Iris berada di ruang kerja, memasukkan bahan herbal kering ke dalam toples kaca kosong dan menimbang berat dari setiap bahan untuk di jadikan minyak esensial.
“Orang yang seharusnya bertugas mengatur stok dan daftar isi lemari obat tiba-tiba mengundurkan diri,” kata Aria sambil membaca setumpuk kertas di tangannya. Aria adalah senior di farmasi tersebut dan Ia adalah wanita muda yang hanya lebih tua tiga tahun dari Iris.
Iris memiringkan kepalanya sedikit, ia tidak begitu mengerti kenapa Aria mengatakan itu kepadanya. “Bukankah Max yang bertanggung jawab?” tanyanya.
Aria mengalihkan pandangannya dari kertas di tangan dan tersenyum lebar ketika ia bertatap muka dengan Iris. “Iya dan kau akan membantunya juga” katanya dengan santai dan ada kesan tegas dari suaranya.
“...Hah?” Iris tercengang. Tugas itu sama sekali bukan hal yang mudah karena ada banyak sekali barang yang ada di lemari obat dan Iris yakin pasti ada hal-hal asing yang ia tidak ketahui. “Tapi—”
Aria memotong perkataannya. “Aku sudah memberitahu Max” katanya. Di saat yang sama, Max masuk ke dalam ruangan dengan beberapa buku di tangannya. “Ya, kan?” serunya kepada Max.
Max menoleh ke arah Aria, masih menyeimbangkan buku di tangannya sambil berusaha membuka satu lemari dengan tangan lainnya yang bebas. “Iya dan tenang saja, itu bukan hal yang sulit,” katanya.
Aria berjalan ke arah Max dan berkata, “Sebelum itu…” Ia tidak menyelesaikan kalimatnya.
Max menoleh ke Aria dan menatapnya dengan bingung. “Ada apa?” tanyanya.
“Tidak ada seorangpun petugas kebun yang bisa dipercaya,” kata Aria dengan nada kesal. “Tidak ada yang merawat tanaman herbal yang di rumah kaca dan ketika aku menegur, mereka hanya mengira itu adalah tugas orang farmasi,” Aria melanjutkan omelannya di tengah-tengah ruangan, membuat Iris melirik ke sekelilingnya berharap tidak ada orang lain yang tiba-tiba masuk ke dalam dan membuat gosip tidak menyenangkan tentang mereka.
“Tidak tahukah mereka kalau tanaman tersebut—”
Max mencengkram bahu Aria dengan satu tangannya yang bebas, menghentikan omelannya. “Lebih baik kau lanjutkan apa yang harus kau lakukan daripada mengomel,” katanya dengan pelan. Disaat itu, untuk kesekian kalinya Iris mempertanyakan siapa yang superior di antara mereka.
“Oh, benar juga.” kata Aria. “Kalau begitu, temui aku di rumah kaca jika kau sudah mengembalikan buku itu,” lanjutnya, mengambil beberapa langkah menjauh.
“Baiklah…” kata Max pelan. “Cobalah untuk tidak mencari keributan dengan salah satu dari petugas kebun.” lanjutnya dengan sedikit memohon. Iris benar-benar berharap Aria mengerti itu karena Iris sama sekali tidak ingin menjadi salah satu bahan gosip karenanya.
Aria berkedip beberapa kali seperti ia sedang memproses setiap kata yang keluar dari mulut Max.
“Oh, jangan khawatir.” Aria tersenyum. Senyumannya terlihat ramah dan tulus. Max dan Iris baru saja menarik sedikit nafas lega, sebelum perkataan Aria selanjutnya membuat berubah pikiran.
“Aku akan melakukannya jika mereka memulai terlebih dahulu.” Aria melipat lengannya di depan dada, berjalan menuju pintu. “Sampai jumpa nanti!” Wanita muda tersebut melambaikan tangannya ke arah Iris, sebelum ia menghilang dari balik koridor.
Max menghela nafasnya, pasrah. “Aku… memiliki hak untuk khawatir, benar bukan…?” Ia bergumam kepada dirinya sendiri.
“Sepertinya ia adalah orang yang sangat… sulit,” kata Iris dengan prihatin.
