Share

02

Author: Etheldreda Cindy
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Beberapa hari telah berlalu semenjak kedatangan Max ke farmasinya. Hal yang tidak terduga adalah ketika sepucuk surat dengan amplop berwarna putih gading yang disegel dengan segel lilin berlambangkan simbol kerajaan dikirimkan kepada Iris. Iris telah disetujui oleh kerajaan untuk menggantikan ayahnya di posisi farmasi kerajaan dengan syarat masa percobaan selama satu tahun. Tidak hanya itu, satu hari setelah kedatangan surat tersebut, ada orang kerajaan lagi yang datang, mengukur badan Iris untuk membuatkan seragam. 

Hal itu hanya berlangsung selama dua hari. Iris akan menjadi gila kalau lebih dari dua hari.

Di hari pertamanya untuk memulai kehidupan barunya, Iris terbangun dengan suara gaduh di dapur. Karena posisi kamarnya berada tepat di atas dapur, suaranya terdengar lebih keras. Iris hanya dapat mendesah keras.

“Iris! Sampai kapan kau ingin tidur?” Myra berseru memanggilnya sambil menaiki tangga menuju kamarnya.

Cahaya fajar menembus masuk melalui gorden yang tidak sepenuhnya menutupi jendela, memberikan sedikit penerangan di dalam seluruh kamar. Iris berguling membalik badan hingga menghadap dinding dan mengerang di bawah bantal. “...aku sudah bangun...” gumamnya.

“Kau tidak terdengar seperti orang yang sudah bangun,” kata Myra dari balik pintu dan membuka pintu kamar Iris. “Iris?” Wanita paruh baya tersebut mengintip dari balik pintu.

“Ya, ya... aku bangun...” Suara Iris terdengar serak dan belum sepenuhnya sadar.

Rambutnya kusut, kausnya kusut, seprai sudah tidak rapi dan lepas dari posisinya, selimut membelit di kakinya dan sebagian sudah berada di lantai. Iris bukan orang yang memiliki posisi tidur yang tenang, ia cenderung banyak bergerak dalam tidurnya.

Terbangun dari tidurnya, Iris duduk di kasur dan masih belum sepenuhnya sadar. Kamar ini redup, jendela yang hanya satu tertutup gorden, tidak membiarkan cahaya matahari sepenuhnya masuk ke dalam, menciptakan corak-corak bayangan pada dinding.

Kamar yang berbentuk persegi panjang. Pada sisi kiri sejajar dengan dinding, tempat tidur dengan bantal, seprai dan selimut yang tertata dengan sempurna, pada sisi lainnya buku-buku yang berjajar di rak disusun dengan sangat rapi, buku-buku lainnya yang ditumpuk di atas meja tulis tepat di bawah rak tersebut beserta sebuah lampu meja, disebelahnya ada sebuah lemari pakaian terbuat dari kayu. Di antara tempat tidur dan meja tulis, terpasang jendela kayu yang tinggi dengan gorden abu-abu.

Iris melirik keluar jendela dan rasa kantuknya menghilang saat itu juga. Iris membaca hingga larut malam dan akhirnya tertidur dengan buku masih berada di pangkuannya. Ia berjalan keluar kamarnya dan menemukan ibunya berdiri beberapa meter di dekat pintu kamarnya.

Myra menatap penampilan Iris dari atas hingga bawah, menatap lingkar hitam pada bawah matanya dan ia mengerutkan kening. “Kupikir kau beristirahat semalam,”

“Aku hanya... lupa waktu,” gumam Iris.

“Kau kurang tidur?” tanya ibunya dengan sedikit khawatir. Myra menyentuh dahi dan leher Iris, mencoba memastikan suhu tubuhnya. “Ayahmu bilang kalau ia sering melihatmu di tengah malam, membaca.”

“Itu salah satunya. Kedua, mungkin aku terlalu gugup sehingga sulit untuk tidur.” kata Iris dan itu hampir benar. Setiap harinya dilewati dengan perasaan gugup dan cemas.

“Apa kau akan baik-baik saja?” tanya Myra. Mereka berjalan turun menuju dapur. Wanita paruh baya tersebut tersenyum kecut pada Iris, menatapnya cepat ke atas dan ke bawah.

Iris menyadari tatapan ibunya dan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Bu." Wanita paruh baya itu masih sedikit meragukan putri namun memilih untuk mempercayainya.

