Bab 3
Baru saja aku hendak meletakkan kembali ponsel tersebut, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.
"Dek! Ponsel Mas ketinggalan," ucap Mas Bayu begitu tiba di kamar.
"Iya, baru saja ada pesan masuk dari BRI NOTIF. Mas baru narik uang ya?"
Raut wajah Mas Bayu mendadak berubah, terlihat sekali kalau suamiku ini sedang menyembunyikan sesuatu.
"Untuk apa, Mas?" tanyaku lagi.
"Ini, Dek. Mas perlu uang untuk membayar barang pesanan di toko. Kamu kan tahu sendiri kalau Mas beli barang pakai modal sendiri, Dek. Makanya Mas narik uang di ATM barusan."
"Bukannya kalau mau beli barang atau bahan bangunan, Mas selalu putar modal yang didapat dari hasil penjualan?"
Biasanya memang begitu. Mas Bayu tidak pernah menggunakan uang tabungan untuk membeli barang-barang toko. Setiap barang yang terjual akan di catat. Dan uangnya akan digunakan untuk membeli stok barang yang baru. Begitulah seterusnya.
"Akhir-akhir ini toko lagi sepi, Dek. Makanya Mas bingung mau nyari uang di mana lagi untuk membeli stoknya. Kok kamu jadu curiga gitu, Dek? Jangan bilang kamu telah berpikiran buruk pada Mas?"
Aku hanya diam, menarik nafas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Percuma diteruskan, Mas Bayu tidak akan mau mengakuinya.
"Mas pamit ya, Dek!"
Aku hanya menjawabnya dengan anggukkan kepala.
Jarum jam di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 07.40 WIB. Aku pun langsung mengambil tas dan juga kunci motor yang digantung di salah satu paku dinding kamar.
"Bu, Mona pamit ya," ucapku pada Ibu mertua yang sedang bersantai di ruang tamu. Aku meraih tangannya hendak menciumnya, tapi Ibu malah menepisnya.
"Itu piring kotor enggak dicuci dulu sebelum pergi? Ibu paling malas kalau liat piring kotor numpuk di wastafel."
"Maaf, Mona buru-buru, Bu, takut telat!"
"Alasan saja! Apa susahnya sih menuruti perintah ibu?" Kini Ibu berdiri, melipat kedua tangan di depan dada sambil menatapku dengan tatapan tajam.
Selalu saja begitu. Padahal semuanya sudah aku kerjakan. Mulai dari memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, menyapu halaman, semuanya sudah beres. Tunggal piring bekas sarapan tadi yang belum aku cuci. Itu juga masih dipermasalahkan. Harusnya jika Ibu keberatan, ia bisa mengerjakannya sendiri. Enggak harus menungguku.
"Mona pamit, Bu, assalamualaikum …."
Aku segera berlalu dari hadapannya, tidak akan ada habisnya jika aku masih berdiri di situ.
Buru-buru ku keluarkan motor matic milikku dari garasi, menghidupkan mesinnya, lalu tancap gas menuju tempat kerjaku.
***
Hari ini aku sama sekali tidak bersemangat dalam menjalankan pekerjaanku. Pikiranku dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Anganku menerawang jauh, memikirkan nasib rumah tanggaku. Entah bagaimana nasib rumah tanggaku nantinya jika terbukti bahwa Mas Bayu telah mengkhianatiku. Tidak mungkin aku bisa bertahan menerima kebohongannya.
Lebih baik berpisah daripada harus diduakan, itu prinsipku. Pekerjaan ada, gaji ada. Jadi aku tidak perlu takut jika memang harus berpisah dengannya.
Hanya satu yang aku takutkan, takut jika penyakit Bapak akan kambuh jika mendengar kabar yang tidak menyenangkan. Pasti Bapak akan kepikiran nantinya.
Astaghfirullah … aku mengucap istighfar berulang kali agar hati ini bisa tenang.
"Mona, kok wajahmu murung begitu? Apa kamu sedang tidak enak badan?" Pertanyaan Umi Hikmah--pemilik toko laundry membuyarkan lamunanku.
