Bab 5
"Mona, buka pintunya. Kamu belum masak, Mona! Kita mau makan apa malam ini?" Ibu mertua berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamar. Tapi aku tidak menghiraukannya karena sudah tahu bahwa mereka hanya memanfaatkan kebaikanku.
Aku tulus menyayanginya dan menganggapnya seperti Ibu kandungku sendiri. Tapi apa balasannya bagiku? Hanya hinaan dan cacian yang selalu kudengar tiap hari dari mulutnya.
***
"Dek, bangun!"
Aku merasakan seseorang menepuk pelan pipiku. Mas Bayu, ternyata ia sudah pulang.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata sudah malam, entah jam berapa sekarang, aku ketiduran.
"Dek, tadi kamu ribut lagi sama Ibu, ya?" Tanya Mas Bayu sambil menghempaskan bobotnya di pinggir ranjang.
"Iya," jawabku singkat. Jika dulu aku selalu mengadu dan menceritakan semua keluh kesah ku padanya, sekarang tidak lagi. Aku memilih untuk memendam sendiri. Percuma curhat padanya, ujung-ujungnya aku juga yang disalahkan. Mending aku diam saja.
"Mas kan sudah bilang, Adek harus sabar ngadepin Ibu. Bagaimanapun juga, beliau adalah orang tua Mas. Orang yang telah melahirkan_"
"Aku tahu," ucapku sebelum Mas Bayu menyelesaikan kalimatnya.
"Gini ya, Mas. Wajar aku marah karena Hana telah mencuri semua uangku."
"Hana melakukan itu karena kamu tidak memberinya uang, Dek. Hana bilang, dia sudah memintanya dengan cara baik-baik sebelum berangkat kuliah, tapi kami tidak mau memberikannya."
Ternyata mereka telah lebih dulu mengadu kepada Mas Bayu.
"Ibu bilang, kamu tidak mau memasak. Piring kotor yang belum dicuci juga penuh di wastafel. Kamu kenapa sih, Dek? Untung tadi Ibu sempat menelpon Mas dan minta dibelikan makan malam. Jika tidak, kita semua mungkin akan kelaparan malam ini."
Apa lagi ini? Sepertinya ibu memang sengaja menjelek-jelekkan aku kepada Mas Bayu. Sekalian saja mengadu bahwa aku telah menampar pipi Hana!
"Mau masak apa, Mas? Mana uangnya? Di kulkas sudah tidak ada bahan makanan. Uang simpananku pun semuanya udah diambil oleh Hana."
Mas Bayu terdiam sesaat.
"Bahkan uang buat bayar cicilan mobil Mas dan motornya Hana sudah nggak ada. Diambil semua oleh Hana," ucapku lagi agar ia tahu bagaimana kelakuan adik kesayangannya itu.
"Begini saja, bayarnya pakai gaji Adek dulu ya. Nggak lama lagi kan Adek gajian." Mas Bayu berucap dengan santai seolah tanpa beban.
Aku hanya tersenyum sinis melihatnya. Sungguh sudah keterlaluan!
"Mas tahu kan berapa gajiku sebulan? Gajiku hanya dua juta, Mas. Buat kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup, gimana mau bayar cicilan?"
Awalnya gajiku memang dua juta, tapi sekarang sudah naik menjadi dua juta lima ratus ribu rupiah. Aku sengaja merahasiakan itu. Uang tersebut aku kirimkan untuk biaya berobat Bapak., Karena sejak kehadiran Ibu dan Hana di rumah ini, Mas Bayu sudah melupakan janjinya. Dulu ia berjanji akan membantu biaya berobat bapak, tapi nyatanya sekarang janji itu tidak ditepati.
"Mas juga sudah mengurangi uang bulanan untukku. Bahkan uang bulanan untuk Ibu dan juga Hana jauh lebih besar dibanding uang yang Mas berikan untukku. Sedangkan kebutuhan di rumah ini aku yang menanggung semuanya," keluhku lagi.
