Bab 9
"Mona, kamu siapin makan siang ya, Ibu dan juga Hana belum makan. Buruan! Nggak pake lama!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, mereka berdua pun meninggalkan kamarku.
Siapa juga yang mau disuruh-suruh seperti itu? Memangnya aku ini pembantu, apa? Mulai sekarang, jangan harap aku mau menuruti kemauan kalian.
Aku merebahkan tubuh di atas ranjang setelah mengunci pintu terlebih dahulu. Hari ini sungguh melelahkan. Aku ingin beristirahat dan tidak ingin diganggu oleh siapapun.
Baru beberapa menit mata ini terpejam, Ibu sudah menggedor-gedor pintu dan berteriak memanggil namaku.
"Mona … makan siangnya mana?"
Ibu terus saja menggedor-gedor pintu. Ah, Ibu mertua memang tidak bisa melihatku tenang sedikit. Pasti beliau akan mengganggu hingga aku menjalankan semua perintahnya.
Diri ini terlalu lelah untuk melakukan semua itu. Terserah Ibu mau bilang apa. Yang jelas saat ini tubuh dan pikiranku sangat lelah dan aku butuh istirahat.
Kuambil speaker murottal yang ada di atas meja rias, memutar ayat-ayat suci Al-Qur'an dengan volume yang cukup keras. Dengan begitu, aku bisa istirahat karena tidak lagi mendengar teriakan Ibu.
***
[Assalamualaikum, Dek. Mas cuma mau bilang, malam ini Mas tidak bisa pulang karena harus ke luar kota untuk mengantar bahan bangunan pesanan pelanggan, ya!] Isi pesan dari Mas Bayu.
Sudah kuduga, pasti Mas Bayu ingin bermalam di rumah wanita yang bernama Andini itu. Mas Bayu sengaja mencari-cari alasan untuk mengelabuiku.
[Kalau begitu, aku ikut denganmu, Mas.] Segera kubalas pesan dari Mas Bayu tersebut. Aku sengaja mengirim pesan tersebut untuk melihat bagaimana reaksinya.
[Nggak usah, Mas perginya berdua dengan Amar. Kamu di rumah saja sama Ibu dan Hana.]
Benar kan, Mas Bayu menolak untuk mengajakku. Lagian aku tahu kok, itu cuma akal-akalannya saja.
[Jangan lupa semua pintu dan juga jendela dikunci ya.]
Aku memilih untuk tidak membalasnya lagi.
Begitu pandainya Mas Bayu menyembunyikan semua ini dariku.
Selama ini aku terlalu percaya dan tidak pernah menaruh curiga sedikitpun padanya. Ternyata diam-diam Mas Bayu bermain api di belakangku, bahkan sampai punya anak dengan wanita lain.
Pantas saja Mas Bayu mengurangi jatah bulananku dengan alasan bahwa toko materialnya sedang sepi. Ternyata ia telah membagi uangnya untuk menghidupi keluarga barunya.
Ini semua tidak adil, Mas Bayu sengaja membebaniku untuk mencukupi semua kebutuhan di rumah ini, sehingga membuatku harus ikut bekerja agar semuanya bisa tercukupi. Di luar sana, malah ia memanjakan wanita selingkuhannya itu dan memenuhi semua kebutuhannya.
Ibu dan Hana ternyata terlibat juga dalam hal ini. Mereka sekongkol untuk menyakitiku. Benar-benar keterlaluan!
Ini tidak bisa dibiarkan. Cukup sudah! Aku tidak terima diperlakukan terus menerus seperti ini.
***
"Mona, kamu kok sekarang makin bandel sih? Nggak pernah lagi nyiapin makanan untuk Ibu dan Hana!" ucap Ibu begitu aku keluar dari kamar.
Ya, sudah beberapa hari aku tidak mau lagi menyiapkan makanan untuk keluarga ini. Jangankan memasak, sekadar beberes rumah saja pun, aku enggan.
"Kamu mau ke mana malam-malam begini, Mona?"
"Kamu dengar Ibu nggak sih?" Ibu mencecarku dengan berbagai pertanyaan, membuat kepalaku semakin pusing.
"Mau keluar, Bu. Cari angin," jawabku sekenanya.
"Permisi, Bu!" Aku berjalan melewati beliau, tapi baru beberapa langkah saja, Ibu kembali memanggilku.
"Jangan lupa beli makanan buat Ibu, sekalian buat Hana. Kamu tidak kasihan? Kami belum makan dari siang tadi."