"Jika sedang tidak enak badan, kamu boleh pulang, kok," ucapnya lagi.
"Mona enggak apa-apa, Umi. Mona baik-baik saja!"
Jujur, aku merasa tidak enak hati padanya. Beliau tadi sempat melihat wajahku saat murung. Aku takut Umi Hafsah akan berpikir buruk tentangku. Takut dikira malas.
"Syukurlah kalau begitu. Oh ya Mona, hari ini kita tutup cepat ya. Silakan tulis pengumumannya dulu lalu tempelkan setelah menutup rolling door."
"Tutup cepat? Memangnya ada apa, Umi? Apa Mona membuat kesalahan?" Aku memberanikan diri untuk bertanya soal itu.
"Nggak kok. Kebetulan hari ini anak Umi yang sedang kuliah di luar kota mau pulang. Umi mau menyambut kedatangannya. Semua karyawan bagian cuci, setrika serta packing sudah Umi suruh pulang dari tadi."
Iya, ya. Ternyata semua teman-teman kerjaku sudah pulang. Buktinya tinggal motorku saja yang masih berada di tempat parkiran. Sungguh aku benar-benar tidak fokus hari ini.
"Ya sudah, kamu pulang sekarang ya! Istirahatlah di rumah! Untuk beberapa hari ke depan, laundry akan tutup. Tapi tenang saja, untuk masalah gaji, Umi tidak akan memotongnya."
Ah, Umi Hafsah baik sekali. Coba saja Ibu mertuaku seperti dia. Pasti aku akan sangat bahagia.
"Baik, Umi. Mona mau beres-beres dulu ya!"
"Jangan lupa pengumumannya di tempel ya. Cantumkan juga no hpnya Widya. Siapa tahu ada konsumen yang ingin mengambil pakaian, mereka bisa menghubungi nomor Widya," titah wanita berjilbab syar'i tersebut.
Aku segera melaksanakan perintahnya, setelah semuanya beres, aku pun menuju parkiran.
"Mona, tunggu!" Umi Hafsah menghampiriku, lalu memberikan sesuatu padaku.
"Apa ini, Umi?" tanyaku penasaran.
"Umi tadi bikin kue, ini untukmu. Ambillah!"
Aku pun mengambilnya, lalu mengucapkan terima kasih.
Sebelum menghidupkan mesin motor, aku berpikir sejenak. Jika aku pulang ke rumah, pasti Ibu akan mengomel dan mengatakan aku ini pemalas. Sebenarnya aku malas pulang karena kerjaan di rumah tidak ada habisnya. Ibu mertua selalu saja menyuruhku untuk mengerjakan ini dan itu. Untuk beristirahat sejenak saja pun tidak bisa.
Sebaiknya aku mendatangi tokonya Mas Bayu saja. Siapa tahu aku bisa menemukan bukti di sana.
***
"Siang, Neng," sapa Kang Jono saat aku tiba di toko material milik suamiku.
"Siang juga, Kang," balasku sambil menyunggingkan senyum ke arahnya.
Kang Jono sedang fokus pada alat yang sedang dipegangnya. Alat yang terbuat dari besi, yang digunakan beliau untuk mencetak batako.
"Mas Bayunya ada, Kang?"
"Sedang keluar, Neng! Mungkin sedang mengantar barang pesanan pelanggan."
"Sudah lama, Kang?"
"Kurang tahu juga sih, Neng. Sebaiknya Neng tunggu di dalam saja. Di sini panas!"
Aku pun mengangguk. Benar kata mang Jono, di sini panas sekali, sebaiknya aku menunggu di dalam saja. Tapi tunggu dulu, jika Mas Bayu sedang mengantar barang pesanan pelanggan, kenapa memakai mobil pribadinya? Bukan mobil pick up?
Apa lagi ini? Apa jangan-jangan dugaanku benar jika Mas Bayu memang ada main di belakangku. Akhir-akhir ini banyak sekali pertanyaan di dalam benakku, dan belum ada satupun yang terjawab.
