“Apa ada sesuatu yang terjadi?” Aria bertanya ketika Iris baru saja masuk ke dalam rumah kaca.
“Eh?” Iris masih merasakan degup jantungnya yang berdetak cepat, bukan karena ia gugup akan pekerjaannya, melainkan ia masih ada rasa takut yang tertinggal akibat hal yang ia alami di perpustakaan.
Aria berjalan mendekat agar ia dapat melihat raut wajah Iris dengan jelas. “Kau terlihat pucat...” katanya.
Iris dapat merasakan bahwa Aria khawatir dengannya. “Tidak, tidak ada apa-apa.” katanya.
“Benarkah?” Aria tidak yakin dengan jawabannya.
Iris mengangguk. “Mungkin aku hanya sedikit gugup,” Iris berusaha menyakinkannya.
“Baiklah kalau begitu,” kata Aria pada akhirnya.
Iris tidak dapat menceritakannya karena dua alasan. Pertama, ia masih belum mengenal Aria dan juga Max dengan baik. Kedua, ia sendiri bahkan masih belum yakin apakah yang di perpustakaan benar-benar nyata atau itu hanya bayangannya saja. Iris menghela nafas lagi karena ingatan tersebut. Terdiam sejenak, ia berusaha menghilangkan ingatan itu dan mengalihkan pandangannya ke sekelilingnya.
Rumah kaca yang lapang tetapi indah. Lantai dari petak-petak putih buram mengelilingi area rumput di tengah seperti bingkai, tiang-tiang baja ramping melengkung di atas sebagai penyangga kaca besar yang berfungsi sebagai atap rumah kaca— menampakkan pemandangan langit yang cerah.
Lampu-lampu kecil yang digantungkan dari sudut ke sudut, berkerlap-kerlip. Selain itu, di sekeliling tempat ini ditumbuhi banyak sekali tanaman. Pepohonan yang tinggi, tanaman-tanaman kecil berbagai warna dan bunga di dalam pot yang tersusun sangat rapi. Bukan hanya tanaman hias, Iris menemukan tanaman-tanaman yang dapat dimakan seperti sayuran, bermacam-macam tanaman buah yang sedang berbuah dengan sangat banyak.
Iris berjalan mendekati Aria dan Max. “Apa yang perlu aku lakukan?” tanyanya.
“Kau bisa memulai dengan menyiram tanamannya terlebih dahulu,” kata Max.
Iris mengambil sebuah alat penyiram yang terletak di lantai, tidak jauh dari posisinya berdiri. Alat penyiramnya berukuran kecil, seperti yang akan menghiasi ambang jendela rumah milik seorang nenek. Berwarna putih dengan hiasan gambar abstrak. Yang harus Iris lakukan bukanlah hal yang sulit, yaitu menyiram dan memetik tanaman yang diperlukan untuk dikeringkan.
Rumput di pinggir dipotong pendek, mengelilingi seluruh area seperti bingkai. Indra penciumannya menangkap daun aromatik, Thyme, Rosemary, Oregano luas dengan bau harum yang harum, Mint dalam pot tanah liat di bawah sinar matahari. Berbagai macam bunga yang dapat dikeringkan untuk menjadi teh atau aroma minyak esensial. Di atas meja, tergeletak bunga-bunga. Kelopaknya yang dulunya indah melengkung di tepinya karena terik matahari, tangkainya sudah lemas dan berubah warna.
Iris melihat Max dari kejauhan, sedang menanam beberapa tunas tanaman herbal baru. Ia tidak pernah membayangkan bahwa berkebun sebagai hal yang akan seorang pria lakukan sampai ia melihat Max, kemejanya terlihat lembab karena keringat dan tanah pun menempel pada sarung tangan serta celemek yang ia kenakan. Ketika di rumah, ibunya yang selalu mengurus tanaman dan terkadang Iris membantunya, sementara ayahnya lebih sering menghabiskan waktu di dalam laboratorium.
“Ada apa?” Pertanyaan dari Max membuatnya terkejut.
“Eh? Apa?” Iris bingung.
“Aku dapat merasakan tatapanmu, Iris.” Max terkekeh. “Apa aku terlihat aneh?”
