Di klinik kandungan.
Wajah Fatma berbinar saat layar monitor di hadapannya menampakkan titik hitam yang menurut dokter itu adalah janin yang dia kandung saat ini. Meskipun masih terlihat hanya sebesar kacang hijau, Fatma merasakan kebahagiaan yang begitu besar. Tuan Ridwan, pria kejam yang sudah pergi untuk selama-lamanya itu meninggalkan sesosok makhluk suci untuk menemani hidup Fatma. Seberkas senyuman terbit di wajah cantiknya. Seolah sinar yang membuat wajahnya terlihat cerah.
"Apa ada keluhan yang Anda rasakan, Nyonya?" Dokter Liona yang menangani Fatma bertanya sementara tangannya sibuk membersihkan permukaan kulit perut wanita itu dari sisa-sisa clear ultrasound gel. Fatma menggeleng. Jawaban jujur dari gesture yang ia tunjukkan. Ia tersenyum tulus. Binar kebahagiaan tergambar jelas di wajahnya kini menjadi perhatian bagi Omar. Seolah rasa itu menular, Omar ikut mengulas senyum yang sama.
"Tidak ada keluhan. Ta
Fatma merasa bersalah atas sikapnya sendiri. Dia tidak habis pikir jika akhir-akhir ini mulutnya lebih sering mengatakan kata-kata pedas terhadap Omar. Pria berhati tulus yang tidak semestinya dipelakukan demikian. Justru berkat Omar-lah Fatma masih bisa menghirup udara kebebasan hingga detik ini. Jika tidak memiliki perasaan yang sama seperti yang Omar miliki, paling tidak dia bisa bersikap baik dengan pria itu. Tidak, Fatma merasa pasti ada yang salah dengan kepribadiannya dan sungguh, dia membenci itu. Sikap yang muncul entah sejak kapan. Namun, dia menyadari perubahan emosionalnya hadir seiring waktu di mana ia berkali-kali disakiti orang-orang terdekat. Kemana hilangnya sikap lemah lembut yang selalu menjadi ciri khas Fatma? Fatma ingin melawan rasa itu. Rasa yang membuatnya selalu merasa benci melihat sosok pria. Sekian lama wanita itu merenung hingga tanpa terasa langit Paris berangsur-angsur menghitam. Dia berkali-kali keluar masuk kamar hanya untuk memeriksa
"Anda bisa membawa istri Anda ke tempat-tempat yang indah untuk menghilangkan traumanya," ucap dokter yang menangani masalah gangguan emosional Fatma. "Kamu dengar itu Fatma? Bagaimana jika kita mencobanya?" Tatapan sayang Omar berikan untuk wanita di sampingnya. Entah sejak kapan, rasa nyaman semakin menjadi-jadi dirasakan oleh Fatma terhadap perhatian yang diberikan oleh Omar. Dia mengangguk, membiarkan Omar menggenggam tangannya ke luar ruang konsultasi. Tidak ada penolakan lagi, tidak ada kata-kata ketus lagi. Sepertinya wanita itu berhasil untuk mengontrol dirinya sendiri. Karena dia tahu sikapnya selama ini salah, meskipun Omar selalu mendapatkan sikap buruk darinya selalu memaklumi dan tetap bersabar. Setelah membelah jalanan sejak kepulangan mereka dari klinik konsultasi, Omar membawa Fatma ke Jembatan Les Pont des Art, tempat di mana setiap pasangan kekasih biasanya datang untuk menautkan gembok cinta ke sisi pagar jembatan. Namun, sayangnya, saa
Malam telah mendekap bumi sepenuhnya. Kembali ke mansion adalah sebuah pilihan yang masuk akal, terlebih lagi Fatma sudah tidak memungkinkan untuk dibawa ke tempat lain sementara dirinya sudah tertidur lelap. Omar memperhatikan wajah Fatma yang terlelap di kursi penumpang. Bola mata besarnya menonjol, terkesan seperti sedang mengintip di balik kelopak mata yang sedikit terbuka, dan dipagari rambut-rambut halus yang tumbuh melengkung di sana. Omar terkekeh mengingat bagaimana wanita itu berada di atas gendongannya tadi. Entah sadar atau tidak, Fatma menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Omar sambil mengeratkan pelukan di leher pria itu. Namun dengan mata yang terpejam dan napas tenang seperti itu, Omar yakin jika reaksi tubuh Fatma menunjukkan insting semata. Omar menyibak rambut Fatma yang terserak hampir menutupi setengah wajahnya. Memandangi sejenak wanita yang akan menjadi istrinya itu. Satu-satunya wanita yang pernah hadir di dalam hidupnya. Atau ... mungkin menja
