By : Ade Esriani
Bab 1
"Mas, foto bayi siapa yang ada di ponselmu? Ini bayi siapa?" Dahiku mengernyit sesaat menatap foto bayi bersarung tangan yang tubuhnya terbedong kain pada layar ponsel Mas Bayu-suamiku.
Aku memang sengaja meminjam ponsel Mas Bayu untuk menelpon Bapak di kampung. Setelah selesai, iseng-iseng aku melihat-lihat galeri ponselnya, ternyata ada foto bayi di sana.
"Mas, kok enggak dijawab sih?" Karena tidak di jawab, aku kembali bertanya.
"Itu, nemu di g****e," jawabnya santai sambil menyesap kopi yang kuhidangkan untuknya.
"Nemu di g****e? Kok fotonya banyak begini, Mas? Bajunya juga beda-beda!"
Masa iya, nemu di g****e? Sepertinya foto bayi ini langsung di foto dari ponsel. Aku tahu perbedaan foto yang asli dengan gambar yang diambil dari g****e. Jelas beda!
"Mas cuma iseng-iseng kok'. Memangnya kenapa, sih?" Mas Bayu malah balik bertanya.
"Iya nih, jadi istri kok' ya curigaan sama suami! Enggak baik loh, Mona!" sahut ibu mertua yang kini ikut bergabung bersama kami di ruang tamu.
"Mona 'kan cuma bertanya, Bu! Apa itu salah?"
Aku tidak terima jika ibu mertua menyudutkanku. Padahal, aku cuma bertanya.
"Bertanya boleh-boleh saja! Cukup sekali. Tidak perlu bertanya untuk yang kedua atau ketiga kalinya, paham?" Ibu mertua meninggikan nada bicaranya. Jika sudah begini, aku hanya bisa diam karena tidak mau memperpanjang masalah.
Begitulah ibu mertuaku, selalu saja ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Ibu mertua selalu membenarkan Mas Bayu, biarpun anaknya tersebut melakukan kesalahan.
"Seharusnya kamu introspeksi diri, Mona! Kenapa suamimu sampai menyimpan foto bayi segala di galeri ponselnya? Itu karena Bayu ingin sekali memiliki anak. Sedangkan sampai detik ini, kamu belum juga bisa memberinya anak!"
Deg!
Kata-kata ibu tersebut bagaikan pedang yang menusuk jantungku. Menciptakan perih tak terkira di hati ini.
Tidak ada satupun wanita di dunia ini yang tidak ingin memiliki anak. Tapi apalah daya, aku hanya bisa berusaha dan berdoa. Selanjutnya Allah semata lah yang menentukan di rahim wanita mana akan menitipkan ciptaannya.
"Ibu, Mona mohon jangan berkata seperti itu lagi. Bukan kita yang menentukan, Bu, tapi Allah!"
Aku berusaha mengubah pola pikir Ibu, berharap Ibu mertuaku tidak lagi menyalahkan diriku atas semua ini.
"Ibu tau. Enggak usah kamu ajari Ibu soal itu." Ibu berucap dengan ketus sambil memandangku dengan tatapan sinis.
"Seharusnya kalau Ibu sudah tahu, Ibu tidak boleh terus-menerus menyalahkan Mona seperti itu, Bu!"
"Terus, siapa yang mau disalahkan? Bayu? Kamu tau sendiri, 'kan, Mona! Kakak-kakaknya Bayu semua memiliki anak. Hanya Bayu yang belum memiliki anak. Ibu sangat yakin bahwa kamulah yang bermasalah, bukan Bayu!"
Siapa yang tidak sakit hati mendengar dirinya dihina seperti itu. Apalagi suami sendiri seolah tidak peduli dan tidak ada pembelaan darinya. Padahal, Mas Bayu lah yang menyuruhku untuk menunda kehamilan karena saat itu ekonomi kami belum mapan. Sekarang malah aku yang disalahkan!