Iris menggeleng dengan cepat. “Ah tidak. Aku hanya... ” perkataannya terhenti, Iris tidak tahu apa yang harus ia katakan. Max hanya tertawa lagi dan kembali fokus dengan apa yang sedang ia kerjakan.
Perasaan itu kembali lagi. Iris merasa bulu kuduknya meremang untuk kesekian kalinya pada hari itu. “Lagi?” pikirnya.
Iris menoleh ke belakang. Ia merasa seperti ada yang memperhatikannya sementara di ujung rumah kaca, Max terlihat sedang berbicara dengan serius bersama Aria. Iris pun melihat sekelilingnya dengan curiga.
Di saat yang sama, Iris menyadari bahwa Max sedang memperhatikannya. Raut wajahnya yang serius membuat Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apakah ia melakukan hal yang salah. Namun, di detik berikutnya, Max tersenyum kepadanya dan kembali melanjutkan tugasnya seolah tidak terjadi apa-apa. “Iris?” serunya. Iris kembali melihat ke arahnya, Max tidak menoleh ke arahnya. “Ada apa?”
Iris menggelengkan kepalanya perlahan. “Kau pasti menganggap ini aneh…” katanya. “Aku merasa seperti ada yang mengawasi.”
Max menaikkan satu alisnya. “Tapi tidak ada siapa-siapa disini selain kita,”
“Aku tahu itu…” kata Iris.
Max menepuk bahu Iris. “Mungkin kau lelah hingga mulai berhalusinasi?” tanyanya.
Iris menganggukkan kepalanya, memikirkan semua yang logis. “Mungkin.”
Iris mendengar suara pintu yang terbuka di belakangnya. Ia bahkan belum menoleh ketika seseorang berkata. “Yang Mulia,”
Pada saat yang sama, Iris menoleh ke belakang. Aria dan Max membungkuk, kepalanya menunduk sejenak, memberikan hormat kepada Pangeran muda di hadapan mereka.
“Ini orangnya?” tanya Putra Mahkota Brittale— Pangeran Adrian Gennady, ketika ia bertukar pandang dengan Iris dan kepala Iris menoleh ketika Aria serta Max mengangguk bersamaan. Iris menatap pangeran muda di hadapannya. Mata mereka saling bertemu sejenak, dan ia tersenyum. Iris tidak menyangka itu.
Iris membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat secara formal. “Selamat sore, Yang Mulia.” katanya. Adrian mengangguk sebagai jawaban. Iris menyadari raut wajah pangeran muda tersebut, jelas terlihat bahwa ia sedang tidak dalam kondisi senang. Dua orang pengawal berdiri di belakangnya dengan tubuh tegap, mengawasinya dengan ketat.
Adrian memiringkan kepalanya, tatapannya tidak lepas dari Iris yang terus terdiam— seolah menunggu Iris untuk mulai berbicara dan mengenalkan dirinya sendiri padanya. Pada akhirnya, Adrian berdiri dan memperhatikan Iris dari atas hingga kaki ketika ia berjalan mendekat. “Iris, benar?” katanya, senyuman yang sama masih tercetak di bibirnya.
“Ya.” Iris tidak dapat menebak apakah itu senyuman tulus atau sekedar basa basi.
Tatapan mata Adrian melembut. Iris berani bertaruh kalau setiap gadis akan pingsan apabila ia memberi mereka tatapan seperti ini. Namun tidak dengannya, Ia merasa terganggu karena pandangannya seperti itu.
Iris mengalihkan pandangannya ke arah sembarangan asal tidak melihat matanya. Ia melirik ke arah jendela yang terletak tepat di belakang Adrian. Melihat langit di luar sana dan terlihat bahwa langit semakin gelap dengan goresan awan berwarna merah, berlatarkan langit senja yang cerah berwarna merah jingga.
“Apa yang anda lakukan disini?” tanya Aria. Saat itu, Iris ingin sekali berterima kasih kepada Aria karena telah mengalihkan perhatian pangeran tersebut darinya.
Adrian pun mengalihkan pandangannya dari Iris. “Tidak ada. Aku hanya bosan,” katanya.