Sejak dua minggu pekerjaan di Perusahaan Ahbity Group sedikit terbengkalai karena salah satu petingginya disibukkan dengan urusan pribadi. Ya, sudah dua minggu berlalu Omar berusaha menemukan pendonor jantung untuk saudara kembarnya, Omran. Kini tiba saatnya ia harus kembali fokus dengan kemajuan perusahaan, meskipun pada kenyataannya pikiran Omar masih saja mengkhawatirkan nasib Omran di masa mendatang. Namun kehadiran Fatma seolah menjadi penyejuk di saat-saat suasana hatinya tidak nyaman. Sebagai seorang pimpinan, Omar terkenal dengan sikap ramah terhadap semua karyawannya. Meski mereka berasal dari jabatan terendah sekalipun. Beda halnya dengan Omran, yang terkenal dengan sebutan pria berwajah datar di kalangan karyawan-karyawan yang gemar bergosip. Pria itu bahkan sangat jarang terlihat mengurusi perusahaan. Seperti hari ini, Omar tak sekalipun menemukan kehadiran saudara kembarnya di dalam ruang rapat direksi. Padahal, di saat seperti itu semestinya Omran hadir bagaima
"F-fatma ... jangan salah paham. A-aku ..." Omar berusaha meraih tangan Fatma, namun Fatma menolak dengan mengibaskan tangannya. "Makan siangmu, aku sangaja membuatkannya. Ah, ya... Aku baru tahu kamu sudah punya makan siang yang lebih nikmat." Fatma menunjuk papper bag yang sempat ditinggalkan Sabrina di atas meja. Namun, matanya justru menelisik dada Omar yang terekspos dan sangat terlihat jelas terdapat sisa kecupan kemerahan yang sempat ditinggalkan Sabrina di sana. Entah apa maksud dari kata 'nikmat' yang Fatma ucapkan. Mungkin saja itu adalah sebuah sindiran untuk Omar, jika dia mengerti. Senyum miring dia tunjukkan kepada Omar, "Sebaiknya aku pulang sekarang." "Fatma!" Omar ingin meluruskan kesalah pahaman yang baru saja terjadi, akan tetapi tenggorokannya terasa kering dan lidahnya terasa kaku. Tidak ada reaksi yang ditunjukkan Fatma seperti wanita-wanita kebanyakan. Wanita yang biasanya marah atau mengamuk setelah menyaks
Di dalam ruang CEO. Omar merapikan penampilannya yang sempat terlihat acak-acakan. Di depan kaca yang berada di dalam toilet pribadinya, dia mengamati tanda kemerahan yang diberikan oleh Sabrina. Brak!!! "Breng**k!" Omar meninju cermin dan mengumpat dengan keras. Urat-urat di wajahnya menegang. Dia yakin jika Fatma sudah melihat tanda kemerahan itu dengan jelas. Dan pastinya wanita itu akan semakin salah paham. Semakin dilanda rasa frustasi, Omar menjambak rambutnya dan merutuki kebodohannya yang tidak mampu mengelak dari godaan Sabrina. Dia membasuh wajah yang seolah terasa panas akibat terbakar amarah, untuk memberikan sedikit efek sejuk. Dengan langkah tak bersemangat dia kemudian kembali ke ruang kerja dan menemukan Omran sudah duduk di atas sofa dengan begitu santai. Melihat siluet Omar yang semakin jelas, Omran kembali memperhatikan raut wajah Omar yang matanya terlihat memerah. Ini untuk pertama kalinya Omar menampakkan raut wajah seper