“Aku akan baik-baik saja.” Iris mengulang perkataannya dengan penekanan, ia perlu menyakinkan ibunya.

“Baiklah kalau begitu,” kata Myra.

Iris melangkah masuk ke kamar mandi yang terletak tepat di sebelah kamarnya. Merapikan rambut panjangnya dan merias wajahnya agar tidak terlihat pucat dan berpakaian.

Di bawah, Iris mendapatkan ayahnya bekerja sambil memeluk pinggang ibunya dan mencium pipinya. Melihat itu, Iris tersenyum. Ia senang melihat orang tuanya sangat bahagia— Ibu dengan lipstiknya yang cerah, rok panjang dan atasan bercorak bunga. Ayah menatapnya seolah ia masih seorang wanita muda yang cantik.

Myra memiliki rambut hitam, sama seperti Iris, tapi penuh garis-garis putih cemerlang.  Itu muncul tiba-tiba sekitar dua tahun yang lalu. Kerutan yang muncul sudut matanya semakin terlihat dengan jelas. Meskipun Myra masih termasuk usia yang muda untuk seorang wanita yang telah menikah dan memiliki dua anak.

Ruangannya tidak terlalu besar, namun cukup untuk sebuah keluarga dinding yang di cat warna putih dan jendela yang menghadap taman di belakang bangunan. Di tengah-tengah, ada meja makan untuk empat orang dengan kursi-kursi tertata di setiap sisi meja.

Di meja, ada sedikit kopi dan Iris meringis ketika minuman pahit yang masih hangat meluncur turun ke tenggorokannya. “Lebih baik daripada tidak sama sekali.” gumamnya pelan.

Kedua orangtuanya menoleh dan menatap Iris. “Kau terlihat lebih baik,” kata ayah. Ayahnya terkekeh. Senyumnya sangat lebar, Iris tidak bisa menahan tawanya. Dan itu pertanda bagus.

“Benar,” Myra menimpal. “Kau terlihat mengesankan,” mengeringkan tangannya dengan kain lap terdekat.

“Iris!”

Iris menoleh dan melihat adik perempuannya menatapnya dengan kedua mata berbinar-binar. “Anna, bagaimana menurutmu?  Apakah kakakmu ini cantik?“ tanya Iris.

”Tentu saja!“ jawab Anna dengan semangat. Iris tertawa dan memeluk adiknya dengan sayang.

Myra menghela nafas dengan putus asa, tetapi tidak dengan hatinya. ”Iris, kau harus tahu kalau kau sangat cantik.“

”Lalu kenapa tidak ada yang datang untuk mengajakku kencan?“ tanya Iris.

“Itu karena kau selalu menghabiskan waktu di farmasi dan membaca buku.” kata ibunya sebal. “Orang-orang seumuran denganmu dapat membagi waktu kerja dan waktu untuk mencari teman kencan. Kenapa kau tidak bisa?” lanjutnya.

“Karena aku tidak mau?” kata Iris tidak yakin. Iris sangat menikmati kegiatannya di apotek. Ia adalah tipikal gadis kutu buku yang lebih menikmati hidupnya dengan membaca buku dan melakukan berbagai hobinya daripada keluar untuk bersosialisasi.

“Aku tidak percaya ini” kata ibunya dengan sebal lalu ia pergi menuju ruang lainnya.

Iris menatap ayahnya dengan bingung. “Apa aku mengatakan hal yang salah?” tanyanya 

“Ibumu hanya menginginkan yang terbaik untukmu, itu saja.” Pria paruh baya tersebut bersandar di kursinya, sedikit bersantai sebelum ia bangkit berdiri untuk memulai kegiatannya sehari-hari sebagai pemilik farmasi.

“Aku tahu itu,” Iris bergumam pelan, bersandar pada kursi.

Ketika mereka selesai sarapan, Iris mulai membersihkan meja sementara Ayahnya tetap duduk di kursinya sambil menyesap kopi. “Ngomong-ngomong, ayah kira kau sudah terlambat,” kata Ayahnya tiba-tiba. Kedua mata Iris langsung terbelalak.

“Oh iya!” Iris langsung berlari ke arah pintu depan dan meraih kopernya yang telah disiapkan.

