Untuk kesekian kalinya, Adrian terbangun dari istirahat siangnya dengan merasakan jari-jari tangan kanannya mati rasa dan ketika Adrian menulis, jari-jarinya sedikit lebih lambat dari biasanya untuk menulis beberapa kalimat pendek.
“Haa...” Adrian menghembuskan nafas perlahan. “Awas kau Aiden...” Ingatannya kembali saat Aiden menahannya dan ia harus menulis unttuk waktu yang sangat lama.
Satu tangannya meraih ke dahinya dan ia merasakan suhu tubuhnya lebih hangat dari biasanya. “Orang-orang mengatakan bahwa vampire adalah mahkluk berdarah dingin...” gumamnya. “Dan aku? Terlalu sering demam,”
Sementara di bulan lainnya, ia dapat merasakan suhu tubuhnya lebih rendah daripada orang lain. Hal itu membuat Adrian tidak jarang mempertanyakan apa yang tubuhnya sendiri inginkan. Hampir tiga bulan setelah Adrian sering mengalami hal tersebut, rasanya aneh dan pangeran muda tersebut masih beradaptasi. Waktu berlalu dengan cepat, namun di sisi lain, Adrian merasakan waktu terasa sangat lama.
Pada awalnya, Adrian merahasiakannya, perasaan baru ini, karena sebuah privasi adalah harta yang telah lama hilang di dunia ini. Adrian ingin sekali memisahkan dua hal tersebut. Seperti menyebutkan bahwa sesuatu itu adalah miliknya sendiri dan tidak ada orang lain yang boleh tahu kalau ia sedang menyimpan penyakit kasat mata ini dalam tubuh.
Jadi Adrian membuat resolusi pribadi untuk tidak memberi tahu siapa pun. Tapi, tentu saja, itu tidak bertahan lama. Itu ternyata merupakan upaya yang terlalu melelahkan untuk dipertahankan. Bagaimanapun, merahasiakan sebuah penyakit sangat berbeda dari menyimpan rahasia biasa.
Yang lebih menarik bagi Adrian adalah bagaimana berada di tubuh barunya ini yang tampaknya menuntut lebih banyak waktu dan perhatian dan perasaan daripada sebelumnya. Ketika itu, Adrian ingin sekali melarikan diri dari tubuhnya, untuk berlindung di tubuhnya yang telah mengecewakan begitu banyak.
Pangeran muda tersebut duduk bersandar di kursinya, kepalanya mengadah ke langit-langit ruangan— menatap semuanya dengan tatapan kosong. Suara ketukan pada pintu yang tertutup serta suara Aiden dari luar ruangan menyadarkan Adrian kembali ke kenyataan. “Masuk.” katanya. Adrian menoleh ke arah pintu dan melihat Aiden berdiri di sana.
“Oh, maaf. Aku tidak tahu kalau kau sedang beristirahat.” kata Aiden. “Apa kau baik-baik saja,Yang Mulia?” Aiden mengatakan itu dengan penekanan pada akhir kata-katanya.
“Aku tidak apa-apa,” kata Adrian. “Sudah berapa kali aku katakan untuk tidak memanggilku dengan formal?” Adrian memijat pelipisnya.
“Sudah ratusan kali, mungkin?” kata Aiden dengan tidak yakin. Nada suaranya berubah menjadi lebih santai.
“Kalau kau sudah tahu, kenapa tadi kau memanggilku dengan formal?” tanya Adrian.
Aiden mengedikkan bahunya. “Entahlah, aku hanya suka melihatmu kesal sendiri karena hal-hal sepele seperti itu,” ia tertawa. Adrian mendengus pelan dan tiba-tiba ia terbatuk-batuk.
Aiden mendekatinya dan menuangkan segelas air ke dalam gelas yang tersedia di meja. “Cepat atau lambat, kau harus memeriksa kembali kesehatanmu. Kau tahu itu bukan?” Aiden berkata sambil memberikan segelas air kepada Adrian.
Adrian mengernyit, meletakan kembali gelas ke atas meja. “Sepertinya kau tidak tahu seperti apa Max,” katanya. "Aku berani bersumpah kalau Max tidak akan berhenti mengomel kalau aku ke sana,“
“Benarkah?” Aiden bergumam. “Kemarin ia terlihat khawatir tentangmu.”
“Itu saat bertemu denganmu,” kata Adrian. “Kau tidak tahu seperti apa orang itu ketika aku datang ke sana.”