Begitulah kenyataannya. Nafkah untuk ibu dan juga Hana lebih besar dari nafkah yang aku dapatkan. Tapi tetap saja mereka masih merasa kurang, bahkan sampai hati mencuri uang simpananku. Untung aku tidak bodoh, uang dari hasil gajiku sudah ku amankan di bank untuk sekadar berjaga-jaga jika terjadi sesuatu denganku nantinya.
"Kita bahas nanti lagi, ya. Sekarang kita makan malam dulu. Tadi sebelum pulang Mas sempatkan untuk membeli nasi bungkus buat kita. Ayo." Mau Bayu menarik tanganku. Tapi aku tidak mau.
"Aku tidak lapar, Mas. Mas saja yang makan!"
Bisa-bisa emosiku akan naik jika harus makan bareng sama Ibu dan adik iparku itu.
"Nanti kamu sakit loh, Dek!"
"Biarin!"
Andai kamu tahu, bahkan hati ini jauh lebih sakit, Mas.
"Mas tunggu di meja makan, ya!"
Aku tidak meresponnya.
Saat Mas Bayu keluar kamar, aku kembali mengecek ponselnya. Kali ini aku akan menyadap ponselnya. Agar aku mengetahui semua rahasianya.
Ternyata ponselnya sudah menggunakan kata sandi, sehingga aku tidak bisa menjalankan rencanaku.
Sudah kucoba beberapa kali, tapi tetap tidak bisa. Sepertinya Mas Bayu sengaja. Ia pasti tidak ingin aku mengetahui kebohongannya.
Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Buru-buru aku menaruh ponsel Mas Bayu kembali di atas meja, lalu berbaring di atas ranjang, pura-pura tidur.
"Dek, kamu tidur lagi? Ditunggu-tunggu di meja makan kok nggak datang-datang. Ini Mas bawain nasi bungkus buatmu." Mas Bayu membelai rambutku, lalu menaruh sesuatu di atas meja.
"Makan dulu, Dek," ucapnya lagi. Kali ini bahkan ia mengguncang tubuhku. "Makan dulu, Dek. Nanti kami sakit loh, ayo!"
Perlahan aku membuka mata, seperti orang yang tidur beneran. "Aku nggak lapar, ngantuk bangat, Mas."
"Adek harus makan. Tolong dengarkan Mas, kali ini saja. Mas tahu Adek marah pada Ibu, Hana dan juga pada Mas. Tapi bukan berarti Adek harus menyiksa diri sendiri. Sekarang makan ini. Ayo!"
Mas Bayu memberikan nasi yang ia bawa tadi padaku. Terpaksa aku menurutinya. Jujur perutku juga lapar, tapi aku sama sekali tidak berselera untuk makan.
***
Pagi ini aku sengaja tidak memasak. Aku hanya membersihkan rumah dan juga mencuci piring yang menumpuk di wastafel. Ternyata tidak ada yang mengerjakannya kalau bukan aku. Aku mengalah, mencuci semuanya hingga bersih dan menyusunnya kembali di rak piring. Setelah selesai beberes, aku langsung mandi dan bersiap untuk pergi kerja. Lebih tepatnya membuntuti Mas Bayu, mumpung aku sedang libur.
"Mas, aku berangkat duluan ya," ucapku pada Mas Bayu yang sedang berpakaian.
"Tumben buru-buru. Adek masuk kerjanya kan jam delapan, ini baru jam tujuh loh!"
"Iya, Mas. Sesekali aku berangkat lebih cepat, nggak apa-apa, kan? Malu kalau telat mulu tiap hari."
"Yasudah, Adek hati-hati, ya. Pelan-pelan saja bawa motornya, jangan ngebut!"
"Iya," jawabku singkat sambil mengambil tas selempang milikku.
Seperti biasa, aku mencium punggung tangannya sebelum berangkat.
"Mona, mau kemana pagi-pagi begini?" tanya ibu saat aku melewati ruang tamu. Beliau sedang bersantai sambil menikmati secangkir teh.
"Berangkat kerja, Bu!"