Max tertawa pelan. “Aku berani bertaruh kalau kau sedang kabur dari ruang kerja.” katanya. Alih-alih menentang, Adrian tersenyum penuh makna. Iris yang mendengar percakapan mereka, menaikan satu alisnya dengan bingung. Di dalam benaknya, ia mempertanyakan apakah mereka sedekat itu sehingga dapat berbicara dengan santai.
Pintu kaca kembali terbuka dan diikuti oleh suara seorang pria. “Adrian—” perkataannya terhenti.
Semua mata secara otomatis langsung tertuju ke arah pintu. Di sana, berdiri seorang pria yang memiliki penampilan mencolok. Rambut pirangnya sangat pucat sehingga nyaris terlihat putih, kulitnya pucat, serta sepasang mata berwarna merah cukup untuk membuat orang di sekelilingnya terpukau dengan penampilannya. “Oh, apa ini waktu yang tidak tepat?” tanyanya. Suaranya terdengar begitu dalam.
“Tidak,” kata Adrian tiba-tiba, Pandangannya tertuju pada pria tersebut. “Ada apa?”
Aria dan Max langsung berjalan ke arah Iris, berdiri di sisinya. Aria menarik lengan Iris dan hanya melihat kedua mata Max, Iris tahu bahwa itu adalah kode singkat agar mereka segera keluar. “Kami pergi dulu,” katanya.
Adrian dan pria tersebut menoleh ke arah mereka. Adrian berkata, “Oh, kami juga akan kembali ke istana,”
Iris dan pria berambut pirang tersebut saling bertatap muka selama beberapa detik. Tatapannya terlihat tajam ketika mereka saling bertukar pandang. Iris hendak mengatakan sesuatu namun Max sudah memanggilnya dari ambang pintu.
Mereka keluar dari rumah kaca, meninggalkan pangeran beserta pria tadi di dalamnya. Iris melirik ke arah celah pintu sebelum tertutup sepenuhnya. Ia melihat Adrian masih menatapnya tanpa henti dan Iris tidak menunjukkan emosi apapun kepadanya.
Sebelum pintu tertutup sepenuhnya, Iris mendengar perkataan pria tadi kepada Pangeran dengan samar. “Bagaimana keadaanmu?”
Iris tidak dapat mendengar percakapan berikutnya karena Max sudah menatapnya dengan satu alis terangkat. Raut wajahnya seolah bertanya kepadanya apakah ia berniat menguping.
“Jadi bagaimana menurutmu?” Pada akhirnya Aria pun yang memulai percakapan, mengembalikan Iris dari pikirannya ke kenyataan.
“Eh? Apa?” Iris tidak mengerti apa yang dimaksud olehnya.
Aria tersenyum ramah dan ia terlihat tenang. “Pangeran Adrian.” katanya.
Hanya dengan mendengar nama itu saja, Iris sudah mengerti apa maksudnya. Iris menarik nafas pelan dan mencoba untuk memikirkan kata apa yang seharusnya digunakan. “Tidak tahu.” katanya.
“Apa pendapat pertamamu tentangnya?” tanya Max tiba-tiba. Ia berjalan di belakangnya, namun tetap menyimak apa yang sedang Iris dan Aria perbincangkan. “Ini pertama kalinya kau bertemu dengannya, bukan?”
Iris ingin mengatakan tidak karena pertama kalinya ia bertemu dengan Pangeran, ia tidak sengaja menabraknya. Namun Iris memilih untuk tidak mengatakannya. ”Tidak seperti yang aku bayangkan selama ini.“ jawab Iris. Itu bukan kebohongan. Selama ini Iris selalu berpikir bahwa kaum bangsawan memiliki sifat yang sama, yaitu sombong. Saat ini hanya ada satu kata yang muncul di pikirannya ketika ia mengingat Pangeran Adrian. Aneh.
Iris mengingat pria dengan rambut pirang tadi dan merasakan ada yang berbeda darinya, namun tidak tahu apa. Ia memberanikan diri untuk bertanya. ”Pria tadi,“ katanya pelan. Aria meliriknya melalui sudut matanya. ”Siapa itu?“ tanya Iris.
