Cha Jung Won POV
“Jeogiyo[1]! Bolehkah aku tahu siapa namamu?” tanya seorang perempuan dengan rambut ikal padaku. Wajahnya cukup manis.
“Cha Jung Won,” ucapku. Aku mengenalkan nama depanku seperti sebelumnya karena di sekolah memang aku di kenal dengan nama Cha Jung Won bukan Mike.
“Seonbae, aksi basketmu sangat hebat!” pujinya. Kulihat beberapa anggota fans clubku terlihat geram. Perempuan ini tidak sadar serigala-serigala betina di kursi penonton siap menerkam.
“Seonbae, apa kau sudah memiliki kekasih?” tanyanya lagi.
“SUDAH NONA,” ucap seorang perempuan di belakangku. Siapa lagi kalau bukan Yoon Na. Mata Yoon Na menguliti perempuan berambut ikal itu dengan sinis dan tajam.
“Ah~mianhe[2]! Kau kekasih Jung Won Seonbae? Kalian benar-benar pasangan serasi,” ucap perempuan itu terbata. Kemudian, ia meninggalkan aku dan Yoon Na.
“Kau tidak perlu mengaku-ngaku menjadi pacarku!” pintaku seraya menatap tajam.
“Jagiya[sayang], aku tidak mengaku-ngaku. Aku sangat yakin sebentar lagi kau akan bertekuk lutut di hadapanku.”
Tiba-tiba Kim Na Ra si gadis muse muncul di depan mataku. Ia berjalan bersama temannya. Tanpa pikir panjang aku langsung menarik lengannya, kemudian merangkul bahu kecilnya.
“Seonbae, kau tidak perlu berharap lagi padaku. Aku secara resmi akan memperkenalkan pacarku padamu, Kim Na Ra.”
Aku akui aku gila karena mengakui gadis ini sebagai kekasihku. Hanya dengan cara ini aku bisa lepas dari perempuan obsesi seperti Yoon Na. Jika aku memiliki kekasih, mereka pasti menyerah untuk mengejar-ngejar aku lagi. Aku lelah dengan semua teror yang mereka lakukan, membuat hidupku tidak nyaman.
Secara fisik, tak ada yang spesial dari gadis berkaki pendek ini. Kami tak sengaja bertemu saat aku pertama kali kembali ke Seoul setelah 8 tahun tinggal di London.
Pagi itu aku benar-benar merasa tak semangat untuk pergi ke sekolah. Dengan sengaja, aku bangun terlambat. Jujur sejak awal, aku merasa tidak betah karena hari ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di sekolah asing. Ya, sekolah asing di Seoul tempat tinggal baruku sejak dua hari yang lalu.
Aku tidak setuju dengan keputusan kedua orang tuaku untuk pindah ke kota ini. Entahlah aku merasa tidak cocok, aku lebih nyaman dan betah tinggal di London bersama Halmeoni juga Dave --Kakakku-- dibandingkan harus tinggal di kota kelahiranku ini.
Aku putra bungsu dari dua bersaudara. Teman-teman di London terbiasa memanggilku dengan sebutan Mike (nama Inggrisku), begitu pula dengan Eomeoni[3] (Ibu) dan Abeoji[4] (Ayah). Kakakku kuliah di salah satu Universitas bonafit di London Jurusan Seni Musik. Kuakui Dave memang hebat dalam bermain musik. Aku tidak pernah memanggilnya dengan sebutan Kakak. Kami lebih cocok sebagai teman daripada kakak beradik. Karena proses perpindahan ini aku tak lagi bisa bertemu dengan Dave. Ia tinggal bersama Halmeoni, sedangkan aku terpaksa ikut dengan Eomeoni dan Abeoji.