"Apa ibu nggak salah dengar? Pagi-pagi begini kamu sudah mau berangkat kerja? Kamu mau bikin seluruh penghuni rumah ini kelaparan?"
Sebenarnya aku masih malas melihat wajah Ibu mertuaku ini, aku masih kesal dan marah padanya.
"Kelaparan bagaimana maksud ibu?" Aku mengernyitkan kening mendengar ucapan ibu mertuaku tersebut.
"Iya, kelaparan. Kamu tidak masak kan? Terus, kami mau makan apa hari ini?" Ibu meninggikan nada bicaranya.
"Oh, itu. Iya, Mona memang nggak masak, Bu. Mona tidak punya uang sama sekali untuk membeli bahan makanan. Soalnya, uang Mona semuanya sudah diambil oleh," jawabku tanpa rasa takut sedikitpun.
"Kamu sudah berani sama Ibu? Ngajakin ribut?"
Siapa juga yang mau ngajakin ribut pagi-pagi begini.
"Bayu … Bayu … cepat kemari. Lihat kelakuan istrimu ini." Ibu berteriak memanggil nama Mas Bayu. Pasti Ibu mertua ingin menjelek-jelekkan aku lagi di depan Mas Bayu.
"Ada apa sih, Bu? Teriak-teriak?" tanya Mas Bayu saat menghampiri kami.
"Ini loh, istrimu ini sekarang sudah berani sama Ibu. Bahkan pagi ini dia tidak memasak. Dia sengaja berangkat kerja lebih awal untuk menghindari tugasnya di rumah ini." Ibu memaparkan semua kesalahanku kepada Mas Bayu.
Mas Bayu menatapku sekilas, setelah itu beralih menatap Ibu."Hal kecil tidak usah dibesar-besarkan, Bu!"
"Kamu bilang hal kecil? Jika dibiarkan, si Mona ini akan semakin ngelunjak, Bayu! Kamu gimana sih?"
"Mona bukannya ngelunjak, Bu. Kan sudah Mona jelaskan, Mona nggak memiliki uang lagi untuk membeli bahan makanan. Piring sudah dicuci bersih, nasi juga sudah matang di dalam rice cooker." Aku membela diri.
"Lauknya mana? Masa Ibu makan pake nasi doang?"
"Uang tabungan Mona yang kalian ambil pasti belum habis semuanya kan, Bu? Pake uang itu saja. Nggak usah memperpanjang masalah. Mona permisi. Assalamualaikum …."
Aku pun meninggalkan suami dan Mertuaku itu. Berdebat dengan Ibu tidak akan ada ujungnya.
Bersambung ….
Bab 6"Nasi uduknya satu ya, Mpok, minumnya teh manis hangat," ucapku pada Mpok Leni, penjual nasi uduk di pinggir jalan dekat komplek."Baik, Neng! Tunggu sebentar ya, Neng!"Aku memilih untuk sarapan di warung tenda pinggir jalan yang tidak jauh dari gang rumahku. Sengaja aku memilih tempat ini karena Mas Bayu biasanya melewati jalan ini. Mumpung lagi libur kerja, hari aku akan membuntutinya untuk menjawab semua kecurigaanku."Ini pesanannya, Neng, silakan dinikmati." Pelayan warung tersebut meletakkan pesananku di atas meja. Satu piring nasi uduk yang yang dihiasi dengan irisan telur dadar yang diiris tipis-tipis, serta satu gelas teh manis yang masih mengepulkan asap telah terhidang di atas meja.