"Tunggu dulu, Kang. Biasanya kan mobil itu yang digunakan untuk mengantar barang pesanan pelanggan." Aku menunjuk mobil carry pick up berwarna hitam yang terparkir di samping toko.
"Kang, boleh tanya sesuatu nggak?"
Kang Jono menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu beralih menatapku.
"Mau nanya apa, Neng?"
Aku tahu Kang Jono orangnya jujur, pasti ia akan jujur menjawab pertanyaanku.
"Apa akhir-akhir ini toko sedang sepi?"
"Enggak kok, Neng. Malah sekarang toko makin rame. Penjualan semakin meningkat. Pesanan batako juga makin banyak. Memangnya ada apa, Neng?"
"Enggak ada apa-apa kok, Kang. Mona nunggu Mas Bayu di dalam saja."
"Baik, Neng!" Kang Jono pun melanjutkan pekerjaannya kembali.
Aku bergegas masuk ke dalam untuk memeriksa laporan penjualan. Setelah membuka lembar demi lembar buku laporan penjualan tersebut, ternyata benar, omset penjualan di toko ini semakin meningkat. Lantas, kenapa Mas Bayu berbohong padaku?
"Neng Mona? Ngapain di sini? Nunggu Pak Bayu ya?" tanya Mas Amar. Ia menghampiriku yang sedang duduk di meja kasir. Mas Amar adalah asisten Mas Bayu, sekaligus merangkap sebagai knet.
"Iya, ni, Mas Bayu kemana ya?"
"Keluar, Neng. Enggak tahu kemana," jawabnya singkat.
"Ya sudah, enggak apa-apa. Mona pulang saja. Enggak usah kasih tahu Mas Bayu kalau Mona datang ke sini, ya. Rencananya tadi mona mau kasih kejutan pada Mas Bayu. Karena Mas Bayu nya lama, kejutannya di rumah aja." Aku sengaja berkata seperti itu pada Mas Amar. Semoga saja beliau bisa diajak kompromi.
"Iya, Neng, beres!"
Aku pun keluar dari dalam toko tersebut, menemui Kang Jono dan mengatakan hal yang sama. Memintanya agar tidak memberitahu kedatanganku ke toko ini.
Satu kebohongan Mas Bayu telah terungkap. Entah apa tujuannya membohongiku. Mengatakan bahwa toko materialnya sedang sepi. Padahal tokonya sedang ramai-ramainya. Jatah bulananku juga dikurangi karena alasan itu.
Apa maksud dari semua ini?
Apa ini ada kaitannya dengan foto bayi yang kulihat di ponsel Mas Bayu tempo hari?
Baiklah, aku akan menyelidiki dan mencari tahu sendiri.
Bersambung ….
Bab 4Setelah keluar dari kawasan toko material, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah warung bakso di pinggir jalan. Warung bakso ini letaknya berhadapan dengan tokonya Mas Bayu. Aku sengaja memilih tempat ini agar bisa memantau Mas Bayu."Ini pesanannya, Mbak, silakan dinikmati," ucap pelayan warung dengan ramah."Terimakasih, Pak," balasku sambil menyunggingkan senyum.Aku segera menikmati bakso tersebut, tidak lupa menambahkan kecap, saos serta cabai agar rasanya lebih nikmat.Sambil menikmati semangkuk bakso, aku terus memantau dari warung ini. Sampai detik ini, Mas Bayu belum juga datang ke toko. Kemana kira-kira mas Bayu?I
Bab 5"Mona, buka pintunya. Kamu belum masak, Mona! Kita mau makan apa malam ini?" Ibu mertua berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamar. Tapi aku tidak menghiraukannya karena sudah tahu bahwa mereka hanya memanfaatkan kebaikanku.Aku tulus menyayanginya dan menganggapnya seperti Ibu kandungku sendiri. Tapi apa balasannya bagiku? Hanya hinaan dan cacian yang selalu kudengar tiap hari dari mulutnya.***"Dek, bangun!"Aku merasakan seseorang menepuk pelan pipiku. Mas Bayu, ternyata ia sudah pulang.Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata sudah malam, entah jam berapa sekarang, aku ketiduran.