"Kamu marah padaku? Marahlah, tapi aku bisa buktikan bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah, Fatma," rungut Omar. Ekor mata Fatma melirik ke arah Omar untuk beberapa detik, "Aku tidak ada sangkut pautnya dengan kisah asmaramu bersama karyawanmu itu. Lagi pula kita tidak punya hubungan yang kuat. Ingat, aku tidak pernah bilang jika aku mencintaimu, bukan? Jadi, apa aku punya alasan untuk marah? Aku memukulmu karena kamu yang meminta." Fatma menyentuhkan ujung jari telunjuk tepat di dada bidang Omar. Omar menatapnya penuh harap agar wanitanya itu mau sedikit saja memberinya kesempatan. Dia hanya ingin membuktikan bahwa kejadian yang dilihat Fatma sesungguhnya tidak seperti yang wanita itu pikirkan. Namun, hatinya bagai tercubit ketika wanita itu mengatakan sebuah kenyataan bahwa memang benar Fatma tidak pernah mengatakan bahwa dirinya mencintai Omar. Omar menunjukkan rekaman CCTV yang berada di tangannya. Meski enggan, Fatma mau tidak mau tetap menyaksikan rekaman
Pagi ini Omran datang ke kantor dalam keadaan kantung mata menghitam. Akan tetapi hal itu tidak terlalu berpengaruh dengan ketampanannya. Semalam dia memutuskan untuk pergi ke club malam untuk mencari hiburan. Melampiaskan kekesalannya atas sikap Omar yang dirasa berubah sejak kehadiran Fatma. Bagi Omran, menjejakkan kaki ke dunia malam seperti itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa lebih nyaman. Seolah adegan slow motion, pagi itu Omran berpapasan dengan Omar yang sedang merangkul Fatma dengan mesra. Mereka sama-sama menoleh ketika bahu keduanya hampir berbenturan. Ini pertama kalinya bagi Fatma menyaksikan kedua saudara kembar itu secara bersamaan. Dia cukup takjub dengan apa yang dia lihat. Hampir saja tidak bisa membedakan keduanya, jika tidak melihat warna mata yang unik milik Omran. Namun, sepertinya ada yang salah dengan sikap kedua bersaudara itu. Mereka saling menunjukkan tatapan permusuhan, sehingga Fatma tidak sedikitpun berani untuk
Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh ... Salam Sejahtera ... Dear, Sahabat Readers. Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti kisah FATMA BOUSSETTA ini dari awal hingga akhir. Semoga ada banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari kisah ini. Kisah ini sebagian besar diambil dari kisah nyata kehidupan milik mertua Author yang berasal dari Negara Maroko (Maghriby). Fatma Boussetta kini sudah berusia 87 tahun dan masih terlihat bugar, meskipun saat ini hidupnya ditunjang dengan pacemaker (sebuah alat pacu jantung yang menggunakan tenaga baterai yang ditanamkan melalui pembedahan ke dalam dada). Mohon kiranya Sahabat Readers berkenan meluangkan waktu untuk memberikan doa kepada beliau agar memiliki kesehatan serta umur yang panjang. Kisah ini sudah mendapatkan persetujuan dari beliau untuk dipublikasikan oleh Author. Semoga para Sahabat Readers menyukai kisah ini dan jangan lupa untuk terus memberikan dukungan d
"Maju satu langkah lagi, maka aku akan melenyapkan nyawa istrimu." Tuan Gamal memberikan ancaman yang serius. Ujung kayu itu sudah menyentuh perut tawanannya. Dia siap menghujamkan benda itu jika dirinya merasa terancam. Salah satu penjaga mendekati Tuan Gamal, kemudian membisikkan sesuatu. "Bagus, kau sudah menyiapkan helikopter itu." Tuan Gamal tersenyum puas, dengan satu kibasan tangan dia mengisyaratkan penjaga itu untuk berdiri tepat di belakang tubuh tawanannya. "Brengs**k!" umpat Omran. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain mengikuti kemauan Tuan Gamal. "Jangan banyak mengulur waktu, lepaskan cucuku sekarang juga!" ucap Tuan Besar Benmoussa. Matanya melirik ke arah wanita yang bersimbah darah terduduk dan terikat di kursi tua itu. Tuan Benmoussa tidak bisa membayangkan betapa sakit yang dirasakan cucu kesayangannya. Tapi dia bisa memastikan wanita itu masih bergerak. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala saat ujung kayu terasa menyentuh perutnya. Se
