FALL
Gadis itu tersenyum, lalu mengedipkan sebelah matanya.Padaku?"Dia mengedip padaku, Man," sambung Cody."Nah--tidak. Sudah jelas aku yang tepat sejajar dengannya. Dia mengedip padaku, tahu!" balas Nick.Gadis itu bertolak pinggang, mengedip lagi sambil menunjukku.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Ternyata semua serigala merasa--gadis itu mengedip dan menunjuk pada mereka.Apa aku yang terlalu percaya diri?Atau mereka?
Kepala gadis itu miring ke kiri, memanggilku dengan menjentikan telunjuknya.
"Aku?" Cody menunjuk dirinya sendiri, tapi gadis pirang itu menggeleng. Kami semua jelas menertawainya.Akhirnya aku dan Nick menunjuk diri sendiri dengan bersamaan. Gadis itu tergelak, karena serigala lain ikut menunjuk diri sendiri.Masa bodoh deh, dipilih atau tidak, aku memutuskan menghampiri gadis yang sekarang sedang tersenyum dan mengangguk padaku. Astaga, mimpi apa aku semalam? "Kau memanggilku?" cengirku.Mata yang sebiru bunga cornflower di halaman rumah ibuku itu membulat, tersenyum, lalu mengangguk.
Sudah pasti dia terpesona dengan aksenku.Terdengar erangan dan sumpahan di belakang sana yang membuatku tergelak dan gadis di hadapanku tersenyum."Hai, aku Fall Reed," aku mengulurkan tanganku, "penduduk baru Manhattan."Dia tersenyum, menyambut tanganku, lalu menunjuk tenggorokkannya."Lagi sakit?"Dia menggeleng tapi mengangguk, lalu menunjuk tempat duduk yang kosong."Astaga, di mana kesopananku. Ayo kita duduk!" Dia memberikan senyuman angelic. Otomatis aku membalasnya dengan senyuman-desahan, dan sekuat tenaga menahan diri untuk tidak merangkul pinggangnya yang bergaun merah muda--saat kami berjalan ke sofa di dekat bar."Mau minum apa?" tanyaku.Gadis cantik ini mendesah sambil memejamkan mata, lalu membukanya dan mata kami beradu. "Moiho."
"Apa?" "Mo-hii-ho." Dia mengucapkannya sepatah-sepatah dengan mata berkaca-kaca.Tubuhku mendekat. "Aku enggak mengerti. Kau lagi sakit tenggorokan, ya?"Dia kembali memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, tangannya merogoh sesuatu di dalam tas abu-abunya. Ternyata dia mengeluarkan buku kecil merah muda dan menulis sesuatu di sana. Tak lama kemudian dia memperlihatkan padaku.- Aku mau mojito. Setelah itu, mau nggak, kita pergi ke suatu tempat?Suatu tempat? "Ke mana?" senyumku.Dia menggigit bibir merah seksinya dengan cara mengundang yang membuatku menelan ludah.Astaga, gadis-gadis New York benar-benar serba cepat.Aku menggeleng-geleng. "Apa kau yakin?"Tangannya membelai cambang yang baru tumbuh di pipiku. Sudah jelas aku merinding kenikmatan.Aku masih terpaku. Tidak menyangka dengan keberuntunganku. Atau ini...?"Bloody prank! Di mana kameranya?" Mataku menyapu sekeliling. "Aku bukan lelaki murahan!" Dia tertawa tanpa suara, memperlihatkan gigi putih yang tidak simetris di bagian depan bawahnya. "Nggak mungkin gadis yang hella beautiful sepertimu, datang ke bar ini sendiri, dan dan langsung memilih pria dengan jentikan jarinya. Ini pasti ada yang tidak beres!"Dia cukup lama menulis sesuatu di buku kecilnya, lalu memperlihatkannya padaku.- Ini bukan prank, & nggak ada kamera di sini!- Aku kemari ada janji dengan temanku. Saat mencarinya, mata kita beradu. Selanjutnya itu terjadi begitu saja. Aku juga nggak tahu.
