FALL
Telunjukku memencet bel kamar 373 selama dua kali, dan wajah konyol sobatku Corbin yang muncul ketika pintu terbuka. Sambil tertawa-tawa, kami berjabat tangan ala 'bro' yang menggunakan kecepatan tangan, tonjokkan, siku, dan bahu selama beberapa detik.
Yeah, benar-benar kekanak-kanakkan.
Akhirnya aku masuk ke dalam apartemennya yang baru, dan langsung menanyakan kabar masing-masing. Aku menceritakan tentang keadaan keluarganya, memberikan surat dan brownies cokelat yang dititipkan ibunya. Saat dia membaca surat lalu melakukan panggilan, aku berjalan-jalan melihat keadaan apartemen yang lebih besar dan modern dari apartemennya yang lama.
Intinya, ada 3 kamar tidur, ruang tamu, ruang dapur, dan kamar mandi luar.
Aroma cat bercampur dengan pengharum ruangan yang manis tercium--saat kakiku melangkah memasuki kamar yang pintunya terbuka yang ternyata lumayan luas dan punya kamar mandi sendiri. Ranjang beludru abu-abunya baru, gorden merah mudanya juga, namun jelas kamar ini belum ditempati oleh pemiliknya.
"Sejak aku pertama kali datang kemari, kamar ini sudah ada yang punya, Man," sahut Corbin dari belakangku, "tapi aku belum bertemu si peghuni baru itu."Aku berbalik, memilih mengambil sekaleng Coke dingin dibanding Budweiser dari tangannya, lalu berjalan ke luar kamar. "Katanya ada kamar kosong untukku?"
Terdengar derap langkah Corbin yang mengikutiku. "Memang ada, tapi di kamar 371, dan kau bisa menempatinya dua hari lagi. Sementara itu, kau tidur di sofa ya, Love," godanya, meniru aksen British-ku.
Aku terkekeh. "Jadi, aku hanya tidur ditemani TV, nih? Enggak bisa tidur di kamar barusan?"
"Sayangnya enggak bisa. Sam bilang, itu ranjang baru, dan memang semua barangnya baru. Pokoknya, temannya Sam sudah mewanti-wanti padanya. Ini saja pintunya dibuka karena diangin-anginkan. Rileks," dia menyeringai, "aku akan berkorban untukmu, Dear."
"Jadi teman seapartemenmu itu wanita? Dan kau akan menidurinya? Wow, pengorbanan yang sangat berat," ledekku.
"Whoa, kau nggak lihat apa, di depan kamarnya berjajar f*ck me heels semua? Dan perlu kau tahu, aku sudah menidurinya di sofa yang kau duduki itu. Yeah, percis di situ."
"Bloody hell, Mate!" makiku sambil berdiri, lalu pindah ke sofa panjang.
Corbin terbahak. "Di situ juga sudah, loh."
Aku mengerang, tapi tidak pindah tempat duduk. "Coba katakan, di mana lagi kau sudah menyetubuhi gadis kurang beruntung itu?"
"Baru di dua tempat itu saja--"
"Baruchel... Baruchel..." decakku menyebut nama belakangnya, "kau nggak takut apa, nanti Sam jadi jatuh cinta padamu? Kau tahu kan wanita, selalu pakai perasaan. Well, di mana dia sekarang?"
"Sedang pergi ke rumah temannya. Yeah, aku juga berpikir seperti itu, tapi mau bagaimana lagi, dia seksi, ada, bersedia, dan tidak menginginkan ikatan. Katakan saja 'friends with benefits'."
Aku menarik penutup kaleng Coke, lalu meneguknya. "Perlu kuingatkan lagi apa, berapa 'friends with benefits'-mu yang ingin lebih dari sekadar teman?"
"Sial, kau benar juga!" Corbin menggeleng-geleng. "Hey, kalau dia sudah menjadi terlalu melekat padaku, kita bisa tukar kamar, kan?"