Mereka tak akan mengizinkanku tinggal di London lagi. Alasannya, selama di sana aku sering bolos sekolah dengan rekor dua bulan lebih alfa dalam satu tahun. Hal itu belum termasuk jatah sakit dan izin. Mereka mengatakan aku terlalu banyak bermain dan tidak pernah serius dalam hal apa pun berbanding terbalik dengan Dave yang selalu menuruti apa pun keinginkan Abeoji. Salah satunya, meski Dave sangat menyukai musik, ia tetap bisa belajar manajemen dengan baik karena Abeoji ingin kelak Dave menjadi CEO di perusahaannya.
Bagiku sekolah tidak terlalu penting karena tanpa berada di kelas pun nilaiku baik-baik saja. Aku masih bisa mengejar ketertinggalanku dan prestasiku di kelas cukup baik. Apalagi ditambah dengan prestasiku dalam bidang basket dan fotografi. Karena hal ini, seonsaengnim tak dapat memberikan hukuman padaku. Untuk apa dihukum? Karena jarang sekolah? Semua sudah terbayar dengan prestasiku dalam mengharumkan nama sekolah.
Fisikku? Mungkin dapat dikategorikan tampan. Terbukti di sekolahku dulu ada perkumpulan aneh bernama Mike Fans Club. Anggotanya beragam mulai dari cewek paling cantik sampai paling biasa saja. Entah bagaimana asal mulanya perkumpulan aneh itu berdiri.
Aku memiliki bentuk wajah tirus, mataku agak sipit dengan bola mata hitam kecoklatan, bulu mata lentik, alis hitam tajam, hidung mancung, bibir kecil tapi tidak tipis, rambutku hitam lurus, kulitku putih untuk ukuran laki-laki dengan tinggi mencapai 183 cm. Banyak yang mengatakan fisikku terlalu sempurna: proporsi tinggi dan berat badanku ideal, tentu saja menjadi dambaan setiap perempuan. Bahkan banyak yang mengatakan aku lebih cocok menjadi model daripada menjadi fotografer --padahal aku bukan tipe laki-laki yang suka difoto--. Begitulah kurang lebih pendeskripsian orang tentang fisikku meskipun menurutku itu terlalu berlebihan.
Apakah akan ada fans club season dua di sekolah ini? Entahlah! Kita lihat saja nanti. Kalau ada, berarti hipotesis yang menyatakan wajahku tampan semakin kuat dan dapat dibuktikan.
Di hari pertama ini, aku sudah terkena hukuman. Aku sampai di sekolah tepat sepuluh menit setelah gerbang sudah terkunci rapat dan di dalam kulihat beberapa siswa dari sekolahku dan SNHS juga menunggu untuk dihukum.
Dari sekian banyaknya siswa yang di hukum, aku merasakan hal aneh. Ada seorang gadis yang cukup menarik perhatianku. Gadis itu berdiri tepat di sampingku dengan tinggi kurang lebih 155 cm. Rambutnya panjang lurus dan diikat semaunya. Jujur saja penampilan gadis ini agak berantakan. Kulihat ia memiliki proporsi tubuh yang cukup ideal: cantik, putih, kharismatik, dan entahlah ada sesuatu yang spesial darinya, meskipun ia terlihat mini. Aku merasa menemukan muse untuk karya-karyaku selanjutnya.
Entah karena alasan apa, aku tak bisa melepaskan pandanganku dari wajahnya. Ia terkesan salah tingkah. Lalu berubah menjadi risih, seolah tidak nyaman. Bahkan ia balik menatap tajam ke arahku. Mungkin aku menatapnya terlalu lama dan berlebihan, tapi entah mengapa pekerjaan ini malah terasa menyenangkan. Aku senang membuat gadis ini bingung dan dengan sengaja kudekatkan tubuhku persis di hadapan wajahnya. Membuat gadis di depanku semakin tidak nyaman. Dilihat dari raut wajahnya, aku bisa menebak bahwa ia benar-benar muak melihat tingkah lakuku dan sebentar lagi ia pasti akan meledak.
"Kim Na Ra!" Kudengar seorang guru memanggil namanya Kim Na Ra.