Aku terus menatapnya, mencari ada gerakan-gerakan aneh atau tidak. Dia hanya memiringkan kepalanya ke kiri, bibir penuhnya tetap tersenyum.Bloody hell, dia serius, Fall!"Sori," kugenggam tangannya dengan lembut, "aku pesankan dulu mojito-nya. Ada tambahan lain?""Hahos.""Maksudmu, nachos?" cengirku. Dia mengangguk. "Astaga, kau pasti amat kesakitan, ya?"Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk."Tunggu sebentar." Aku memanggil pelayan wanita, kemudian menyebutkan pesanan kami. Lalu kami kembali bertatapan, saling tersenyum dikulum. "Suaramu, kenapa bisa habis begitu?"Dia kembali memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, kemudian membukanya dan kembali menulis di bukunya. Kali ini sebentar.Saat membacanya, aku terkesiap. "Kau... tuli?"Gadis di hadapanku mengangguk pelan, mata besarnya terus menatapku."Apa kau juga...?" Aku menunjuk bibirku dengan jantung berdebar kencang. Dia memiringkan kepalanya tampak seperti berpikir, lalu kembali menulis di buku merah mudanya sebentar, dan memberikannya ke tanganku. Setelah membacanya aku mengembuskan napas dalam-dalam. Siapa yang menyangka gadis secantik ini tuli dan bisu? Pasti sangat menderita. Kugenggam tangannya. Dahinya berkerut. "Aku menyesal mendengarnya. Maaf, aku nggak bisa bahasa isyarat. Tapi kau mengerti kan, pembicaraan kita?"Dia kembali memiringkan kepalanya, mengangguk, lalu mengambil buku kecilnya dan menulis sesuatu di sana. Setelahnya, dia kembali memperlihatkan padaku.- Ya, asal kau berbicara tidak terlalu cepat dan menghadap ke arahku. Kau nggak masalah, aku begini?"Tidak masalah," balasku lambat-lambat. "Tapi aku benar-benar ingin tahu namamu." Dia tersenyum lebar, lalu kembali menulis. Pada saat bersamaan datanglah pelayan yang membawakan pesanan kami. Aku berterima kasih dan memberi tip."Silakan diminum," kataku.Dia mengangguk, menunjuk buku kecilnya. Aku membacanya. "Sam," desahku, "nama yang indah. Sayang tidak punya nama panjang." Sam tersipu, lalu meneguk mojito-nya; sedangkan aku menuang Evian dingin ke dalam gelas. Lucunya, kami tidak melepas pandangan saat sedang meneguk minuman kami. Setelah itu, kami kembali tersenyum dikulum.Aku berdeham. "Dimakan nachos-nya."Sam mengangguk, merogoh sesuatu di tasnya. Ternyata hand sanitizer. Setelah menyemprotkan di tangannya, dia mulai mencomot nachos-nya.Dan aku bersumpah, belum pernah melihat seseorang memakan nachos dengan cara seseksi Sam.Sam menunjuk nachos-nya, lalu menunjuk bibirnya."Trims, aku sudah makan malam," senyumku. Dia membalasnya. "Kau asli dari New York?" Dia menggangguk, lalu menunjukku. Aku bersandar ke sofa. "Aku dari Chicago. Baru saja sampai pagi tadi. Aku bekerja di Andrew Davis Law and Partners sebagai pengacara. Kalau kau?"Sam menghirup napas dalam-dalam. "Pe-u-iss.""Apa?" Aku tidak bisa menahan kekehanku, untungnya dia tidak tersinggung, malahan ikut terkekeh tanpa suara.Akhirnya, salah satu tangan Sam merogoh tasnya, mengambil tisu untuk mengelap tangannya. Dia kembali menyemprotkan hand sanitizer ke tangannya. Aku cuma terkekeh melihat kerepotannya. Dia menulis sesuatu di buku kecilnya, lalu menaruh ke tanganku."Keren. Buku apa saja yang telah kau terbitkan?"Sam menulis lagi. Aku menoleh ke belakang, melihat teman-teman baruku yang memperlihatkan tampang bingung-penasaran padaku. "What the, hell, Dude?" tanya Nick tanpa suara. Dengan wajah berkerut, Cody malahan menulis di tangan dengan jarinya, lalu memaparkan kedua tangannya. "Apa?" Aku cuma memberi jempol pada mereka. Saat aku berbalik Sam memberikan senyuman semanis gula padaku, yang kubalas dengan cengiran.Aku membaca lagi tulisannya. "Aku pernah baca salah satunya--yang ada di rak buku ibuku. Novel yang manis dan penuh dengan humor. Aku tersanjung, bisa bertemu dengan Sam Reese, penulis contemporary romance New York Times best seller."Tangannya menempel di dadanya. "Eng-u."Aku kembali terkekeh ketika dia mengatakan 'thank you'. "Maaf, bukan maksud meledek, tapi sangat menggemaskan saat kau mengatakannya."