Anna muncul dari pintu menuju taman belakang. Kedua tangannya memeluk sebuah pot tanaman kosong yang cukup besar. “Apa kau mau pergi?” tanyanya.

Iris berbalik menatap adiknya. Anna adalah Iris versi kecil. Mereka memiliki banyak persamaan secara fisik. Perbedaan di antara mereka adalah perbedaan usia sembilan tahun dan kepribadian mereka yang sangat berlawanan. Berbeda dengan Iris yang lebih suka kegiatan dalam ruangan, Anna lebih aktif di luar ruangan seperti bermain ke taman, bersosialisasi dan lain-lain.

Ketika Anna baru berusia delapan tahun, ia adalah harapan terbaru keluarga mereka. Ia memiliki bakat dan ketika bakatnya pertama kali terlihat, Iris bertanya seperti apa rasanya.  Dengan caranya yang lucu dan berbicara seperti anak berusia delapan tahun lainnya, Anna mengatakan itu seperti berenang dalam aliran sihir.

Sekarang setelah ia berusia dua belas tahun, ia akan segera bisa menyalurkan bakat tersebut, seperti menyalakan keran.  Itulah sebabnya Ben serta Myra sangat bahagia akhir-akhir ini. Anna akan menjadi kuat. Ia dapat memiliki masa depan yang nyata, yang tidak bergantung pada farmasi yang tidak memiliki masa depan yang jelas.

Tetapi untuk memastikan masa depan itu, Anna perlu pergi ke sekolah dan itu membutuhkan uang. Banyak uang yang tidak dimiliki oleh keluarga mereka dan tidak akan sampai kapanpun jika ayahnya terus memberikan semua obat secara gratis.  Setiap uang yang tersisa digunakan untuk pendidikan Anna, memastikan ia memiliki setiap kesempatan. Iris bisa membenci adiknya karena itu, tetapi ia tidak.

Anna tidak langsung menjawabnya. Gadis kecil itu berpikir sejenak sebelum menjawab, “Ya.” serunya.

Iris mengacak-acak rambut Anna. “Apa kau perlu berpikir keras untuk menjawab?” tanyanya dengan tawa.

Anna terkekeh pelan dan bertanya, “Apakah aku boleh meminta kamarmu?”

“Astaga,” seru Iris. “Apakah itu yang kau mau sejak awal?” tanyanya pura-pura cemberut.

“Ya.” jawab Anna dengan mudahnya. Iris menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang adiknya pikirkan.

Orangtuanya menghampiri mereka. Iris memeluk mereka satu per satu dan berjanji untuk bertemu mereka lagi. Iris baru berjalan dari rumahnya menuju istana sekitar sepuluh menit dan ia sudah membenci hari itu. Saat itu adalah puncak dari musim panas— sinar matahari terasa sangat panas. Tangannya merogoh ke dalam tas kulitnya dan mengeluarkan sebuah apel yang ia bawa untuk makan di jalan.

Burung-burung berkicau dimana-mana— di pepohonan, di udara dan bertengger di kursi-kursi taman. Di kiri dan kanan jalan, situasi sangat ramai. Semua orang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, seolah tidak mengenal perbedaan antara hari kerja dan hari libur.

Kota tersebut berada di pinggir laut dengan tanah lapang luas ditumbuhi rerumputan hijau, luasnya berhektar-hektar, yang sekitar lebih dari setengahnya sudah dimiliki oleh warga yang memiliki peternakan dan perkebunan. Penduduk kota ini adalah pedagang, peternak dan petani, sementara mayoritas anak muda menghabiskan waktunya untuk sekolah. Pada saat musim panen, laki-laki, perempuan dan anak-anak memakai topi jerami untuk menjaga matahari yang bersinar tepat di atas kepala, sebagian orang-orang meluangkan waktu sejenak untuk meregangkan punggung mereka. Pemandangan kebun buah di kejauhan, orang-orang yang bekerja di sana memetik buah dari cabang tipis di puncak pohon-pohon.

Seperti sebuah kanvas dengan warna-warna beragam, merah, kuning, hijau. Jalan-jalan berbatu yang padat, dengan kabut di udara dan asap kelabu dari pembakaran batu bara kapal laut, kapal-kapal dari setiap jenis di pelabuhan dan hiruk-pikuk perdagangan.

