Share

08

Author: Etheldreda Cindy
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Iris berkedip beberapa kali, menatap Max dan Adrian bergantian sementara otaknya masih membutuhkan waktu untuk memproses apa yang baru saja ia dengar. “Kau memanggilnya dengan nama?” pikirnya ketika ia melihat Max.

Tanpa banyak berbicara, Iris membereskan peralatan yang ia gunakan dengan cepat. Jarak mereka dengan Iris tidak terlalu jauh, namun ia tidak ingin mendengar apapun yang sedang mereka bicarakan. 

“Kemana kau?” Adrian terduduk di sisi tempat tidur, sementara Iris hanya dapat melihat punggung Max yang berdiri di hadapan Adrian. Max terlihat meraih lengan Adrian yang lengan pakaiannya telah dilipat hingga siku.

“Rumah kaca, perpustakaan,” Max menjawab sekenanya. “Apa yang kau lakukan disini?”

Di saat yang sama, Iris baru selesai merapikan barang yang baru saja ia gunakan. Ketika ia menoleh, gadis tersebut baru saja menyadari bahwa wajah Pangeran Adrian terlihat pucat apabila ia bandingkan dengan pertama kali ia bertemu atau saat di rumah kaca kemarin. “Apa ia kurang istirahat?” gumamnya. Iris sama sekali tidak menyadari bahwa ia berbicara dengan nada yang cukup keras hingga didengar oleh Adrian.

“Aku? Ya,” Iris sedikit tersentak ketika Adrian menatapnya dan Max terlihat menahan senyum di sebelahnya. “Kalian harus tahu seperti apa asistenku. Ia tidak berhenti memberikanku pekerjaan setiap harinya.” keluhnya.

“Maaf, saya tidak bermaksud— Permisi,” Iris sedikti panik, ia pun langsung pergi menjauhi dua orang tersebut dan bergegas kembali ke ruangan sebelah.

Dari sudut matanya, Iris terus memperhatikan setiap gerak gerik mereka hingga ia saling bertukar pandang dengan Adrian hanya untuk beberapa detik. Dalam waktu beberapa detik, Iris dapat melihat matanya sangat berbeda, lebih lembut dari apa yang Iris tahu. Logikanya, Iris ingin segera melepaskan pandangan tersebut, namun fisiknya, ia tidak bisa. Iris menggelengkan kepalanya dengan kuat dan ia langsung menutup pintu laboratorium. Ia menghabiskan waktu hingga malam disana.

Max menatap pintu laboratorium yang tertutup dan pandangannya kembali kepada Adrian.

“Aku menyukainya, ” kata Adrian. “Aku anggap gadis tersebut cukup pintar, kalau kau berlaku baik kepadanya.” Ia menyunggingkan senyum penuh arti. 

“Apa maksudmu?” tanya Max, melipat lengannya di dada.

Adrian masih duduk di tempat tidur, bertumpu pada kedua tangannya di belakang. “Tidak seperti biasanya kau akan berlaku baik kepada orang lain,” katanya. “Biasanya, kau terlihat lebih tegas.”

Max hanya mendengus. “Aku mendengar percakapan kalian sebelum masuk,” ia melipat kedua lengannya di depan dada.

Adrian berkedip sejenak dan wajahnya mulai menyeringai. “Ooh, kau menguping pembicaraan kami?” tanyanya dengan dramatis yang di buat-buat.

“Itu hanya kebetulan,” Max menghela nafasnya. “Tapi—” suaranya meninggi dan menatap Adrian dengan tajam.

Adrian hanya menaikkan satu alisnya. “Tapi...?”

“...Aku harap kau tidak berpikir untuk melakukan hal yang macam-macam. Aku masih memerlukan bantuan tenaga disini.” Max memberikan peringatan, namun Adrian hanya tertawa lepas.

Max menangkap sesuatu dari wajah Adrian. Ia menjulurkan tangannya dan menempelkan telapak tangannya pada dahi Adrian. Max dapat merasakan sensasi suhu tubuh yang berbeda dari biasanya. “Tadi Iris bilang kau terlihat pucat dan aku rasa ia memang benar...”

Adrian menepis tangan Max dari wajahnya dengan pelan. “Sepertinya kau demam,” kata Max, ia berjalan mengambil sebuah buku catatan dan mulai menulis. “Tidak biasanya kau sakit. Sejak kapan?” Max bertanya.