["Bu, aku tidak bisa menemuimu, ada banyak orang-orang suruhan Keluarga Benmoussa sedang berkeliran mencari keberadaanku."] Pesan singkat diterima oleh Meryem yang berasal dari ponsel milik Sabrina. Sebenarnya Meryem ingin menyiksa Fatma secara bergantian bersama Sabrina--putri kesayangannya. Namun, sepertinya hal itu tidak memungkinkan saat ini."Ibu akan memastikan kamu mendapatkan apa yang semestinya kamu dapatkan, Sayang." Maryem kemudian mengirimkan video rekaman penyiksaan yang dia lakukan terhadap tawanannya.["Aku serahkan semuanya kepadamu, Bu. Aku menyesal tidak bisa membalaskan dendam itu dengan tanganku sendiri. Maafkan aku."]"Tenanglah, Sayang ... Sepertinya Keluarga Ahbity dan Benmoussa sudah masuk ke dalam perangkap, sebentar lagi ayahmu akan bernegosiasi dengan mereka. Ibu bisa pastikan setelah ini kita bisa hidup bebas." Meryem begitu bangga dengan pencapaiannya hari ini. Suara ringisan dan penyiksaan itu seolah membuatnya semakin bersemangat m
Tuan Khaleed segera menghubungi Tuan Ayyoub melalui sambungan telepon untuk memastikan bahwa Fatma sudah tiba di kediaman mereka. Namun, sayangnya Tuan Ayyoub justru mengatakan bahwa putrinya dan Faissal tidak dapat dihubungi, setelah tadi Fatma sempat menghubunginya dan mengatakan bahwa mereka baru saja mendarat melalui bandara yang berada di Tangier.Kegelisahan tiba-tiba saja membuat semua orang kini tidak mampu mengenyahkan pikiran buruk mereka tentang Fatma. Sabrina mungkin belum lari terlalu jauh. Tapi, tidak menutup kemungkinan dia bisa melancarkan aksinya melalui orang lain.Kepanikan semakin menyerang membabi buta di dalam benak Omran kala cuaca buruk tiba-tiba saja menyelimuti langit Paris, sehingga tidak memungkinkan bagi Omran dan kedua orang tuanya untuk segera menyusul Fatma menggunakan jet pribadi yang mereka miliki. Waktu seolah tidak berpihak pada mereka. Di kala Fatma sedang terancam, seolah langkah mereka harus berhenti tanpa bisa melakukan apa-apa s
"Apa kamu tidak sedang bercanda, Omar?" tanya Nyonya Adeline yang kini merasakan sendi-sendinya melemah sehingga dia seolah tidak lagi mampu berpijak. "Maaf, Ma ... Kami memiliki sebuah alasan menyembunyikannya yang kini alasan itu sudah tidak penting lagi." Omran menatap ke arah Sabrina yang kikuk, secepat mungkin wanita itu merubah raut wajahnya seolah terlihat bersalah, sehingga Omran yakin untuk tidak perlu membuka jati diri Sabrina yang menyamar sebagai Cassandra. "Kami benar-benar menikah sejak beberapa bulan yang lalu." Omran meneruskan ucapannya. "Ja-jadi ... Fatma mengandung janin siapa?" tanya Nyonya Adeline. "Janin si brengsek ini!" Omran menoleh kasar ke arah Dokter Farouk. "... Dia pasti sudah menjebak Fatma, karena aku yakin Fatma tidak serendah itu jika bukan karena dijebak," lanjutnya. "Benarkah itu, Dok?" tanya Soraya berusaha tegar. "Ibu sering melihat kebersamaan mereka di kantin." Bibi Halima menegaskan opini yang belum dipastikan kebe