Pelabuhan penuh dengan kapal-kapal para nelayan yang setiap harinya berada di sana untuk mencari uang, pergi ke tengah lautan untuk mencari ikan segar, jalan-jalan menuju perairan dengan rapi, dan bangunan-bangunan dicat dengan berbagai warna seperti merah, biru, kuning, hijau. Bahkan gudang-gudang yang terletak dekat dengan dermaga juga dicat dengan warna-warna cerah. Ombak menggoyangkan kapal seperti sebuah mainan di atas air.

Perjalanan menuju istana membutuhkan waktu tiga puluh menit. Di depan gerbang istana, Iris mengadah ke atas, memperhatikan istana di hadapannya. Berbeda dengan bangunan lain di sekelilingnya, bangunan yang satu ini dikhususkan dengan ukuran, desain yang mengagumkan dan bahkan udara yang tercium pun tak terlepas dari kemegahan. Deretan jendela-jendela besar dan tinggi serta balkon pada lantai dua hingga lantai yang paling atas, lantai empat. Dinding berwarna putih dengan hiasan ukiran batu serta berbagai macam patung-patung kecil dengan lentera yang akan menerangi luar bangunan setiap beberapa meter pada malam hari.

“...Wow…” Iris tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

Walaupun ia sudah tinggal di kota tersebut bertahun-tahun, namun ia hampir tidak pernah mendekati istana. Iris menghabiskan waktunya di dalam farmasi hampir seluruh hidupnya. Di saat yang sama, kegembiraan yang dirasakan oleh Iris telah menghilang dan sekarang ia dihadapkan dengan berbagai imajinasi terburuk  di dalam kepalanya, yang mungkin akan terjadi apabila ia berbuat salah.

Iris menoleh sekelilingnya, mencari cara untuk masuk dan ia menemukan dua orang pengawal pintu gerbang istana yang berjarak beberapa meter dari posisi ia berdiri. Kedua pengawal tersebut membawa senjata yang menyerupai tombak, berseragam berwarna hitam dengan simbol kerajaan yang di bordir dengan menggunakan benang emas pada bagian kanan dada.

Di satu sisi, Iris ingin sekali kembali dan membatalkan semua ini, namun ia tidak mungkin melakukan hal tersebut karena keluarganya. Di sisi lain, ia juga penasaran seperti apa keadaan farmasi istana. Selama perjalanan ke istana, Iri hanya dapat membayangkan saja seberapa besar atau seberapa lengkap peralatan yang dimiliki. Iris menggelengkan kepalanya dan menarik nafas dalam sebelum ia mendekati pengawal tersebut.

“Berhenti!” seru satu pengawal tersebut.

“Sebutkan nama lengkap dan apa tujuanmu disini!” seru pengawal satunya.

Iris dapat merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya dan ia pun mulai sulit bernafas karena ia merasa sangat gugup. Tentu saja, ditambah oleh tatapan tajam dari dua pengawal di hadapannya sangat tidak membantu. Iris mencoba untuk mengambil nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia melakukannya selama beberapa saat hingga ia dapat menemukan keberaniannya lagi untuk berbicara.

“Iris Campbell.” katanya dengan suara tegas. Tangan kanannya merogoh ke dalam saku mantelnya, mengeluarkan secarik surat yang tertera segel resmi kerajaan.

• • •

Related chapters

  • FIORE   03

    Iris menjelaskan alasan mengapa ia berada di sana kepada pengawal tersebut. Hal tersebut cukup memakan waktu lebih lama dari yang ia perkirakan. Karena pengawal tersebut meminta bukti surat dan harus menunggu konfirmasi dari orang farmasi terlebih dahulu sebelum memperbolehkan Iris untuk masuk. Salah satu dari mereka memutuskan untuk mengantarkan Iris masuk ke dalam area istana.Pengawal tersebut adalah seorang pemuda yang Iris tebak usianya sekitar dua puluh lima tahun— empat tahun lebih tua dari dirinya. Ia bertubuh ramping tapi kekar. Tidak hanya rambutnya, matanya pun berwarna hitam. Kulitnya menjadi terlihat lebih pucat akibat seragamnya.Seragam berlengan panjang berwarna hitam, berleher tinggi dengan belasan kancing di sisi kiri, celana panjang hitam dengan lencana emas yang tertera simbol kerajaan serta sepatu boots berwarna hitam dengan sebuah garis berwarna putih pada kedua sisinya.“Ayo,” kat