"Mona tidak mandul, Bu! Ini hanya masalah waktu saja! Mungkin saja karena efek dari suntik KB, Bu! Dulu, beberapa hari setelah menikah, Mona pernah suntik KB. Itu pun Mas Bayu yang nyuruh karena belum siap memiliki anak. Insyaallah suatu saat nanti, Allah pasti akan menitipkan janin di rahim Mona. Mona yakin pada kebesaran Allah, Bu!"
Aku berusaha menahan bulir bening yang dari tadi hendak keluar sambil mengelus perut yang masih rata, belum ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa aku hamil. Aku hanya berharap ada keajaiban dari Allah.
"Ngakunya tidak mandul, tapi sampai detik ini belum hamil juga! Mandul dan tidak bisa hamil kan sama saja!"
Setelah mengucapkan kalimat itu, ibu mertua pun beranjak dari tempat duduknya. Membuka pintu kamarnya lalu membanting pintu sehingga menimbulkan bunyi yang memekikkan telinga.
"Mas bosan lihat kamu sama Ibu berdebat terus tiap hari, Dek. Bisa nggak sih, kalian itu akur seperti orang-orang pada umumnya? Mas sudah capek bekerja seharian, pulang ke rumah masih harus mendengar keributan. Mas capek, Dek!" protes Mas Bayu.
Tadi Ibu, sekarang suamiku sendiri juga ikut menyalahkanku.
"Mas minta kamu ngalah aja sama Ibu, Dek. Ucapan Ibu tadi nggak usah dimasukin ke hati. Mungkin Ibu berucap seperti itu saking pengennya punya cucu."
"Aku sudah mengalah pada Ibu, Mas. Tapi tadi Ibu sendiri yang memulai. Jelas aku tersinggung dengan ucapan Ibu. Aku sakit hati dikatain mandul, Mas!"
"Sudah ya, enggak usah dibahas lagi! Mending kita ke kamar aja, yuk! Mas capek mau istirahat!"
Mas Bayu beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan menuju kamar kami. Ia seolah tidak peduli pada perasaan istrinya. Padahal dulu Mas Bayu sendiri yang menyuruhku untuk menunda kehamilan karena belum siap untuk memilih anak. Sekarang, malah aku yang disalahkan.
Jika saja saat itu aku tidak menurutinya, mungkin tidak akan seperti ini jadinya.
***
Sudah larut malam begini, mataku belum juga terpejam. Sudah kucoba untuk merubah posisi tidur, tapi tetap tidak bisa. Mata ini seolah tidak bisa diajak kompromi.
Pikiranku berkelana jauh, memikirkan tentang rumah tanggaku.
Sejak kehadiran Ibu mertua dan juga Adik iparku Hani di rumah ini, hidupku seolah tidak bisa tenang. Jangankan untuk berduaan dengan Mas Bayu, untuk bersantai saja tidak bisa. Selalu saja Ibu menyuruh ini dan itu. Kerjaan di rumah ini seolah tidak ada habisnya.
Bukan cuma itu saja, beliau kerap kali meminta uang padaku dengan jumlah yang tidak sedikit. Padahal seluruh kebutuhannya di rumah ini sudah aku tanggung. Ditambah kebutuhan Hani adik iparku yang masih kuliah juga sangat banyak. Sehingga membuat kepalaku pusing dalam mengolah gaji Mas Bayu. Semua harus cukup, Mas Bayu tidak mau tahu hal itu.
Untuk mencukupi kebutuhan di rumah ini, aku bekerja sebagai kasir laundry dari pagi sampai sore. Hasilnya lumayan, bisa menutupi kebutuhan dapur.
Sebenarnya bisa dikatakan gaji Mas Bayu sudah lebih dari cukup. Ya, Mas Bayu memiliki toko bangunan, tapi itu semua tidak ada artinya karena sikap boros ibu mertua dan juga Hana yang suka berfoya-foya. Masih pertengahan bulan saja uang yang diberikan Mas Bayu sudah habis. Makanya aku bela-belain untuk kerja, agar bisa menutupi semua pengeluaran.
Jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.30, tapi mata ini belum juga terpejam.
Aku kembali teringat pada foto bayi yang tersimpan di galeri ponsel Mas Bayu. Aku masih belum yakin dengan jawaban Mas Bayu tadi. Masa ia sih, foto itu diambil dari g****e?
Karena rasa keingintahuanku, aku pun mengambil ponsel Mas Bayu yang berada di atas meja. Untung saja ponselnya tidak menggunakan kata sandi sehingga aku begitu mudah untuk mengeceknya.
Galeri adalah menu pertama yang kubuka. Kutelusuri semua foto dan album. Ternyata di galeri tersebut ada sebuah album yang diberi nama 'my family'. Seketika mataku membulat saat melihat foto Mas Bayu sedang menggendong bayi. Ya, bayi yang digendongnya itu mirip sekali dengan bayi yang kulihat di foto itu.
Deg!
Jantungku berdetak lebih kencang saat memandangi foto itu. Apa arti dari semua ini?
Tadi Mas Bayu ngakunya foto bayi itu ia comot dari g****e. Terus ini apa?
Berbagai pertanyaan menari-nari di dalam pikiranku. Ada apa ini? Apa sebenarnya yang terjadi?
Belum juga rasa penasaranku terjawab, tiba-tiba ponsel Mas Bayu yang sedang berada dalam genggamanku bergetar.
Sebuah pesan WA masuk dari kontak yang bernama Andi.
[Mas, besok beliin susu buat Haikal ya. Susunya Haikal sudah habis nih.]
[Salah Mas sendiri, sih! Enggak bolehin aku mengASIhi Haikal. Mas takut ya payu**ra aku nanti kendur?]
[Sekalian beli pampers dan juga pil KB ya Mas! Takut kebobolan, Haikal kan masih kecil, Mas.]
[Mas sudah bobo ya? Yaudah deh, mimpi yang indah ya, Sayang, bye.]
Tunggu dulu, apa aku tidak salah lihat? Kontak yang bernama Andi mengirim pesan seperti ini pada suamiku?
Bersambung ….
Bab 2Tunggu dulu, apa aku tidak salah lihat? Kontak yang bernama Andi mengirim pesan seperti ini pada suamiku?Aku terdiam sejenak, berusaha mencerna maksud dari semua ini.Apa ini ada hubungannya dengan foto bayi itu? Apa mungkin itu anaknya Mas Bayu dengan wanita lain?Tidak mungkin Mas Bayu mengkhianatiku, apalagi sampai memiliki anak dengan wanita itu. Aku tahu, Mas Bayu tidak mungkin tega melakukan itu padaku. Suamiku sangat mencintaiku.Akhirnya pertahananku runtuh juga, kaca-kaca bening mengalir begitu saja dari sudut netra. Aku tidak yakin jika orang yang sangat kucintai, ternyata tega mengkhianatiku.Kupandan
Bab 3Baru saja aku hendak meletakkan kembali ponsel tersebut, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka."Dek! Ponsel Mas ketinggalan," ucap Mas Bayu begitu tiba di kamar."Iya, baru saja ada pesan masuk dari BRI NOTIF. Mas baru narik uang ya?"Raut wajah Mas Bayu mendadak berubah, terlihat sekali kalau suamiku ini sedang menyembunyikan sesuatu."Untuk apa, Mas?" tanyaku lagi."Ini, Dek. Mas perlu uang untuk membayar barang pesanan di toko. Kamu kan tahu sendiri kalau Mas beli barang pakai modal sendiri, Dek. Makanya Mas narik uang di ATM barusan.""Bukannya kalau mau beli
