“...is?”
“Iris?”
Iris menoleh ke belakang— ke arah Max. Suara Max berhasil menyadarkan Iris dari lamunannya. “Eh? Apa?” tanyanya.
Max menaikkan satu alisnya. Ia ingin mengetahui apa yang sedang gadis tersebut pikirkan hingga ia melamun di tengah hari, namun ia mengurungkan niatnya. “Apa yang kau temukan?” tanyanya.
Mata Iris melihat kembali ke rak di hadapannya yang penuh dengan deretan toples kaca. “Selain beberapa toples kosong dan tumpukan debu, tidak ada.” Iris melambaikan tangannya di depan wajah, berusaha menyingkirkan debu yang berterbangan.
Max mengangguk dan menulis sesuatu di buku. “Aku tidak pernah menyadari betapa banyaknya semua bahan yang ada disini hingga hari ini,” Iris berkata tiba-tiba. Tangannya sibuk mengeluarkan setiap toples kaca yang berada di paling bawah dan memeriksa isinya satu per satu. Matanya melihat deretan isi rak tersebut dan menghela nafasnya.
Max hanya tertawa. “Kau akan terbiasa nanti,” Ia melihat Iris berjalan ke arahnya, memijat bahu kanannya.
Iris menarik kursi di hadapan Max dan ia duduk, memejamkan kedua matanya, dagunya bertumpu pada tangannya di atas meja. “Kau tidak tidur?” Max bertanya dengan heran. Pemuda tersebut duduk bersandar di kursi dengan satu tangannya memainkan pena.
“...Tidurku kurang nyenyak,” Iris tidak berbohong. Ia tidak dapat melanjutkan tidurnya karena ia merasa seperti ada yang mengawasinya sepanjang malam. Ia juga tidak mungkin mengatakan hal tersebut karena itu belum terbukti. Bisa saja Iris hanya terlalu lelah hingga mulai merasakan hal yang sebenarnya tidak ada.
Max hanya tersenyum samar. “Mungkin karena kau masih belum terbiasa disini?” tanyanya. “Sudah berapa lama kau disini?” Max memejamkan kedua matanya, berusaha mengingat.
“Seminggu?” Iris berkata sekenanya. Ia tidak mengingat kapan ia pertama kali datang.
Max mengangguk. “Kau tidak masalah sendirian disini, bukan?” katanya tiba-tiba, menoleh ke belakang untuk melihat keluar jendela dan dari situ, terlihat sebuah rumah kaca yang terletak tidak jauh dari lokasi mereka berada saat itu. “Aria sepertinya akan datang kesini lebih sore karena ada banyak tanaman herbal yang baru saja dikirim untuk ditanam.”
“Apa kau juga akan pergi membantunya?” tanya Iris.
“Ya.” kata Max. “Oleh karena itu, harus ada satu orang yang bertanggung jawab disini,”
Iris hanya mengangguk sebagai balasan. Ia tidak perlu banyak bertanya karena memang tidak ada banyak orang yang bekerja di farmasi tersebut. “Apa yang perlu aku lakukan kalau ada orang datang kesini?” tanyanya.
Max menatap Iris sejenak dan menyeringai ke arahnya. “Kenapa? Kau takut darah?” godanya.
Iris mendengus. “Tidak. Aku hanya ingin berjaga-jaga apabila ada kejadian mendadak.”
Max tertawa dan kembali berpikir. “Apa kau tahu cara mengobati luka seseorang?” tanyanya.
“Ya, aku pernah melakukannya beberapa kali. ” jelas Iris.
“Kalau begitu, lakukanlah apa yang memang perlu dilakukan.” kata Max. Pria tersebut berjalan menuju salah satu lemari yang terletak di ujung ruangan, membuka setiap lacinya satu per satu. “Di lemari ini ada perban dan berbagai peralatan yang di perlukan.”