  • FIORE   04

    Iris berdiri di depan cermin, mengamati pantulan bayangan dirinya sendiri. Pantulan tersebut menunjukkan seorang wanita muda dengan tubuh kecil dan kurus, rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai hingga mencapai punggung dan satu-satunya hal yang membuatnya berbeda adalah matanya.Iris berdiri di depan pintu kamarnya, menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia pergi berjalan menelusuri koridor.Untuk pertama kalinya, Iris berkeliling sendirian di istana dengan lembaran peta yang diberikan kepadanya. Peta yang ia terima ternyata bukan satu lembar besar, melainkan berlembar-lembar. “Astaga, seberapa luas tempat ini?” Iris terkesiap saat ia membuka tiap lembaran peta yang ternyata bukan hanya satu lembar.Ia sudah menyusuri koridor demi koridor, tapi yang ia dapatkan adalah ia seperti berputar-putar di tempat yang sama. Semuanya terlihat sama, yang membedakan hanya lukisan di dinding dan pot tanaman

  • FIORE   05

    Iris berada di ruang kerja, memasukkan bahan herbal kering ke dalam toples kaca kosong dan menimbang berat dari setiap bahan untuk di jadikan minyak esensial.“Orang yang seharusnya bertugas mengatur stok dan daftar isi lemari obat tiba-tiba mengundurkan diri,” kata Aria sambil membaca setumpuk kertas di tangannya. Aria adalah senior di farmasi tersebut dan Ia adalah wanita muda yang hanya lebih tua tiga tahun dari Iris.Iris memiringkan kepalanya sedikit, ia tidak begitu mengerti kenapa Aria mengatakan itu kepadanya. “Bukankah Max yang bertanggung jawab?” tanyanya.Aria mengalihkan pandangannya dari kertas di tangan dan tersenyum lebar ketika ia bertatap muka dengan Iris. “Iya dan kau akan membantunya juga” katanya dengan santai dan ada kesan tegas dari suaranya.“...Hah?” Iris tercengang. Tugas itu sama sekali bukan hal yang mudah karena ada banyak se

  • FIORE   06

    “Apa ada sesuatu yang terjadi?” Aria bertanya ketika Iris baru saja masuk ke dalam rumah kaca.“Eh?” Iris masih merasakan degup jantungnya yang berdetak cepat, bukan karena ia gugup akan pekerjaannya, melainkan ia masih ada rasa takut yang tertinggal akibat hal yang ia alami di perpustakaan.Aria berjalan mendekat agar ia dapat melihat raut wajah Iris dengan jelas. “Kau terlihat pucat...” katanya.Iris dapat merasakan bahwa Aria khawatir dengannya. “Tidak, tidak ada apa-apa.” katanya.“Benarkah?” Aria tidak yakin dengan jawabannya.Iris mengangguk. “Mungkin aku hanya sedikit gugup,” Iris berusaha menyakinkannya.“Baiklah kalau begitu,” kata Aria pada akhirnya.Iris tidak dapat menceritakannya karena dua alasan. Pertama, ia masih belum mengenal Aria dan jug

  • FIORE   07

    “...is?” “Iris?” Iris menoleh ke belakang— ke arah Max. Suara Max berhasil menyadarkan Iris dari lamunannya. “Eh? Apa?” tanyanya. Max menaikkan satu alisnya. Ia ingin mengetahui apa yang sedang gadis tersebut pikirkan hingga ia melamun di tengah hari, namun ia mengurungkan niatnya. “Apa yang kau temukan?” tanyanya. Mata Iris melihat kembali ke rak di hadapannya yang penuh dengan deretan toples kaca. “Selain beberapa toples kosong dan tumpukan debu, tidak ada.” Iris melambaikan tangannya di depan wajah, berusaha menyingkirkan debu yang berterbangan. Max mengangguk dan menulis sesuatu di buku. “Aku tidak pernah menyadari betapa banyaknya semua bahan yang ada disini hingga hari ini,” Iris berkata tiba-tiba. Tangannya sibuk mengeluarkan setiap toples kaca yang berada di paling bawah dan memeriksa isinya satu per sa