Bab 4Setelah keluar dari kawasan toko material, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah warung bakso di pinggir jalan. Warung bakso ini letaknya berhadapan dengan tokonya Mas Bayu. Aku sengaja memilih tempat ini agar bisa memantau Mas Bayu."Ini pesanannya, Mbak, silakan dinikmati," ucap pelayan warung dengan ramah."Terimakasih, Pak," balasku sambil menyunggingkan senyum.Aku segera menikmati bakso tersebut, tidak lupa menambahkan kecap, saos serta cabai agar rasanya lebih nikmat.Sambil menikmati semangkuk bakso, aku terus memantau dari warung ini. Sampai detik ini, Mas Bayu belum juga datang ke toko. Kemana kira-kira mas Bayu?I
Bab 5"Mona, buka pintunya. Kamu belum masak, Mona! Kita mau makan apa malam ini?" Ibu mertua berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamar. Tapi aku tidak menghiraukannya karena sudah tahu bahwa mereka hanya memanfaatkan kebaikanku.Aku tulus menyayanginya dan menganggapnya seperti Ibu kandungku sendiri. Tapi apa balasannya bagiku? Hanya hinaan dan cacian yang selalu kudengar tiap hari dari mulutnya.***"Dek, bangun!"Aku merasakan seseorang menepuk pelan pipiku. Mas Bayu, ternyata ia sudah pulang.Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata sudah malam, entah jam berapa sekarang, aku ketiduran.
Bab 6"Nasi uduknya satu ya, Mpok, minumnya teh manis hangat," ucapku pada Mpok Leni, penjual nasi uduk di pinggir jalan dekat komplek."Baik, Neng! Tunggu sebentar ya, Neng!"Aku memilih untuk sarapan di warung tenda pinggir jalan yang tidak jauh dari gang rumahku. Sengaja aku memilih tempat ini karena Mas Bayu biasanya melewati jalan ini. Mumpung lagi libur kerja, hari aku akan membuntutinya untuk menjawab semua kecurigaanku."Ini pesanannya, Neng, silakan dinikmati." Pelayan warung tersebut meletakkan pesananku di atas meja. Satu piring nasi uduk yang yang dihiasi dengan irisan telur dadar yang diiris tipis-tipis, serta satu gelas teh manis yang masih mengepulkan asap telah terhidang di atas meja.
Bab 7Aku melepas helm, memberikannya kepada supir ojek itu, kemudian masuk ke dalam klinik. Harus ku ungkap semuanya sekarang juga!Sesampainya di dalam klinik, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan mencari-cari keberadaan Mas Bayu. Ternyata ia dan wanita itu sedang duduk di kursi, di depan resepsionis. Klinik ini tidak terlalu luas, jadi mudah sekali mencari keberadaan mereka.Sementara Mas Bayu dan wanita itu sedang fokus memperhatikan bayi itu, aku langsung berjalan di depan mereka dengan santai. Tanpa ragu, aku ikut duduk diantara ibu-ibu yang sedang mengantri.Aku sengaja memakai masker dan juga kaca mata hitam, semoga saja Mas Bayu tidak melihat keberadaanku di sini. Kalaupun iya, yasudah lah. Malah lebih bagus karena kebohongannya akan
Bab 8Deg!Jantungku seolah berhenti berdetak saat melihat ibu mertua memegang buku tabungan yang selama ini aku sembunyikan dari mereka.Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?"Ternyata Mbak Mona diam-diam memiliki tabungan ya, Bu. Coba aja kita tau dari dulu ya, Bu," ucap Hana kepada ibunya."Iya, memang dasar kakak iparmu itu orangnya pelit. Ibu sih dari dulu sampai sekarang nggak pernah suka sama dia." Ibu mertua membenarkan ucapan anak bungsunya itu.Astaghfirullah … ternyata ibu tidak pernah suka sama aku. Ya Allah … kenapa rasanya sakit sekali mengetahui kenyataan ini.