Iris memperhatikannya dengan seksama, berusaha mengingat setiap barang yang tersimpan di dalam laci tersebut. “Baiklah kalau begitu,”
Max melambaikan tangannya ke arahnya dan berjalan menuju pintu. Iris melihat kepergian Max— melihat punggungnya yang semakin mendekat ke arah pintu keluar. Pintu terbuka serta mengeluarkan bunyi menderit, Iris masih memperhatikan Max hingga pria tersebut menghilang di balik pintu.
Keheningan terasa sangat berat pada dirinya saat itu. “Haa...” Iris menghempaskan dirinya ke kursi, melihat sekelilingnya dan memutuskan untuk membaca buku di meja berukuran besar yang terdapat berbagai botol kaca, timbangan besi dan alat penumbuk, bersama dengan botol berisi cairan, tanaman herbal yang terlihat asing, dan gelas kaca berisi cairan mendidih di atas botol kecil dengan sumbu yang berapi.
Waktu berjalan cukup cepat hingga Iris terlalu fokus dengan bacaannya sehingga ia tidak menyadari keberadaan seseorang selain dirinya. Pada saat ia menyadarinya, Iris terbelalak melihat seseorang yang tidak pernah ia sangka akan muncul. Pangeran Adrian, bersandar di ambang pintu, tidak mengeluarkan suara apapun.
Iris langsung bangkit berdiri, “Yang—” Ia berdeham pelan. ”Apa ada yang bisa saya bantu?“ tanyanya dengan senyuman yang dibuat-buat. Sementara di benaknya, Iris sedang mengutuki betapa sial dirinya untuk bertemu dengan Pangeran secepat itu semenjak pertemuan pertamanya.
Adrian langsung merubah posisinya, berdiri tegak dan berjalan masuk. “Apa kau sedang melamun sehingga tidak mendengar suara pintu?” tanyanya
“Eh? Itu...” Iris berusaha memikirkan apa yang harus ia katakan.
“Apa hanya kau yang ada disini?” Adrian melihat sekelilingnya, seperti ia sedang mencari-cari keberadaan orang lain. Lalu Pangeran tersebut menatap Iris dari atas kepala hingga kaki.
“Saat ini, iya.” kata Iris. “Kalau Anda mencari Max, ia sedang keluar.”
“Oh, begitu,” Adrian hanya memberikan respon datar. Ketika mata Pangeran tersebut masih menatap tubuh Iris untuk waktu yang cukup lama, Iris sedang memikirkan berbagai cara yang memuaskan untuk mencakar wajahnya karena menatapnya seperti itu, namun ia menahan dirinya.
Iris memikirkan berbagai cara atau alasan agar Pangeran tersebut berhenti memandangnya. “Apa anda terluka?” Ia memperhatikannya juga dari atas hingga bawah, hingga tatapannya tertuju pada lengannya. “Darah...”
“Oh, benar...” Adrian memperhatikan lengan kirinya. “Inilah alasannya aku datang kesini.” katanya, nada bicaranya yang datar seolah itu hanya hal yang biasa.
“Apakah mau saya panggilkan Max kesini?” tanya Iris.
“Ah tidak, aku tidak masalah dengan itu,” Adrian menggeleng pelan dan masih memperhatikan Iris dengan seksama. “Kau bisa kan mengobati luka?”
Iris menganggukkan kepalanya dengan pelan dan tidak yakin. “Silakan duduk terlebih dahulu di sana,” Iris menggiringnya menuju ruang sebelah yang terdapat beberapa tempat tidur. “Saya akan mempersiapkan perlengkapannya.”
Iris berjalan meninggalkan Adrian setelah ia memastikan bahwa Pangeran tersebut telah duduk di salah satu tempat tidur. Ia mencuci tangan selama satu menit, lalu mengumpulkan segala macam perban dan beberapa botol yang berisi salep, cairan antiseptik, semangkuk air panas dan beberapa kain bersih , dan akhirnya, akhirnya menarik kursi di meja untuk memulai mengobati pangeran tersebut.
“Apakah ada banyak bekas luka?" tanya Adrian.
Iris mengerutkan kening. “Di lengan?” tanyanya dengan bingung.