"Ye, Seonsaengnim?" Gadis itu menjawab dengan nada suara terbata. Aku tak mendengarkan apa yang ia bicarakan selanjutnya karena dengan nada suara yang sama Seonsaengnim di sekolahku pun memanggil kami untuk dihukum.
"Siapa namamu?" tanya Seonsaengnim itu. Dari nama di bajunya, aku dapat mengetahui bahwa Seonsaengnim itu bernama Park Moon Tae.
"Cha Jung Won, Seonsaengnim," jawabku singkat.
"Siswa baru?" tanya Park Moon Seonsaengnim dengan ekspresi wajah nyurengnya. Terlihat kerutan di dahinya.
"Ye, Seonsaengnim. Saya siswa baru pindahan dari London Seonsaengnim." Kudengar beberapa siswa perempuan menjerit pelan dan sat sit sut tidak karuan di belakang.
"Sepertinya akan ada fans club season dua," gumamku dalam hati.
Setelah memberikan beberapa nasihat, Park Moon Seonsaengnim memberikan kami dua hukuman, pertama membersihkan halaman sekolah dan kedua membersihkan toilet. Hm, hukuman yang sudah biasa aku jalani selama sekolah. Bedanya hanya terletak pada lokasi hukumannya, kalau dulu di London sekarang di Seoul.
Perhatianku kembali tertuju pada Kim Na Ra si gadis muse. Terlihat jelas gadis ini tidak dalam keadaan sehat. Ia berjalan sempoyongan dan tangan kanannya memijit-mijit dahi. Aku berlari meraih tubuhnya yang hampir jatuh. Gadis itu sempat menatap wajahku dengan ekspresi marah, tapi ia kembali memegang keningnya yang mungkin terasa pusing. Aku bisa melihat wajah gadis ini mulai berubah menjadi pucat pasi. Tubuhnya melemah dan tiba-tiba saja ia terjatuh dalam pangkuanku. Aku sempat terkejut karena gadis ini benar-benar pingsan. Dengan sigap, aku menggendongnya ke ruang kesehatan sekolah yang jaraknya lumayan jauh. Bahkan, aku sempat tersasar. Aku merasa ada getaran aneh dalam jantungku. Getaran yang sebelumnya belum pernah aku rasakan. Seperti apa ya? Um, entahlah!
Selama kurang lebih 20 menit aku menjaga si muse di ruang kesehatan. Beberapa petugas di ruangan ini terheran-heran dengan tingkahku. Apalagi melihat seragamku yang berbeda dengan seragam gadis ini. Aku khawatir dengan keadaannya, sampai lupa masuk kelas. Jam di dinding menunjukkan pukul 09.48 AM. Dia masih belum sadar. Aku kembali mengisapkan kayu putih di hidungnya dan memijat kepalanya. Ia mulai siuman dan menatap heran padaku. Aku kembali menatapnya dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya dan itu membuat ia semakin risih denganku. Lagi-lagi perbuatan ini terasa menyenangkan.
"Hei kau! Kenapa melihatku seperti itu?" Si muse bertanya dengan raut wajah sombong dan bingung. Aku suka melihat pemandangan ini dan entah mengapa aku semakin bersemangat membuatnya kesal.
"Lemah," rutukku pelan dan aku yakin ia masih bisa mendengar ucapanku karena dia persis di depanku.
"Apa katamu?" Biji bola matanya yang coklat terlihat lucu dan menggemaskan bila memelotot seperti sekarang. Aku yakin ia tidak terima dikatakan lemah. Buktinya ia terlihat naik darah. Entahlah, jauh dari dalam aku merasa gadis ini sebenarnya gadis yang lemah. Meski aku tidak tahu karena alasan apa? Aku hanya yakin ia berusaha membuat tameng di balik sikap sombongnya.
"Lemah." Aku menjawab pertanyaan sadisnya dengan santai dan memasang ekspresi wajah tanpa dosa. Jurus paling jitu membuat seseorang semakin kesal dengan tingkah yang kita lakukan.