Aku memperlihatkan tampang malas padanya. Dia malahan tergelak sembari membuka-buka koperku. "Whoa, ada apa ini?"
"Aku mencari tiga stoples kue cokelat dari ibumu."
Aku tergelak. "Cuma dua stoples, Wanker--idiot!"
"Begini saja, aku dapat tiga, dan aku akan membantumu pindahan sampai selesai, bahkan aku akan mengantarmu ke supermarket dan IKEA."
"Nah--tidak. Itu sudah menjadi kewajibanmu, Mate."
Corbin menaruh empat stoples kue cokelat di meja, lalu mengambil tiga stoples dan memeluknya. "Well, bagaimana kalau ditambah dengan mentraktirmu ke bar temanku nanti malam?"
"Masukkan koper-koperku ke kamarmu, sekarang!" kekehku.
Corbin menaruh kue-kuenya di meja, lalu berdiri tegap ala serdadu dan memberi hormat. "Siap, Sir."
"Dan kau yang tidur di sofa, Love," ledekku.
"Apa pun untukmu, Sir." Corbin masih memberi hormat.
Aku berjalan bolak-balik di hadapannya. "Tunggu apa lagi, cepat laksanakan!" Lalu aku tergelak. Dia juga ikutan sembari mengacak rambut ikalku.
"Aku senang kau berhasil pindah kemari, Man."
"Aku juga, Mate. Kita bisa menaklukkan Manhattan bersama," balasku, menepuk punggungnya.
"Yeah, dan gadis-gadisnya juga," cengir Corbin.
"Setuju!"
•••
Corbin mengajakku bertemu dengan teman-temannya di bar yang bernama Retro Blast alias RB.
Bar ini menyajikan musik di bawah tahun 2000-an. Itu juga kata Cody Banks, pria pelontos dengan wajah garang-lelah, bertubuh atletis, yang juga pemilik tempat ini dan tiba-tiba curhat padaku--karena mengetahui aku pengacara family law yang juga mengurus masalah perdata dan perceraian.
Yang membuat pria yang sudah dua kali menduda ini pilu, dia harus kehilangan hak asuh putra semata wayangnya pada mantan istrinya.
Corbin menepuk bahu Cody. "Sayang banget, Dude, Reed enggak ada di sini saat kau bercerai. Kalau dia yang mengurusnya, kau enggak akan bangkrut dan bisa mendapatkan hak asuh Chris."
Mata Cody membelalak. "Sialan, Reed, kenapa kau enggak datang dari dulu?"
Aku terkekeh. "Rileks--"
"Mungkin nanti, kalau kau menikah lagi lalu punya anak dan akan bercerai, Reed bisa membantumu," potong Corbin dengan nada geli.
"Smart-ass! Aku kapok nikah lagi," cetus Cody yang membuat aku dan Corbin tergelak seketika.
"Dia kapok nikah lagi karena Anita membuatnya membayar $500000 (sekitar 7.3 milyar), dan $2400 (sekitar 35 juta) perbulan untuk tunjangan Chris yang cuma bisa dia temui dua kali dalam sebulan!" Corbin menggeleng-geleng.
"Jangan sebut nama wanita tukang selingkuh itu di depanku lagi!" Cody memejamkan matanya.
"Sial, Itu jumlah yang cukup besar, Banks. Apalagi anakmu masih balita. Kau bisa dapat lebih dari sekadar dua kali--untuk bertemu dengan anakmu dalam sebulan." Kutepuk punggungnya tanda simpati; lalu memberinya saran.
Wajah Cody berubah semringah. "Kau benar-benar membuka mataku. Terima kasih."
Corbin berdeham. "Banks... sudah hampir sejam kau konsultasi dengan Fall William Reed, pengacara paling terkenal di Chi-town. Bayarannya--"
"Iya iya... aku mengerti," gerutu Cody. "Kalian bisa minum sepuasnya, termasuk untuk gadis-gadis yang nanti akan kalian rayu."
Tawa Corbin mengudara bersamaan dengan intro "Beautiful Ones"-nya Suede dari home band RB.
