Omar mondar-mandir di depan ruang UGD dalam keadaan panik. Mulutnya terlihat sedang merapalkan sesuatu dengan kedua tangan yang mengepal. Dia berharap keadaan Fatma dan janinnya baik-baik saja.
Ceklek ...
Pintu ruang unit gawat darurat terbuka, menampilkan dua orang tenaga kesehatan mengenakan seragam putih yang kemudian menghampiri Omar. "Tuan, istri Anda harus segera mendapatkan tindakan operasi. Plasentanya pecah dan harus segera diangkat secepat mungkin. Jika tidak, bisa membahayakan nyawanya. Kami memohon maaf sebesar-besarnya karena tidak bisa menyelamatkan bayi yang dia kandung," ucap salah satu perawat.
"Kami membutuhkan tanda tangan Anda untuk menyetujui tindakan yang akan kami lakukan." Perawat yang lain ikut menimpali.
***
"Omar!" Dari arah koridor terlihat Nyonya Adeline berjalan dengan langkah cepat menghampiri keberadaan Omar. Wajah tuanya terlihat panik, namun masih terlihat aura kecantikannya yang mendominasi. Pantas saja kedua
Di tempat yang berbeda. Brukkk! Seorang wanita terjerembab dan menjatuhkan barang-barang yang dia bawa hingga berserakan di permukaan halaman parkir. Sejak keluar dari taksi, di bahkan tidak memperhatikan langkahnya. Kepalanya mendongak kagum ke arah puncak gedung rumah sakit yang tinggi menjulang. Di sanalah dia akan ditugaskan, setelah sebelumnya bekerja di rumah sakit yang lebih kecil. Tapi ... Jika diamati sekali lagi, kejadian itu bukanlah keteledorannya. Seseorang yang berjalan lebih cepat dari arah berlawananlah yang tiba-tiba menyenggol bahunya dengan keras. Wanita itu adalah Soraya. Ini adalah hari di mana ia harus menyerahkan berkas yang berisikan surat kontrak kerja untuk dapat bertugas di rumah sakit terbesar di kota Paris. Karena besok pagi adalah hari pertamanya untuk memulai karir di tempat itu. Dia berdiri sesaat setelah barang-barang yang jatuh berserakan itu dikumpulkan. Sejenak Soraya mengamati wajah pria yang sudah menabraknya. Dia
Suara jam dinding berdetak tak ubahnya seperti degup jantung. Detik demi detik yang dilalui membuat Omar merasakan resah karena sampai saat ini Fatma masih enggan membuka matanya. Omar memilih untuk tidak tidur malam ini. Dia takut jika ia bangun nanti, Fatma pergi meninggalkannya. Berkali-kali dia mengajak Fatma berbicara. Berharap jika wanita itu bersedia untuk merespon. Berulang kali dia memastikan dengan bertanya kepada dokter yang mengunjungi Fatma di ruang perawatan. Namun jawabannya tetap sama, Omar hanya perlu menunggu dan berdoa, tak lupa disarankan agar selalu mengajak Fatma berkomunikasi meskipun wanita itu tidak bereaksi sama sekali. Keesokan harinya. "Tolong pastikan agar bukti-bukti yang kamu kumpulkan tetap terjaga keamanannya. Saya tidak bisa ke kantor sebelum Fatma sadar. Jadi tolong kamu dan Lorenz segera temui saya di rumah sakit," perintah Omar kepada sekretarisnya melalui sambungan telepon. "Chips ... chips itu sudah berada pada t
*** Sabrina seketika panik setelah melakukan panggilan dengan Meryem. Apa yang dikatakan Meryem cukup masuk akal dan mengganggu pikirannya. Dia memutuskan untuk menemui Nyonya Adeline di kediaman Ahbity. "Aku tidak bisa menolak keinginan putraku sendiri, ini semua tidak akan terjadi jika bukan kamu yang memulai," ucap Nyonya Adeline setelah Sabrina berusaha untuk meyakinkan wanita itu, untuk tetap mempertimbangkan perjodohan antara Omar dengan dirinya. "... Terus terang aku kecewa padamu Sabrina. Omar memang bersalah karena diam-diam merahasiakan hubungan dengan wanita yang tidak aku kenal, tapi bukan berarti kamu bisa menyakitinya. Apa lagi, dia sedang mengandung," sindirnya. "Tapi, Tante aku mencintai Omar. Bukankah aku sudah mencoba untuk mengklarifikasi berita yang sudah beredar di luaran sana?" Sabrina mengucapkan kata-kata itu seolah-olah bersikap bak pahlawan. Tanpa dia sadari jika Nyonya Adeline begitu muak akan kehadirannya. Wanita be
Di ruang perawatan Lotus. "Jika mama tidak salah duga, yang menghubungimu barusan adalah Sabrina, bukan?" "Ck ... bagaimana bisa Papamu dulu mau saja membuat kesepakatan konyol itu. Mama tidak bisa membayangkan apa jadinya keluarga kita jika kamu atau Omran menikahi wanita ular itu." "Maaf, Ma sudah membuat keluarga kita harus berurusan dengan keluarga Benmoussa. Aku yakin sebentar lagi akan ada utusan dari Maroko yang datang menemui kita. Tapi Mama jangan khawatir, aku sudah mempersiapkan bukti yang kuat." "Mama sudah lama tidak melewati tantangan hidup. Jadi kali ini anggap saja mama sedang bernostalgia." Nyonya Adeline terkekeh, dia teringat peristiwa di masa lalu saat hubungannya dengan sang suami mendapatkan pertentangan dari kedua belah pihak keluarga. Akan tetapi mereka tetap berhasil bersatu hingga melewati banyak ujian dan sampai ke titik ini. Titik di mana mereka bisa membuktikan bahwa mereka berdua bukan hanya memiliki keluarga bahagi