”Tuan Nicholas.“ jawab Aria. ”Bisa dikatakan ia adalah orang kepercayaan Raja beserta guru Pangeran Adrian.“ tambahnya. Iris tidak mendapatkan apapun selain namanya dan apa yang ia lakukan. Aria juga terlihat tidak begitu mengenali siapa Nicholas.
Aria merenggangkan tubuhnya ketika mereka sudah berada di farmasi. “Baiklah, terima kasih untuk hari ini, Iris.” katanya.
Malam itu tiba dengan membawa tanda-tanda akan muncul hujan badai. Cahaya terang mulai tergantikan oleh kegelapan yang muncul lebih cepat. Langit yang cerah telah tertutup oleh awan kelabu. Angin mulai berhembus lebih kencang, menyapu jalan setapak. Awan tebal menutupi setengah langit. Bahkan bayangan telah menghilang oleh kegelapan yang merambah. Tidak lama setelah itu, hujan turun dengan derasnya dan angin tidak berhenti berhembus. Itu cukup untuk membuat orang-orang tidak keluar dari rumah mereka masing-masing.
Iris masih dalam kondisi tidur ketika ia merasakan tempat tidurnya bergerak— seperti seseorang tengah duduk pada pinggir tempat tidurnya dan menatapnya dengan sangat dekat sehingga Iris dapat merasakan kehangatan dari nafasnya, ketika rambutnya di sibak perlahan dari wajah dan lehernya, menunjukkan tengkuk lehernya.
Iris membuka kedua matanya perlahan, berbaring di tempat tidur, selimut melilit di kedua. Mengubah posisinya menjadi duduk, ia melihat sekelilingnya, memastikan bahwa tidak ada siapapun di kamarnya. Ia tidak tahu apakah itu hanya mimpi atau bukan. Iris dapat merasakan ada seseorang di kamarnya.
Pencahayaan masuk melewati jendela kamarnya dari lampu di luar, membuat seluruh kamarnya redup oleh cahaya kuning. Iris menggosok mata, mengerjap menyingkirkan rasa kantuk. “Jam berapa ini?” gumamnya. Ia hanya mendengar suara hujan yang teredam oleh dinding sekelilingnya. Ia bangkit dari tempat tidurnya, menarik tirai dan mendapati bahwa masih tengah malam.
Iris menoleh ke kiri dan kanan, melihat semuanya dari jendela. Suasana sudah sangat berubah. Tidak lagi ramai dan terang. Lampu-lampu sudah dimatikan, hanya tersisa beberapa yang menyala di sudut-sudut agar lorong tidak benar-benar gelap gulita.
Tidak ada siapapun.
Berasumsi bahwa itu hanya mimpi, Iris memutuskan untuk kembali tidur.
•••
“...is?” “Iris?” Iris menoleh ke belakang— ke arah Max. Suara Max berhasil menyadarkan Iris dari lamunannya. “Eh? Apa?” tanyanya. Max menaikkan satu alisnya. Ia ingin mengetahui apa yang sedang gadis tersebut pikirkan hingga ia melamun di tengah hari, namun ia mengurungkan niatnya. “Apa yang kau temukan?” tanyanya. Mata Iris melihat kembali ke rak di hadapannya yang penuh dengan deretan toples kaca. “Selain beberapa toples kosong dan tumpukan debu, tidak ada.” Iris melambaikan tangannya di depan wajah, berusaha menyingkirkan debu yang berterbangan. Max mengangguk dan menulis sesuatu di buku. “Aku tidak pernah menyadari betapa banyaknya semua bahan yang ada disini hingga hari ini,” Iris berkata tiba-tiba. Tangannya sibuk mengeluarkan setiap toples kaca yang berada di paling bawah dan memeriksa isinya satu per sa
Iris berkedip beberapa kali, menatap Max dan Adrian bergantian sementara otaknya masih membutuhkan waktu untuk memproses apa yang baru saja ia dengar. “Kau memanggilnya dengan nama?” pikirnya ketika ia melihat Max.Tanpa banyak berbicara, Iris membereskan peralatan yang ia gunakan dengan cepat. Jarak mereka dengan Iris tidak terlalu jauh, namun ia tidak ingin mendengar apapun yang sedang mereka bicarakan.“Kemana kau?” Adrian terduduk di sisi tempat tidur, sementara Iris hanya dapat melihat punggung Max yang berdiri di hadapan Adrian. Max terlihat meraih lengan Adrian yang lengan pakaiannya telah dilipat hingga siku.“Rumah kaca, perpustakaan,” Max menjawab sekenanya. “Apa yang kau lakukan disini?”Di saat yang sama, Iris baru selesai merapikan barang yang baru saja ia gunakan. Ketika ia menoleh, gadis tersebut baru saja menyadari bahwa wajah Pang