“Tidak, di punggung.” kata Adrian. “Aku terjatuh beberapa kali tadi,”
Iris menghela nafas pelan, ”Izinkan saya melihat punggungmu.“ Tanpa berpikir lebih lama, Adrian langsung melepaskan pakaiannya di hadapan Iris, seolah ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu.
“Dari apa yang bisa saya lihat,” katanya, “Ada beberapa luka lebam besar— dan mungkin beberapa yang lebih kecil. Tidak separah dengan apa yang saya bayangkan dan bisa hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari atau minggu.”
Iris berdiri begitu dekat sehingga ia bisa melihat rambut halus yang ada di tengkuk lehernya. Tidak ada aroma parfum mahal, melainkan aroma tanah dan besi.
Tidak ada suara apapun di antara mereka. Iris terlalu sibuk mengobati luka dengan obat-obatan dengan nama dan aroma aneh dan membalutnya dengan perban. Suara Adrian memecah keheningan di antara mereka.
“Kita tidak pernah berkenalan dengan baik.” Kata Adrian. Pemuda tersebut melangkah ke hadapan Iris, menghentikan langkah kakinya. “Bisa kita ulang? Kau tahu siapa aku— Adrian Gennady.”
Iris merasa ada sesuatu di dalam akal sehatnya untuk tidak dekat dengannya, namun ia tidak tahu apa alasannya dan ia tidak mungkin mengatakan hal seperti itu. Iris memilih untuk diam dan tetap fokus mengobati. “Aku tidak akan berhenti bertanya sampai kau meresponku ” kata Adrian.
Iris hanya dapat berusaha menahan emosinya. “...Iris Campbell,” gumamnya pelan. Iris tidak tahu kenapa ia melakukan ini. Iris tahu siapa Adrian dan begitu pula sebaliknya.
“Senang berkenalan denganmu.” kata Adrian.
“Sebelumnya apakah kau tinggal di kota atau desa?” Iris tidak akan pernah menyangka akan mendengar pertanyaan seperti itu dari Pangeran— itu bukanlah pertanyaan yang akan seseorang tanyakan kepada seseorang yang baru saja dikenal.
“Saya telah tinggal di berbagai tempat,” Iris menjawabnya tanpa minat. Di saat yang sama, Iris telah selesai mengobatinya. “Sudah selesai.”
Adrian menaikkan satu alisnya. “Aku harap kau tidak mencoba membohongiku.” katanya sambil kembali memakai pakaiannya.
“Tentu saja tidak.” Iris hanya merapikan peralatan yang ia gunakan, bahkan ia sama sekali tidak menatap Adrian.
Itu bukanlah kebohongan, namun Iris lebih lama tinggal dan dibesarkan di kota ini. Ia tidak pernah bertemu dengan siapapun di luar orang-orang yang memiliki kepentingan pada kegiatan sehari-harinya, selain keluarganya sendiri.
Semenjak Iris menginjakkan kakinya di istana tersebut, Iris sudah dapat menebak bahwa satu-satunya yang menghubungkan dirinya dengan keluarganya hanya berupa sepucuk surat yang akan ia tulis dan dikirim ke rumahnya. Walaupun begitu, bukan berarti Iris sama sekali tidak memiliki teman. Ia memiliki beberapa teman, yang memiliki kepentingan dengan dirinya saja. Bahkan ketika Iris diajak untuk makan bersama, ia akan pergi sendiri untuk mencari ketenangan.
“Benarkah? Dimana tepatnya?” Adrian menoleh ke belakang dan bertanya lagi.
Langkah kaki Iris terhenti dan ia menoleh ke arah Adrian. “Apakah anda tidak merasa bahwa anda terlalu banyak mengajukan pertanyaan yang pribadi, Yang Mulia?” katanya. Saat itu, Iris sudah melupakan formalitas. Ia tidak suka ketika ada orang yang terlaly banyak bertanya tentang hal yang menyangkut privasinya.