Bab 6"Nasi uduknya satu ya, Mpok, minumnya teh manis hangat," ucapku pada Mpok Leni, penjual nasi uduk di pinggir jalan dekat komplek."Baik, Neng! Tunggu sebentar ya, Neng!"Aku memilih untuk sarapan di warung tenda pinggir jalan yang tidak jauh dari gang rumahku. Sengaja aku memilih tempat ini karena Mas Bayu biasanya melewati jalan ini. Mumpung lagi libur kerja, hari aku akan membuntutinya untuk menjawab semua kecurigaanku."Ini pesanannya, Neng, silakan dinikmati." Pelayan warung tersebut meletakkan pesananku di atas meja. Satu piring nasi uduk yang yang dihiasi dengan irisan telur dadar yang diiris tipis-tipis, serta satu gelas teh manis yang masih mengepulkan asap telah terhidang di atas meja.
Bab 7Aku melepas helm, memberikannya kepada supir ojek itu, kemudian masuk ke dalam klinik. Harus ku ungkap semuanya sekarang juga!Sesampainya di dalam klinik, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan mencari-cari keberadaan Mas Bayu. Ternyata ia dan wanita itu sedang duduk di kursi, di depan resepsionis. Klinik ini tidak terlalu luas, jadi mudah sekali mencari keberadaan mereka.Sementara Mas Bayu dan wanita itu sedang fokus memperhatikan bayi itu, aku langsung berjalan di depan mereka dengan santai. Tanpa ragu, aku ikut duduk diantara ibu-ibu yang sedang mengantri.Aku sengaja memakai masker dan juga kaca mata hitam, semoga saja Mas Bayu tidak melihat keberadaanku di sini. Kalaupun iya, yasudah lah. Malah lebih bagus karena kebohongannya akan
Bab 8Deg!Jantungku seolah berhenti berdetak saat melihat ibu mertua memegang buku tabungan yang selama ini aku sembunyikan dari mereka.Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?"Ternyata Mbak Mona diam-diam memiliki tabungan ya, Bu. Coba aja kita tau dari dulu ya, Bu," ucap Hana kepada ibunya."Iya, memang dasar kakak iparmu itu orangnya pelit. Ibu sih dari dulu sampai sekarang nggak pernah suka sama dia." Ibu mertua membenarkan ucapan anak bungsunya itu.Astaghfirullah … ternyata ibu tidak pernah suka sama aku. Ya Allah … kenapa rasanya sakit sekali mengetahui kenyataan ini.
Bab 9"Mona, kamu siapin makan siang ya, Ibu dan juga Hana belum makan. Buruan! Nggak pake lama!"Setelah mengucapkan kata-kata itu, mereka berdua pun meninggalkan kamarku.Siapa juga yang mau disuruh-suruh seperti itu? Memangnya aku ini pembantu, apa? Mulai sekarang, jangan harap aku mau menuruti kemauan kalian.Aku merebahkan tubuh di atas ranjang setelah mengunci pintu terlebih dahulu. Hari ini sungguh melelahkan. Aku ingin beristirahat dan tidak ingin diganggu oleh siapapun.Baru beberapa menit mata ini terpejam, Ibu sudah menggedor-gedor pintu dan berteriak memanggil namaku."Mona … makan siangnya mana?"