Adrian mengedikkan bahunya. “Aku tidak tahu pastinya,” katanya. “Tapi aku baru menyadari sejak beberapa bulan yang lalu,”

Max menaikkan satu alisnya. “Dan kau baru kesini sekarang?” suaranya meninggi, tidak percaya apa yang baru saja ia dengar.

Adrian melambaikan satu tangannya dan bangkit berdiri. “Tidak perlu khawatir. Aku memiliki daya tahan tubuh yang kuat.” katanya. “Kalau hanya demam, ini akan menghilang setelah tidur seperti biasanya.”

Max memicingkan kedua matanya. “Seperti biasanya?” ia mengulang perkataan Adrian. “Berarti ini sering terjadi?”

Adrian menganggukkan kepalanya sebagai respon. Ia mengambil jaketnya dan memakainya sambil berjalan menuju pintu. “Sudahlah, ini bukan hal yang berat.”

“Tapi—”

“Shh—” Adrian menghentikan perkataannya. 

“Baiklah...” jawab Max dengan pasrah. Ia sangat tahu seberapa keras kepalanya Adrian dan ia tidak ingin membuang tenaganya untuk berdebat sepanjang hari dengannya. “Setidaknya, beritahu Aiden,” lanjutnya.

Adrian membuka pintu sambil berkata, “Ya, ya,” tanpa menoleh sedikitpun, melambaikan satu tangannya di udara.

Max merasa gemas dengan kelakuan pangeran tersebut dan akhirnya ia memutuskan untuk mengikutinya. 

“Kenapa kau mengikutiku?” Adrian bertanya ketika mereka sudah keluar dari klinik dan tengah berjalan di koridor.

Max mendengus. “Aku akan berbicara dengan Aiden.” katanya.

Adrian menoleh ke arahnya dengan cepat. “Hah? Kenapa?”

“Firasatku mengatakan bahwa kalau kau tidak akan pernah memberitahu Aiden tentang keadaanmu,” Max menjawabnya dengan tegas, seolah memberitahu bahwa ia tidak mau dibantah. Mendengar itu, Adrian hanya mendecak dengan sebal.

●●●

Beberapa jam terakhir sebelum waktu kerjanya berakhir di isi dengan suasana penuh ketenangan yang Iris sukai. Iris membuka laci mejanya yang selalu terkunci dan mengambil sebuah buku tebal dan diikat dengan tali berbahan kulit coklat yang kokoh. Itu merupakan barangnya yang berharga— semua ramuannya, semua catatannya tentang berbagai macam bahan-bahan, semua percobaannya dari sesuatu yang biasa hingga yang baru dan berbeda.

Di rumahnya, keluarganya memiliki buku ramuan milik hampir setiap generasi yang sudah berjalan hampir lima ratus tahun lamanya— membentuk sebuah perpustakaan kecil penuh dengan arsip pengetahuan, dan sejauh ini merupakan aset terbesar keluarganya. ”Ini adalah isi pikirannya dalam bentuk kertas.“ pikirnya.

”Apa kau tidak pernah melakukan hal lain selain membaca?“

Iris langsung terlonjak ketika ia mendengarnya dan menoleh ke arah suara tersebut dengan cepat, satu tangannya di atas dadanya dengan tanpa sadar, merasakan degup jantungnya sendiri. ”A-Aria...“ gumamnya dengan pelan 

Aria berdiri beberapa meter darinya dengan kedua tangan di dalam saku seragamnya. ”Oh, maaf. Apa aku mengejutkanmu?“ Aria menarik salah satu kursi kursinya dan duduk di sebelahnya. Angin malam yang masuk ke dalam farmasi melalui jendela yang terbuka terasa sejuk dan nyaman, menghembuskan rambutnya yang tidak terikat.

”Apa itu?“ Aria menunjuk ke arah buku milik Iris yang tergeletak di atas meja.

”Hanya berbagai catatan percobaan pribadiku,“ kata Iris. Iris menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca. Mencatat ulang bagian-bagian penting dan mengutip kalimat-kalimat yang tidak ia pahami. Sesekali pergi keluar ke tempat-tempat umum seperti taman, namun ia selalu memilih waktu pada saat keadaan sepi, seperti malam hari dan itu pun sangat jarang terjadi. Keramaian di sekitarnya selalu membuat dirinya gugup dan suasana sepi membuat dirinya merasa tenang serta ia dapat berpikir tanpa gangguan suara apapun.