“Ah, ya, ”Aiden bergumam, ia mengingat sesuatu. “Aku tidak pernah mengikutimu ketika Max memanggil,”
Makanan ringan di atas meja menarik perhatian Aiden. Makanan tersebut tidak di sentuh sama sekali. Aiden memicingkan matanya, “Sudah seminggu...?” pikirnya.
Adrian bangkit dari sofa dan kembali duduk di kursi kerjanya. Aiden melihat itu dan bertanya, “Sudah ada progres?” Ia tahu kalau Adrian sama sekali tidak suka bekerja di balik meja, jadi ia perlu bertanya tentang apapun yang telah Pangeran tersebut kerjakan.
“Memangnya kenapa?” Alih-alih menjawab, Adrian berbalik bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari kertas di hadapannya.
Aiden menghela nafasnya. “Tolong perlihatkan padaku semua yang sudah kau kerjakan terlebih dahulu, walaupun hanya sedikit.” Adrian menatapnya dan menaikkan alisnya. “Aku mohon padamu untuk melakukannya. Harus!” Aiden memberikan penekanan di akhir perkataannya.
Langit semakin gelap dengan goresan awan berwarna merah. Dengan berlatarkan langit senja yang cerah berwarna merah jingga, berhiaskan beberapa titik bintang bergemerlapan bagaikan perak yang baru saja muncul dari persembunyian.
Adrian bersandar pada kursinya, menghela nafas dengan keras. Kepalanya mengadah ke langit-langit ruangan. Aiden membereskan semua barang yang berada di atas meja dan wajahnya menunjukkan senyum puas. “Terima kasih atas kerja keras anda, Yang Mulia.” katanya.
“...Kau kejam sekali...” gumam Adrian dengan pelan.
Aiden tertawa lepas, kedua tangannya sibuk membereskan setiap kertas yang tersebar di atas meja. “Maaf,” katanya. “Kalau tidak begini, semua ini tidak akan selesai.” lanjutnya.
Suara pintu diketuk dari luar dan seorang pelayan wanita masuk ke dalam ruangan. “Permisi, Yang Mulia,” katanya.
“Ada apa?” tanya Adrian.
“Tuan Nicholas menginginkan waktu dengan anda setelah makan malam.” kata pelayan tersebut.
Adrian dan Aiden saling bertukar pandang dengan raut wajah bingung. “Baiklah,” kata Adrian. “Dimana?”
“Tuan Nicholas mengatakan bahwa anda dapat menentukan tempatnya. Beliau tidak masalah.” jelasnya.
“Kalau begitu, siapkan saja di ruangan bacaku.” kata Adrian.
“Baiklah, Yang Mulia.” jawab pelayan wanita tersebut dan ia keluar dari ruangan.
Aiden menaikkan alisnya dan berkata, “Tidak seperti biasanya,”
Adrian hanya mengedikkan bahunya, tidak begitu memikirkannya. “Entahlah,” ia bangkit berdiri dan beranjak meninggalkan ruangan.
“Kau mau kemana?” Aiden bertanya ketika ia telah menyusul Adrian.
“Taman, mungkin?” katanya dengan tidak yakin. “Aku butuh udara segar.”
Dari kejauhan, Adrian menangkap sosok Iris yang sedang berjalan sendirian dari arah rumah kaca. Ia mengambil kesempatan tersebut dan segera mendekatinya. Aiden yang masih mengikutinya pun bingung.
“Sore, Iris.”
Iris menoleh dan cukup bingung ketika Pangeran menyapanya. Ia berbalik dan membungkuk. “Selamat sore, Yang Mulia.” walaupun begitu, Iris masih dapat menyembunyikan keterkejutannya dan menyapa.
Aiden melirik Iris dari balik tubuh Adrian— menatapnya hingga mereka saling bertukar pandang. Adrian tidak lupa memperkenalkan Aiden kepada Iris.
“Kalian belum pernah bertemu, benar?” Adrian menatap Aiden dan Iris secara bergantian. “Ini asistenku.”
Aiden mengambil beberapa langkah maju ke depan sehingga jarak di antara dirinya dan Iris mendekat. “Perkenalkan, namaku Aiden.” sapanya.
“Nama saya Iris...” Iris menjawab dengan tidak yakin. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Pangeran tersebut memperkenalkannya dengan asistennya. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.
“Adrian sudah membicarakan tentangmu beberapa kali. ” Aiden menyunggingkan senyum ramah kepadanya. “Dan kau juga tidak perlu berbicara terlalu formal padaku.” Iris tidak akan berbohong kalau senyumannya nyaris membuatnya sedikit terpikat.