Bab 7Aku melepas helm, memberikannya kepada supir ojek itu, kemudian masuk ke dalam klinik. Harus ku ungkap semuanya sekarang juga!Sesampainya di dalam klinik, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan mencari-cari keberadaan Mas Bayu. Ternyata ia dan wanita itu sedang duduk di kursi, di depan resepsionis. Klinik ini tidak terlalu luas, jadi mudah sekali mencari keberadaan mereka.Sementara Mas Bayu dan wanita itu sedang fokus memperhatikan bayi itu, aku langsung berjalan di depan mereka dengan santai. Tanpa ragu, aku ikut duduk diantara ibu-ibu yang sedang mengantri.Aku sengaja memakai masker dan juga kaca mata hitam, semoga saja Mas Bayu tidak melihat keberadaanku di sini. Kalaupun iya, yasudah lah. Malah lebih bagus karena kebohongannya akan
Bab 8Deg!Jantungku seolah berhenti berdetak saat melihat ibu mertua memegang buku tabungan yang selama ini aku sembunyikan dari mereka.Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?"Ternyata Mbak Mona diam-diam memiliki tabungan ya, Bu. Coba aja kita tau dari dulu ya, Bu," ucap Hana kepada ibunya."Iya, memang dasar kakak iparmu itu orangnya pelit. Ibu sih dari dulu sampai sekarang nggak pernah suka sama dia." Ibu mertua membenarkan ucapan anak bungsunya itu.Astaghfirullah … ternyata ibu tidak pernah suka sama aku. Ya Allah … kenapa rasanya sakit sekali mengetahui kenyataan ini.
Bab 9"Mona, kamu siapin makan siang ya, Ibu dan juga Hana belum makan. Buruan! Nggak pake lama!"Setelah mengucapkan kata-kata itu, mereka berdua pun meninggalkan kamarku.Siapa juga yang mau disuruh-suruh seperti itu? Memangnya aku ini pembantu, apa? Mulai sekarang, jangan harap aku mau menuruti kemauan kalian.Aku merebahkan tubuh di atas ranjang setelah mengunci pintu terlebih dahulu. Hari ini sungguh melelahkan. Aku ingin beristirahat dan tidak ingin diganggu oleh siapapun.Baru beberapa menit mata ini terpejam, Ibu sudah menggedor-gedor pintu dan berteriak memanggil namaku."Mona … makan siangnya mana?"
Bab 10Mereka bertiga pun meminum teh manis hangat yang sudah dicampur dengan obat tidur tersebut. Mari kita lihat, kalian akan berangkat ke acara akikahan itu atau …"Ayo, Bu, Hana, nanti kita telat," ucap Mas Bayu sambil merapikan kemejanya."Tunggu, Ibu kok mendadak jadi pusing gini, ya? Bentar, Ibu ke kamar dulu." Ibu pun masuk ke kamarnya, disusul juga oleh Hana. Sepertinya obat tidur itu sudah mulai bereaksi. Bagus!"Dek, kok Ibu sama Hana belum keluar juga dari kamar?" tanya Mas Bayu, ia terlihat gelisah, mondar-mandir kesana-kemari."Nggak tau tuh, Mas. Coba Mas lihat ke kamar!"Karena sudah tidak sabar, Mas Bayu segera m
Bab 11egera ku salin pesan dari wanita tersebut dan langsung mengirimnya ke nomorku. Mungkin suatu saat aku akan membutuhkannya.Setelah berhasil mengerjai wanita selingkuhan Mas Bayu itu, aku segera menghapus riwayat chat. Mas Bayu tidak boleh tahu kalau aku sudah bermain-main dengan gundiknya itu. Aku harus bermain dengan rapi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.Satu jam sudah mereka tertidur, belum ada tanda-tanda bahwa mereka akan bangun. Ketiganya masih tertidur dengan pulas.Akhirnya terlintas ide untuk menghadiri acara akikahan itu. Ya, aku penasaran apakah acaranya berjalan dengan lancar atau justru sebaliknya. Mumpung Mas Bayu masih tidur, aku akan menggunakan kesempatan ini.**
Bab 12POV BayuAku langsung menyambar kunci mobil yang terletak di atas meja. Setengah berlari menuju garasi, menaiki mobil, lalu mengendarainya dengan kecepatan tinggi.Tidak kuhiraukan lagi rambu-rambu lalu lintas. Lampu merah juga aku terobos begitu saja. Aku sudah tidak sabar ingin secepatnya tiba di rumah Andini.Ah, pasti Andini akan marah besar padaku. Bisa-bisanya aku ketiduran, padahal hari ini adalah acara penting bagiku dan juga istriku Andini.Semoga saja acaranya belum selesai. Bisa-bisa Andini akan marah besar padaku.Setelah menempuh jarak sekitar dua puluh menit, akhirnya aku tiba di rumah Andini.Suasananya suda
Bab 13POV BayuKe mana semua uangku? Siapa yang mengambilnya?Seketika aku terduduk di lantai, rasanya kedua kaki ini tidak mampu lagi menopang tubuhku.Aku masih tidak percaya dengan semua ini. Bisa-bisanya uang tersebut raib. Apa yang harus aku lakukan?"Pak, Bapak kenapa? Apa yang terjadi dengan Bapak?" Seorang lelaki paruh baya menepuk pundakku."Apa Bapak kehilangan uang?" tanyanya lagi.Lidah ini terasa kelu, bahkan aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan. Aku shock!