  • FIORE   08

    Iris berkedip beberapa kali, menatap Max dan Adrian bergantian sementara otaknya masih membutuhkan waktu untuk memproses apa yang baru saja ia dengar. “Kau memanggilnya dengan nama?” pikirnya ketika ia melihat Max.Tanpa banyak berbicara, Iris membereskan peralatan yang ia gunakan dengan cepat. Jarak mereka dengan Iris tidak terlalu jauh, namun ia tidak ingin mendengar apapun yang sedang mereka bicarakan.“Kemana kau?” Adrian terduduk di sisi tempat tidur, sementara Iris hanya dapat melihat punggung Max yang berdiri di hadapan Adrian. Max terlihat meraih lengan Adrian yang lengan pakaiannya telah dilipat hingga siku.“Rumah kaca, perpustakaan,” Max menjawab sekenanya. “Apa yang kau lakukan disini?”Di saat yang sama, Iris baru selesai merapikan barang yang baru saja ia gunakan. Ketika ia menoleh, gadis tersebut baru saja menyadari bahwa wajah Pang

  • FIORE   09

    Iris menutup pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya masih memproses apa yang baru saja ia lihat. “Apakah aku salah lihat?” gumamnya.Ingatannya tentang apa yang telah Iris lihat kembali bermunculan di dalam benaknya, seperti potongan-potongan gambar yang muncul satu per satu. Iris menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mengerang frustasi. “Ok, Iris.” gumamnya kepada dirinya sendiri, kedua tangannya menepuk pipinya pelan. “Lupakan apa yang baru saja kau lihat! Lupakan!”Gadis tersebut tidak memiliki alasan spefisik kenapa ia menghindari Pangeran Adrian, selain ia hanya ingin hidup tanpa mendapatkan perhatian lebih dari orang sekitarnya karena Ia tidak akan pernah dapat menebak apa yang orang lain pikirkan atau bicarakan di belakangnya. Iris pun memilih untuk segera tidur tanpa memakan waktu lebih lama lagi untuk memikirkan persoalan vampire.•••Pagi itu,

  • FIORE   10

    Untuk kesekian kalinya, Adrian terbangun dari istirahat siangnya dengan merasakan jari-jari tangan kanannya mati rasa dan ketika Adrian menulis, jari-jarinya sedikit lebih lambat dari biasanya untuk menulis beberapa kalimat pendek. “Haa...” Adrian menghembuskan nafas perlahan. “Awas kau Aiden...” Ingatannya kembali saat Aiden menahannya dan ia harus menulis unttuk waktu yang sangat lama. Satu tangannya meraih ke dahinya dan ia merasakan suhu tubuhnya lebih hangat dari biasanya. “Orang-orang mengatakan bahwa vampire adalah mahkluk berdarah dingin...” gumamnya. “Dan aku? Terlalu sering demam,” Sementara di bulan lainnya, ia dapat merasakan suhu tubuhnya lebih rendah daripada orang lain. Hal itu membuat Adrian tidak jarang mempertanyakan apa yang tubuhnya sendiri in

Latest chapter

  • FIORE   55

    Waktu sudah melewati pukul dua belas malam dan Iris melihat ke arah panci yang saat itu sedang merebus pasta. Bagaimana ia bisa melewati jam makan malam? Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia memeriksa rebusan pastanya untuk mengecek apakah sudah siap untuk diolah kembali dengan saus tomat yang memang sudah tersedia di dapur. Dengan banyaknya orang yang butuh makan di seluruh istana tersebut, para pekerja di dapur selalu mempersiapkan berbagai bahan siap masak dalam jumlah banyak, bahkan lebih dari cukup apabila ada orang-orang lain seperti Iris yang membutuhkan makan di luar jam makan.Iris tersenyum puas ketika melihat hasil masakannya sendiri. Ia memang bukan orang yang pintar dalam urusan memasak, namun tidak terlalu buruk juga hingga membuat berbagai kekacauan di dapur. “Terima kasih, ibu karena selalu memaksaku untuk membantu di dapur,” gumamnya, tertawa pelan. “Ternyata karena itu, aku masih dapat memasak untuk diriku di saat seperti ini,” matanya melih