Iris menutup pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya masih memproses apa yang baru saja ia lihat. “Apakah aku salah lihat?” gumamnya.Ingatannya tentang apa yang telah Iris lihat kembali bermunculan di dalam benaknya, seperti potongan-potongan gambar yang muncul satu per satu. Iris menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mengerang frustasi. “Ok, Iris.” gumamnya kepada dirinya sendiri, kedua tangannya menepuk pipinya pelan. “Lupakan apa yang baru saja kau lihat! Lupakan!”Gadis tersebut tidak memiliki alasan spefisik kenapa ia menghindari Pangeran Adrian, selain ia hanya ingin hidup tanpa mendapatkan perhatian lebih dari orang sekitarnya karena Ia tidak akan pernah dapat menebak apa yang orang lain pikirkan atau bicarakan di belakangnya. Iris pun memilih untuk segera tidur tanpa memakan waktu lebih lama lagi untuk memikirkan persoalan vampire.•••Pagi itu,
Untuk kesekian kalinya, Adrian terbangun dari istirahat siangnya dengan merasakan jari-jari tangan kanannya mati rasa dan ketika Adrian menulis, jari-jarinya sedikit lebih lambat dari biasanya untuk menulis beberapa kalimat pendek. “Haa...” Adrian menghembuskan nafas perlahan. “Awas kau Aiden...” Ingatannya kembali saat Aiden menahannya dan ia harus menulis unttuk waktu yang sangat lama. Satu tangannya meraih ke dahinya dan ia merasakan suhu tubuhnya lebih hangat dari biasanya. “Orang-orang mengatakan bahwa vampire adalah mahkluk berdarah dingin...” gumamnya. “Dan aku? Terlalu sering demam,” Sementara di bulan lainnya, ia dapat merasakan suhu tubuhnya lebih rendah daripada orang lain. Hal itu membuat Adrian tidak jarang mempertanyakan apa yang tubuhnya sendiri in
Aiden menatap meja kerja di hadapannya dengan perasaan campur aduk. Beberapa menit yang lalu, ia baru saja membayangkan raut wajah Pangeran Adrian yang kesal ketika melihatnya masuk.Namun kenyataannya adalah kursi yang seharusnya diduduki oleh Pangeran, kosong. Aiden masuk ke ruang kerja yang sama sekali tidak ada orang. Aiden menghela nafas frustasi, “Kemana Adrian?” gumamnya.Di saat yang sama, pintu di belakangnya terbuka. Aiden berbalik dan melihat Cleon— pengawal yang ia perintahkan untuk mengawasi Adrian. Cleon belum sempat mengatakan apapun, Aiden sudah membuka mulutnya terlebih dahulu. “Mana Pangeran?”“Beliau masih di kamarnya dan ia bilang kalau kondisinya sedang tidak baik.” kata Cleon.“Hah?” Aiden tidak dapat langsung percaya dengan pernyataan tersebut.Cleon menganggukkan kepalanya dengan satu gerakan tegas&mdas
Setelah beberapa saat, akhirnya tiba dan mereka berdiri di depan teras toko. “Jadi, ini tempatnya?” Iris bertanya, dahinya mengkerut, menatap bangunan di depannya. “Menurut kertas ini, ya.” Aria melihat selembar kertas di tangannya lalu mendekati pintu masuk. “Ingatkan aku, darimana kau mendapatkan itu?” tanya Iris. “Beberapa hari yang lalu, ada yang menempel ini di pohon,” jawab Aria dengan santai. “Dan kau mengambilnya...?” tanya Iris lagi. Aria hanya menyeringai ke arahnya. “Tanpa memikirkan kemungkinan terburuknya?!” Aria mengangguk sekali lagi. Bangunan di hadapannya adalah bangunan yang terlihat sangat tua dan berada di gang sempit. Bangunan dengan empat lantai, masing-masing lantai terdapat dua jendela. Dua jendela etalase di paling bawah dan enam jendela biasa di lantai dua hingga empat. Jendela etalase pada sisi kiri dan kanan, menghimpit sebuah pintu kac