Bab 10Mereka bertiga pun meminum teh manis hangat yang sudah dicampur dengan obat tidur tersebut. Mari kita lihat, kalian akan berangkat ke acara akikahan itu atau …"Ayo, Bu, Hana, nanti kita telat," ucap Mas Bayu sambil merapikan kemejanya."Tunggu, Ibu kok mendadak jadi pusing gini, ya? Bentar, Ibu ke kamar dulu." Ibu pun masuk ke kamarnya, disusul juga oleh Hana. Sepertinya obat tidur itu sudah mulai bereaksi. Bagus!"Dek, kok Ibu sama Hana belum keluar juga dari kamar?" tanya Mas Bayu, ia terlihat gelisah, mondar-mandir kesana-kemari."Nggak tau tuh, Mas. Coba Mas lihat ke kamar!"Karena sudah tidak sabar, Mas Bayu segera m
Bab 11egera ku salin pesan dari wanita tersebut dan langsung mengirimnya ke nomorku. Mungkin suatu saat aku akan membutuhkannya.Setelah berhasil mengerjai wanita selingkuhan Mas Bayu itu, aku segera menghapus riwayat chat. Mas Bayu tidak boleh tahu kalau aku sudah bermain-main dengan gundiknya itu. Aku harus bermain dengan rapi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.Satu jam sudah mereka tertidur, belum ada tanda-tanda bahwa mereka akan bangun. Ketiganya masih tertidur dengan pulas.Akhirnya terlintas ide untuk menghadiri acara akikahan itu. Ya, aku penasaran apakah acaranya berjalan dengan lancar atau justru sebaliknya. Mumpung Mas Bayu masih tidur, aku akan menggunakan kesempatan ini.**
Bab 40Enambulan sudah aku menjadi istri dari Mas Galang. Aku sangat bahagia karena memiliki suami dan mertua yang baik. Mas Galang sangat perhatian, ia sangat sayang padaku. Begitu juga dengan mama mertua, beliau juga sangat baik.Saat ini, aku sedang mengandung, usia kehamilanku sudah memasuki lima bulan. Perutku pun sudah mulai terlihat buncit.Dari dulu aku selalu meminta kepada Allah agar menitipkan janin di dalam rahimku. Di pernikahan pertama tidak kudapatkan.Alhamdulillah di pernikahan kedua, Allah mengabulkan doaku. Aku tidak seperti yang dituduhkan mantan mertuaku. Buktinya, sekarang aku bisa hamil. Aku benar-benar bersyukur atas semua nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah.
Bab 39Mamanya Galang menepati janjinya. Beliau datang ke rumah bersama Mas Galang. Wajah Mas Galang terlihat bingung, mungkin ia bingung karena tidak dikasih tahu sebelumnya.Mamanya Mas Galang mengutarakan niatnya di depan keluargaku bahwa beliau ingin meminangku. Beliau juga kembali meminta maaf karena telah menghinaku waktu itu.Seketika wajah Mas Galang langsung berseri-seri saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh mamanya. Mungkin ia tidak menyangka jika mamanya telah merestui hubungan kami."Mama, Mama serius? Mana melamar Mona? Itu artinya Mama sudah merestui hubunganku dengan Mona?" tanya Mas Galang pada mamanya, seperti tidak percaya."Iya, Mama
Bab 38"Jadi sekarang kamu buka butik? Gimana, rame?" Matanya memindai sekitar, apa mungkin beliau mau merendahkanku lagi? Padahal aku sudah tidak berhubungan dengan anaknya."Alhamdulillah, Tante. Rame atau enggaknya tetap Mona syukuri. Yang paling penting, Mona bisa mandiri tanpa menyusahkan orang tua.""Bagus itu! Oh ya, Tante ada perlu denganmu. Bisa kita bicara berdua?"Ngajakin aku bicara? Ada apa ya?"Bisa, Tante. Kita bisa bicara di dalam, mumpung belum ada pelanggan. Mari!" Aku mengajak mamanya Mas Galang ke dalam."Bagaimana hubunganmu dengan Galang?" tanya beliau sesaat setelah kami duduk di kursi yang saling berhadapan.