Bab 9"Mona, kamu siapin makan siang ya, Ibu dan juga Hana belum makan. Buruan! Nggak pake lama!"Setelah mengucapkan kata-kata itu, mereka berdua pun meninggalkan kamarku.Siapa juga yang mau disuruh-suruh seperti itu? Memangnya aku ini pembantu, apa? Mulai sekarang, jangan harap aku mau menuruti kemauan kalian.Aku merebahkan tubuh di atas ranjang setelah mengunci pintu terlebih dahulu. Hari ini sungguh melelahkan. Aku ingin beristirahat dan tidak ingin diganggu oleh siapapun.Baru beberapa menit mata ini terpejam, Ibu sudah menggedor-gedor pintu dan berteriak memanggil namaku."Mona … makan siangnya mana?"
Bab 40Enambulan sudah aku menjadi istri dari Mas Galang. Aku sangat bahagia karena memiliki suami dan mertua yang baik. Mas Galang sangat perhatian, ia sangat sayang padaku. Begitu juga dengan mama mertua, beliau juga sangat baik.Saat ini, aku sedang mengandung, usia kehamilanku sudah memasuki lima bulan. Perutku pun sudah mulai terlihat buncit.Dari dulu aku selalu meminta kepada Allah agar menitipkan janin di dalam rahimku. Di pernikahan pertama tidak kudapatkan.Alhamdulillah di pernikahan kedua, Allah mengabulkan doaku. Aku tidak seperti yang dituduhkan mantan mertuaku. Buktinya, sekarang aku bisa hamil. Aku benar-benar bersyukur atas semua nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah.
Bab 39Mamanya Galang menepati janjinya. Beliau datang ke rumah bersama Mas Galang. Wajah Mas Galang terlihat bingung, mungkin ia bingung karena tidak dikasih tahu sebelumnya.Mamanya Mas Galang mengutarakan niatnya di depan keluargaku bahwa beliau ingin meminangku. Beliau juga kembali meminta maaf karena telah menghinaku waktu itu.Seketika wajah Mas Galang langsung berseri-seri saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh mamanya. Mungkin ia tidak menyangka jika mamanya telah merestui hubungan kami."Mama, Mama serius? Mana melamar Mona? Itu artinya Mama sudah merestui hubunganku dengan Mona?" tanya Mas Galang pada mamanya, seperti tidak percaya."Iya, Mama
Bab 38"Jadi sekarang kamu buka butik? Gimana, rame?" Matanya memindai sekitar, apa mungkin beliau mau merendahkanku lagi? Padahal aku sudah tidak berhubungan dengan anaknya."Alhamdulillah, Tante. Rame atau enggaknya tetap Mona syukuri. Yang paling penting, Mona bisa mandiri tanpa menyusahkan orang tua.""Bagus itu! Oh ya, Tante ada perlu denganmu. Bisa kita bicara berdua?"Ngajakin aku bicara? Ada apa ya?"Bisa, Tante. Kita bisa bicara di dalam, mumpung belum ada pelanggan. Mari!" Aku mengajak mamanya Mas Galang ke dalam."Bagaimana hubunganmu dengan Galang?" tanya beliau sesaat setelah kami duduk di kursi yang saling berhadapan.