Di saat yang sama, otak Iris membutuhkan waktu untuk memproses perkataan Aiden. “Membicarakan dirinya?” pikirnya.
Ada rasa ragu yang muncul dalam benaknya dengan perkataan pria tersebut. Namun ketika ia melirik wajah Aiden, raut wajah yang ditunjukkan olehnya seolah mengatakan bahwa ia sedang tidak bercanda. Iris pun seperti tidak memiliki pilihan lain selain mengikutinya, “Baiklah...” ucapnya dengan canggung.
Mereka bertiga berjalan bersama dengan Adrian dan Iris saling berdampingan, sementara Aiden mengikuti dari belakang. Iris sudah mencoba untuk memperlambat langkahnya karena ia tidak ingin berjalan tepat di sebelah pangeran, namun usahanya sia-sia karena Adrian sendiri juga memang berusaha untuk tetap berada di samping.
Di saat itu, Aiden menyadari sesuatu yang berbeda ketika Adrian berbicara dengan Iris. Ia hanya diam saja— memperhatikan bagaimana cara Adrian berbicara dan berperilaku di hadapan gadis tersebut. “Tidak biasanya Adrian berbicara dengan orang seperti ini,” pikirnya. “Biasanya ia akan mengabaikan siapapun yang baru ia kenal,”
Setelah beberapa menit, Iris akhirnya mendapatkan alasan yang tepat baginya untuk pergi. “Ah, baiklah kalau begitu,” kata Adrian. Bahkan Aiden dapat merasakan kekecewaan dari caranya berbicara.
“Kau terlihat tertarik kepadanya,” Aiden mengatakan sebuah pernyataan daripada pertanyaan setelah Iris menjauh dari mereka.
“Hmm...” Adrian tidak menjawab pertanyaannya. “Apakah di matamu aku terlihat seperti itu?”
“Bisa dikatakan begitu.” Aiden menjawab. “Ekspresi wajahmu berubah ketika melihatnya.” Aiden menyadari langit yang sudah semakin gelap. “Apa kau mau makan malam sekarang?” tanyanya. Mereka berdua memperhatikan punggung Iris yang semakin menjauh dari mereka.
“Aku tidak lapar.” Adrian menatap ke arah yang sama dengan Aiden. “Lebih baik aku pergi sekarang sebelum Nicholas berubah pikiran untuk bersikap baik padaku,” Adrian berjalan melewati Aiden, seolah ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
“Kau mau aku ikut bersamamu?” tanya Aiden. Ia juga tidak melanjutkannya karena ia tahu kalau Adrian tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu.
Adrian melambaikan tangannya. “Tidak perlu."
Adrian melirik ke arah ruang baca yang biasanya ditempati oleh ibunya. Melihat setiap sudut yang ada di ruangan tersebut. Menurutnya, ruangan itu terlalu mewah untuk di sebut sebagai ruang kerja. Ada berbagai perabot yang terlalu mencolok untuk berada di ruang baca. Adrian duduk di kursi yang seharusnya diduduki oleh ibunya di ruang kerjanya, memijat pelipisnya.
Didominasikan dengan dinding berwarna coklat kayu dan beralaskan karpet merah maroon. Semuanya terlihat biasa. Satu set sofa berserta bantal-bantalnya, perapian yang sudah tidak pernah terpakai, segala jenis hiasan yang digantung di dinding, hiasan-hiasan berbagai ukuran di tata dengan sangat rapi dan juga beberapa pot tanaman di beberapa sudut-sudut ruangan. Tidak lupa dengan karpet bulu di tengah-tengah ruangan.
Setiap perabotan yang tertata dengan rapi terlihat sangat nyaman, serta pernak perniknya yang menghiasi ruangan itu dengan indahnya. Dibandingkan dengan segala perabotan yang simpel tapi terlihat mahal. Pada ujung ruangan terdapat sebuah jam tua berwarna hitam pekat. Tidak ada warna lain selain hitam. Tiap sisi dari jam yang berbahan dasar kayu itu di ukir dengan detail yang sangat rumit dan kecil. Catnya menempel di jam tersebut dengan sempurna dan sangat halus sehingga dapat merefleksikan bayangan dari permukaan jam itu.