"Aku tidak lemah!" jawabnya semakin ketus.
"Buktinya kau terbaring di sini." Lagi-lagi aku menjawab dengan santai dan menyebalkan.
"Ya~!" bentaknya. “Kau, kau benar-benar menyebalkan!”
"Dasar tidak tahu diri! Sudah ditolong malah mengatakan saya menyebalkan! Kau pikir badanmu tidak berat huh?" Jujur, untuk jawaban ini aku agak emosi juga. Gadis ini benar-benar kepala batu, bukannya berterima kasih malah marah-marah.
"Kau menggendongku?"Lagi-lagi dia memasang wajah bingung.
"Ye! wae? Sekarang kau mau bilang saya kurang ajar karena sudah menggendongmu?" Ucapanku sedikit meninggi karena sikap si muse benar-benar tidak menunjukkan rasa terima kasih.
"Aniyo! Siapa yang mau mengatakan seperti itu? Sok tahu!" Sekali lagi ia membentakku. Kali ini jawabannya tidak lagi terasa menyenangkan di telingaku.
"Sudah mengatakan saya menyebalkan, sekarang kau mengatakan saya sok tahu! Dasar perempuan tidak tahu terima kasih!" Aku membanting pintu ruang kesehatan dan pergi. Tidak ada alasan pasti kenapa aku marah? Hanya karena ia tidak berterima kasih? Entahlah! Aku tidak mengerti, awalnya aku tertarik dengan gadis ini, tapi setelah pertengkaran ini rasanya malah semakin aneh.
==================
[1] permisi
[2] maaf
[3] Ibu lebih sopan
[4] Ayah lebih sopan
Kim Na Ra POV Setelah tubuh ini terasa lebih baik, aku langsung kembali ke kelas. Aku masih sangat kesal dengan lelaki aneh itu. Semoga saja kami tak pernah bertemu lagi. Kenapa dia dapat menilai orang seenaknya hanya dengan sekali lihat? Dia benar-benar menyebalkan! "Na Ra, kau baik-baik saja? Tadi aku tak sengaja melihatmu digendong siswa SIHS ke ruang kesehatan," tanya Lee Ki dengan ekskpresi wajah penuh kekhawatiran. "Aku baik-baik saja, Lee Ki kau tidak perlu mencemaskanku." Aku tersenyum lalu duduk di kursiku. Seberapa keras aku berusaha menjaga jarak darinya, Lee Ki selalu saja berusaha dekat denganku. "Kenapa kau bisa pingsan seperti tadi? Kalau kau tidak enak badan harusnya kau istirahat saja di rumah, tidak perlu memaksakan diri masuk sekolah." Lee Ki mengomeliku seperti biasanya. Beberapa kali ia menempelkan punggung tangannya di dahiku. Aku segera menurunkan tangan Lee Ki. "Lee Ki, kumohon berhenti mengkhawatirkanku seperti ini. Aku benar-benar tidak nyaman." Sekali-s
Cha Jung Won POV Waktu bergulir tanpa henti. Waktu cepat sekali membawaku sampai di muka kelas. Ruang kelas yang terlihat lebih rapi dibandingkan ruang kelas sekolahku dulu. Jika dulu aku selalu jadi kaum minoritas dengan mata sipit, di sini wajah kami terasa sama. Untung saja wajahku cukup memikat sehingga teman-temanku di London tidak pernah membuatku merasa menjadi minoritas. Mereka baik padaku, pun sebaliknya. Ah, jadi teringat masa lalu. "Neo nugu ni[1]?" Tiba-tiba suara Seonsaengnim perempuan yang terdengar cempreng membingungkanku. "Siapa? Siapa yang siapa?" Aku menoleh ke arah belakangku. Melarak-lirik sekeliling, barang kali ada si siapa yang di maksud Seonsaengnim itu. "Kau!" Aku diam sejenak mengartikan tiap huruf yang keluar dari mulut guru itu. Kenapa aku tiba-tiba bodoh begini? Apa semua karena Kim Na Ra, gadis sombong itu? Ah, sudahlah Mike fokus pada sekolahmu saja. “Oh, saya? Joneun[2] Cha Jung Won, Seonsaengnim." Terdengar beberapa keributan kecil di bagian temp