Aku suka lagu ini.
Dan karena itu, alih-alih aku menyindir Corbin yang biasanya kulakukan, aku hanya berdecak geli melihat kelakuannya yang sudah tahu pasti--dengan mengajakku ke sini, akan mendapatkan minuman gratis.
"Sekali lagi trims, Reed, kau sudah mau mendengarkan keluh kesahku--saat seharusnya bersenang senang," ucap Cody.
"Enggak masalah," senyumku, "temannya Corbin, berarti temanku juga."
Cody terkekeh, pandangannya beralih-alih antara aku dan Corbin. "Lihat, itu baru namanya respek, Man!"
Corbin menaikkan alis pirang gelapnya berulang kali dengan tersenyum bangga. "Sekarang kau lihat kan, Banks, orang yang bertahan menjadi temanku, berarti orang yang sangat sabar dan superbaik hati."
"Touchè! Aku supersabar banget terhadapmu," gerutu Cody, yang membuat aku dan Corbin terbahak bersamaan.
Tak berapa lama dari itu, datang Nick Lawrence, manajer di salah satu restoran terkenal--yang sudah menjadi sahabat lamanya Cody. Umurnya 36 tahun, setahun lebih tua dari Cody, tapi dia terlihat jauh lebih muda dari usianya. Apa ini karena tampangnya yang ala pemain telenovela? Atau karena dia belum menikah, jadi tidak terlalu banyak beban pikiran?
Kami bercakap-cakap. Ternyata Nick teman seapartmenku di 371. Dan aku akan menempati kamar bekas Fin yang akan pindah esok hari.
Tak lama kemudian, Corbin pergi berburu wanita. Hebatnya, dalam lima menit dia kembali dengan empat gadis di gandengannya.
Benar-benar Don Juan sejati.
Kami berdua tahu, kami sama-sama pria atletis yang menarik. Perbedaan kami hanyalah, matanya biru, rambut pirangnya agak gondrong dan lurus, dan tinggi badannya 190 senti; sedangkan tinggiku lebih pendek 4 senti darinya, mata abu-abuku terkadang seperti biru muda, dan rambut cokelat ikalku paling sulit diatur kalau tidak pakai pomade.
Perbedaan terbesar kami, dia perayu ulung, manwhore kelas hiu, dan belum pernah menjalin hubungan dengan siapa pun, setidaknya semenjak aku mengenalnya dari umur lima belas tahun; sedangkan seumur hidupku, aku baru empat kali berpacaran, yang salah satunya serius, dan belum pernah one night stand.
Nama para gadis itu Jessica, Kylee, Amanda, dan Lanie. Semuanya berumur di bawah 25 tahun dan bertubuh langsing.
Kecuali Amanda yang depan belakang montok.
Mereka duduk di sofa, di sela-sela kami. Amanda langsung lengket dengan Corbin. Saat Jessica tahu bahwa Cody pemilik tempat ini, dia menempel seperti lem pada Cody.
Aku hanya terkekeh masam. Dasar Gadis pengeruk harta.
Dari awal, Lanie sudah memperlihatkan ketertarikannya padaku, tapi saat dia tahu aku seorang pengacara, bukan hanya Lanie yang menggelendot padaku, tapi Kylee yang asalnya asyik mengobrol dengan Nick, ikut-ikutan memberi perhatian padaku.
Poor Nick.
Cuma dalam waktu kurang dari dua puluh menit, Corbin dan Amanda sudah tidak tahan.
Sebelum pergi, Corbin duduk di sampingku, menjepit leherku dengan lengannya. "Aku berkorban untukmu, Bro, agar kau bisa menguasai kerajaanku malam ini."
"Wow, jasamu yang sangat besar ini nggak akan pernah kulupakan," sindirku dengan wajah serius.