Bab 37"Terimakasih sudah mengantarku. Mulai sekarang jangan pernah menghubungiku lagi. Lebih baik Mas langsung pulang saja, ya! Aku capek, mau istirahat," ucapku pada Mas Galang setelah kami tiba di Belanda rumah."Tunggu, Mona!" Mas Galang tampaknya masih tidak terima dengan keputusanku."Tolong jangan ganggu aku lagi, Mas. Permisi!"Aku segera masuk ke dalam dan meninggalkannya sendirian di luar. Aku yakin, benaknya sedang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan saat ini."Loh, datang-datang kok' gak ngucapin salam? Galang mana? Sudah pulang? Kok' gak diajak masuk dulu?" Kak Mila langsung menyambutku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepala
Bab 36Hati ini bagai disayat-sayat mendengar ucapannya. Luka di hati yang masih dalam proses penyembuhan, kini menganga kembali.Serendah itukah diriku di matanya?"Aku sarankan lebih baik kamu menjauh dari kehidupan Galang karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah sudi menerimamu sebagai menantuku," ucapnya dengan santai tanpa memikirkan bagaimana perasaanku.Bulir bening yang sedari tadi ingin keluar, berusaha kutahan. Aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya. Aku harus tenang menghadapinya.Hal yang aku takutkan benar-benar terjadi. Sebenarnya inilah alasan utama kenapa sampai detik ini aku belum juga menerima pinangan Mas Galang. Jika sudah tahu begini, maka aku akan lebih mudah untuk m
Bab 35 Ternyata apa yang dikatakan Kak Mila itu benar. Mas Galang beneran datang. Ia sengaja meminta izin kepada Bapak dan Kakak untuk mengajakku dan memperkenalkan aku pada orang tuanya. Mas Galang datang tanpa memberitahuku sebelumnya. Ia benar-benar membuat kejutan untukku. "Om, saya mau meminta doa restu pada Om. Saya mau melamar Mona untuk menjadi istri saya. Saya sudah lama mencintai Mona, Om. Saya janji akan membuatnya bahagia dan tidak akan pernah menyakitinya," ucap Mas Galang pada Bapak saat kami sedang mengobrol di ruang tamu. Bapak menatapku sekilas, lalu kembali menatap Mas Galang. "Kalau Om sih tergantung Mona saja. Jika Mona bersedia menerima lamaranmu, Om akan memberika
Bab 34"Mona, ini kamu kan? Kamu kok' jahat bangat sih sama suami dan mertua sendiri!" ucap Bu Nani, tetangga yang berjarak lima rumah dari rumahku."Iya, kok tega, ya? Kasihan Bayu, Ibu sama adiknya harus di penjara gara-gara ulahmu," sahut Bu Mimi, Bu RT di kampung ini."Iya. Bahkan Bayu sampai harus menjual rumahnya untuk membayar pengacara, demi membebaskan Ibu dan adiknya di penjara.""Katanya Bayu sudah bangkrut loh, ibu-ibu. Semua hartanya diambil oleh Si Mona. Bahkan rumah, mobil, motor dan tempat usahanya pun sudah melayang. Kasihan ya!""Iya, kasihan! Jahat banget sih jadi orang. Ntar kena karma baru tau rasa."Kupingku terasa p
Bab 33 Tiga bulan sudah aku tinggal bersama Bapak dan juga Kakak di kampung. Alhamdulillah aku sudah pulih kembali. Kini aku sudah resmi menjadi janda. Gugatan ceraiku akhirnya dikabulkan oleh pengadilannya agama. Itu semua berkat bantuan Mas Galang, ia lah yang mengurus semuanya. Aku tidak bisa menghadiri panggilan sidang karena saat itu kondisi kesehatanku belum pulih. Mas Gilang lah yang menangani semuanya. Ibu dan Hana juga sudah mendekam di penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Aku bisa bernapas lega karena orang-orang yang berbuat jahat padaku telah mendapatkan balasan yang setimpal. Semoga Ibu dan Hana bertaubat dan menyesali semua perbuatannya. Tidak kusangka jika semuanya
Bab 32 "Kamu jenuh, ya? Kita jalan-jalan ke taman aja, yuk! Biar kamu nggak bosan," ajak Mas Galang. Aku memang merasa jenuh karena berada di kamar terus. Sudah hampir satu Minggu di sini, aku bahkan ingin menghirup udara segar di luar. "Tunggu sebentar, ya, aku mau di kursi roda dulu," ucapnya lagi. Aku hanya mengangguk, pertanda mengiyakan. Pagi ini Mas Galang lah yang menungguiku di rumah sakit ini. Kakak sudah pulang lebih dulu ke kampung karena tidak bisa lama-lama meninggalkan suami dan anaknya. Sedangkan Bapak pergi ke kantin untuk sarapan. Tak lama kemudian, Mas Galang pun