Bahkan setiap detail hiasan yang mengukir sisi jam tersebut pun berwarna hitam, kecuali pendulum yang terletak di dalam jam itu berwarna perak yang bergerak ke kiri dan kanan dengan teratur dan juga mantap, serta jarum jam tersebut yang juga berwarna perak terus bergerak sedikit demi sedikit, perlahan namun pasti. Setiap pergerakan yang dibuat oleh jarum jam perak dan dipadukan oleh suara dentang jam itu menghasilkan ritme yang harmonis.
Tidak ada yang berubah dari ruangan tersebut, kecuali pemiliknya.
Di meja, ia melihat banyak tumpukan kertas yang berisi data-data yang tidak ia mengerti. Adrian tidak suka membaca, namun ia suka berada di ruangan tersebut. Terkadang ia bertanya kepada dirinya sendiri, apakah itu adalah caranya untuk mengenang mendiang ibunya?
“Adrian,” panggilan itu membuat Adrian tersadar dan langsung berbalik melihat orang yang memanggilnya. Ia adalah Nicholas. Ia berdiri dekat pintu masuk, menyandar pada dinding.
Awalnya Adrian belum pernah bertemu Nicholas, jadi ia tahu lebih banyak tentangnya hanya dari perkataan ayahnya saja. Mereka saling bertemu untuk pertama kali ketika ia masih berusia delapan tahun. Pada saat itu, Adrian tidak yakin mengapa Nicholas datang untuk berkunjung. Namun sekarang— tiga belas tahun kemudian, ia sudah paham alasannya.
“Kenapa kau mencariku?” tanya Adrian.
“Aku hanya ingin mengobrol,” kata Nicholas, berjalan mendekati Adrian dan menatap jam tua tersebut.
“Atau kau hanya ingin memastikan aku tidak melakukan sesuatu yang bodoh,” kata Adrian, berjalan menjauhi Nicholas dan menghempaskan tubuhnya di sofa, menyandarkan kepala pada lengan sofa.
Nicholas tidak memperdulikan sikapnya saat itu dan menatapnya dengan datar, “Aku hanya mengawasimu saja,”
“Ya, ya,” Adrian menjawab perlahan, menutup mata dengan kedua lengannya. Suaranya sangat pelan seolah ia memang sengaja agar tidak ada yang dapat mendengarnya. Namun itu hal yang tidak mungkin bagi Nicholas. Ia terlahir dengan pendengaran yang lebih tajam dari orang normal.
Nicholas mengedikkan bahunya dan berkata, “Dan kau jelas tahu kenapa aku harus mengawasimu dan adikmu.” katanya. “Kalian berdua memiliki persamaan—”
Adrian melambaikan tangannya, memotong perkataan Nicholas. “Jangan samakan diriku dengan Caswell.” katanya dengan kesal. “Dan aku tidak mau menganggapnya adik.”
Nicholas terkekeh. Ia berjalan mendekatinya dan duduk di salah satu sofa yang kosong. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya.
Adrian menoleh ke arahnya. “Selain memiliki keinginan yang aneh dan merasa gelisah? Oh semua baik-baik saja.” katanya dengan nada sarkasme. Nicholas hanya diam. Ia tahu bahwa Adrian sedang mengalami masa yang sulit, jadi ia memutuskan untuk tidak mengatakan apapun.
“Aku tidak mau memiliki tubuh dengan keadaan seperti ini,” Adrian bergumam pelan.
Nicholas menuang minuman yang ia selalu bawa di sakunya dan berkata, “Aku pernah mengatakan ini kepada ayahmu dan akan aku katakan lagi kepadamu sekarang,” Adrian menoleh ke arahnya tanpa berkata apa-apa— namun ia menatap gelas di tangan Nicholas yang berisi cairan merah tersebut dengan perasaan yang bercampur aduk. “Seharusnya aku meminta maaf tapi sayangnya aku sama sekali tidak merasa bersalah.” Nicholas menyesap minumannya perlahan.
Adrian berdecak. “Tentu saja kau tidak ada rasa penyesalan,” katanya. “Darah keluarga kerajaan yang menjadi sama denganmu? Dengan kaummu? Kau mendapatkan banyak keuntungan.” Adrian mengatakannya tanpa pikir panjang, karena secara realita, apa yang ia katakan memang benar.
Nicholas hanya tersenyum penuh arti.