Max menggelengkan kepalanya dan menoleh untuk menatap Iris, ia berkata, “Oh, kau akan lebih merasakannya setelah beberapa minggu atau mungkin lebih cepat.” Ia meraih beberapa buku yang berbeda dan memberikannya kepada Iris. “Tolong kembalikan ini ke perpustakaan dan temui kami di rumah kaca setelah itu,”
“Eh?” Iris menerima buku-buku tersebut dengan kedua tangannya. “Baiklah.” katanya. Max langsung pergi menyusul Aria.
Iris keluar dari farmasi dan berjalan menelusuri koridor yang panjang.
Cleon menyadari buku-buku yang Iris pegang dan alisnya saling bertaut melihatnya. “Apa kau mulai terbiasa di farmasi istana?” Tanyanya.
“Ya,” kata Iris. “Sepertinya begitu,”
Cleon menyunggingkan senyum lebar, menunjukkan deretan giginya. “Dari semua orang disini, hanya orang-orang farmasi saja yang membawa buku-buku tebal tentang tanaman.” katanya.
Sebuah ide muncul di kepala Iris. “Kau mau baca? Aku bisa meminjamkannya kepadamu.” katanya.
Cleon menatap Iris dengan kedua alis saling bertaut, tidak percaya apa yang ia dengar. “Tidak, terima kasih.” katanya tanpa pikir panjang. “Membaca membuatku mengantuk.” lanjutnya.
Iris berkedip beberapa kali. “Baiklah kalau begitu,” katanya. “Permisi, aku harus pergi.” Iris berjalan cepat dan mulai melangkah menjauh dari Cleon.
Awalnya hanya terdengar suara langkah kakinya, namun beberapa saat kemudian, suara langkah kaki dari orang lain terdengar— saling beradu, bergema di koridor yang panjang. Iris menyadari bahwa Cleon mengikutinya, namun ia tidak mengatakan apa-apa sampai Iris berhenti melangkah dan Cleon pun ikut berhenti.
“Jadi,“ katanya tanpa melihat ke belakang. ”Apakah ada hal yang ingin kau katakan atau kau hanya akan mengikutiku ke mana-mana?“ Iris berbalik menghadapnya, Cleon hanya berdiri di belakangnya dengan wajah datar.
Iris menghela nafasnya. ”Apa ada yang kau perlukan?“ tanyanya dengan pelan.
Cleon terlihat terkejut dengan pertanyaan tersebut. Kedua matanya melihat ke segala arah seperti mencari alasan yang tepat. Iris menyadari hal sepele seperti itu dan menaikkan satu alisnya. Cleon menggelengkan kepalanya dan berkata, “Ayo, aku antar kau ke perpustakaan.”
Iris menaikkan satu alisnya. “Tiba-tiba?” tanyanya. “Kau tidak menawarkanku bantuan tadi,”
Cleon tertawa pelan dengan canggung, mengusap tengkuk lehernya. “Aku hendak kesana juga.” katanya. “Aku berani bertaruh kalau kau tidak mengingat lokasinya ada dimana dan akan mengandalkan instingmu saja,”
“...Terserah kau saja,” kata Iris dengan pelan.
Cleon membimbingnya melalui satu set pintu kaca yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri tadi, dan ia menunjuk ke atas ketika mereka berbelok ke koridor terbuka yang mengarah ke perpustakaan.
Iris melihat dua patung di taman. Patung gargoyle yang terbuat dari batu berwarna hitam, kedua sayap dalam posisi melebar— siap untuk terbang, bertengger di masing-masing tempatnya, mulutnya terbuka lebar seolah kedua patung tersebut sedang meraung tanpa suara.
“Sungguh mengerikan,” bisik Iris.
“Kau tahu? Ketika aku masih kecil, aku bahkan tidak mau mendekatinya," Cleon mengakui.
Iris menoleh ke arahnya. “Sejak kecil? Sejak kapan kau tinggal disini?” tanyanya.
“Ayahku juga seorang pengawal di istana. Bahkan ayahku telah menjadi seorang kapten.” kata Cleon. “Jadi aku memang banyak menghabiskan waktu disini.”
