah membuat keluarga kita harus berurusan dengan keluarga Benmoussa. Aku yakin sebentar lagi akan ada utusan dari Maroko yang datang menemui kita. Tapi Mama jangan khawatir, aku sudah mempersiapkan bukti yang kuat." "Mama sudah lama tidak melewati tantangan hidup. Jadi kali ini anggap saja mama sedang bernostalgia." Nyonya Adeline terkekeh, dia teringat peristiwa di masa lalu saat hubungannya dengan sang suami mendapatkan pertentangan dari kedua belah pihak keluarga. Akan tetapi mereka tetap berhasil bersatu hingga melewati banyak ujian dan sampai ke titik ini. Titik di mana mereka bisa membuktikan bahwa mereka berdua bukan hanya memiliki keluarga bahagi
Keesokan harinya. Tangan Omar meraih baskom dan handuk yang ditinggalkan perawat. Dia bersikeras untuk merawat Fatma dengan tangannya sendiri, terkecuali bagian-bagian tubuh yang tertutup. Setelah mendengar penjelasan dokter beberapa kali, dia memberanikan diri untuk menyentuh Fatma. Sesekali dia memberikan afeksi di punggung tangan wanitanya itu. Mengecupnya dengan kasih sayang dan kerinduan yang sulit untuk dibendung. Dia membersihkan kaki-kaki dan pergelangan tangan Fatma yang masih bisa dijangkau. "Maafkan aku, Fatma. Jika bukan karena aku, kamu tidak akan mungkin menderita begini. Apa yang sedang kamu mimpikan sehingga kamu enggan untuk pulang menemuiku, Sayang? Apa karena kamu tidak ingin melihat orang jahat sepertiku lagi? Apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memaafkanku?" Hari ini seperti yang direncanakan sebelumnya, akan ada rapat internal antar investor dan anggota direksi untuk membahas mengenai rumor hampir jatuhnya perusahaan di Lebano
Berkali-kali Omar melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu yang dia habiskan di dalam rapat tidak sesingkat seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Bukan hanya perusahaan yang berada di Lebanon nyaris tumbang, melainkan hampir seluruh cabang yang tersebar di kawasan Asia. Setelah rapat berakhir, Omar tak lantas dapat pergi begitu saja. Tuan Khaleed yang baru saja tiba di Paris meminta seluruh keluarga berkumpul untuk membahas hal yang sama. Terkecuali Omran, ia memilih pergi dan meninggalkan kediaman keluarga Ahbity. "Papa tahu kamu sangat kompeten dalam berbisnis, tapi bagaimana ini bisa terjadi?" Ucapan Tuan Khaleed begitu menohok meskipun dia tidak bermaksud untuk menyalahkan Omar atas apa yang sudah terjadi. "... Kita bisa saja berdiskusi dengan keluarga Benmoussa untuk membatalkan perjodohan, tapi dengan tindakanmu seperti ini keluarga kita justru seperti sedang menabuh genderang perang," lanjutnya. Sebelum Omar membuka suara, Nyonya Adeline