•••
Aiden menatap meja kerja di hadapannya dengan perasaan campur aduk. Beberapa menit yang lalu, ia baru saja membayangkan raut wajah Pangeran Adrian yang kesal ketika melihatnya masuk.Namun kenyataannya adalah kursi yang seharusnya diduduki oleh Pangeran, kosong. Aiden masuk ke ruang kerja yang sama sekali tidak ada orang. Aiden menghela nafas frustasi, “Kemana Adrian?” gumamnya.Di saat yang sama, pintu di belakangnya terbuka. Aiden berbalik dan melihat Cleon— pengawal yang ia perintahkan untuk mengawasi Adrian. Cleon belum sempat mengatakan apapun, Aiden sudah membuka mulutnya terlebih dahulu. “Mana Pangeran?”“Beliau masih di kamarnya dan ia bilang kalau kondisinya sedang tidak baik.” kata Cleon.“Hah?” Aiden tidak dapat langsung percaya dengan pernyataan tersebut.Cleon menganggukkan kepalanya dengan satu gerakan tegas&mdas
Setelah beberapa saat, akhirnya tiba dan mereka berdiri di depan teras toko. “Jadi, ini tempatnya?” Iris bertanya, dahinya mengkerut, menatap bangunan di depannya. “Menurut kertas ini, ya.” Aria melihat selembar kertas di tangannya lalu mendekati pintu masuk. “Ingatkan aku, darimana kau mendapatkan itu?” tanya Iris. “Beberapa hari yang lalu, ada yang menempel ini di pohon,” jawab Aria dengan santai. “Dan kau mengambilnya...?” tanya Iris lagi. Aria hanya menyeringai ke arahnya. “Tanpa memikirkan kemungkinan terburuknya?!” Aria mengangguk sekali lagi. Bangunan di hadapannya adalah bangunan yang terlihat sangat tua dan berada di gang sempit. Bangunan dengan empat lantai, masing-masing lantai terdapat dua jendela. Dua jendela etalase di paling bawah dan enam jendela biasa di lantai dua hingga empat. Jendela etalase pada sisi kiri dan kanan, menghimpit sebuah pintu kac
Aria menoleh ke arah pintu dan melihat Iris masuk dengan rait wajah yang berbeda dari sebelumnya. “Kau kenapa?” tanyanya. Iris menghampiri Aria dan langsung duduk di kursi dan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Ia pun mulai menceritakan apa yang ia bicarakan dengan Max. “Hmm, memang tidak biasanya...” Aria bergumam. “Memangnya sebelum ini selalu Max?” Tiba-tiba Iris bertanya— terdorong oleh rasa penasarannya. “Sepertinya iya...” kata Aria. Ia terdengar tidak yakin. “Sepertinya?” Iris mengulang apa yang ia dengar. Aria mencoba menggali ingatannya, mencoba mengumpulkan apa saja yang ia ingat tentang Max. “Ia bahkan sudah disini di hari pertama aku memulai karir,” katanya. “Bahkan aku pernah mendengar kalau Max adalah salah satu teman dekat Pangeran sejak kecil.” Iris menaikkan alisnya. Itu merupakan suatu info yang baru un
Iris meletakan semuanya yang ia butuhkan di atas meja yang telah di kosongkan dan di bersihkan. Beberapa bunga herbal yang memang telah dikeringkan sebelumnya juga diambil olehnya dari lemari, beberapa wadah kaca kosong serta beberapa liter air di dalam sebuah botol berukuran besar. “Sebentar... ” Iris menoleh, memperhatikan sekelilingnya mencari sesuatu. Iris membuka setiap laci dan lemari yang ia lihat, memeriksanya satu per satu. “Sudah paham?” Max sedang memberikan berbagai instruksi kepada orang baru, melihat Iris yang sedang sibuk bolak balik. Dengan rasa penasarannya, pemuda tersebut menghampirinya setelah menyuruh orang baru itu pergi. “Iris?” panggilnya. “Apa yang kau cari?” Iris menoleh ke arah Max yang berdiri di belakangnya. “Kain,” jawabnya, menepuk nepuk seragamnya yang berdebu. “Aku membutuhkan itu,” “Kain? Kain katun? ” tanya Max sambil berjalan menuju mejanya dan mengeluarkan