Adrian menaikkan satu alisnya. Ia tidak pernah menyangka seseorang akan berkata seperti itu kepadanya— kepada seorang Pangeran. Adrian menyeringai kepada Iris dan mendekatkan wajahnya ke Iris. Begitu dekat sehingga Iris dapat merasakan nafasnya yang hangat pada wajahnya. “Aku memiliki keingintahuan yang tinggi, Nona.” bisiknya.
“Dan saya juga memiliki hak untuk tidak memberitahukan hal pribadi ke orang banyak.” Jawab Iris dengan tegas.
“Aku akui kau sangat berani,” kata Adrian. “Bahkan setelah kau tahu siapa aku.” Iris dapat merasakan mata Adrian yang menatap wajahnya, menilai, menimbang, menguji. Iris membalas tatapannya.
Adrian tersenyum samar. “Baiklah, aku sama sekali tidak masalah kalau kau tidak ingin mengatakan apapun.” katanya. “Aku sudah mendengar beberapa cerita yang agak menarik tentangmu. Apa pendapatmu setelah hidup dalam lingkungan mewah dan serba tersedia seperti istana ini?”
Hanya ada satu kata yang muncul di dalam benak Iris. Sombong. “Saya rasa anda tidak perlu tahu soal itu.“ Iris berkata dengan sedikit tinggi, ia nyaris kehilangan kesabarannya. Iris tidak menyukai deretan pertanyaan yang menyangkut kehidupan pribadinya terutama dari orang yang ia tidak kenal baik.
Adrian membungkukkan punggungnya— memberikan hormat kepada Iris. Iris dapat melihat tampang mencemooh dari raut wajahnya. ”Kalau begitu saya minta maaf, Nona! Lain kali, saya akan mencoba memikirkan sesuatu yang lebih pantas untuk dikatakan.“ Iris tidak perlu berpikir lebih lama untuk tahu bahwa itu hanyalah kata-kata sarkas darinya.
Mendengar suara pintu terbuka, Iris merasa sedikit lega karena ia mengharapkan Max untuk segera kembali. ”Aku harap itu adalah Max.“ pikirnya.
Sosok yang Iris tunggu akhirnya muncul dari balik pintu. Max langsung berjalan mendekati Iris dan Adrian. “Adrian? Kenapa kau disini?”
•••
Iris berkedip beberapa kali, menatap Max dan Adrian bergantian sementara otaknya masih membutuhkan waktu untuk memproses apa yang baru saja ia dengar. “Kau memanggilnya dengan nama?” pikirnya ketika ia melihat Max.Tanpa banyak berbicara, Iris membereskan peralatan yang ia gunakan dengan cepat. Jarak mereka dengan Iris tidak terlalu jauh, namun ia tidak ingin mendengar apapun yang sedang mereka bicarakan.“Kemana kau?” Adrian terduduk di sisi tempat tidur, sementara Iris hanya dapat melihat punggung Max yang berdiri di hadapan Adrian. Max terlihat meraih lengan Adrian yang lengan pakaiannya telah dilipat hingga siku.“Rumah kaca, perpustakaan,” Max menjawab sekenanya. “Apa yang kau lakukan disini?”Di saat yang sama, Iris baru selesai merapikan barang yang baru saja ia gunakan. Ketika ia menoleh, gadis tersebut baru saja menyadari bahwa wajah Pang
Iris menutup pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya masih memproses apa yang baru saja ia lihat. “Apakah aku salah lihat?” gumamnya.Ingatannya tentang apa yang telah Iris lihat kembali bermunculan di dalam benaknya, seperti potongan-potongan gambar yang muncul satu per satu. Iris menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mengerang frustasi. “Ok, Iris.” gumamnya kepada dirinya sendiri, kedua tangannya menepuk pipinya pelan. “Lupakan apa yang baru saja kau lihat! Lupakan!”Gadis tersebut tidak memiliki alasan spefisik kenapa ia menghindari Pangeran Adrian, selain ia hanya ingin hidup tanpa mendapatkan perhatian lebih dari orang sekitarnya karena Ia tidak akan pernah dapat menebak apa yang orang lain pikirkan atau bicarakan di belakangnya. Iris pun memilih untuk segera tidur tanpa memakan waktu lebih lama lagi untuk memikirkan persoalan vampire.•••Pagi itu,