Iris memperhatikan seragam yang dikenakan Aria. Terdapat beberapa noda tanah dan lumpur pada bagian pergelangan tangan dan ujung roknya. ”Aku anggap ada banyak yang kau kerjakan di rumah kaca?“ tanyanya dengan pelan.

”Ya.“ Aria terduduk di kursi yang berhadapan dengan Iris, memijat pundaknya. ”Ditambah lagi para petugas kebun tidak mau membantu dengan alasan masih banyak yang di kerjakan.“ keluhnya.

”Mungkin saja mereka tidak berbohong,“ kata Iris. ”Kau tahu sendiri seberapa luas halaman istana ini.“

Aria berdecak, menggoyangkan jarinya di hadapannya. ”Oh, belum tentu,“ katanya.

Iris tidak mengatakan apapun lagi dan percakapan mereka seolah terhenti di situ. Aria pun menyandarkan kepalanya di kursi dan matanya mulai terpejam, sementara Iris kembali melanjutkan apa yang sedang ia baca.

Waktu terus berjalan dan malam pun semakin larut. ”Aku akan kembali ke kamarku. Bagaimana denganmu?“ Aria bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu.

Iris masih duduk, tidak mengubah posisinya sama sekali. “Sebentar lagi,”

“Ngomong-ngomong...” Aria melihat sekelilingnya,mencari-cari sesuatu. “Mana Max? Kenapa aku tidak melihatnya sama sekali?”

“Tadi siang, ia keluar bersama dengan Pangeran Adrian,” kata Iris. Ia heran kenapa Aria baru mempertanyakan Max. “Dan ia belum kembali sama sekali.”

Aria menganggukkan kepalanya perlahan. “Baiklah. Kalau begitu, aku pergi dulu.” Iris menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Suara pintu menderit tertutup, menyisakan keheningan yang menyelimuti seluruh farmasi. Bulan telah bersembunyi di balik awan. Langit malam bagaikan batu marmer berwarna hitam, dihiasi oleh guratan-guratan awan kelabu. Angin malam berhembus dengan pelan. Kabut tipis mulai bermunculan bercampur dengan aroma tanah yang lembab dan suara hewan malam yang sudah mulai bermunculan. Udara terasa dingin hingga menusuk ke tulangnya.

Iris memutuskan untuk segera kembali ke kamarnya setelah ia memastikan semua sudah terkunci. Ketika ia sedang berjalan di tengah koridor, ingatannya tiba-tiba kembali pada apa yang terjadi tadi malam. Iris tidak tahu apakah yang terjadi hanyalah sebuah mimpi. Namun semuanya terasa benar-benar nyata. Bagaimana ia merasakan kehangatan nafas seseorang di lehernya. Hanya ada satu kata yang melintasi pikirannya. “Vampir...?” bisiknya dengan pelan.

Iris merasa bulu kuduk di sekujur tubuhnya berdiri. Ia hanya tahu sedikit tentang vampir. Ibunya pernah menceritakannya tentang hal tersebut walaupun hanya sedikit. Namun apabila Iris pikirkan sekali lagi, Iris mulai bertanya-tanya apakah ibunya benar-benar hanya tahu sedikit atau ia hanya tidak ingin membicarakannya lebih detail kepada dirinya yang pada saat itu masih kecil.

Saat ini, Iris berharap bahwa semua hal yang ia dengar hanyalah cerita belaka yang dilebih-lebihkan.

Iris berjalan di koridor pada lantai satu. Sepanjang dinding terpasang deretan jendela-jendela besar dan beberapa pot tanaman. Di sudut matanya, Iris melihat seseorang berjalan sendirian di koridor yang mengarah ke pintu belakang istana. Itu pintu yang biasa digunakan oleh para pelayan istana. Iris memicingkan kedua matanya untuk melihat lebih jelas siapa orang tersebut.

”Pangeran Adrian?“ gumamnya dengan pelan. Iris merasa penasaran apa yang sedang pangeran tersebut lakukan di tengah malam seperti itu. Iris melihat sekelilingnya dan ia tidak melihat sosok yang ia sangka akan bersama dengan Pangeran tersebut. ”Aku rasa Max sudah tidak bersama dengan Pangeran.“

Iris terdiam sejenak, rasa penasarannya membuatnya menyelinap melewati pengawal, Iris bersembunyi di balik pilar yang tidak cukup jauh dari keberadaan Pangeran Adrian, namun cukup dekat untuk melihatnya dengan jelas. ”Aku tidak pernah menyangka bahwa akan menemukannya di malam hari seperti ini,“ gumam Iris kepada dirinya sendiri.