Bab 40Enambulan sudah aku menjadi istri dari Mas Galang. Aku sangat bahagia karena memiliki suami dan mertua yang baik. Mas Galang sangat perhatian, ia sangat sayang padaku. Begitu juga dengan mama mertua, beliau juga sangat baik.Saat ini, aku sedang mengandung, usia kehamilanku sudah memasuki lima bulan. Perutku pun sudah mulai terlihat buncit.Dari dulu aku selalu meminta kepada Allah agar menitipkan janin di dalam rahimku. Di pernikahan pertama tidak kudapatkan.Alhamdulillah di pernikahan kedua, Allah mengabulkan doaku. Aku tidak seperti yang dituduhkan mantan mertuaku. Buktinya, sekarang aku bisa hamil. Aku benar-benar bersyukur atas semua nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah.
Bab 39Mamanya Galang menepati janjinya. Beliau datang ke rumah bersama Mas Galang. Wajah Mas Galang terlihat bingung, mungkin ia bingung karena tidak dikasih tahu sebelumnya.Mamanya Mas Galang mengutarakan niatnya di depan keluargaku bahwa beliau ingin meminangku. Beliau juga kembali meminta maaf karena telah menghinaku waktu itu.Seketika wajah Mas Galang langsung berseri-seri saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh mamanya. Mungkin ia tidak menyangka jika mamanya telah merestui hubungan kami."Mama, Mama serius? Mana melamar Mona? Itu artinya Mama sudah merestui hubunganku dengan Mona?" tanya Mas Galang pada mamanya, seperti tidak percaya."Iya, Mama
Bab 38"Jadi sekarang kamu buka butik? Gimana, rame?" Matanya memindai sekitar, apa mungkin beliau mau merendahkanku lagi? Padahal aku sudah tidak berhubungan dengan anaknya."Alhamdulillah, Tante. Rame atau enggaknya tetap Mona syukuri. Yang paling penting, Mona bisa mandiri tanpa menyusahkan orang tua.""Bagus itu! Oh ya, Tante ada perlu denganmu. Bisa kita bicara berdua?"Ngajakin aku bicara? Ada apa ya?"Bisa, Tante. Kita bisa bicara di dalam, mumpung belum ada pelanggan. Mari!" Aku mengajak mamanya Mas Galang ke dalam."Bagaimana hubunganmu dengan Galang?" tanya beliau sesaat setelah kami duduk di kursi yang saling berhadapan.