Untuk kesekian kalinya, Adrian terbangun dari istirahat siangnya dengan merasakan jari-jari tangan kanannya mati rasa dan ketika Adrian menulis, jari-jarinya sedikit lebih lambat dari biasanya untuk menulis beberapa kalimat pendek. “Haa...” Adrian menghembuskan nafas perlahan. “Awas kau Aiden...” Ingatannya kembali saat Aiden menahannya dan ia harus menulis unttuk waktu yang sangat lama. Satu tangannya meraih ke dahinya dan ia merasakan suhu tubuhnya lebih hangat dari biasanya. “Orang-orang mengatakan bahwa vampire adalah mahkluk berdarah dingin...” gumamnya. “Dan aku? Terlalu sering demam,” Sementara di bulan lainnya, ia dapat merasakan suhu tubuhnya lebih rendah daripada orang lain. Hal itu membuat Adrian tidak jarang mempertanyakan apa yang tubuhnya sendiri in
Aiden menatap meja kerja di hadapannya dengan perasaan campur aduk. Beberapa menit yang lalu, ia baru saja membayangkan raut wajah Pangeran Adrian yang kesal ketika melihatnya masuk.Namun kenyataannya adalah kursi yang seharusnya diduduki oleh Pangeran, kosong. Aiden masuk ke ruang kerja yang sama sekali tidak ada orang. Aiden menghela nafas frustasi, “Kemana Adrian?” gumamnya.Di saat yang sama, pintu di belakangnya terbuka. Aiden berbalik dan melihat Cleon— pengawal yang ia perintahkan untuk mengawasi Adrian. Cleon belum sempat mengatakan apapun, Aiden sudah membuka mulutnya terlebih dahulu. “Mana Pangeran?”“Beliau masih di kamarnya dan ia bilang kalau kondisinya sedang tidak baik.” kata Cleon.“Hah?” Aiden tidak dapat langsung percaya dengan pernyataan tersebut.Cleon menganggukkan kepalanya dengan satu gerakan tegas&mdas
Setelah beberapa saat, akhirnya tiba dan mereka berdiri di depan teras toko. “Jadi, ini tempatnya?” Iris bertanya, dahinya mengkerut, menatap bangunan di depannya. “Menurut kertas ini, ya.” Aria melihat selembar kertas di tangannya lalu mendekati pintu masuk. “Ingatkan aku, darimana kau mendapatkan itu?” tanya Iris. “Beberapa hari yang lalu, ada yang menempel ini di pohon,” jawab Aria dengan santai. “Dan kau mengambilnya...?” tanya Iris lagi. Aria hanya menyeringai ke arahnya. “Tanpa memikirkan kemungkinan terburuknya?!” Aria mengangguk sekali lagi. Bangunan di hadapannya adalah bangunan yang terlihat sangat tua dan berada di gang sempit. Bangunan dengan empat lantai, masing-masing lantai terdapat dua jendela. Dua jendela etalase di paling bawah dan enam jendela biasa di lantai dua hingga empat. Jendela etalase pada sisi kiri dan kanan, menghimpit sebuah pintu kac
Aria menoleh ke arah pintu dan melihat Iris masuk dengan rait wajah yang berbeda dari sebelumnya. “Kau kenapa?” tanyanya. Iris menghampiri Aria dan langsung duduk di kursi dan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Ia pun mulai menceritakan apa yang ia bicarakan dengan Max. “Hmm, memang tidak biasanya...” Aria bergumam. “Memangnya sebelum ini selalu Max?” Tiba-tiba Iris bertanya— terdorong oleh rasa penasarannya. “Sepertinya iya...” kata Aria. Ia terdengar tidak yakin. “Sepertinya?” Iris mengulang apa yang ia dengar. Aria mencoba menggali ingatannya, mencoba mengumpulkan apa saja yang ia ingat tentang Max. “Ia bahkan sudah disini di hari pertama aku memulai karir,” katanya. “Bahkan aku pernah mendengar kalau Max adalah salah satu teman dekat Pangeran sejak kecil.” Iris menaikkan alisnya. Itu merupakan suatu info yang baru un