“Berapa lama kau akan menyalakan lilin itu?” Adrian sudah berada di tempat tidurnya, mencari posisi nyaman. “Lima belas menit,” Iris menjawab sambil menyalakan lilin yang ia letakan pada nakas tepat di sebelah tempat tidur. “Silakan mencoba untuk beristirahat, Yang Mulia.” Iris berjalan menuju jendela dan mulai menutupnya dengan rapat. “Apa kau akan segera pergi?” Adrian bertanya. Kedua matanya telah di pejamkan dan telinganya menjadi lebih sensitif ketika menangkap suara-suara yang bermunculan di sekitarnya. “Saya akan tetap disini untuk mematikan lilin tersebut ketika sudah lima belas menit,” jawab Iris. Ia berdiri tidak jauh dari tempat tidur, namun ia juga tidak ingin terlalu dekat. “Apa tidak bisa lebih lama?” Adrian bertanya. Ia tidak ingin Iris segera pergi dari ruangannya. Namun ia juga tidak memiliki alasan lain untuk membua
Seorang pelayan wanita masuk sambil membawa nampan berisi secangkir minuman panas dan meletakkannya di atas meja. “Silakan, Tuan.” katanya. Nicholas duduk dibalik meja yang penuh dengan tumpukan kertas dokumen.“Terima kasih,” kata Nicholas. “Kau bisa membawa pergi piringnya.” lanjutnya, menunjuk ke piring makanan di dekatnya.Suara ketukan pada jendela di belakang membuatnya menoleh. Nicholas melihat seekor burung hantu berwarna coklat dengan sepucuk surat pada paruhnya. Surat tersebut membuat burung hantu itu terlihat lebih kecil.Nicholas berdecak pelan. “Seharusnya kau mengirimkan surat kepada Raja terlebih dahulu,” katanya seolah ia tahu siapa pengirim surat tersebut. “Bukan aku,”Nicholas mengambil sepucuk suratnya.tangan satunya yang bebas mengambil seekor tikus putih kecil yang berada di dalam sebuah kandang besi kecil di dekat jende
Ratu Luna meliriknya, menyeringai kepadanya sebelum berubah menjadi senyum. “Kau juga datang untuk melihat kepulanganku?” tanyanya. Rambut hitam Ratu berkilau di bawah cahaya matahari, dan wajahnya yang bersih dan segar bersinar ketika ia tersenyum dengan manis. Adrian tidak ingin membalas perkataannya walaupun sebenarnya ia mau. Ia mengingat apa yang Aiden katakan kepadanya tentang menjaga caranya berbicara, terutama kepada Luna— Sang ratu. Perkenalan pertama mereka adalah ketika Adrian masih berusia tujuh tahun dan hari itu juga tidak begitu mengesankan bagi Adrian, sehingga ia hampir melupakan seperti apa penampilan mereka setelah beberapa hari tidak bertemu. Tapi ia harus mengatakan sesuatu, jika ia tidak ingin ibu tirinya merasa diabaikan. Adrian berdeham, “Ini adalah kejutan,” katanya. “Selamat siang, Yang mulia.” sapa Aiden. Ia membungkukkan punggungnya, memberi h
Ketika Adrian tiba di ruang makan, ia melihat ayahnya sedang duduk di kursinya dengan kepala menopang pada tangan dan kedua mata terpejam. “Selamat siang, ayah.” Adrian menyapa ayahnya yang dibalas dengan sebuah lambaian tangan. Adrian sudah terbiasa dengan hal itu sehingga ia langsung mengambil tempat duduknya. Seperti biasa, Aiden selalu berada di dekatnya. Selalu terlihat tenang dalam situasi apapun. Aiden melirik ke arah Adrian dan ia dapat melihat kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya. Berbagai hal terus menerus berputar di pikirannya, Adrian mengerjapkan matanya beberapa kali dan melirik dari bahunya untuk mencari keberadaan Aiden, menunggu jawaban atas apa pun yang akan dikatakannya. Adrian meringis minta maaf. Aiden tidak mengatakan apapun, hanya menatap Pangeran muda tersebut yang masih terus menerus sibuk dengan pikirannya sendiri.