Aku berbalik badan, kemudian menengadahkan tangan ke Ibu, "mana uangnya, Bu?" pintaku.
"Kamu kan punya uang. Pakai uangmu saja. Jadi mantu kok pelit bangat. Hitung-hitungan sama mertua sendiri," ketusnya, Ibu terlihat kesal padaku. Biarkan saja, aku tidak peduli.
"Apa Ibu lupa? Uang tabungan Mona kan udah diambil sama Ibu dan juga Hana, uang dari mana lagi?"
"Itu terus yang dibahas. Ibu yakin kamu masih punya simpanan."
"Udah nggak ada, Bu!"
"Awas saja jika Bayu sudah pulang, akan Ibu adukan semuanya. Lama-lama Ibu makin tidak suka sama kamu. Udah mandul, pelit lagi. Entah apa yang dilihat anakku dari dirimu!"
"Hentikan, Bu. Berhenti menghina Mona. Selama ini apapun yang Ibu katakan, Mona selalu diam dan tidak pernah membantah. Tapi kali ini Ibu sudah benar-benar keterlaluan. Mona tidak suka dihina seperti ini." Aku menatap tajam manik mata wanita yang telah melahirkan suamiku itu. Selama ini aku begitu menghormatinya, tapi beliau malah seenaknya menghinaku.
Aku memutuskan untuk meninggalkannya, jika terus berada di dalam rumah ini, Ibu akan terus saja mengomel. Tidak ada habisnya.
Kukeluarkan motor dari garasi, kemudian mengendarainya dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan ibu kota yang masih ramai, hingga akhirnya aku putuskan untuk singgah di sebuah warung pecel lele.
Aku memesan nasi dan juga lele goreng serta teh manis. Setelah pesanan datang, aku langsung menyantapnya karena memang perutku sudah lapar. Tadi pagi hanya sarapan nasi uduk di warung Mpok Leni.
Tidak peduli lagi pada Ibu mertua dan adik iparku itu. Mereka pasti masih memiliki uang, hanya saja selalu mengharap dariku.
Setelah selesai makan malam, aku singgah dulu di apotek. Membeli sesuatu yang mungkin dibutuhkan nantinya. Setelah itu, aku memutuskan untuk kembali ke rumah.
***
Sesampainya di rumah, ternyata Ibu dan juga Hana belum tidur. Mereka sedang makan bakso di ruang tengah sambil menonton televisi.
"Kamu lihat, Mona? Kami masih tetap bisa makan tanpa uangmu itu. Lihat nih, ada bakso dan juga pizza. Mau? Tapi sayangnya Kami tidak sudi membaginya denganmu," ucap Ibu sambil mengangkat mangkuknya untuk memperlihatkan isi dalam mangkuk tersebut padaku.
"Nggak usah, Mona sudah kenyang. Tadi Mona makan steak di restoran." Aku sengaja berbohong untuk memanas-manasi mereka.
"Tuh, kan, dasar kakak ipar pelit. Mbak Mona benar-benar keterlaluan ya!"
Aku tidak lagi menghiraukan mereka, gegas aku masuk ke dalam kamar, lalu menguncinya.
Sampai kapan aku kuat menghadapi semua ini? Aku lelah! Mungkin lebih baik aku pergi dari rumah ini, meninggalkan Mas Bayu yang sudah jelas-jelas membagi cintanya dengan wanita lain. Tapi sebelum itu, aku harus melakukan sesuatu.
Ya, sertifikat rumah, aku harus mengamankannya terlebih dahulu. Hanya itu satu-satunya harta benda yang kami miliki setelah menikah. Sedangkan toko bangunan itu masih mengontrak, belum menjadi hak milik.
Kubuka lemari, lalu menarik sebuah map coklat yang berada di bawah tumpukan baju milik Mas Bayu. Di dalamnya hanya ada kartu keluarga dan juga buku nikah. Di mana sertifikat rumah?
Ya ampun, aku sampai lupa. Sertifikat rumah ini telah digadaikan ke bank oleh Mas Bayu beberapa bulan lalu. Ia bilang ingin menambah modal, tapi nyatanya tidak ada perubahan yang kulihat di tokonya. Apa jangan-jangan Mas Bayu telah membohongiku? Apa mungkin Mas Bayu sengaja menggadaikan rumah ini untuk membeli rumah buat gundulnya itu?