Iris memperhatikannya dari jauh dan ia tidak akan berbohong. Pangeran Adrian adalah pemuda yang memiliki penampilan yang sangat menarik. Ia adalah seseorang yang telah diberkati dari lahir dengan sejumlah fitur fisik yang lebih menarik daripada orang lainnya. Berpostur tegap , tinggi dan juga setiap gerakannya terlihat elegan. Tidak heran apabila banyak gadis-gadis lainnya di kota mudah terpikat dengannya.

Iris baru saja memutuskan untuk kembali ke kamarnya ketika ia mendengar suara. “Yang Mulia.” Langkah kakinya terhenti ketika Iris mendengar suara tersebut.

Di sebelah Pangeran Adrian muncul sosok bertubuh lebih kecil dari Pangeran. Tanpa perlu berpikir banyak, Iris sudah mengetahui bahwa itu adalah sosok seorang wanita.

Iris berdiri beberapa meter dari mereka, masih bersembunyi di balik pilar. Ia menatap dua orang tersebut dengan datar. Walaupun begitu, Iris tetap dapat melihat mereka dan memperhatikan seperti apa wajahnya. Wanita tersebut memiliki mata biru gelap yang besar, seperti warna langit sebelum malam merubahnya menjadi hitam dan rambut yang panjang tergerai melewati bahu berwarna hitam, seperti malam tanpa bintang.

Iris menjadi sangat penasaran sehingga ia berusaha untuk lebih dekat agar dapat mendengar pembicaraan mereka. Pangeran Adrian mendekatkan wajahnya pada leher wanita tersebut, mencari-cari sesuatu dan menghirup aromanya.

Melihat itu, Iris ingin segera pergi. Ia tidak ingin melihat pasangan saling bercumbu di kegelapan. Namun, ia dikejutkan oleh sesuatu yang berbeda.

Ada waktu beberapa detik ketika Iris melihat Adrian membuka mulutnya dan memperlihatkan sepasang taring yang cukup tajam untuk dapat menusuk masuk ke dalam kulit.

Iris menahan pekikannya dengan kedua tangannya. Ia berani bersumpah bahwa seluruh tenaga dalam dirinya terasa mengurang. Kedua kakinya terasa lemas seolah tidak dapat menopang beban tubuhnya.

Hal yang sama juga terjadi kepada wanita di pelukan Adrian. Tubuhnya terlihat melemah dan kedua tangannya terlepas dari leher Adrian.

Namun keberuntungan sedang tidak bersama dengannya. Iris tidak sengaja menendang pot tanaman dengan kakinya.

Pangeran Adrian menoleh kepada arahnya. Iris dengan reflek, masih dengan telapak tangannya menutupi mulutnya dan bersembunyi di balik pilar. Iris melirik ke arah wanita di sebelahnya, namun tidak dapat melihat wajahnya karena wanita tersebut menghadap ke arah yang lain.

Saat itu, Iris mengutuk dirinya sendiri. Seketika, ia merasa menyesal karena tidak kembali ke kamarnya sebelum larut malam. Iris langsung bergegas pergi menjauh dan kembali ke kamarnya.

●●●

Related chapters

  • FIORE   09

    Iris menutup pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya masih memproses apa yang baru saja ia lihat. “Apakah aku salah lihat?” gumamnya.Ingatannya tentang apa yang telah Iris lihat kembali bermunculan di dalam benaknya, seperti potongan-potongan gambar yang muncul satu per satu. Iris menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mengerang frustasi. “Ok, Iris.” gumamnya kepada dirinya sendiri, kedua tangannya menepuk pipinya pelan. “Lupakan apa yang baru saja kau lihat! Lupakan!”Gadis tersebut tidak memiliki alasan spefisik kenapa ia menghindari Pangeran Adrian, selain ia hanya ingin hidup tanpa mendapatkan perhatian lebih dari orang sekitarnya karena Ia tidak akan pernah dapat menebak apa yang orang lain pikirkan atau bicarakan di belakangnya. Iris pun memilih untuk segera tidur tanpa memakan waktu lebih lama lagi untuk memikirkan persoalan vampire.•••Pagi itu,