Waktu sudah melewati pukul dua belas malam dan Iris melihat ke arah panci yang saat itu sedang merebus pasta. Bagaimana ia bisa melewati jam makan malam? Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia memeriksa rebusan pastanya untuk mengecek apakah sudah siap untuk diolah kembali dengan saus tomat yang memang sudah tersedia di dapur. Dengan banyaknya orang yang butuh makan di seluruh istana tersebut, para pekerja di dapur selalu mempersiapkan berbagai bahan siap masak dalam jumlah banyak, bahkan lebih dari cukup apabila ada orang-orang lain seperti Iris yang membutuhkan makan di luar jam makan.Iris tersenyum puas ketika melihat hasil masakannya sendiri. Ia memang bukan orang yang pintar dalam urusan memasak, namun tidak terlalu buruk juga hingga membuat berbagai kekacauan di dapur. “Terima kasih, ibu karena selalu memaksaku untuk membantu di dapur,” gumamnya, tertawa pelan. “Ternyata karena itu, aku masih dapat memasak untuk diriku di saat seperti ini,” matanya melih
Kisah-kisah bertema romansa sudah sangat dikenal luas, tentang mencintai dan kehilangan, tentang kerinduan dan kelupaan, umum di masa sekarang seperti tahun-tahun yang lalu, tentang mencintai seseorang begitu dalam, tanpa keinginan tetapi bukan tanpa hasrat, tentang raja dan pejuang, tentang kekasih dan saudara.Tentu saja banyak cerita, sama tragisnya, tentang bagaimana seorang pria yang membunuh kekasihnya karena membuatnya merasakan apa yang dianggap tidak perlu, kekasihnya yang menawarinya sedikit anyelir putih, berlumuran darah, tetapi ia mengangkat tangannya. pedang dan memotong daging, hanya untuk mengikuti beberapa hari kemudian dalam kesedihannya.Adrian duduk di salah satu meja di perpustakaan, satu sikunya bertumpu di atas meja sambil menopang berat kepalanya saat ia duduk dengan malas, sementara tangan lainnya membolak-balik lembaran halaman dari buku fiksi yang ia temukan pada salah satu rak. “Aku tidak paham kenapa ada orang yang menyukai cerita seper
Max mengerutkan keningnya. “Jadi? Kau akan menolaknya?” tanyanya, kedua tangannya sibuk membereskan apapun yang terlihat berantakan di atas meja. Merapikan tumpukan buku, kertas dan mengembalikan pena ke tempatnya semula. Arah matanya bergantian menatap Iris dan memperhatikan apa yang sedang ia rapikan.“Aku tidak tahu,” jawab Iris. Di saat yang sama, Iris menyadari penampilan Max. ada lingkaran hitam dibawah matanya, samar tapi tetap dapat dilihat. “Max? Kau belum tidur?” tanyanya.“Ya dan kelopak mataku terasa sangat berat sekarang,” Max menjawab, memijat pangkal hidungnya perlahan. “Aku akan beristirahat sekarang, kecuali kalau ada hal lain yang ingin kau katakan?” lanjutnya.Iris dengan cepat menggoyangkan kedua telapak tangannya. “Tidak, tidak ada lagi,” jawabnya dengan cepat.Max dengan cepat berdiri, sambil bertanya lagi. “Apa kau menjadi bimbang?” Ia mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu dan alih-alih memaka
“Yang Mulia…?” Iris membeku ketika ia melihat Adrian mulai memuntahkan kelopak bunga lagi, napasnya terengah-engah sementara tangannya memegang tenggorokannya, seperti ia akan mencekik lehernya sendiri. Tubuh Iris seolah bergerak sendiri, dan ia mendapati dirinya berada di samping sang pangeran panik sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Kulit pucat Adrian terlihat sangat kontras dengan warna merah saat darah berceceran di karpet bercampur dengan kelopak bunga berwarna putih yang telah bercampur dengan warna merah.Di saat yang sama, kedua orang tersebut memikirkan hal yang sama— berharap kalau semua itu hanya mimpi.Iris meringis dan menatap Pangeran di hadapannya dengan rasa cemas. “Apakah…selalu seburuk ini? Setiap saat?” tanyanya dengan pelan dan hati-hati. Ia perlu tahu apakah selama ini yang ia lihat hanya sebagian kecil dari apa yang menimpanya.“...Tidak,” Adrian terbatuk lagi, namun kali ini Iris menyadari sepertinya ia b