Baiklah, karena Mas Bayu telah berani bermain-main denganku, akan kubuat ia miskin. Aku tidak akan pergi dari rumah ini sebelum berhasil mengambil uang yang ada di ATM Mas Bayu. Aku tidak mungkin meninggalkan rumah ini dengan tangan kosong.
Oke, aku akan sabar menunggu Mas Bayu hingga ia pulang ke rumah ini.
***
Jarum jam dinding menunjukkan pukul 07.30. Belum juga ada tanda-tanda bahwa Mas Bayu akan pulang. Sudah dua hari Mas Bayu tidak pulang. Alasannya mobil carry yang mereka gunakan untuk mengantar barang pesanan pelanggan mogok di jalan sehingga tidak bisa pulang ke rumah. Padahal, aku tahu bahwa Mas Bayu tengah sibuk mempersiapkan acara akikahan anaknya dan wanita itu.
Ibu dan juga Hana tengah bersolek ria di dalam kamar Hana sambil ketawa-ketiwi. Sementara aku tetap berada di dalam kamar sambil memikirkan rencana untuk memberi pelajaran kepada para pengkhianat itu.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi ketukan di pintu.
"Dek, buka pintunya. Mas pulang!"
Ternyata si tukang selingkuh itu sudah pulang.
Aku pun membukakan pintu, Mas Bayu langsung masuk, ia tersenyum padaku.
"Maafin Mas, ya, Dek. Mas nggak bisa pulang karena mobilnya mogok. Jadi terpaksa nginap di penginapan. Jangan marah ya," ucap Mas Bayu sambil meraih tanganku.
Aku hanya diam, tidak berniat menjawabnya. Aku tahu Mas Bayu telah berbohong.
"Oh ya, Dek, hari ini Mas mau menghadiri acara akikahan temannya Mas. Tolong Adek setrika baju ini ya." Mas Bayu memberikan tiga helai baju yang masih dibungkus plastik bening padaku.
"Kok ada tiga, Mas?" Dahiku mengernyit melihat ketiga helai baju tersebut, warnanya juga sama.
"Iya, kemejanya buat Mas. Atasan buat Hana dan gamis untuk Ibu," jawabnya santai sambil meraih handuk.
Oh, jadi mereka semua akan memakai baju yang sama untuk menghadiri acara itu?
"Kok aku nggak ada, Mas?" Aku pura-pura memasang wajah sedih.
"Iya, maaf ya, Mas lupa minta buatmu, Dek. Lagian, kamu gak usah ikut, Dek. Cuma sebentar kok." Mas Bayu mencari-cari alasan.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Mas Bayu pun masuk ke dalam kamar mandi.
Ogah, aku mana mau menyetrika baju-baju itu. Lagian aku akan pastikan bahwa tidak seorangpun dari mereka yang akan pergi ke acara akikahan itu.
Kalian ingin bermain-main denganku? Oke, aku juga akan memberi sedikit pelajaran untuk kalian.
***
Mas Bayu, Ibu dan juga Hana tengah bersiap untuk pergi. Tak bisa dipungkiri, Mas Bayu terlihat gagah sekali memakai kemeja batik itu. Ibu juga terlihat anggun memakai gamis batik yang menempel sempurna di tubuhnya, Hana pun demikian, cantik sekali. Tapi sayang, mereka semua adalah penghianat.
"Mas, Bu. Sebelum berangkat, teh-nya diminum dulu ya!" Aku meletakkan nampan yang berisi tiga gelas teh tersebut di atas meja.
"Tumben kamu baik hari ini? Karena ada Bayu, ya?" Ibu menatapku Sinis sambil meraih satu gelas teh manis buatanku itu.
"Nggak kok, Mona kan memang baik dari dulu, Bu! Mas, ini teh-nya diminum dulu. Hana juga."
Mereka bertiga pun meminum teh manis hangat yang sudah dicampur dengan obat tidur tersebut. Mari kita lihat, kalian akan berangkat ke acara akikahan itu atau …
Bersambung ….