Corbin tergelak sembari mengacak rambutku. Yeah, dia tahu betul kalau aku paling benci saat rambutku diacak-acak. Dia memberi kunci kamarnya ke tanganku, menyebutkan kode pintu apartemennya yang langsung kuhapal di luar kepala, lalu bangkit dari kursinya. "Jangan lupa besok pagi, siapkan sarapan sekaligus dua cangkir espreso untukku."
"Siap, Sir," anggukku, mengerti benar gaya Corbin saat one night stand, mengucapkan selamat pagi dan terima kasih, lalu kabur. Sarapan pagi dengan wanita yang sudah ditiduri semalaman, hanya akan membawa ke hal-hal yang tidak diinginkan.
Setelah Corbin dan Amanda pergi, para gadis lari ke toilet.
Nick mengeluh tentang kebiasaan wanita yang selalu pergi bersamaan saat ke toilet. Yang langsung disetujui oleh aku dan Cody.
Terdengar lagu "Come Undone" dari Duran-Duran, yang dibawakan dengan merdu oleh home band. Kepalaku bersandar pada sofa merah tua sambil menyesap dirty martini dan sesekali mengobrol dengan santai.
"Woww!" seru Nick, mengusap-usap dagunya.
"She's unreal, Man," sambung Cody, menggeleng-geleng.
"Yas, unreal and hella hot!" balas Nick.
Mataku menyapu sekeliling, ternyata pandangan para kaum Adam tertuju ke depan. Saat mataku mengikuti, apa yang kulihat langsung meninjuku.
Benar kata mereka, gadis pirang itu unreal dan hella hot!Ke mana dia pergi, dia bersinar, seperti ada lampu sorot yang mengikutinya. Apalagi saat dia berdiri di pertengahan, melihat-lihat tempat duduk, mungkin mencari temannya?
Atau pacarnya?
Bloody hell, mana banyak pria yang tiba-tiba berdiri dan menawarkan tempat duduk padanya lagi, yang syukurnya dia tolak.
Gadis pirang itu berjalan beberapa langkah, hingga bersisa kira-kira 10 kaki dari tempat dudukku.
Para serigala itu masih mengerumuninya, tapi pandangannya kembali menyapu sekeliling dan berhenti padaku.
GLOSSARY:
• Absobloodylootely (slang) - Yes.
• Bloody - Damn.• Bro Before Hoes - Etiket bahwa pria tidak boleh mengabaikan teman prianya untuk mengejar atau membina hubungan dengan wanita. • Chi-town (slang) - Chicago.• Don Juan- Istilah untuk seorang pria yang handal dalam menaklukkan banyak wanita lalu melakukan hubungan seksual dengan para wanita tersebut.• Hella (slang) - Sangat.• JK - Just Kidding.• Manwhore - Gigolo (konteks di sini lebih ke pria hidung belang).• Mate - Teman.• Nah - Tidak.• Smart-Ass - Sok pintar; sok tahu.• Touchè - Ya; tepat.• Unreal (slang) - Luar biasa.• Yas (slang) - Ya.• Wanker - Idiot.FALLGadis itu tersenyum, lalu mengedipkan sebelah matanya.Padaku?"Dia mengedip padaku, Man," sambung Cody."Nah--tidak. Sudah jelas aku yang tepat sejajar dengannya. Dia mengedip padaku, tahu!" balas Nick.Gadis itu bertolak pinggang, mengedip lagi sambil menunjukku.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Ternyata semua serigala merasa--gadis itu mengedip dan menunjuk pada mereka.Apa aku yang terlalu percaya diri?Atau mereka?Kepala gadis itu miring ke kiri, memanggilku dengan menjentikan telunjuknya."Aku?" Cody menunjuk dirinya sendiri, tapi gadis pirang itu menggeleng. Kami semua jelas menertawainya.Akhirnya aku dan Nick menunjuk diri sendiri dengan bersamaan. Gadis itu tergelak, karena serigala lain ikut menunjuk diri sendiri.Masa bodoh deh, dipilih atau tidak, aku memutuskan menghampiri gadis yang sekarang sedang tersenyum dan mengangguk padaku. Astaga,