Iris meletakan semuanya yang ia butuhkan di atas meja yang telah di kosongkan dan di bersihkan. Beberapa bunga herbal yang memang telah dikeringkan sebelumnya juga diambil olehnya dari lemari, beberapa wadah kaca kosong serta beberapa liter air di dalam sebuah botol berukuran besar. “Sebentar... ” Iris menoleh, memperhatikan sekelilingnya mencari sesuatu. Iris membuka setiap laci dan lemari yang ia lihat, memeriksanya satu per satu. “Sudah paham?” Max sedang memberikan berbagai instruksi kepada orang baru, melihat Iris yang sedang sibuk bolak balik. Dengan rasa penasarannya, pemuda tersebut menghampirinya setelah menyuruh orang baru itu pergi. “Iris?” panggilnya. “Apa yang kau cari?” Iris menoleh ke arah Max yang berdiri di belakangnya. “Kain,” jawabnya, menepuk nepuk seragamnya yang berdebu. “Aku membutuhkan itu,” “Kain? Kain katun? ” tanya Max sambil berjalan menuju mejanya dan mengeluarkan
“Berapa lama kau akan menyalakan lilin itu?” Adrian sudah berada di tempat tidurnya, mencari posisi nyaman. “Lima belas menit,” Iris menjawab sambil menyalakan lilin yang ia letakan pada nakas tepat di sebelah tempat tidur. “Silakan mencoba untuk beristirahat, Yang Mulia.” Iris berjalan menuju jendela dan mulai menutupnya dengan rapat. “Apa kau akan segera pergi?” Adrian bertanya. Kedua matanya telah di pejamkan dan telinganya menjadi lebih sensitif ketika menangkap suara-suara yang bermunculan di sekitarnya. “Saya akan tetap disini untuk mematikan lilin tersebut ketika sudah lima belas menit,” jawab Iris. Ia berdiri tidak jauh dari tempat tidur, namun ia juga tidak ingin terlalu dekat. “Apa tidak bisa lebih lama?” Adrian bertanya. Ia tidak ingin Iris segera pergi dari ruangannya. Namun ia juga tidak memiliki alasan lain untuk membua
Waktu sudah melewati pukul dua belas malam dan Iris melihat ke arah panci yang saat itu sedang merebus pasta. Bagaimana ia bisa melewati jam makan malam? Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia memeriksa rebusan pastanya untuk mengecek apakah sudah siap untuk diolah kembali dengan saus tomat yang memang sudah tersedia di dapur. Dengan banyaknya orang yang butuh makan di seluruh istana tersebut, para pekerja di dapur selalu mempersiapkan berbagai bahan siap masak dalam jumlah banyak, bahkan lebih dari cukup apabila ada orang-orang lain seperti Iris yang membutuhkan makan di luar jam makan.Iris tersenyum puas ketika melihat hasil masakannya sendiri. Ia memang bukan orang yang pintar dalam urusan memasak, namun tidak terlalu buruk juga hingga membuat berbagai kekacauan di dapur. “Terima kasih, ibu karena selalu memaksaku untuk membantu di dapur,” gumamnya, tertawa pelan. “Ternyata karena itu, aku masih dapat memasak untuk diriku di saat seperti ini,” matanya melih
Kisah-kisah bertema romansa sudah sangat dikenal luas, tentang mencintai dan kehilangan, tentang kerinduan dan kelupaan, umum di masa sekarang seperti tahun-tahun yang lalu, tentang mencintai seseorang begitu dalam, tanpa keinginan tetapi bukan tanpa hasrat, tentang raja dan pejuang, tentang kekasih dan saudara.Tentu saja banyak cerita, sama tragisnya, tentang bagaimana seorang pria yang membunuh kekasihnya karena membuatnya merasakan apa yang dianggap tidak perlu, kekasihnya yang menawarinya sedikit anyelir putih, berlumuran darah, tetapi ia mengangkat tangannya. pedang dan memotong daging, hanya untuk mengikuti beberapa hari kemudian dalam kesedihannya.Adrian duduk di salah satu meja di perpustakaan, satu sikunya bertumpu di atas meja sambil menopang berat kepalanya saat ia duduk dengan malas, sementara tangan lainnya membolak-balik lembaran halaman dari buku fiksi yang ia temukan pada salah satu rak. “Aku tidak paham kenapa ada orang yang menyukai cerita seper