  • FIORE   10

    Untuk kesekian kalinya, Adrian terbangun dari istirahat siangnya dengan merasakan jari-jari tangan kanannya mati rasa dan ketika Adrian menulis, jari-jarinya sedikit lebih lambat dari biasanya untuk menulis beberapa kalimat pendek. “Haa...” Adrian menghembuskan nafas perlahan. “Awas kau Aiden...” Ingatannya kembali saat Aiden menahannya dan ia harus menulis unttuk waktu yang sangat lama. Satu tangannya meraih ke dahinya dan ia merasakan suhu tubuhnya lebih hangat dari biasanya. “Orang-orang mengatakan bahwa vampire adalah mahkluk berdarah dingin...” gumamnya. “Dan aku? Terlalu sering demam,” Sementara di bulan lainnya, ia dapat merasakan suhu tubuhnya lebih rendah daripada orang lain. Hal itu membuat Adrian tidak jarang mempertanyakan apa yang tubuhnya sendiri in

  • FIORE   11

    Aiden menatap meja kerja di hadapannya dengan perasaan campur aduk. Beberapa menit yang lalu, ia baru saja membayangkan raut wajah Pangeran Adrian yang kesal ketika melihatnya masuk.Namun kenyataannya adalah kursi yang seharusnya diduduki oleh Pangeran, kosong. Aiden masuk ke ruang kerja yang sama sekali tidak ada orang. Aiden menghela nafas frustasi, “Kemana Adrian?” gumamnya.Di saat yang sama, pintu di belakangnya terbuka. Aiden berbalik dan melihat Cleon— pengawal yang ia perintahkan untuk mengawasi Adrian. Cleon belum sempat mengatakan apapun, Aiden sudah membuka mulutnya terlebih dahulu. “Mana Pangeran?”“Beliau masih di kamarnya dan ia bilang kalau kondisinya sedang tidak baik.” kata Cleon.“Hah?” Aiden tidak dapat langsung percaya dengan pernyataan tersebut.Cleon menganggukkan kepalanya dengan satu gerakan tegas&mdas

  • FIORE   12

    Setelah beberapa saat, akhirnya tiba dan mereka berdiri di depan teras toko. “Jadi, ini tempatnya?” Iris bertanya, dahinya mengkerut, menatap bangunan di depannya. “Menurut kertas ini, ya.” Aria melihat selembar kertas di tangannya lalu mendekati pintu masuk. “Ingatkan aku, darimana kau mendapatkan itu?” tanya Iris. “Beberapa hari yang lalu, ada yang menempel ini di pohon,” jawab Aria dengan santai. “Dan kau mengambilnya...?” tanya Iris lagi. Aria hanya menyeringai ke arahnya. “Tanpa memikirkan kemungkinan terburuknya?!” Aria mengangguk sekali lagi. Bangunan di hadapannya adalah bangunan yang terlihat sangat tua dan berada di gang sempit. Bangunan dengan empat lantai, masing-masing lantai terdapat dua jendela. Dua jendela etalase di paling bawah dan enam jendela biasa di lantai dua hingga empat. Jendela etalase pada sisi kiri dan kanan, menghimpit sebuah pintu kac

  • FIORE   13

    Aria menoleh ke arah pintu dan melihat Iris masuk dengan rait wajah yang berbeda dari sebelumnya. “Kau kenapa?” tanyanya. Iris menghampiri Aria dan langsung duduk di kursi dan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Ia pun mulai menceritakan apa yang ia bicarakan dengan Max. “Hmm, memang tidak biasanya...” Aria bergumam. “Memangnya sebelum ini selalu Max?” Tiba-tiba Iris bertanya— terdorong oleh rasa penasarannya. “Sepertinya iya...” kata Aria. Ia terdengar tidak yakin. “Sepertinya?” Iris mengulang apa yang ia dengar. Aria mencoba menggali ingatannya, mencoba mengumpulkan apa saja yang ia ingat tentang Max. “Ia bahkan sudah disini di hari pertama aku memulai karir,” katanya. “Bahkan aku pernah mendengar kalau Max adalah salah satu teman dekat Pangeran sejak kecil.” Iris menaikkan alisnya. Itu merupakan suatu info yang baru un