Aria menoleh ke arah pintu dan melihat Iris masuk dengan rait wajah yang berbeda dari sebelumnya. “Kau kenapa?” tanyanya. Iris menghampiri Aria dan langsung duduk di kursi dan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Ia pun mulai menceritakan apa yang ia bicarakan dengan Max. “Hmm, memang tidak biasanya...” Aria bergumam. “Memangnya sebelum ini selalu Max?” Tiba-tiba Iris bertanya— terdorong oleh rasa penasarannya. “Sepertinya iya...” kata Aria. Ia terdengar tidak yakin. “Sepertinya?” Iris mengulang apa yang ia dengar. Aria mencoba menggali ingatannya, mencoba mengumpulkan apa saja yang ia ingat tentang Max. “Ia bahkan sudah disini di hari pertama aku memulai karir,” katanya. “Bahkan aku pernah mendengar kalau Max adalah salah satu teman dekat Pangeran sejak kecil.” Iris menaikkan alisnya. Itu merupakan suatu info yang baru un
Iris meletakan semuanya yang ia butuhkan di atas meja yang telah di kosongkan dan di bersihkan. Beberapa bunga herbal yang memang telah dikeringkan sebelumnya juga diambil olehnya dari lemari, beberapa wadah kaca kosong serta beberapa liter air di dalam sebuah botol berukuran besar. “Sebentar... ” Iris menoleh, memperhatikan sekelilingnya mencari sesuatu. Iris membuka setiap laci dan lemari yang ia lihat, memeriksanya satu per satu. “Sudah paham?” Max sedang memberikan berbagai instruksi kepada orang baru, melihat Iris yang sedang sibuk bolak balik. Dengan rasa penasarannya, pemuda tersebut menghampirinya setelah menyuruh orang baru itu pergi. “Iris?” panggilnya. “Apa yang kau cari?” Iris menoleh ke arah Max yang berdiri di belakangnya. “Kain,” jawabnya, menepuk nepuk seragamnya yang berdebu. “Aku membutuhkan itu,” “Kain? Kain katun? ” tanya Max sambil berjalan menuju mejanya dan mengeluarkan
Waktu sudah melewati pukul dua belas malam dan Iris melihat ke arah panci yang saat itu sedang merebus pasta. Bagaimana ia bisa melewati jam makan malam? Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia memeriksa rebusan pastanya untuk mengecek apakah sudah siap untuk diolah kembali dengan saus tomat yang memang sudah tersedia di dapur. Dengan banyaknya orang yang butuh makan di seluruh istana tersebut, para pekerja di dapur selalu mempersiapkan berbagai bahan siap masak dalam jumlah banyak, bahkan lebih dari cukup apabila ada orang-orang lain seperti Iris yang membutuhkan makan di luar jam makan.Iris tersenyum puas ketika melihat hasil masakannya sendiri. Ia memang bukan orang yang pintar dalam urusan memasak, namun tidak terlalu buruk juga hingga membuat berbagai kekacauan di dapur. “Terima kasih, ibu karena selalu memaksaku untuk membantu di dapur,” gumamnya, tertawa pelan. “Ternyata karena itu, aku masih dapat memasak untuk diriku di saat seperti ini,” matanya melih