Bab 37"Terimakasih sudah mengantarku. Mulai sekarang jangan pernah menghubungiku lagi. Lebih baik Mas langsung pulang saja, ya! Aku capek, mau istirahat," ucapku pada Mas Galang setelah kami tiba di Belanda rumah."Tunggu, Mona!" Mas Galang tampaknya masih tidak terima dengan keputusanku."Tolong jangan ganggu aku lagi, Mas. Permisi!"Aku segera masuk ke dalam dan meninggalkannya sendirian di luar. Aku yakin, benaknya sedang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan saat ini."Loh, datang-datang kok' gak ngucapin salam? Galang mana? Sudah pulang? Kok' gak diajak masuk dulu?" Kak Mila langsung menyambutku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepala
Bab 36Hati ini bagai disayat-sayat mendengar ucapannya. Luka di hati yang masih dalam proses penyembuhan, kini menganga kembali.Serendah itukah diriku di matanya?"Aku sarankan lebih baik kamu menjauh dari kehidupan Galang karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah sudi menerimamu sebagai menantuku," ucapnya dengan santai tanpa memikirkan bagaimana perasaanku.Bulir bening yang sedari tadi ingin keluar, berusaha kutahan. Aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya. Aku harus tenang menghadapinya.Hal yang aku takutkan benar-benar terjadi. Sebenarnya inilah alasan utama kenapa sampai detik ini aku belum juga menerima pinangan Mas Galang. Jika sudah tahu begini, maka aku akan lebih mudah untuk m
Bab 35 Ternyata apa yang dikatakan Kak Mila itu benar. Mas Galang beneran datang. Ia sengaja meminta izin kepada Bapak dan Kakak untuk mengajakku dan memperkenalkan aku pada orang tuanya. Mas Galang datang tanpa memberitahuku sebelumnya. Ia benar-benar membuat kejutan untukku. "Om, saya mau meminta doa restu pada Om. Saya mau melamar Mona untuk menjadi istri saya. Saya sudah lama mencintai Mona, Om. Saya janji akan membuatnya bahagia dan tidak akan pernah menyakitinya," ucap Mas Galang pada Bapak saat kami sedang mengobrol di ruang tamu. Bapak menatapku sekilas, lalu kembali menatap Mas Galang. "Kalau Om sih tergantung Mona saja. Jika Mona bersedia menerima lamaranmu, Om akan memberika
Bab 34"Mona, ini kamu kan? Kamu kok' jahat bangat sih sama suami dan mertua sendiri!" ucap Bu Nani, tetangga yang berjarak lima rumah dari rumahku."Iya, kok tega, ya? Kasihan Bayu, Ibu sama adiknya harus di penjara gara-gara ulahmu," sahut Bu Mimi, Bu RT di kampung ini."Iya. Bahkan Bayu sampai harus menjual rumahnya untuk membayar pengacara, demi membebaskan Ibu dan adiknya di penjara.""Katanya Bayu sudah bangkrut loh, ibu-ibu. Semua hartanya diambil oleh Si Mona. Bahkan rumah, mobil, motor dan tempat usahanya pun sudah melayang. Kasihan ya!""Iya, kasihan! Jahat banget sih jadi orang. Ntar kena karma baru tau rasa."Kupingku terasa p
Bab 33 Tiga bulan sudah aku tinggal bersama Bapak dan juga Kakak di kampung. Alhamdulillah aku sudah pulih kembali. Kini aku sudah resmi menjadi janda. Gugatan ceraiku akhirnya dikabulkan oleh pengadilannya agama. Itu semua berkat bantuan Mas Galang, ia lah yang mengurus semuanya. Aku tidak bisa menghadiri panggilan sidang karena saat itu kondisi kesehatanku belum pulih. Mas Gilang lah yang menangani semuanya. Ibu dan Hana juga sudah mendekam di penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Aku bisa bernapas lega karena orang-orang yang berbuat jahat padaku telah mendapatkan balasan yang setimpal. Semoga Ibu dan Hana bertaubat dan menyesali semua perbuatannya. Tidak kusangka jika semuanya
Bab 32 "Kamu jenuh, ya? Kita jalan-jalan ke taman aja, yuk! Biar kamu nggak bosan," ajak Mas Galang. Aku memang merasa jenuh karena berada di kamar terus. Sudah hampir satu Minggu di sini, aku bahkan ingin menghirup udara segar di luar. "Tunggu sebentar, ya, aku mau di kursi roda dulu," ucapnya lagi. Aku hanya mengangguk, pertanda mengiyakan. Pagi ini Mas Galang lah yang menungguiku di rumah sakit ini. Kakak sudah pulang lebih dulu ke kampung karena tidak bisa lama-lama meninggalkan suami dan anaknya. Sedangkan Bapak pergi ke kantin untuk sarapan. Tak lama kemudian, Mas Galang pun