  • FIORE   14

    Iris meletakan semuanya yang ia butuhkan di atas meja yang telah di kosongkan dan di bersihkan. Beberapa bunga herbal yang memang telah dikeringkan sebelumnya juga diambil olehnya dari lemari, beberapa wadah kaca kosong serta beberapa liter air di dalam sebuah botol berukuran besar. “Sebentar... ” Iris menoleh, memperhatikan sekelilingnya mencari sesuatu. Iris membuka setiap laci dan lemari yang ia lihat, memeriksanya satu per satu. “Sudah paham?” Max sedang memberikan berbagai instruksi kepada orang baru, melihat Iris yang sedang sibuk bolak balik. Dengan rasa penasarannya, pemuda tersebut menghampirinya setelah menyuruh orang baru itu pergi. “Iris?” panggilnya. “Apa yang kau cari?” Iris menoleh ke arah Max yang berdiri di belakangnya. “Kain,” jawabnya, menepuk nepuk seragamnya yang berdebu. “Aku membutuhkan itu,” “Kain? Kain katun? ” tanya Max sambil berjalan menuju mejanya dan mengeluarkan

  • FIORE   15

    “Berapa lama kau akan menyalakan lilin itu?” Adrian sudah berada di tempat tidurnya, mencari posisi nyaman. “Lima belas menit,” Iris menjawab sambil menyalakan lilin yang ia letakan pada nakas tepat di sebelah tempat tidur. “Silakan mencoba untuk beristirahat, Yang Mulia.” Iris berjalan menuju jendela dan mulai menutupnya dengan rapat. “Apa kau akan segera pergi?” Adrian bertanya. Kedua matanya telah di pejamkan dan telinganya menjadi lebih sensitif ketika menangkap suara-suara yang bermunculan di sekitarnya. “Saya akan tetap disini untuk mematikan lilin tersebut ketika sudah lima belas menit,” jawab Iris. Ia berdiri tidak jauh dari tempat tidur, namun ia juga tidak ingin terlalu dekat. “Apa tidak bisa lebih lama?” Adrian bertanya. Ia tidak ingin Iris segera pergi dari ruangannya. Namun ia juga tidak memiliki alasan lain untuk membua

  • FIORE   16

    Seorang pelayan wanita masuk sambil membawa nampan berisi secangkir minuman panas dan meletakkannya di atas meja. “Silakan, Tuan.” katanya. Nicholas duduk dibalik meja yang penuh dengan tumpukan kertas dokumen.“Terima kasih,” kata Nicholas. “Kau bisa membawa pergi piringnya.” lanjutnya, menunjuk ke piring makanan di dekatnya.Suara ketukan pada jendela di belakang membuatnya menoleh. Nicholas melihat seekor burung hantu berwarna coklat dengan sepucuk surat pada paruhnya. Surat tersebut membuat burung hantu itu terlihat lebih kecil.Nicholas berdecak pelan. “Seharusnya kau mengirimkan surat kepada Raja terlebih dahulu,” katanya seolah ia tahu siapa pengirim surat tersebut. “Bukan aku,”Nicholas mengambil sepucuk suratnya.tangan satunya yang bebas mengambil seekor tikus putih kecil yang berada di dalam sebuah kandang besi kecil di dekat jende

Latest chapter

  • FIORE   55

    Waktu sudah melewati pukul dua belas malam dan Iris melihat ke arah panci yang saat itu sedang merebus pasta. Bagaimana ia bisa melewati jam makan malam? Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia memeriksa rebusan pastanya untuk mengecek apakah sudah siap untuk diolah kembali dengan saus tomat yang memang sudah tersedia di dapur. Dengan banyaknya orang yang butuh makan di seluruh istana tersebut, para pekerja di dapur selalu mempersiapkan berbagai bahan siap masak dalam jumlah banyak, bahkan lebih dari cukup apabila ada orang-orang lain seperti Iris yang membutuhkan makan di luar jam makan.Iris tersenyum puas ketika melihat hasil masakannya sendiri. Ia memang bukan orang yang pintar dalam urusan memasak, namun tidak terlalu buruk juga hingga membuat berbagai kekacauan di dapur. “Terima kasih, ibu karena selalu memaksaku untuk membantu di dapur,” gumamnya, tertawa pelan. “Ternyata karena itu, aku masih dapat memasak untuk diriku di saat seperti ini,” matanya melih