Max mengerutkan keningnya. “Jadi? Kau akan menolaknya?” tanyanya, kedua tangannya sibuk membereskan apapun yang terlihat berantakan di atas meja. Merapikan tumpukan buku, kertas dan mengembalikan pena ke tempatnya semula. Arah matanya bergantian menatap Iris dan memperhatikan apa yang sedang ia rapikan.“Aku tidak tahu,” jawab Iris. Di saat yang sama, Iris menyadari penampilan Max. ada lingkaran hitam dibawah matanya, samar tapi tetap dapat dilihat. “Max? Kau belum tidur?” tanyanya.“Ya dan kelopak mataku terasa sangat berat sekarang,” Max menjawab, memijat pangkal hidungnya perlahan. “Aku akan beristirahat sekarang, kecuali kalau ada hal lain yang ingin kau katakan?” lanjutnya.Iris dengan cepat menggoyangkan kedua telapak tangannya. “Tidak, tidak ada lagi,” jawabnya dengan cepat.Max dengan cepat berdiri, sambil bertanya lagi. “Apa kau menjadi bimbang?” Ia mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu dan alih-alih memaka
“Yang Mulia…?” Iris membeku ketika ia melihat Adrian mulai memuntahkan kelopak bunga lagi, napasnya terengah-engah sementara tangannya memegang tenggorokannya, seperti ia akan mencekik lehernya sendiri. Tubuh Iris seolah bergerak sendiri, dan ia mendapati dirinya berada di samping sang pangeran panik sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Kulit pucat Adrian terlihat sangat kontras dengan warna merah saat darah berceceran di karpet bercampur dengan kelopak bunga berwarna putih yang telah bercampur dengan warna merah.Di saat yang sama, kedua orang tersebut memikirkan hal yang sama— berharap kalau semua itu hanya mimpi.Iris meringis dan menatap Pangeran di hadapannya dengan rasa cemas. “Apakah…selalu seburuk ini? Setiap saat?” tanyanya dengan pelan dan hati-hati. Ia perlu tahu apakah selama ini yang ia lihat hanya sebagian kecil dari apa yang menimpanya.“...Tidak,” Adrian terbatuk lagi, namun kali ini Iris menyadari sepertinya ia b
“Bisa saja,” Iris menjawab tanpa ragu. “Tapi aku harus kembali ke kamarku dan mengambil beberapa barang dari farmasi terlebih dahulu.”Adrian mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Iris akan menyetujuinya begitu saja. “Aku tidak tahu wanita ini terlalu tulus atau memang terlalu polos…” pikirnya.“Aku akan segera ke ruanganmu setelah aku menyiapkan yang diperlukan,” kata Iris, memberikan salam sebelum ia bergegas pergi. Adrian yang masih menatap punggung Iris yang semakin menjauh darinya, hanya menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka Iris akan langsung mengiyakan perkataannya soal memeriksa dirinya di ruangannya— yang sebenarnya, Adrian mengatakan hal tersebut dengan spontan tanpa memikirkannya sama sekali.“...Terkadang aku tidak paham apa yang ada di dalam pikirannya,” Adrian bergumam pelan, mengusap tengkuknya perlahan sambil berbalik arah un