  • FIORE   54

    Kisah-kisah bertema romansa sudah sangat dikenal luas, tentang mencintai dan kehilangan, tentang kerinduan dan kelupaan, umum di masa sekarang seperti tahun-tahun yang lalu, tentang mencintai seseorang begitu dalam, tanpa keinginan tetapi bukan tanpa hasrat, tentang raja dan pejuang, tentang kekasih dan saudara.Tentu saja banyak cerita, sama tragisnya, tentang bagaimana seorang pria yang membunuh kekasihnya karena membuatnya merasakan apa yang dianggap tidak perlu, kekasihnya yang menawarinya sedikit anyelir putih, berlumuran darah, tetapi ia mengangkat tangannya. pedang dan memotong daging, hanya untuk mengikuti beberapa hari kemudian dalam kesedihannya.Adrian duduk di salah satu meja di perpustakaan, satu sikunya bertumpu di atas meja sambil menopang berat kepalanya saat ia duduk dengan malas, sementara tangan lainnya membolak-balik lembaran halaman dari buku fiksi yang ia temukan pada salah satu rak. “Aku tidak paham kenapa ada orang yang menyukai cerita seper

  • FIORE   53

    Max mengerutkan keningnya. “Jadi? Kau akan menolaknya?” tanyanya, kedua tangannya sibuk membereskan apapun yang terlihat berantakan di atas meja. Merapikan tumpukan buku, kertas dan mengembalikan pena ke tempatnya semula. Arah matanya bergantian menatap Iris dan memperhatikan apa yang sedang ia rapikan.“Aku tidak tahu,” jawab Iris. Di saat yang sama, Iris menyadari penampilan Max. ada lingkaran hitam dibawah matanya, samar tapi tetap dapat dilihat. “Max? Kau belum tidur?” tanyanya.“Ya dan kelopak mataku terasa sangat berat sekarang,” Max menjawab, memijat pangkal hidungnya perlahan. “Aku akan beristirahat sekarang, kecuali kalau ada hal lain yang ingin kau katakan?” lanjutnya.Iris dengan cepat menggoyangkan kedua telapak tangannya. “Tidak, tidak ada lagi,” jawabnya dengan cepat.Max dengan cepat berdiri, sambil bertanya lagi. “Apa kau menjadi bimbang?” Ia mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu dan alih-alih memaka

  • FIORE   52

    “Yang Mulia…?” Iris membeku ketika ia melihat Adrian mulai memuntahkan kelopak bunga lagi, napasnya terengah-engah sementara tangannya memegang tenggorokannya, seperti ia akan mencekik lehernya sendiri. Tubuh Iris seolah bergerak sendiri, dan ia mendapati dirinya berada di samping sang pangeran panik sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Kulit pucat Adrian  terlihat sangat kontras dengan warna merah saat darah berceceran di karpet bercampur dengan kelopak bunga berwarna putih yang telah bercampur dengan warna merah.Di saat yang sama, kedua orang tersebut memikirkan hal yang sama— berharap kalau semua itu hanya mimpi.Iris meringis dan menatap Pangeran di hadapannya dengan rasa cemas. “Apakah…selalu seburuk ini? Setiap saat?” tanyanya dengan pelan dan hati-hati. Ia perlu tahu apakah selama ini yang ia lihat hanya sebagian kecil dari apa yang menimpanya.“...Tidak,” Adrian terbatuk lagi, namun kali ini Iris menyadari sepertinya ia b

  • FIORE   51

    “Bisa saja,” Iris menjawab tanpa ragu. “Tapi aku harus kembali ke kamarku dan mengambil beberapa barang dari farmasi terlebih dahulu.”Adrian mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Iris akan menyetujuinya begitu saja. “Aku tidak tahu wanita ini terlalu tulus atau memang terlalu polos…” pikirnya.“Aku akan segera ke ruanganmu setelah aku menyiapkan yang diperlukan,” kata Iris, memberikan salam sebelum ia bergegas pergi. Adrian yang masih menatap punggung Iris yang semakin menjauh darinya, hanya menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka Iris akan langsung mengiyakan perkataannya soal memeriksa dirinya di ruangannya— yang sebenarnya, Adrian mengatakan hal tersebut dengan spontan tanpa memikirkannya sama sekali.“...Terkadang aku tidak paham apa yang ada di dalam pikirannya,” Adrian bergumam pelan, mengusap tengkuknya perlahan sambil berbalik arah un