  • FIORE   54

    Kisah-kisah bertema romansa sudah sangat dikenal luas, tentang mencintai dan kehilangan, tentang kerinduan dan kelupaan, umum di masa sekarang seperti tahun-tahun yang lalu, tentang mencintai seseorang begitu dalam, tanpa keinginan tetapi bukan tanpa hasrat, tentang raja dan pejuang, tentang kekasih dan saudara.Tentu saja banyak cerita, sama tragisnya, tentang bagaimana seorang pria yang membunuh kekasihnya karena membuatnya merasakan apa yang dianggap tidak perlu, kekasihnya yang menawarinya sedikit anyelir putih, berlumuran darah, tetapi ia mengangkat tangannya. pedang dan memotong daging, hanya untuk mengikuti beberapa hari kemudian dalam kesedihannya.Adrian duduk di salah satu meja di perpustakaan, satu sikunya bertumpu di atas meja sambil menopang berat kepalanya saat ia duduk dengan malas, sementara tangan lainnya membolak-balik lembaran halaman dari buku fiksi yang ia temukan pada salah satu rak. “Aku tidak paham kenapa ada orang yang menyukai cerita seper

  • FIORE   53

    Max mengerutkan keningnya. “Jadi? Kau akan menolaknya?” tanyanya, kedua tangannya sibuk membereskan apapun yang terlihat berantakan di atas meja. Merapikan tumpukan buku, kertas dan mengembalikan pena ke tempatnya semula. Arah matanya bergantian menatap Iris dan memperhatikan apa yang sedang ia rapikan.“Aku tidak tahu,” jawab Iris. Di saat yang sama, Iris menyadari penampilan Max. ada lingkaran hitam dibawah matanya, samar tapi tetap dapat dilihat. “Max? Kau belum tidur?” tanyanya.“Ya dan kelopak mataku terasa sangat berat sekarang,” Max menjawab, memijat pangkal hidungnya perlahan. “Aku akan beristirahat sekarang, kecuali kalau ada hal lain yang ingin kau katakan?” lanjutnya.Iris dengan cepat menggoyangkan kedua telapak tangannya. “Tidak, tidak ada lagi,” jawabnya dengan cepat.Max dengan cepat berdiri, sambil bertanya lagi. “Apa kau menjadi bimbang?” Ia mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu dan alih-alih memaka

  • FIORE   52

    “Yang Mulia…?” Iris membeku ketika ia melihat Adrian mulai memuntahkan kelopak bunga lagi, napasnya terengah-engah sementara tangannya memegang tenggorokannya, seperti ia akan mencekik lehernya sendiri. Tubuh Iris seolah bergerak sendiri, dan ia mendapati dirinya berada di samping sang pangeran panik sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Kulit pucat Adrian  terlihat sangat kontras dengan warna merah saat darah berceceran di karpet bercampur dengan kelopak bunga berwarna putih yang telah bercampur dengan warna merah.Di saat yang sama, kedua orang tersebut memikirkan hal yang sama— berharap kalau semua itu hanya mimpi.Iris meringis dan menatap Pangeran di hadapannya dengan rasa cemas. “Apakah…selalu seburuk ini? Setiap saat?” tanyanya dengan pelan dan hati-hati. Ia perlu tahu apakah selama ini yang ia lihat hanya sebagian kecil dari apa yang menimpanya.“...Tidak,” Adrian terbatuk lagi, namun kali ini Iris menyadari sepertinya ia b

  • FIORE   51

    “Bisa saja,” Iris menjawab tanpa ragu. “Tapi aku harus kembali ke kamarku dan mengambil beberapa barang dari farmasi terlebih dahulu.”Adrian mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Iris akan menyetujuinya begitu saja. “Aku tidak tahu wanita ini terlalu tulus atau memang terlalu polos…” pikirnya.“Aku akan segera ke ruanganmu setelah aku menyiapkan yang diperlukan,” kata Iris, memberikan salam sebelum ia bergegas pergi. Adrian yang masih menatap punggung Iris yang semakin menjauh darinya, hanya menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka Iris akan langsung mengiyakan perkataannya soal memeriksa dirinya di ruangannya— yang sebenarnya, Adrian mengatakan hal tersebut dengan spontan tanpa memikirkannya sama sekali.“...Terkadang aku tidak paham apa yang ada di dalam pikirannya,” Adrian bergumam pelan, mengusap tengkuknya perlahan sambil berbalik arah un