Kisah-kisah bertema romansa sudah sangat dikenal luas, tentang mencintai dan kehilangan, tentang kerinduan dan kelupaan, umum di masa sekarang seperti tahun-tahun yang lalu, tentang mencintai seseorang begitu dalam, tanpa keinginan tetapi bukan tanpa hasrat, tentang raja dan pejuang, tentang kekasih dan saudara.Tentu saja banyak cerita, sama tragisnya, tentang bagaimana seorang pria yang membunuh kekasihnya karena membuatnya merasakan apa yang dianggap tidak perlu, kekasihnya yang menawarinya sedikit anyelir putih, berlumuran darah, tetapi ia mengangkat tangannya. pedang dan memotong daging, hanya untuk mengikuti beberapa hari kemudian dalam kesedihannya.Adrian duduk di salah satu meja di perpustakaan, satu sikunya bertumpu di atas meja sambil menopang berat kepalanya saat ia duduk dengan malas, sementara tangan lainnya membolak-balik lembaran halaman dari buku fiksi yang ia temukan pada salah satu rak. “Aku tidak paham kenapa ada orang yang menyukai cerita seper
Max mengerutkan keningnya. “Jadi? Kau akan menolaknya?” tanyanya, kedua tangannya sibuk membereskan apapun yang terlihat berantakan di atas meja. Merapikan tumpukan buku, kertas dan mengembalikan pena ke tempatnya semula. Arah matanya bergantian menatap Iris dan memperhatikan apa yang sedang ia rapikan.“Aku tidak tahu,” jawab Iris. Di saat yang sama, Iris menyadari penampilan Max. ada lingkaran hitam dibawah matanya, samar tapi tetap dapat dilihat. “Max? Kau belum tidur?” tanyanya.“Ya dan kelopak mataku terasa sangat berat sekarang,” Max menjawab, memijat pangkal hidungnya perlahan. “Aku akan beristirahat sekarang, kecuali kalau ada hal lain yang ingin kau katakan?” lanjutnya.Iris dengan cepat menggoyangkan kedua telapak tangannya. “Tidak, tidak ada lagi,” jawabnya dengan cepat.Max dengan cepat berdiri, sambil bertanya lagi. “Apa kau menjadi bimbang?” Ia mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu dan alih-alih memaka
“Yang Mulia…?” Iris membeku ketika ia melihat Adrian mulai memuntahkan kelopak bunga lagi, napasnya terengah-engah sementara tangannya memegang tenggorokannya, seperti ia akan mencekik lehernya sendiri. Tubuh Iris seolah bergerak sendiri, dan ia mendapati dirinya berada di samping sang pangeran panik sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Kulit pucat Adrian terlihat sangat kontras dengan warna merah saat darah berceceran di karpet bercampur dengan kelopak bunga berwarna putih yang telah bercampur dengan warna merah.Di saat yang sama, kedua orang tersebut memikirkan hal yang sama— berharap kalau semua itu hanya mimpi.Iris meringis dan menatap Pangeran di hadapannya dengan rasa cemas. “Apakah…selalu seburuk ini? Setiap saat?” tanyanya dengan pelan dan hati-hati. Ia perlu tahu apakah selama ini yang ia lihat hanya sebagian kecil dari apa yang menimpanya.“...Tidak,” Adrian terbatuk lagi, namun kali ini Iris menyadari sepertinya ia b
“Bisa saja,” Iris menjawab tanpa ragu. “Tapi aku harus kembali ke kamarku dan mengambil beberapa barang dari farmasi terlebih dahulu.”Adrian mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Iris akan menyetujuinya begitu saja. “Aku tidak tahu wanita ini terlalu tulus atau memang terlalu polos…” pikirnya.“Aku akan segera ke ruanganmu setelah aku menyiapkan yang diperlukan,” kata Iris, memberikan salam sebelum ia bergegas pergi. Adrian yang masih menatap punggung Iris yang semakin menjauh darinya, hanya menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka Iris akan langsung mengiyakan perkataannya soal memeriksa dirinya di ruangannya— yang sebenarnya, Adrian mengatakan hal tersebut dengan spontan tanpa memikirkannya sama sekali.“...Terkadang aku tidak paham apa yang ada di dalam pikirannya,” Adrian bergumam pelan, mengusap tengkuknya perlahan sambil berbalik arah un