Iris mengangguk dan melihat dua patung di hadapannya. “Kau akan melihat sesuatu seperti itu di depan gerbang utama untuk memberikan kesan seram terhadap penyusup— bukan di dalam istana,” katanya. “Sudah berapa lama patung ini disini?"
Cleon mengelus dagunya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang ia tahu. ”Seingatku, ayahku bercerita bahwa Raja membangunnya di tahun yang sama dengan kelahiran Pangeran Adrian.“
Iris harus bertanya kepada seseorang yang tidak asing dengan seluruh tempat ini. Dan saat ini, Cleon adalah satu-satunya pilihan yang aman. Kesan pertamanya terhadap Cleon, ia terlihat orang yang lugu untuk seseorang seumurnya dan Iris berharap ia akan memberikan sedikit jawaban yang ia cari. ”Raja yang sekarang?“ tanya Iris dengan pelan.
Cleon mengangguk. ”Tentu saja.“ katanya. ”Memangnya ada berapa banyak Raja kerajaan ini yang memiliki seorang anak bernama Adrian yang lahir di istana ini?“
Iris mengedikkan bahunya. ”Mengapa ia memasang patung yang begitu menyeramkan?“ tanya Iris lagi.
”Kenapa kau bertanya padaku? Tentu saja aku tidak tahu.“ kata Cleon. ”Dan kau terlalu banyak bertanya,“ lanjutnya.
Itu semua hanya tebak-tebakan. Iris masih tidak tahu apa-apa dan tidak banyak yang ia kenal untuk bertanya. Siapa pun di sini yang mungkin punya jawaban adalah orang-orang asing baginya. Iris tidak mempercayai mereka. Setidaknya untuk saat ini, belum.
Iris memeriksa patung tersebut lebih lama. Jari gargoyle tersebut tebal dan cakar menunjuk ke arahnya. Iris berani bersumpah bahwa rahangnya telah melebar. Iris tidak ingin berlama-lama menatap patung menyeramkan tersebut. Tangannya membuka pintu perpustakaan dan melangkah masuk.
Ruangan itu luas dan berlangit-langit tinggi. Dinding-dindingnya berupa jendela dari lantai ke plafon, menyuguhkan pemandangan bangunan-bangunan tinggi dan perkotaan di kejauhan. Semuanya dilapisi oleh batu marmer yang berwarna abu-abu dan biru, ada banyak pilar-pilar menjulang tinggi yang diperkirakan belasan meter tingginya, di atasnya juga membentuk setengah lingkaran seperti kubah, dihiasi dengan motif bintang dengan delapan sudut. Lantainya dari batu berwarna senada.
Dindingnya pun tidak polos. Ada banyak bingkai foto dengan berbagai ukuran dan berbagai waktu, lukisan dan berbagai macam hal tergantung di sana. Berbagai patung-patung dan juga vas-vas unik juga terpajang di atas etalase yang terbuat dari batu. Di sisi kiri dan kanan, ada puluhan rak buku yang berderet dengan rapi. Hanya dengan melihat banyaknya rak buku, dapat diasumsikan bahwa kemungkinan ada ratusan atau bahkan ribuan buku-buku disini.
“Wow,” seru Cleon dengan takjub. Ia berdiri setelah mengambil beberapa langkah masuk ke dalam, kedua matanya membulat karena terkejut bahwa betapa besarnya perpustakaan ini.
Iris menoleh ke arahnya. “Aku kira kau sudah pergi,”
Cleon terkekeh pelan. “Aku ingin tahu seperti apa perpustakaan ini,”
Iris berkedip berkali-kali. “Kau sudah lama disini dan baru pertama kali melihat perpustakaan?” tanyanya dengan heran.
Cleon mengedikkan bahunya. “Aku sudah bilang tadi kalau membaca membuatku mengantuk,” katanya. “Jadi, aku tidak pernah masuk ke sini, bahkan untuk sekedar mengintip pun tidak,”
“Sama sekali?”
“Ya.” Cleon menjawabnya dengan nada yang terdengar bangga.
“Baiklah kalau begitu…” Iris tidak tahu harus mengatakan apa.
“Kau dapat aku tinggal kan? seharusnya kau tidak akan hilang di dalam perpustakaan“ Cleon masih melihat sekelilingnya, masih terlihat takjub dengan luasnya ruangan tersebut.