Sam hanya menggeleng-geleng, senyuman tidak lepas dari bibir yang terbuat dari dosa dan gairah.Kami berbicara lagi selama setengah jam berikutnya. Dia menyenangkan, kami juga lumayan nyambung. Namun kesabaranku juga diuji saat dia harus menuliskan semua jawaban dari beberapa pertanyaanku.Sampai akhirnya dia menuliskan sesuatu yang membuat darahku berdesir saat itu juga.FALLAku menghirup napas dalam-dalam, menggosok-gosok telapak tanganku pada kain chino di pahaku. "Ayo ayo..." ajakku gugup, berdiri, dan mengulurkan tanganku yang langsung dia sambut dengan mata menari-nari.Saat yang bersamaan terdengar erangan di belakangku.Ketika berbalik, aku disuguhi cengiran dan jempol dari Nick, juga gaya konyol Cody. Dan tentu saja tampang cemberut dari Lanie.Bloody hell, aku benar-benar melupakannya. Dan ini semua gara-gara gadis yang tangannya sekarang berada di genggamanku. Aku balas memberikan jempol pada Nick dan Cody, sebelum kami berjalan ke luar dari RB.Kuremas tangannya pelan. "Ke mana, kita? Aku belum punya tempat tinggal. Kamar temanku juga lumayan jorok. Gimana kalau tempatmu?"Sam menggeleng. "O-té.""Hotel? Di mana?" senyumku geli. Dia balas tersenyum, menunjuk ujung jalan, lalu belok kiri. "Jalan saja, nih? Atau naik taksi?"Sa
FALLSam tersenyum, mendekatiku. Jelas aku mundur. Lalu pandangannya teralih ke bawahku dan terkesiap.Otomatis aku mengikuti pandangannya. Dan apa yang kulihat membuatku merutuk.Luar biasa, Fall! Saking terkejutnya, kau sampai tidak merasakan telah menginjak pecahan cangkir."Jangan ke mana-mana!" seru Sam dengan nada panik."Memang aku mau ke mana?" balasku kesal sambil melihat keadaan kakiku. Ternyata, banyak pecahan cangkir kecil-kecil bertebaran menusuk telapak kaki kananku.Sam mengambil kursi terdekat. "Duduk di sini, biar aku yang ambil pecahannya." Kuikuti arahannya.Dia berjongkok dan mengangkat kakiku di depan wajahnya. "Whoa, telapak kakimu sudah seperti kepala shower!" Sudut mulutku mengedut mendengar pernyataannya. "Yang dua ini cukup dalam. Sebentar, aku ambil kotak P3K dulu.""Enggak usah!" bentakku, tapi dia malahan berlari tidak mempedulikanku. Sam datang dengan peralatannya,
FALLMataku menyipit. "Masa?""Ya, ini pertama kalinya aku mengajak seseorang untuk menjadi fück buddy-ku; dan yang semalam, itu juga pertama kalinya untukku," balas Summer tepat menatap mataku. Lalu matanya menari-nari. "Berarti kita sama-sama yang pertama.""Ya." Aku tidak bisa menutupi senyumanku, lega mendengar pernyataannya. "Tapi aku belum menyetujui, loh!""Oh iya, aku kan memberimu waktu lima hari. Sekarang," Summer bangun dari tidurnya, duduk di tepi ranjang, "kau ganti baju dulu, atau kita ganti baju bareng-bareng?"Aku berdecak, sudut mulutku mengedut. "Dasar penggoda.""Lagi pula, semalam aku sudah melihat tubuhmu. Kau begitu kekar, aku ingin menjilat semuanya."Aku mengerang, bangkit dari tidurku. "Aku mau mandi dulu.""Mau pinjam handuk merah mudaku?"Aku terkekeh. "Trims, aku punya handuk sendiri.""Oke deh, kau mandi, aku ganti baju di sini."