Keesokan harinya. Tangan Omar meraih baskom dan handuk yang ditinggalkan perawat. Dia bersikeras untuk merawat Fatma dengan tangannya sendiri, terkecuali bagian-bagian tubuh yang tertutup. Setelah mendengar penjelasan dokter beberapa kali, dia memberanikan diri untuk menyentuh Fatma. Sesekali dia memberikan afeksi di punggung tangan wanitanya itu. Mengecupnya dengan kasih sayang dan kerinduan yang sulit untuk dibendung. Dia membersihkan kaki-kaki dan pergelangan tangan Fatma yang masih bisa dijangkau. "Maafkan aku, Fatma. Jika bukan karena aku, kamu tidak akan mungkin menderita begini. Apa yang sedang kamu mimpikan sehingga kamu enggan untuk pulang menemuiku, Sayang? Apa karena kamu tidak ingin melihat orang jahat sepertiku lagi? Apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memaafkanku?" Hari ini seperti yang direncanakan sebelumnya, akan ada rapat internal antar investor dan anggota direksi untuk membahas mengenai rumor hampir jatuhnya perusahaan di Lebano
Berkali-kali Omar melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu yang dia habiskan di dalam rapat tidak sesingkat seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Bukan hanya perusahaan yang berada di Lebanon nyaris tumbang, melainkan hampir seluruh cabang yang tersebar di kawasan Asia. Setelah rapat berakhir, Omar tak lantas dapat pergi begitu saja. Tuan Khaleed yang baru saja tiba di Paris meminta seluruh keluarga berkumpul untuk membahas hal yang sama. Terkecuali Omran, ia memilih pergi dan meninggalkan kediaman keluarga Ahbity. "Papa tahu kamu sangat kompeten dalam berbisnis, tapi bagaimana ini bisa terjadi?" Ucapan Tuan Khaleed begitu menohok meskipun dia tidak bermaksud untuk menyalahkan Omar atas apa yang sudah terjadi. "... Kita bisa saja berdiskusi dengan keluarga Benmoussa untuk membatalkan perjodohan, tapi dengan tindakanmu seperti ini keluarga kita justru seperti sedang menabuh genderang perang," lanjutnya. Sebelum Omar membuka suara, Nyonya Adeline
Sejak rapat internal yang dilaksanakan di kediaman keluarga Ahbity berakhir, Omran memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Di sisi kekosongan waktu yang ia miliki, Omran mengambil secarik kertas yang diberikan Soraya kepadanya. Dia kemudian mencoba mengirim pesan singkat kepada Soraya untuk sekedar menyapa sahabat lamanya itu. Tanpa dia ketahui, Soraya sudah menunggu pesan Omran untuk mengajaknya bertemu. Dan, di sinilah mereka sekarang, setelah membuat janji temu di sebuah cafe yang lokasinya tidak begitu jauh dari rumah sakit. "Maaf karna sudah membuatmu menunggu," ucap Omran kepada sahabatnya yang mengenakan seragam khas tenaga kesehatan. Seperti biasanya, penampilan Omran selalu saja membuat kaum wanita seolah ingin meneteskan air liur mereka. Pria itu terlihat nyaris sempurna dengan wajah tampan dan tubuh atletis. Meskipun terlahir kembar dengan Omar dan memiliki ketampanan yang sama, Omran memiliki daya tarik lain yang membuat dirinya terlihat berbeda.
"Semakin lama kelakuannya semakin kurang waras!" Soraya merutuki sikap Omran. Dia berjalan cepat dan meninggalkan pria itu setelah menyadari jika sebentar lagi jam kerjanya akan dimulai. Saat Soraya bergegas pergi dari hadapan Omran, saat itu juga Omran terkekeh seolah mengejek Soraya yang terlihat ketakutan. Soraya menggunakan jasa taksi untuk tiba ke rumah sakit, meskipun jaraknya tidak terlalu jauh, mengingat khawatir jika dengan berjalan kaki akan memakan waktu lama. Setibanya di rumah sakit, dia buru-buru melangkahkan kaki ke dalam. Namun, langkahnya terhenti saat melihat ibunya juga berada di rumah sakit itu. "Bu, apa yang ibu lakukan di sini?" Soraya menepuk bahu sang ibu. Bibi Halima terlonjak dari posisi berdirinya. Hampir saja tubuhnya oleng ke arah anak tangga setelah mendengar suara Soraya secara tiba-tiba, "Kamu mengagetkan ibu." Wanita tua itu mengelus-elus area jantungnya. Soraya menyebik, "Ish, Ibu ... Aku buru-buru. Kataka