  • FIORE   50

    Iris mempertanyakan kepada dirinya sendiri— ‘Apa yang sebenarnya  Pangeran Caswell dapatkan hanya dengan mencari tahu apa yang dapat ia lakukan, apa yang seorang penyihir dapat lakukan?’ Ada kemungkinan yang sangat kecill bagi dirinya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, jadi ia hanya menggelengkan kepalanya, mengabaikan hal tersebut.Caswell menatap keluar dengan tatapan datar. Iris mengikuti arah pandangnya dan melihat kumpulan pengawal yang sedang berlatih. Saat itu tengah hari dan matahari yang terik menerpa punggung siapapun yang berada di luar sana. Suara pedang latihan yang terbuat dari kayu mengayun kesana kesini, menahan pukulan demi pukulan, masing-masing jatuh lebih cepat dari yang terakhir. Di saat itu, Iris baru menyadari betapa dekat posisinya dengan area berlatih karena ia dapat mendengar suara dari pedang kayu yang saling beradu tersebut.“Sepertinya aku sudah cukup mengikutimu siang ini,” Caswell berkata tiba-tiba, kedua ka

  • FIORE   49

    Iris memicingkan kedua matanya. Ia tidak berhenti menarik nafas dan menghembuskan perlahan selama beberapa menit. Ia juga sesekali melirik ke belakangnya, berharap kalau orang yang sedang mengikutinya hanyalah sebuah imajinasinya saja— berharap orang di belakangnya akan menghilang setelah beberapa menit atau setelah beberapa kali Iris memejamkan mata dan menarik nafasnya.“Kenapa kau terus-menerus bernapas seperti itu?” Caswell bertanya. Namun, nyatanya realita tidak sesuai dengan harapan. Mereka sedang berjalan berdua di koridor. Iris mencoba berjalan dengan cepat, namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun karena Caswell yang memiliki kaki jenjang dan tentu saja tinggi tubuhnya yang melebihi Iris tidak akan memiliki masalah untuk mensejajarkan langkah mereka.Langkah kaki Iris menjadi lebih pelan, seperti ia ragu untuk berhenti atau berjalan seperti biasa. Ia melirik ke arah Pangeran tersebut. “...Maaf, Yang Mulia…” katanya dengan pelan. “Apa…Apa anda

  • FIORE   48

    “Aku tidak percaya kalau aku akan mendengar berbagai desas desus sepagi ini,” Aiden memejamkan kedua matanya, satu tangannya menyisir rambutnya, menyingkirkan helaian rambut yang selalu menutup dahinya.Iris hanya tertawa pelan. “Tapi apakah yang mereka katakan benar?” tanyanya.“Sebagian benar, namun Adrian sendiri sangat menolak ajuan ayahnya,” kata Aiden. “Ia tidak berhenti mengoceh semenjak pertunangannya yang tidak diinginkan menjadi topik pembicaraan pelayan—” ia berhenti sejenak, seperti sedang berpikir sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “...Sekarang aku tahu kenapa Adrian selalu berusaha kabur dariku,”“Kenapa?” tanya Iris dengan pelan, ia tersenyum samar.“Sama seperti Adrian yang tidak berhenti mengomel, aku juga sering melakukan itu padanya,” Aiden berkata dengan sedikit canggung, mengusap tengkuknya perlahan. Melihat itu, Iris hanya tertawa. Ada sedikit rasa kasihan kepada Aiden, namun di sisi lain, Iris juga

  • FIORE   47

    Dengan udara segar yang mendinginkan pipinya, Iris bersenandung pelan saat ia berjalan ke dapur dari kamarnya. Ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, tapi hari ini ia lebih menikmati jalan-jalan. Pagi ini, sudah ada beberapa pelayan wanita bersama dengan pelayan pria sedang membicarakan berbagai desas desus sebelum memulai kegiatan mereka di ujung dapur.Iris mengatupkan bibir saat menuangkan jus jeruk segar ke dalam gelas kaca. Bau bumbu dan telur orak-arik menguar dari kompor yang berada tepat di belakangnya, sisa kulit jeruk yang masih belum dibuang berserakan di atas papan kayu di konter di depannya. Iris mengambil tempat favoritnya, meja yang menghadap ke halaman rumput yang selalu dipangkas rutin.“Iris…” Iris baru saja duduk sebelum ia mendengar suara Aria yang memanggilnya.

DMCA.com Protection Status