"Wanita itu meninggalkanku," ucap Omran dengan suara yang lemah."Wanita itu meninggalkanku!" Dia mengulangi kalimat itu dengan suara yang sedikit lebih keras. Sesaat kemudian dia bangkit sambil meneriakkan kalimat yang sama, " Wanita itu meninggalkanku!" Kali ini suara Omran terdengar lebih keras lagi, bersamaan dengan kerasnya suara pecahan kaca meja rias yang baru saya dia pukul menggunakan genggaman tangannya."Aaaakh ..." Nyonya Adeline yang terkejut ikut berteriak histeris sambil memejamkan mata dengan kedua tangan mengepal menutupi wajah. Ketika matanya terbuka, dia harus kembali berteriak untuk kedua kali. Darah segar mengalir dari kepalan tangan Omran. Namun, pria itu seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu, jika dibandingkan dengan luka itu, hatinya merasakan sakit yang jauh lebih besar.Tuan Khaleed refleks memeluk Nyonya Adeline yang terlihat syok."Omran! Kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?" Tuan Khaleed meninggikan inton
***"Faissal, sepertinya rencana akan sedikit berubah. Aku pikir ada baiknya kita kembali ke Tangier bersama," ucap Fatma setelah membiarkan keheningan di antara mereka beberapa saat. Bukan tanpa sebab dia memutuskan ini. Dia sempat tersulut oleh sikap Sabrina sehingga harus memberikan beberapa petunjuk bagi wanita ular itu lebih cepat dari apa yang sudah dia rencanakan. Fatma yakin, Sabrina sudah bertindak dengan melibatkan Tuan Gamal dan Meryem dalam persoalan ini. Semestinya dia bisa menunda memberikan petunjuk, setidaknya sampai benar-benar siap. Namun, yang terpenting sekarang adalah berada satu langkah lebih cepat dari Sabrina dan kedua orang tuanya."Aku mengerti," jawab Faissal. Saat itu juga mereka menuju bandara. Ada beberapa itinerary yang dirubah melalui pemesanan tiket khusus yang dilakukan oleh Fatma. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan jet pribadi milik Keluarga Besar Benmoussa, tapi sepertinya hal itu justru menjadi keputusa
"Apa? Aku berkata yang sesungguhnya, 'kan? Dengar Fatma, aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih egois dari pada kamu selama aku hidup. Jadi kamu pikir, dengan meminta perpisahan maka kamu akan bahagia?" Omran tak kuasa untuk mengungkapkan segala beban di dalam hatinya. Keberanian itu muncul begitu saja sejak dia mendengar pengakuan Fatma di hadapan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak mampu mencerna ucapan wanita itu.Sementara Fatma menutup kedua telinganya, Omran masih terus mencercanya dengan kenyataan yang tidak bisa terelakkan."Kamu berkhianat! Itu alasannya. Mari kita permudah ini, Omran! Hiduplah dengan normal bersama wanita ular itu.""... Kamu tahu kesalahanmu, kamu tahu siapa dia, dan kamu tahu semua ini tidak benar, lalu kamu dengan mudah melakukannya. Kamu tidak pantas untuk menerima cintaku!" Fatma menatap Omran dengan tatapan nyalang, seolah membuat lidah pria itu terkunci. Dia tahu, kesalahannya terhadap sang istri sulit untuk dimaafk
Wajah Sabrina memerah dengan rasa panik yang menguasai dirinya. Wanita itu merasa kecolongan dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Pantas saja sikap Omran terlihat berbeda ketika bersinggungan dengan Fatma. Rupanya mereka sudah merahasiakan pernikahan itu. Namun, hal yang masih belum dimengerti oleh Sabrina adalah bagaimana bisa Omran membiarkan istrinya yang sedang hamil pergi meninggalkan Paris. Tidak diragukan lagi bahwa Omran mengetahui kondisi Fatma yang sedang hamil. Akan tetapi, tampaknya pria itu tidak terlihat bahagia. Ada begitu banyak spekulasi di dalam kepala Sabrina, salah satunya adalah dugaan bahwa Omran tidak tahu bahwa janin yang dikandung Fatma adalah darah dagingnya sendiri. Meskipun selalu memandang rendah Fatma, hati kecil Sabrina tidak bisa mengelak bahwa Fatma tidak mungkin hamil dari pria lain selain dari suami sah nya. Kesetiaan wanita itu dalam ikatan pernikahan tidak bisa diragukan. Dugaan itulah yang paling masuk akal di antara dugaan-