Bab 10Mereka bertiga pun meminum teh manis hangat yang sudah dicampur dengan obat tidur tersebut. Mari kita lihat, kalian akan berangkat ke acara akikahan itu atau …"Ayo, Bu, Hana, nanti kita telat," ucap Mas Bayu sambil merapikan kemejanya."Tunggu, Ibu kok mendadak jadi pusing gini, ya? Bentar, Ibu ke kamar dulu." Ibu pun masuk ke kamarnya, disusul juga oleh Hana. Sepertinya obat tidur itu sudah mulai bereaksi. Bagus!"Dek, kok Ibu sama Hana belum keluar juga dari kamar?" tanya Mas Bayu, ia terlihat gelisah, mondar-mandir kesana-kemari."Nggak tau tuh, Mas. Coba Mas lihat ke kamar!"Karena sudah tidak sabar, Mas Bayu segera m
Bab 11egera ku salin pesan dari wanita tersebut dan langsung mengirimnya ke nomorku. Mungkin suatu saat aku akan membutuhkannya.Setelah berhasil mengerjai wanita selingkuhan Mas Bayu itu, aku segera menghapus riwayat chat. Mas Bayu tidak boleh tahu kalau aku sudah bermain-main dengan gundiknya itu. Aku harus bermain dengan rapi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.Satu jam sudah mereka tertidur, belum ada tanda-tanda bahwa mereka akan bangun. Ketiganya masih tertidur dengan pulas.Akhirnya terlintas ide untuk menghadiri acara akikahan itu. Ya, aku penasaran apakah acaranya berjalan dengan lancar atau justru sebaliknya. Mumpung Mas Bayu masih tidur, aku akan menggunakan kesempatan ini.**
Bab 12POV BayuAku langsung menyambar kunci mobil yang terletak di atas meja. Setengah berlari menuju garasi, menaiki mobil, lalu mengendarainya dengan kecepatan tinggi.Tidak kuhiraukan lagi rambu-rambu lalu lintas. Lampu merah juga aku terobos begitu saja. Aku sudah tidak sabar ingin secepatnya tiba di rumah Andini.Ah, pasti Andini akan marah besar padaku. Bisa-bisanya aku ketiduran, padahal hari ini adalah acara penting bagiku dan juga istriku Andini.Semoga saja acaranya belum selesai. Bisa-bisa Andini akan marah besar padaku.Setelah menempuh jarak sekitar dua puluh menit, akhirnya aku tiba di rumah Andini.Suasananya suda
Bab 13POV BayuKe mana semua uangku? Siapa yang mengambilnya?Seketika aku terduduk di lantai, rasanya kedua kaki ini tidak mampu lagi menopang tubuhku.Aku masih tidak percaya dengan semua ini. Bisa-bisanya uang tersebut raib. Apa yang harus aku lakukan?"Pak, Bapak kenapa? Apa yang terjadi dengan Bapak?" Seorang lelaki paruh baya menepuk pundakku."Apa Bapak kehilangan uang?" tanyanya lagi.Lidah ini terasa kelu, bahkan aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan. Aku shock!
Bab 14POV BayuSaat aku membuka pintu kamar, kulihat Mona sedang tertidur pulas di atas ranjang. Syukurlah, aku bisa bernafas lega sekarang!Aku menghampiri Mona, lalu mengelus rambut panjangnya yang tergerai indah. Kupandangi wajah wanita yang sudah mendampingiku selama enam tahun ini. Seketika ada rasa bersalah yang menyelimuti hati ini. Ya, aku merasa berdosa karena telah mengkhianati istri yang sangat baik padaku dan juga keluargaku.Jika saja Mona bisa memberiku keturunan, mungkin aku tidak akan pernah menikah dengan Andini.Dulu aku yang menyuruh Mona agar tidak hamil dulu karena aku belum siap untuk punya anak.Mona sempat marah dan protes saat aku membawanya ke bidan untuk suntik KB.