FALL"Hey, lagi asyik bengong, ya? Sudah masuk jam makan siang, nih," kata Clarissa Regan, gadis sintal pirang sekaligus rekan sefirmaku--yang tiba-tiba muncul di ruanganku yang masih berbau apak dan belum tertata rapi sepenuhnya.Ini jelas bukan aku."Sebentar, lima menit lagi. Aku enggak bakalan kabur dari acara mentraktir ini, kok."Mata hijau gioknya menyapu sekeliling ruanganku yang cukup besar bernuansa klasik ruangan kantor alias belum ada sentuhan personal. "Wow, ruangan ini jauh lebih rapi dari tadi pagi... tinggal kurang satu.""Apa?""Vas bunga, kalau bisa bunga hidup. Jadi sekalian mengharumkan ruangan. Soalnya, baru juga dua minggu tidak ditempati, ruangan ini sudah bau apak.""Memang," kataku dengan kening berkerut, "vas bunga hidup sepertinya agak tidak praktis.""Iya, sih, aku juga mengganti mawarku seminggu sekali, tapi ketidakpraktisan itu sebanding, bahkan lebih banyak
FALL"Sudah waktunya pulang," sahut Clarissa, bersandar di palang pintu dengan manisnya."Aku lupa waktu, bahkan tehku saja belum kuminum." Aku mematahkan leherku ke kiri dan ke kanan lalu berdiri dan melakukan sedikit peregangan. "Sepertinya besok aku harus mulai lari--dan daftar ke gym.""Aku juga sering lari, tapi tiap sabtu dan minggu." Jari Clarissa mengetuk-ngetuk dinding pintu. "Mau bareng nggak, kita kan searah?""Trims, tapi aku menunggu teman--""Teman yang tadi siang menciummu, kan?" Mata gioknya menari-nari; aku tersenyum dan mengangguk. "Waktu aku mau mengambil sesuatu di mobilku, temanmu itu bersiap masuk ke dalam Limosin."Aku memejamkan mata, menggeleng-geleng. Ya Tuhan, jangan bilang dia meninggalkanku lagi demi Brad. "Kau tahu dengan siapa?""Tidak.""Jam berapa?"Clarissa memainkan ujung rambut pirangnya. "Sejam yang lalu."Kulihat jam di dinding, ma
FALLJariku terus menari pada keyboard laptop, tapi mataku selalu kembali pada Summer yang sedang mengetik di ponselnya.Yeah, sambil menjilat lollipop-nya.Terkutuklah aku. Kalau begini caranya, bagaimana aku bisa fokus?Benar katanya, dia tidak ribut apalagi menggangguku. Dia malahan duduk bersandar pada kepala ranjang, sibuk menulis sesuatu di bukunya, lalu kembali mengetik di ponselnya.Tapi kenapa aku ingin diganggu?Jam di dinding menunjukkan setengah sepuluh malam. Tanpa terasa sudah hampir dua jam kami tidak berbicara.Aku mendesah, mataku tertuju pada layar laptop dan terkekeh melihat ulah ketololanku. Aku langsung menghapus ketikan kacau tersebut."Ada yang lucu?" Summer menyelipkan pensil di daun telinga. Aku tersenyum, membetulkan letak kacamataku. Dia malahan memiringkan kepalanya. "Kau tidak mungkin bisa lebih tampan dari ini.""Sori?""Aku di kamar berdua saja dengan
FALL"Aku nggak..."Omonganku terpotong dengan getaran di ranjang. Tidak, ranjangku tidak bisa bergetar. Getaran terus-menerus ini berasal dari ponselnya. Kami meraba-raba sampai aku yang menemukannya di balik selimut. Saat melihat nama di layar ponselnya, aku tahu ini tidak akan berakhir baik."Dari siapa?" bisik Summer."Brad. Kau mau mengangkatnya?" tanyaku dengan nada yang kuusahakan biasa saja.Summer merapikan lingerie di tubuhnya, mengambil ponselnya dari tanganku, lalu turun dari ranjang. "Braad... oh halo juga, ya ini dengan Summer. Mabuk parah dan memanggil namaku...? Ehmm," dia mengangguk, "di Carillon Bar... ya, aku segera ke sana." Dia mengambil jubah di lantai, lalu memakainya. "Fall aku--""Kau nggak harus pergi..." aku berdiri, mendekatinya, "dia sudah dewasa, itu bukan tanggung jawabmu.""Sebentar saja, nanti setelah mengurusnya--""Kau akan kembali ke sini, begitu?"Summer meng
FALL"Reed!" seru Zeke, matanya tertuju pada sesuatu di belakangku, "bukannya itu gadis seksi yang menciummu kemarin?"Aku langsung menghentikan aktifitas makan siangku dan menoleh. Ternyata Summer dan temannya sedang berjalan ke arahku."Hai, Fall," senyum gadis cantik-eksotis yang rambut panjangnya sekelam malam, sahabat sekaligus rekan sekerja Summer, "kita bertemu lagi.""Hai juga, Raline." Aku berdiri, tersenyum. "Mau bergabung dengan kami? Tempatnya juga penuh..." mataku melirik Summer yang menatapku tanpa ekspresi, "Halo, Summer..."Yang membuatku terkejut, Summer hanya menjawabnya dengan anggukkan.Pada saat bersamaan, kakiku disenggol oleh Rhys yang duduk di sampingku."Mau bergabung?" ajakku."Trims, tapi kami sudah ditunggu," balas Raline, menunjuk meja di pojok yang dipenuhi teman-temannya."Oke," anggukku, "bollocks!" makiku tanpa sadar saat kakiku