“Bisa saja,” Iris menjawab tanpa ragu. “Tapi aku harus kembali ke kamarku dan mengambil beberapa barang dari farmasi terlebih dahulu.”Adrian mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Iris akan menyetujuinya begitu saja. “Aku tidak tahu wanita ini terlalu tulus atau memang terlalu polos…” pikirnya.“Aku akan segera ke ruanganmu setelah aku menyiapkan yang diperlukan,” kata Iris, memberikan salam sebelum ia bergegas pergi. Adrian yang masih menatap punggung Iris yang semakin menjauh darinya, hanya menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka Iris akan langsung mengiyakan perkataannya soal memeriksa dirinya di ruangannya— yang sebenarnya, Adrian mengatakan hal tersebut dengan spontan tanpa memikirkannya sama sekali.“...Terkadang aku tidak paham apa yang ada di dalam pikirannya,” Adrian bergumam pelan, mengusap tengkuknya perlahan sambil berbalik arah un
Iris mempertanyakan kepada dirinya sendiri— ‘Apa yang sebenarnya Pangeran Caswell dapatkan hanya dengan mencari tahu apa yang dapat ia lakukan, apa yang seorang penyihir dapat lakukan?’ Ada kemungkinan yang sangat kecill bagi dirinya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, jadi ia hanya menggelengkan kepalanya, mengabaikan hal tersebut.Caswell menatap keluar dengan tatapan datar. Iris mengikuti arah pandangnya dan melihat kumpulan pengawal yang sedang berlatih. Saat itu tengah hari dan matahari yang terik menerpa punggung siapapun yang berada di luar sana. Suara pedang latihan yang terbuat dari kayu mengayun kesana kesini, menahan pukulan demi pukulan, masing-masing jatuh lebih cepat dari yang terakhir. Di saat itu, Iris baru menyadari betapa dekat posisinya dengan area berlatih karena ia dapat mendengar suara dari pedang kayu yang saling beradu tersebut.“Sepertinya aku sudah cukup mengikutimu siang ini,” Caswell berkata tiba-tiba, kedua ka
Iris memicingkan kedua matanya. Ia tidak berhenti menarik nafas dan menghembuskan perlahan selama beberapa menit. Ia juga sesekali melirik ke belakangnya, berharap kalau orang yang sedang mengikutinya hanyalah sebuah imajinasinya saja— berharap orang di belakangnya akan menghilang setelah beberapa menit atau setelah beberapa kali Iris memejamkan mata dan menarik nafasnya.“Kenapa kau terus-menerus bernapas seperti itu?” Caswell bertanya. Namun, nyatanya realita tidak sesuai dengan harapan. Mereka sedang berjalan berdua di koridor. Iris mencoba berjalan dengan cepat, namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun karena Caswell yang memiliki kaki jenjang dan tentu saja tinggi tubuhnya yang melebihi Iris tidak akan memiliki masalah untuk mensejajarkan langkah mereka.Langkah kaki Iris menjadi lebih pelan, seperti ia ragu untuk berhenti atau berjalan seperti biasa. Ia melirik ke arah Pangeran tersebut. “...Maaf, Yang Mulia…” katanya dengan pelan. “Apa…Apa anda
“Aku tidak percaya kalau aku akan mendengar berbagai desas desus sepagi ini,” Aiden memejamkan kedua matanya, satu tangannya menyisir rambutnya, menyingkirkan helaian rambut yang selalu menutup dahinya.Iris hanya tertawa pelan. “Tapi apakah yang mereka katakan benar?” tanyanya.“Sebagian benar, namun Adrian sendiri sangat menolak ajuan ayahnya,” kata Aiden. “Ia tidak berhenti mengoceh semenjak pertunangannya yang tidak diinginkan menjadi topik pembicaraan pelayan—” ia berhenti sejenak, seperti sedang berpikir sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “...Sekarang aku tahu kenapa Adrian selalu berusaha kabur dariku,”“Kenapa?” tanya Iris dengan pelan, ia tersenyum samar.“Sama seperti Adrian yang tidak berhenti mengomel, aku juga sering melakukan itu padanya,” Aiden berkata dengan sedikit canggung, mengusap tengkuknya perlahan. Melihat itu, Iris hanya tertawa. Ada sedikit rasa kasihan kepada Aiden, namun di sisi lain, Iris juga
Dengan udara segar yang mendinginkan pipinya, Iris bersenandung pelan saat ia berjalan ke dapur dari kamarnya. Ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, tapi hari ini ia lebih menikmati jalan-jalan. Pagi ini, sudah ada beberapa pelayan wanita bersama dengan pelayan pria sedang membicarakan berbagai desas desus sebelum memulai kegiatan mereka di ujung dapur.Iris mengatupkan bibir saat menuangkan jus jeruk segar ke dalam gelas kaca. Bau bumbu dan telur orak-arik menguar dari kompor yang berada tepat di belakangnya, sisa kulit jeruk yang masih belum dibuang berserakan di atas papan kayu di konter di depannya. Iris mengambil tempat favoritnya, meja yang menghadap ke halaman rumput yang selalu dipangkas rutin.“Iris…” Iris baru saja duduk sebelum ia mendengar suara Aria yang memanggilnya.