Bab 37"Terimakasih sudah mengantarku. Mulai sekarang jangan pernah menghubungiku lagi. Lebih baik Mas langsung pulang saja, ya! Aku capek, mau istirahat," ucapku pada Mas Galang setelah kami tiba di Belanda rumah."Tunggu, Mona!" Mas Galang tampaknya masih tidak terima dengan keputusanku."Tolong jangan ganggu aku lagi, Mas. Permisi!"Aku segera masuk ke dalam dan meninggalkannya sendirian di luar. Aku yakin, benaknya sedang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan saat ini."Loh, datang-datang kok' gak ngucapin salam? Galang mana? Sudah pulang? Kok' gak diajak masuk dulu?" Kak Mila langsung menyambutku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepala
Bab 36Hati ini bagai disayat-sayat mendengar ucapannya. Luka di hati yang masih dalam proses penyembuhan, kini menganga kembali.Serendah itukah diriku di matanya?"Aku sarankan lebih baik kamu menjauh dari kehidupan Galang karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah sudi menerimamu sebagai menantuku," ucapnya dengan santai tanpa memikirkan bagaimana perasaanku.Bulir bening yang sedari tadi ingin keluar, berusaha kutahan. Aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya. Aku harus tenang menghadapinya.Hal yang aku takutkan benar-benar terjadi. Sebenarnya inilah alasan utama kenapa sampai detik ini aku belum juga menerima pinangan Mas Galang. Jika sudah tahu begini, maka aku akan lebih mudah untuk m
Bab 35 Ternyata apa yang dikatakan Kak Mila itu benar. Mas Galang beneran datang. Ia sengaja meminta izin kepada Bapak dan Kakak untuk mengajakku dan memperkenalkan aku pada orang tuanya. Mas Galang datang tanpa memberitahuku sebelumnya. Ia benar-benar membuat kejutan untukku. "Om, saya mau meminta doa restu pada Om. Saya mau melamar Mona untuk menjadi istri saya. Saya sudah lama mencintai Mona, Om. Saya janji akan membuatnya bahagia dan tidak akan pernah menyakitinya," ucap Mas Galang pada Bapak saat kami sedang mengobrol di ruang tamu. Bapak menatapku sekilas, lalu kembali menatap Mas Galang. "Kalau Om sih tergantung Mona saja. Jika Mona bersedia menerima lamaranmu, Om akan memberika
Bab 34"Mona, ini kamu kan? Kamu kok' jahat bangat sih sama suami dan mertua sendiri!" ucap Bu Nani, tetangga yang berjarak lima rumah dari rumahku."Iya, kok tega, ya? Kasihan Bayu, Ibu sama adiknya harus di penjara gara-gara ulahmu," sahut Bu Mimi, Bu RT di kampung ini."Iya. Bahkan Bayu sampai harus menjual rumahnya untuk membayar pengacara, demi membebaskan Ibu dan adiknya di penjara.""Katanya Bayu sudah bangkrut loh, ibu-ibu. Semua hartanya diambil oleh Si Mona. Bahkan rumah, mobil, motor dan tempat usahanya pun sudah melayang. Kasihan ya!""Iya, kasihan! Jahat banget sih jadi orang. Ntar kena karma baru tau rasa."Kupingku terasa p
Bab 33 Tiga bulan sudah aku tinggal bersama Bapak dan juga Kakak di kampung. Alhamdulillah aku sudah pulih kembali. Kini aku sudah resmi menjadi janda. Gugatan ceraiku akhirnya dikabulkan oleh pengadilannya agama. Itu semua berkat bantuan Mas Galang, ia lah yang mengurus semuanya. Aku tidak bisa menghadiri panggilan sidang karena saat itu kondisi kesehatanku belum pulih. Mas Gilang lah yang menangani semuanya. Ibu dan Hana juga sudah mendekam di penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Aku bisa bernapas lega karena orang-orang yang berbuat jahat padaku telah mendapatkan balasan yang setimpal. Semoga Ibu dan Hana bertaubat dan menyesali semua perbuatannya. Tidak kusangka jika semuanya
Bab 32 "Kamu jenuh, ya? Kita jalan-jalan ke taman aja, yuk! Biar kamu nggak bosan," ajak Mas Galang. Aku memang merasa jenuh karena berada di kamar terus. Sudah hampir satu Minggu di sini, aku bahkan ingin menghirup udara segar di luar. "Tunggu sebentar, ya, aku mau di kursi roda dulu," ucapnya lagi. Aku hanya mengangguk, pertanda mengiyakan. Pagi ini Mas Galang lah yang menungguiku di rumah sakit ini. Kakak sudah pulang lebih dulu ke kampung karena tidak bisa lama-lama meninggalkan suami dan anaknya. Sedangkan Bapak pergi ke kantin untuk sarapan. Tak lama kemudian, Mas Galang pun