  • FIORE   50

    Iris mempertanyakan kepada dirinya sendiri— ‘Apa yang sebenarnya  Pangeran Caswell dapatkan hanya dengan mencari tahu apa yang dapat ia lakukan, apa yang seorang penyihir dapat lakukan?’ Ada kemungkinan yang sangat kecill bagi dirinya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, jadi ia hanya menggelengkan kepalanya, mengabaikan hal tersebut.Caswell menatap keluar dengan tatapan datar. Iris mengikuti arah pandangnya dan melihat kumpulan pengawal yang sedang berlatih. Saat itu tengah hari dan matahari yang terik menerpa punggung siapapun yang berada di luar sana. Suara pedang latihan yang terbuat dari kayu mengayun kesana kesini, menahan pukulan demi pukulan, masing-masing jatuh lebih cepat dari yang terakhir. Di saat itu, Iris baru menyadari betapa dekat posisinya dengan area berlatih karena ia dapat mendengar suara dari pedang kayu yang saling beradu tersebut.“Sepertinya aku sudah cukup mengikutimu siang ini,” Caswell berkata tiba-tiba, kedua ka

  • FIORE   49

    Iris memicingkan kedua matanya. Ia tidak berhenti menarik nafas dan menghembuskan perlahan selama beberapa menit. Ia juga sesekali melirik ke belakangnya, berharap kalau orang yang sedang mengikutinya hanyalah sebuah imajinasinya saja— berharap orang di belakangnya akan menghilang setelah beberapa menit atau setelah beberapa kali Iris memejamkan mata dan menarik nafasnya.“Kenapa kau terus-menerus bernapas seperti itu?” Caswell bertanya. Namun, nyatanya realita tidak sesuai dengan harapan. Mereka sedang berjalan berdua di koridor. Iris mencoba berjalan dengan cepat, namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun karena Caswell yang memiliki kaki jenjang dan tentu saja tinggi tubuhnya yang melebihi Iris tidak akan memiliki masalah untuk mensejajarkan langkah mereka.Langkah kaki Iris menjadi lebih pelan, seperti ia ragu untuk berhenti atau berjalan seperti biasa. Ia melirik ke arah Pangeran tersebut. “...Maaf, Yang Mulia…” katanya dengan pelan. “Apa…Apa anda

  • FIORE   48

    “Aku tidak percaya kalau aku akan mendengar berbagai desas desus sepagi ini,” Aiden memejamkan kedua matanya, satu tangannya menyisir rambutnya, menyingkirkan helaian rambut yang selalu menutup dahinya.Iris hanya tertawa pelan. “Tapi apakah yang mereka katakan benar?” tanyanya.“Sebagian benar, namun Adrian sendiri sangat menolak ajuan ayahnya,” kata Aiden. “Ia tidak berhenti mengoceh semenjak pertunangannya yang tidak diinginkan menjadi topik pembicaraan pelayan—” ia berhenti sejenak, seperti sedang berpikir sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “...Sekarang aku tahu kenapa Adrian selalu berusaha kabur dariku,”“Kenapa?” tanya Iris dengan pelan, ia tersenyum samar.“Sama seperti Adrian yang tidak berhenti mengomel, aku juga sering melakukan itu padanya,” Aiden berkata dengan sedikit canggung, mengusap tengkuknya perlahan. Melihat itu, Iris hanya tertawa. Ada sedikit rasa kasihan kepada Aiden, namun di sisi lain, Iris juga

  • FIORE   47

    Dengan udara segar yang mendinginkan pipinya, Iris bersenandung pelan saat ia berjalan ke dapur dari kamarnya. Ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, tapi hari ini ia lebih menikmati jalan-jalan. Pagi ini, sudah ada beberapa pelayan wanita bersama dengan pelayan pria sedang membicarakan berbagai desas desus sebelum memulai kegiatan mereka di ujung dapur.Iris mengatupkan bibir saat menuangkan jus jeruk segar ke dalam gelas kaca. Bau bumbu dan telur orak-arik menguar dari kompor yang berada tepat di belakangnya, sisa kulit jeruk yang masih belum dibuang berserakan di atas papan kayu di konter di depannya. Iris mengambil tempat favoritnya, meja yang menghadap ke halaman rumput yang selalu dipangkas rutin.“Iris…” Iris baru saja duduk sebelum ia mendengar suara Aria yang memanggilnya.

DMCA.com Protection Status