Bab 15 Pov Bayu Apa lagi ini? Andini mau menipuku? Tidak akan bisa. Ia sengaja meminta uang untuk menghilangkan jejak, agar aku tidak curiga bahwa ia telah menguras ATM ku. Benar-benar licik! Baiklah, Andini, aku akan membuat perhitungan denganmu. "Bayu, kamu mau kemana lagi?" tanya Ibu, ia tampak heran melihatku berjalan terburu-buru. "Aku mau ke rumah Andini, Bu! Aku akan membuat perhitungan dengannya," jawabku, pandanganku tetap fokus ke depan. "Udah lah, Bayu! Mending nggak usah. Takutnya nanti kalian bertengkar lagi." Ibu memberi saran. "Tidak bisa, Bu! Andini sudah benar-benar keterlaluan, bahkan ia kembali mengancamku. Aku t
Bab 16POV Bayu"Andini … Andini … buka pintunya." Aku berteriak sambil menggedor-gedor pintu rumah Andini."Ada apa sih teriak-teriak?" Andini membentakku sesaat setelah membuka pintu. Ia menatapku nyalang, aku tahu ia masih marah padaku, tapi itu tidak sebanding dengan kemarahanku padanya saat ini."Masih berani kamu datang ke ruma---""Diam kamu wanita licik. Mana uangku, hah?" Aku langsung menerobos masuk, melewatinya begitu saja.Aku membuka pintu kamar dengan kasar, membuat Dedek terbangun dan menangis. Tapi aku tidak peduli.Ku bongkar semua baju-bajunya dari dalam lemari. Mencari ua
Bab 17"Cepat laksanakan perintahku, wanita pela-kor! Dan kamu, Mas, kita selesaikan urusan kita!"Apa yang harus kulakukan? Bagaimana ini?"Kamu tidak bisa memerintahku. Kamu pikir aku takut padamu dan bersedia menuruti perintahmu? Mimpimu ketinggian, wanita mandul! Aku sama sekali tidak takut pada ancamanmu. Apa yang bisa kamu lakukan? Gayanya selangit, tapi uang saja tidak punya! Bahkan aku lebih pintar darimu. Aku bisa membayar pengacara untuk menjebloskanmu ke penjara jika kamu masih berani mengusik ketenanganku, camkan itu! Andini balik mengancam, ia kelihatannya tak gentar menghadapi Mona.Aduh … kenapa jadi seperti ini sih? Kedua istriku malah sibuk memperebutkan rumah itu.
Bab 40Enambulan sudah aku menjadi istri dari Mas Galang. Aku sangat bahagia karena memiliki suami dan mertua yang baik. Mas Galang sangat perhatian, ia sangat sayang padaku. Begitu juga dengan mama mertua, beliau juga sangat baik.Saat ini, aku sedang mengandung, usia kehamilanku sudah memasuki lima bulan. Perutku pun sudah mulai terlihat buncit.Dari dulu aku selalu meminta kepada Allah agar menitipkan janin di dalam rahimku. Di pernikahan pertama tidak kudapatkan.Alhamdulillah di pernikahan kedua, Allah mengabulkan doaku. Aku tidak seperti yang dituduhkan mantan mertuaku. Buktinya, sekarang aku bisa hamil. Aku benar-benar bersyukur atas semua nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah.
Bab 39Mamanya Galang menepati janjinya. Beliau datang ke rumah bersama Mas Galang. Wajah Mas Galang terlihat bingung, mungkin ia bingung karena tidak dikasih tahu sebelumnya.Mamanya Mas Galang mengutarakan niatnya di depan keluargaku bahwa beliau ingin meminangku. Beliau juga kembali meminta maaf karena telah menghinaku waktu itu.Seketika wajah Mas Galang langsung berseri-seri saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh mamanya. Mungkin ia tidak menyangka jika mamanya telah merestui hubungan kami."Mama, Mama serius? Mana melamar Mona? Itu artinya Mama sudah merestui hubunganku dengan Mona?" tanya Mas Galang pada mamanya, seperti tidak percaya."Iya, Mama
Bab 38"Jadi sekarang kamu buka butik? Gimana, rame?" Matanya memindai sekitar, apa mungkin beliau mau merendahkanku lagi? Padahal aku sudah tidak berhubungan dengan anaknya."Alhamdulillah, Tante. Rame atau enggaknya tetap Mona syukuri. Yang paling penting, Mona bisa mandiri tanpa menyusahkan orang tua.""Bagus itu! Oh ya, Tante ada perlu denganmu. Bisa kita bicara berdua?"Ngajakin aku bicara? Ada apa ya?"Bisa, Tante. Kita bisa bicara di dalam, mumpung belum ada pelanggan. Mari!" Aku mengajak mamanya Mas Galang ke dalam."Bagaimana hubunganmu dengan Galang?" tanya beliau sesaat setelah kami duduk di kursi yang saling berhadapan.