Kim Na Ra POV “Na Ra, benarkan yang aku katakan, Cha Jung Won fans club benar-benar ada!” ujar Ji Hyun menggebu-gebu. Ji Hyun selalu punya banyak waktu untuk membicarakan laki-laki tampan seperti sekarang. Bahkan, sejak laki-laki itu sekolah sebulan yang lalu, tidak henti-hentinya dia bercerita tentang laki-laki itu. Ji Hyun mengatakan bahwa sikap Cha Jung Won sangat dingin sedingin es pada perempuan. Meskipun dingin, Jung Won termasuk siswa cerdas dalam mata pelajaran apapun. Pesonanya yang luar biasa di atas rata-rata membuat setiap wanita jatuh cinta dan masih banyak cerita lainnya. “Lalu? Kau juga jatuh cinta padanya?” cecarku. Aku sangat yakin kali ini Ji Hyun tidak hanya sekadar suka pada Jung Won hanya karena laki-laki itu tampan. Sepertinya Ji Hyun benar-benar sudah jatuh cinta pada Jung Won. “Ani, Anieyo! Jinjja anieyo[1]!” ucapnya gugup. Aku tahu jika saat ini Ji Hyun sedang berbohong padaku. “Benarkah? Apa kau tidak membohongiku? Jujur saja kau menyukainya lebih dari sek
Cha Jung Won POV Aku sudah sekolah di SIHS selama satu bulan. Benar dugaanku, fans club season 2 benar-benar muncul. Sama halnya seperti di London, anggota fans club di sini juga beragam mulai dari gadis paling cantik sampai gadis paling biasa saja. Kalian tahu? Tiap pagi selalu saja ada kado di atas mejaku mulai dari coklat, baju, sepatu, makanan, minuman, dan masih banyak yang lainnya. Kalau mereka langsung memberikannya padaku pasti sudah aku tolak mentah-mentah. Mereka pikir aku tidak mampu? Sampai harus diberikan sumbangan? Selama sebulan ini aku hanya dekat dengan Heo Joon Jae. Salah satu teman sekelasku. Aku memang tipe laki-laki yang dingin terhadap perempuan. Rasanya enggan kalau harus memberikan harapan palsu. Sumbangan-sumbangan itu pasti aku berikan pada Joon Jae atau aku bagikan pada temen-temen di kelas. Kulihat Joon Jae masih sibuk memilah-milah sumbangan mana yang akan ia bawa sebelum akhirnya sumbangan itu berpindah tangan ke teman-teman yang lain. Dia memilih kaos b
Kim Na Ra POV Sepulang sekolah aku langsung mandi dan ganti baju. Aku bersiap untuk kerja paruh waktu di sebuah coffeshop terkenal di daerah Namdaemun-ro, Myeong-dong. Untuk sampai ke sana, hanya perlu waktu sekita 15-20 menit saja mengingat lokasi runah atapku yang berada di Insadong. Aku mengenakan seragam kerja dan memoles wajah dengan make up. Kucepol rambut panjangku dengan jepit hitam. Kuambil tas kecil dan berjalan menuju gang depan rumah atapku. Aku berjalan beberapa meter ke halte bus. Tak berapa lama bus tujuanku tiba dan aku langsung menaikinya. Sesampainya di tempat kerja, aku langsung membereskan cangkir-cangkir kopi yang sudah tidak dipakai oleh pelanggan, mengambilkan pesanan, dan melayani tamu. Badanku terasa pegal. Jam di lenganku menunjukkan pukul sembilan malam. Aku beristirahat sejenak di tempat kasir menggantikan temanku yang ingin ke toilet. Seorang pelanggan mengantre di depan meja kasir memesan tiga gelas sexagintuple vanilla bean mocha frappuccino. Daebak!