“Iya, terima kasih…?” kata Iris dengan tidak yakin.
“Sama-sama.” jawab Cleon dengan senyuman dan pergi meninggalkan Iris sendirian.
Iris melihat Cleon pergi hingga pintu perpustakaan tertutup rapat. Ia menoleh, menatap sekelilingnya lagi untuk mencari keberadaan seseorang. “Permisi,” serunya. Namun tidak ada jawaban dan Iris pun tidak melihat ada siapapun.
“Apa tidak ada petugas disini?” Iris bergumam dengan heran.
Ia pun berjalan mengeliling belasan rak buku yang lebar dan penuh, mencoba mencari rak yang tepat untuk meletakan kembali buku yang ia pegang. Tiba-tiba ia merasakan bulu kuduknya meremang. Tanpa aba-aba, ia langsung membalikkan tubuhnya, kedua matanya mencari sesuatu yang dirinya sendiri pun tidak tahu apa. Namun, Iris dapat merasakan seperti ada yang sedang mengawasinya.
Kedua alisnya saling bertaut dan jantungnya berdegup kencang. Iris berusaha tenang hingga ia selesai mengembalikan buku. Ia juga berusaha menyakinkan dirinya bahwa yang ia rasakan hanyalah perasaannya saja. Tanpa membuang waktu lagi, ia langsung pergi meninggalkan ruangan tersebut.
• • •
“Apa ada sesuatu yang terjadi?” Aria bertanya ketika Iris baru saja masuk ke dalam rumah kaca.“Eh?” Iris masih merasakan degup jantungnya yang berdetak cepat, bukan karena ia gugup akan pekerjaannya, melainkan ia masih ada rasa takut yang tertinggal akibat hal yang ia alami di perpustakaan.Aria berjalan mendekat agar ia dapat melihat raut wajah Iris dengan jelas. “Kau terlihat pucat...” katanya.Iris dapat merasakan bahwa Aria khawatir dengannya. “Tidak, tidak ada apa-apa.” katanya.“Benarkah?” Aria tidak yakin dengan jawabannya.Iris mengangguk. “Mungkin aku hanya sedikit gugup,” Iris berusaha menyakinkannya.“Baiklah kalau begitu,” kata Aria pada akhirnya.Iris tidak dapat menceritakannya karena dua alasan. Pertama, ia masih belum mengenal Aria dan jug
“...is?” “Iris?” Iris menoleh ke belakang— ke arah Max. Suara Max berhasil menyadarkan Iris dari lamunannya. “Eh? Apa?” tanyanya. Max menaikkan satu alisnya. Ia ingin mengetahui apa yang sedang gadis tersebut pikirkan hingga ia melamun di tengah hari, namun ia mengurungkan niatnya. “Apa yang kau temukan?” tanyanya. Mata Iris melihat kembali ke rak di hadapannya yang penuh dengan deretan toples kaca. “Selain beberapa toples kosong dan tumpukan debu, tidak ada.” Iris melambaikan tangannya di depan wajah, berusaha menyingkirkan debu yang berterbangan. Max mengangguk dan menulis sesuatu di buku. “Aku tidak pernah menyadari betapa banyaknya semua bahan yang ada disini hingga hari ini,” Iris berkata tiba-tiba. Tangannya sibuk mengeluarkan setiap toples kaca yang berada di paling bawah dan memeriksa isinya satu per sa
Iris berkedip beberapa kali, menatap Max dan Adrian bergantian sementara otaknya masih membutuhkan waktu untuk memproses apa yang baru saja ia dengar. “Kau memanggilnya dengan nama?” pikirnya ketika ia melihat Max.Tanpa banyak berbicara, Iris membereskan peralatan yang ia gunakan dengan cepat. Jarak mereka dengan Iris tidak terlalu jauh, namun ia tidak ingin mendengar apapun yang sedang mereka bicarakan.“Kemana kau?” Adrian terduduk di sisi tempat tidur, sementara Iris hanya dapat melihat punggung Max yang berdiri di hadapan Adrian. Max terlihat meraih lengan Adrian yang lengan pakaiannya telah dilipat hingga siku.“Rumah kaca, perpustakaan,” Max menjawab sekenanya. “Apa yang kau lakukan disini?”Di saat yang sama, Iris baru selesai merapikan barang yang baru saja ia gunakan. Ketika ia menoleh, gadis tersebut baru saja menyadari bahwa wajah Pang