FALLAku menghirup napas dalam-dalam, menggosok-gosok telapak tanganku pada kain chino di pahaku. "Ayo ayo..." ajakku gugup, berdiri, dan mengulurkan tanganku yang langsung dia sambut dengan mata menari-nari.Saat yang bersamaan terdengar erangan di belakangku.Ketika berbalik, aku disuguhi cengiran dan jempol dari Nick, juga gaya konyol Cody. Dan tentu saja tampang cemberut dari Lanie.Bloody hell, aku benar-benar melupakannya. Dan ini semua gara-gara gadis yang tangannya sekarang berada di genggamanku. Aku balas memberikan jempol pada Nick dan Cody, sebelum kami berjalan ke luar dari RB.Kuremas tangannya pelan. "Ke mana, kita? Aku belum punya tempat tinggal. Kamar temanku juga lumayan jorok. Gimana kalau tempatmu?"Sam menggeleng. "O-té.""Hotel? Di mana?" senyumku geli. Dia balas tersenyum, menunjuk ujung jalan, lalu belok kiri. "Jalan saja, nih? Atau naik taksi?"Sa
FALLSam tersenyum, mendekatiku. Jelas aku mundur. Lalu pandangannya teralih ke bawahku dan terkesiap.Otomatis aku mengikuti pandangannya. Dan apa yang kulihat membuatku merutuk.Luar biasa, Fall! Saking terkejutnya, kau sampai tidak merasakan telah menginjak pecahan cangkir."Jangan ke mana-mana!" seru Sam dengan nada panik."Memang aku mau ke mana?" balasku kesal sambil melihat keadaan kakiku. Ternyata, banyak pecahan cangkir kecil-kecil bertebaran menusuk telapak kaki kananku.Sam mengambil kursi terdekat. "Duduk di sini, biar aku yang ambil pecahannya." Kuikuti arahannya.Dia berjongkok dan mengangkat kakiku di depan wajahnya. "Whoa, telapak kakimu sudah seperti kepala shower!" Sudut mulutku mengedut mendengar pernyataannya. "Yang dua ini cukup dalam. Sebentar, aku ambil kotak P3K dulu.""Enggak usah!" bentakku, tapi dia malahan berlari tidak mempedulikanku. Sam datang dengan peralatannya,
FALLMataku menyipit. "Masa?""Ya, ini pertama kalinya aku mengajak seseorang untuk menjadi fück buddy-ku; dan yang semalam, itu juga pertama kalinya untukku," balas Summer tepat menatap mataku. Lalu matanya menari-nari. "Berarti kita sama-sama yang pertama.""Ya." Aku tidak bisa menutupi senyumanku, lega mendengar pernyataannya. "Tapi aku belum menyetujui, loh!""Oh iya, aku kan memberimu waktu lima hari. Sekarang," Summer bangun dari tidurnya, duduk di tepi ranjang, "kau ganti baju dulu, atau kita ganti baju bareng-bareng?"Aku berdecak, sudut mulutku mengedut. "Dasar penggoda.""Lagi pula, semalam aku sudah melihat tubuhmu. Kau begitu kekar, aku ingin menjilat semuanya."Aku mengerang, bangkit dari tidurku. "Aku mau mandi dulu.""Mau pinjam handuk merah mudaku?"Aku terkekeh. "Trims, aku punya handuk sendiri.""Oke deh, kau mandi, aku ganti baju di sini."