Iris mempertanyakan kepada dirinya sendiri— ‘Apa yang sebenarnya Pangeran Caswell dapatkan hanya dengan mencari tahu apa yang dapat ia lakukan, apa yang seorang penyihir dapat lakukan?’ Ada kemungkinan yang sangat kecill bagi dirinya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, jadi ia hanya menggelengkan kepalanya, mengabaikan hal tersebut.Caswell menatap keluar dengan tatapan datar. Iris mengikuti arah pandangnya dan melihat kumpulan pengawal yang sedang berlatih. Saat itu tengah hari dan matahari yang terik menerpa punggung siapapun yang berada di luar sana. Suara pedang latihan yang terbuat dari kayu mengayun kesana kesini, menahan pukulan demi pukulan, masing-masing jatuh lebih cepat dari yang terakhir. Di saat itu, Iris baru menyadari betapa dekat posisinya dengan area berlatih karena ia dapat mendengar suara dari pedang kayu yang saling beradu tersebut.“Sepertinya aku sudah cukup mengikutimu siang ini,” Caswell berkata tiba-tiba, kedua ka
Iris memicingkan kedua matanya. Ia tidak berhenti menarik nafas dan menghembuskan perlahan selama beberapa menit. Ia juga sesekali melirik ke belakangnya, berharap kalau orang yang sedang mengikutinya hanyalah sebuah imajinasinya saja— berharap orang di belakangnya akan menghilang setelah beberapa menit atau setelah beberapa kali Iris memejamkan mata dan menarik nafasnya.“Kenapa kau terus-menerus bernapas seperti itu?” Caswell bertanya. Namun, nyatanya realita tidak sesuai dengan harapan. Mereka sedang berjalan berdua di koridor. Iris mencoba berjalan dengan cepat, namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun karena Caswell yang memiliki kaki jenjang dan tentu saja tinggi tubuhnya yang melebihi Iris tidak akan memiliki masalah untuk mensejajarkan langkah mereka.Langkah kaki Iris menjadi lebih pelan, seperti ia ragu untuk berhenti atau berjalan seperti biasa. Ia melirik ke arah Pangeran tersebut. “...Maaf, Yang Mulia…” katanya dengan pelan. “Apa…Apa anda
“Aku tidak percaya kalau aku akan mendengar berbagai desas desus sepagi ini,” Aiden memejamkan kedua matanya, satu tangannya menyisir rambutnya, menyingkirkan helaian rambut yang selalu menutup dahinya.Iris hanya tertawa pelan. “Tapi apakah yang mereka katakan benar?” tanyanya.“Sebagian benar, namun Adrian sendiri sangat menolak ajuan ayahnya,” kata Aiden. “Ia tidak berhenti mengoceh semenjak pertunangannya yang tidak diinginkan menjadi topik pembicaraan pelayan—” ia berhenti sejenak, seperti sedang berpikir sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “...Sekarang aku tahu kenapa Adrian selalu berusaha kabur dariku,”“Kenapa?” tanya Iris dengan pelan, ia tersenyum samar.“Sama seperti Adrian yang tidak berhenti mengomel, aku juga sering melakukan itu padanya,” Aiden berkata dengan sedikit canggung, mengusap tengkuknya perlahan. Melihat itu, Iris hanya tertawa. Ada sedikit rasa kasihan kepada Aiden, namun di sisi lain, Iris juga
Dengan udara segar yang mendinginkan pipinya, Iris bersenandung pelan saat ia berjalan ke dapur dari kamarnya. Ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, tapi hari ini ia lebih menikmati jalan-jalan. Pagi ini, sudah ada beberapa pelayan wanita bersama dengan pelayan pria sedang membicarakan berbagai desas desus sebelum memulai kegiatan mereka di ujung dapur.Iris mengatupkan bibir saat menuangkan jus jeruk segar ke dalam gelas kaca. Bau bumbu dan telur orak-arik menguar dari kompor yang berada tepat di belakangnya, sisa kulit jeruk yang masih belum dibuang berserakan di atas papan kayu di konter di depannya. Iris mengambil tempat favoritnya, meja yang menghadap ke halaman rumput yang selalu dipangkas rutin.“Iris…” Iris baru saja duduk sebelum ia mendengar suara Aria yang memanggilnya.