Bab 37"Terimakasih sudah mengantarku. Mulai sekarang jangan pernah menghubungiku lagi. Lebih baik Mas langsung pulang saja, ya! Aku capek, mau istirahat," ucapku pada Mas Galang setelah kami tiba di Belanda rumah."Tunggu, Mona!" Mas Galang tampaknya masih tidak terima dengan keputusanku."Tolong jangan ganggu aku lagi, Mas. Permisi!"Aku segera masuk ke dalam dan meninggalkannya sendirian di luar. Aku yakin, benaknya sedang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan saat ini."Loh, datang-datang kok' gak ngucapin salam? Galang mana? Sudah pulang? Kok' gak diajak masuk dulu?" Kak Mila langsung menyambutku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepala
Bab 36Hati ini bagai disayat-sayat mendengar ucapannya. Luka di hati yang masih dalam proses penyembuhan, kini menganga kembali.Serendah itukah diriku di matanya?"Aku sarankan lebih baik kamu menjauh dari kehidupan Galang karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah sudi menerimamu sebagai menantuku," ucapnya dengan santai tanpa memikirkan bagaimana perasaanku.Bulir bening yang sedari tadi ingin keluar, berusaha kutahan. Aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya. Aku harus tenang menghadapinya.Hal yang aku takutkan benar-benar terjadi. Sebenarnya inilah alasan utama kenapa sampai detik ini aku belum juga menerima pinangan Mas Galang. Jika sudah tahu begini, maka aku akan lebih mudah untuk m
Bab 35 Ternyata apa yang dikatakan Kak Mila itu benar. Mas Galang beneran datang. Ia sengaja meminta izin kepada Bapak dan Kakak untuk mengajakku dan memperkenalkan aku pada orang tuanya. Mas Galang datang tanpa memberitahuku sebelumnya. Ia benar-benar membuat kejutan untukku. "Om, saya mau meminta doa restu pada Om. Saya mau melamar Mona untuk menjadi istri saya. Saya sudah lama mencintai Mona, Om. Saya janji akan membuatnya bahagia dan tidak akan pernah menyakitinya," ucap Mas Galang pada Bapak saat kami sedang mengobrol di ruang tamu. Bapak menatapku sekilas, lalu kembali menatap Mas Galang. "Kalau Om sih tergantung Mona saja. Jika Mona bersedia menerima lamaranmu, Om akan memberika
Bab 34"Mona, ini kamu kan? Kamu kok' jahat bangat sih sama suami dan mertua sendiri!" ucap Bu Nani, tetangga yang berjarak lima rumah dari rumahku."Iya, kok tega, ya? Kasihan Bayu, Ibu sama adiknya harus di penjara gara-gara ulahmu," sahut Bu Mimi, Bu RT di kampung ini."Iya. Bahkan Bayu sampai harus menjual rumahnya untuk membayar pengacara, demi membebaskan Ibu dan adiknya di penjara.""Katanya Bayu sudah bangkrut loh, ibu-ibu. Semua hartanya diambil oleh Si Mona. Bahkan rumah, mobil, motor dan tempat usahanya pun sudah melayang. Kasihan ya!""Iya, kasihan! Jahat banget sih jadi orang. Ntar kena karma baru tau rasa."Kupingku terasa p
Bab 33 Tiga bulan sudah aku tinggal bersama Bapak dan juga Kakak di kampung. Alhamdulillah aku sudah pulih kembali. Kini aku sudah resmi menjadi janda. Gugatan ceraiku akhirnya dikabulkan oleh pengadilannya agama. Itu semua berkat bantuan Mas Galang, ia lah yang mengurus semuanya. Aku tidak bisa menghadiri panggilan sidang karena saat itu kondisi kesehatanku belum pulih. Mas Gilang lah yang menangani semuanya. Ibu dan Hana juga sudah mendekam di penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Aku bisa bernapas lega karena orang-orang yang berbuat jahat padaku telah mendapatkan balasan yang setimpal. Semoga Ibu dan Hana bertaubat dan menyesali semua perbuatannya. Tidak kusangka jika semuanya
Bab 32 "Kamu jenuh, ya? Kita jalan-jalan ke taman aja, yuk! Biar kamu nggak bosan," ajak Mas Galang. Aku memang merasa jenuh karena berada di kamar terus. Sudah hampir satu Minggu di sini, aku bahkan ingin menghirup udara segar di luar. "Tunggu sebentar, ya, aku mau di kursi roda dulu," ucapnya lagi. Aku hanya mengangguk, pertanda mengiyakan. Pagi ini Mas Galang lah yang menungguiku di rumah sakit ini. Kakak sudah pulang lebih dulu ke kampung karena tidak bisa lama-lama meninggalkan suami dan anaknya. Sedangkan Bapak pergi ke kantin untuk sarapan. Tak lama kemudian, Mas Galang pun