Cha Jung Won POV “K A U?” Mata gadis itu terbelalak saat menatapku. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa gadis ini harus bekerja seperti ini? Apakah orangtuanya menelantarkannya? “Ikut aku!” Aku mencengkram lengannya dengan cukup kencang. “Ke mana? Ini sudah malam aku mau pulang! Kau jangan macam-macam padaku.” Ini pertama kalinya gadis itu berbicara dengan memakai kosakata banmal padaku. Namun, aku tidak peduli! Lagi pula aku juga sudah terbiasa memakai kosakata banmal padanya. “Ternyata kau orang yang terlalu percaya diri! Siapa juga yang mau berbuat macam-macam padamu? Aku hanya akan mengantarmu pulang.” Gadis ini sungguh terlalu percaya diri. Aku hanya kasihan padanya. Ini sudah malam, tak baik seorang gadis keluyuran malam-malam. “Mengantarku? Untuk apa kau repot-repot mengantarku? Kau dan aku tidak seakrab itu untuk saling mengantar.” Gadis ini benar-benar keras kepala. Padahal, aku hanya berniat baik, tetapi dia sama sekali tak melihat kebaikanku. “Sekarang sudah larut ma
Cha Jung Won POV “Saranghae[2]~~ Jung Won,” ucap Yoon Na. Perempuan ini benar-benar tidak mempunyai rasa malu. Berani sekali mengungkapkan perasaannya pada laki-laki. “Aku sudah tahu!” jawabku. “Lalu?” Kening Yoon Na berkerut. “Apa kau sudah selesai berbicara denganku? Sekarang aku sibuk. Aku mau latihan basket. Minggu depan ada lomba.” tukasku. “Jung Won ah~~ aku sudah mengungkapkan isi hatiku padamu dan kau seenaknya saja meninggalkanku?” Yoon Na memegang lenganku. Gadis ini selalu saja memegangku seenak jidatnya. Sudah jelas, aku paling tidak suka dipegang-pegang. “Lepas! Apa kau tidak malu mengejarku?” Kuhempaskan lengannya kasar. “Tidak. Sama sekali tidak. Aku tidak akan pernah menyerah sampai kau benar-benar membalas perasaanku.” Yoon Na sama sekali tak terintimidasi dengan sikap kasarku. Argh! Aku benar-benar tertekan dengan fandom seperti dia. “What ever! I don’t care anything about you! Bikyeo![3]” Aku pergi meninggalkan Yoon Na yang berdiri dipinggir lapangan basket.
Kim Na Ra POV Han Na Seonsaeng-nim sedang sibuk menjelaskan materi Seni Rupa di layar proyektor. Kali ini aku benar-benar tak dapat berkonsentrasi dengan baik. Pikiranku melayang-layang tak karuan. Aku masih sibuk memikirkan si laki-laki aneh yang semalam sukses mengantarkanku pulang. Dia terheran-heran melihat aku yang hidup di rumah atap. Berulang kali dia bertanya ke mana orangtuaku, tetapi aku malas menjawabnya. Untuk apa? Itu urusan pribadiku. Lagi pula dia bukan siapa-siapa! Dia adalah laki-laki teraneh yang pernah aku temui. Tatapannya selalu aneh padaku. Seperti ada banyak pertanyaan yang muncul di otaknya tentangku. Padahal, kami sama sekali tidak pernah saling mengenal satu sama lain. Kenapa dia harus penasaran tentang hidupku? “Kim Na Ra!” Teriakan Han Na Seonsaeng-nim membuyarkan lamunanku. “Ye~~ Seosaeng-nim?” tanyaku gelagapan. “Kau sama sekali tidak memerhatikan pembelajaran! Saya sedang menjelaskan pelajaran! TOLONG PERHATIKAN!” Han Na Seonsaeng-nim memelototkan ma