Iris mempertanyakan kepada dirinya sendiri— ‘Apa yang sebenarnya Pangeran Caswell dapatkan hanya dengan mencari tahu apa yang dapat ia lakukan, apa yang seorang penyihir dapat lakukan?’ Ada kemungkinan yang sangat kecill bagi dirinya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, jadi ia hanya menggelengkan kepalanya, mengabaikan hal tersebut.Caswell menatap keluar dengan tatapan datar. Iris mengikuti arah pandangnya dan melihat kumpulan pengawal yang sedang berlatih. Saat itu tengah hari dan matahari yang terik menerpa punggung siapapun yang berada di luar sana. Suara pedang latihan yang terbuat dari kayu mengayun kesana kesini, menahan pukulan demi pukulan, masing-masing jatuh lebih cepat dari yang terakhir. Di saat itu, Iris baru menyadari betapa dekat posisinya dengan area berlatih karena ia dapat mendengar suara dari pedang kayu yang saling beradu tersebut.“Sepertinya aku sudah cukup mengikutimu siang ini,” Caswell berkata tiba-tiba, kedua ka
Iris memicingkan kedua matanya. Ia tidak berhenti menarik nafas dan menghembuskan perlahan selama beberapa menit. Ia juga sesekali melirik ke belakangnya, berharap kalau orang yang sedang mengikutinya hanyalah sebuah imajinasinya saja— berharap orang di belakangnya akan menghilang setelah beberapa menit atau setelah beberapa kali Iris memejamkan mata dan menarik nafasnya.“Kenapa kau terus-menerus bernapas seperti itu?” Caswell bertanya. Namun, nyatanya realita tidak sesuai dengan harapan. Mereka sedang berjalan berdua di koridor. Iris mencoba berjalan dengan cepat, namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun karena Caswell yang memiliki kaki jenjang dan tentu saja tinggi tubuhnya yang melebihi Iris tidak akan memiliki masalah untuk mensejajarkan langkah mereka.Langkah kaki Iris menjadi lebih pelan, seperti ia ragu untuk berhenti atau berjalan seperti biasa. Ia melirik ke arah Pangeran tersebut. “...Maaf, Yang Mulia…” katanya dengan pelan. “Apa…Apa anda
“Aku tidak percaya kalau aku akan mendengar berbagai desas desus sepagi ini,” Aiden memejamkan kedua matanya, satu tangannya menyisir rambutnya, menyingkirkan helaian rambut yang selalu menutup dahinya.Iris hanya tertawa pelan. “Tapi apakah yang mereka katakan benar?” tanyanya.“Sebagian benar, namun Adrian sendiri sangat menolak ajuan ayahnya,” kata Aiden. “Ia tidak berhenti mengoceh semenjak pertunangannya yang tidak diinginkan menjadi topik pembicaraan pelayan—” ia berhenti sejenak, seperti sedang berpikir sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “...Sekarang aku tahu kenapa Adrian selalu berusaha kabur dariku,”“Kenapa?” tanya Iris dengan pelan, ia tersenyum samar.“Sama seperti Adrian yang tidak berhenti mengomel, aku juga sering melakukan itu padanya,” Aiden berkata dengan sedikit canggung, mengusap tengkuknya perlahan. Melihat itu, Iris hanya tertawa. Ada sedikit rasa kasihan kepada Aiden, namun di sisi lain, Iris juga
Dengan udara segar yang mendinginkan pipinya, Iris bersenandung pelan saat ia berjalan ke dapur dari kamarnya. Ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, tapi hari ini ia lebih menikmati jalan-jalan. Pagi ini, sudah ada beberapa pelayan wanita bersama dengan pelayan pria sedang membicarakan berbagai desas desus sebelum memulai kegiatan mereka di ujung dapur.Iris mengatupkan bibir saat menuangkan jus jeruk segar ke dalam gelas kaca. Bau bumbu dan telur orak-arik menguar dari kompor yang berada tepat di belakangnya, sisa kulit jeruk yang masih belum dibuang berserakan di atas papan kayu di konter di depannya. Iris mengambil tempat favoritnya, meja yang menghadap ke halaman rumput yang selalu dipangkas rutin.“Iris…” Iris baru saja duduk sebelum ia mendengar suara Aria yang memanggilnya.