FALL"Hey, lagi asyik bengong, ya? Sudah masuk jam makan siang, nih," kata Clarissa Regan, gadis sintal pirang sekaligus rekan sefirmaku--yang tiba-tiba muncul di ruanganku yang masih berbau apak dan belum tertata rapi sepenuhnya.Ini jelas bukan aku."Sebentar, lima menit lagi. Aku enggak bakalan kabur dari acara mentraktir ini, kok."Mata hijau gioknya menyapu sekeliling ruanganku yang cukup besar bernuansa klasik ruangan kantor alias belum ada sentuhan personal. "Wow, ruangan ini jauh lebih rapi dari tadi pagi... tinggal kurang satu.""Apa?""Vas bunga, kalau bisa bunga hidup. Jadi sekalian mengharumkan ruangan. Soalnya, baru juga dua minggu tidak ditempati, ruangan ini sudah bau apak.""Memang," kataku dengan kening berkerut, "vas bunga hidup sepertinya agak tidak praktis.""Iya, sih, aku juga mengganti mawarku seminggu sekali, tapi ketidakpraktisan itu sebanding, bahkan lebih banyak
FALL"Sudah waktunya pulang," sahut Clarissa, bersandar di palang pintu dengan manisnya."Aku lupa waktu, bahkan tehku saja belum kuminum." Aku mematahkan leherku ke kiri dan ke kanan lalu berdiri dan melakukan sedikit peregangan. "Sepertinya besok aku harus mulai lari--dan daftar ke gym.""Aku juga sering lari, tapi tiap sabtu dan minggu." Jari Clarissa mengetuk-ngetuk dinding pintu. "Mau bareng nggak, kita kan searah?""Trims, tapi aku menunggu teman--""Teman yang tadi siang menciummu, kan?" Mata gioknya menari-nari; aku tersenyum dan mengangguk. "Waktu aku mau mengambil sesuatu di mobilku, temanmu itu bersiap masuk ke dalam Limosin."Aku memejamkan mata, menggeleng-geleng. Ya Tuhan, jangan bilang dia meninggalkanku lagi demi Brad. "Kau tahu dengan siapa?""Tidak.""Jam berapa?"Clarissa memainkan ujung rambut pirangnya. "Sejam yang lalu."Kulihat jam di dinding, ma
FALLJariku terus menari pada keyboard laptop, tapi mataku selalu kembali pada Summer yang sedang mengetik di ponselnya.Yeah, sambil menjilat lollipop-nya.Terkutuklah aku. Kalau begini caranya, bagaimana aku bisa fokus?Benar katanya, dia tidak ribut apalagi menggangguku. Dia malahan duduk bersandar pada kepala ranjang, sibuk menulis sesuatu di bukunya, lalu kembali mengetik di ponselnya.Tapi kenapa aku ingin diganggu?Jam di dinding menunjukkan setengah sepuluh malam. Tanpa terasa sudah hampir dua jam kami tidak berbicara.Aku mendesah, mataku tertuju pada layar laptop dan terkekeh melihat ulah ketololanku. Aku langsung menghapus ketikan kacau tersebut."Ada yang lucu?" Summer menyelipkan pensil di daun telinga. Aku tersenyum, membetulkan letak kacamataku. Dia malahan memiringkan kepalanya. "Kau tidak mungkin bisa lebih tampan dari ini.""Sori?""Aku di kamar berdua saja dengan
FALL"Aku nggak..."Omonganku terpotong dengan getaran di ranjang. Tidak, ranjangku tidak bisa bergetar. Getaran terus-menerus ini berasal dari ponselnya. Kami meraba-raba sampai aku yang menemukannya di balik selimut. Saat melihat nama di layar ponselnya, aku tahu ini tidak akan berakhir baik."Dari siapa?" bisik Summer."Brad. Kau mau mengangkatnya?" tanyaku dengan nada yang kuusahakan biasa saja.Summer merapikan lingerie di tubuhnya, mengambil ponselnya dari tanganku, lalu turun dari ranjang. "Braad... oh halo juga, ya ini dengan Summer. Mabuk parah dan memanggil namaku...? Ehmm," dia mengangguk, "di Carillon Bar... ya, aku segera ke sana." Dia mengambil jubah di lantai, lalu memakainya. "Fall aku--""Kau nggak harus pergi..." aku berdiri, mendekatinya, "dia sudah dewasa, itu bukan tanggung jawabmu.""Sebentar saja, nanti setelah mengurusnya--""Kau akan kembali ke sini, begitu?"Summer meng