Iris menutup pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya masih memproses apa yang baru saja ia lihat. “Apakah aku salah lihat?” gumamnya.Ingatannya tentang apa yang telah Iris lihat kembali bermunculan di dalam benaknya, seperti potongan-potongan gambar yang muncul satu per satu. Iris menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mengerang frustasi. “Ok, Iris.” gumamnya kepada dirinya sendiri, kedua tangannya menepuk pipinya pelan. “Lupakan apa yang baru saja kau lihat! Lupakan!”Gadis tersebut tidak memiliki alasan spefisik kenapa ia menghindari Pangeran Adrian, selain ia hanya ingin hidup tanpa mendapatkan perhatian lebih dari orang sekitarnya karena Ia tidak akan pernah dapat menebak apa yang orang lain pikirkan atau bicarakan di belakangnya. Iris pun memilih untuk segera tidur tanpa memakan waktu lebih lama lagi untuk memikirkan persoalan vampire.•••Pagi itu,
Untuk kesekian kalinya, Adrian terbangun dari istirahat siangnya dengan merasakan jari-jari tangan kanannya mati rasa dan ketika Adrian menulis, jari-jarinya sedikit lebih lambat dari biasanya untuk menulis beberapa kalimat pendek. “Haa...” Adrian menghembuskan nafas perlahan. “Awas kau Aiden...” Ingatannya kembali saat Aiden menahannya dan ia harus menulis unttuk waktu yang sangat lama. Satu tangannya meraih ke dahinya dan ia merasakan suhu tubuhnya lebih hangat dari biasanya. “Orang-orang mengatakan bahwa vampire adalah mahkluk berdarah dingin...” gumamnya. “Dan aku? Terlalu sering demam,” Sementara di bulan lainnya, ia dapat merasakan suhu tubuhnya lebih rendah daripada orang lain. Hal itu membuat Adrian tidak jarang mempertanyakan apa yang tubuhnya sendiri in
Aiden menatap meja kerja di hadapannya dengan perasaan campur aduk. Beberapa menit yang lalu, ia baru saja membayangkan raut wajah Pangeran Adrian yang kesal ketika melihatnya masuk.Namun kenyataannya adalah kursi yang seharusnya diduduki oleh Pangeran, kosong. Aiden masuk ke ruang kerja yang sama sekali tidak ada orang. Aiden menghela nafas frustasi, “Kemana Adrian?” gumamnya.Di saat yang sama, pintu di belakangnya terbuka. Aiden berbalik dan melihat Cleon— pengawal yang ia perintahkan untuk mengawasi Adrian. Cleon belum sempat mengatakan apapun, Aiden sudah membuka mulutnya terlebih dahulu. “Mana Pangeran?”“Beliau masih di kamarnya dan ia bilang kalau kondisinya sedang tidak baik.” kata Cleon.“Hah?” Aiden tidak dapat langsung percaya dengan pernyataan tersebut.Cleon menganggukkan kepalanya dengan satu gerakan tegas&mdas
Setelah beberapa saat, akhirnya tiba dan mereka berdiri di depan teras toko. “Jadi, ini tempatnya?” Iris bertanya, dahinya mengkerut, menatap bangunan di depannya. “Menurut kertas ini, ya.” Aria melihat selembar kertas di tangannya lalu mendekati pintu masuk. “Ingatkan aku, darimana kau mendapatkan itu?” tanya Iris. “Beberapa hari yang lalu, ada yang menempel ini di pohon,” jawab Aria dengan santai. “Dan kau mengambilnya...?” tanya Iris lagi. Aria hanya menyeringai ke arahnya. “Tanpa memikirkan kemungkinan terburuknya?!” Aria mengangguk sekali lagi. Bangunan di hadapannya adalah bangunan yang terlihat sangat tua dan berada di gang sempit. Bangunan dengan empat lantai, masing-masing lantai terdapat dua jendela. Dua jendela etalase di paling bawah dan enam jendela biasa di lantai dua hingga empat. Jendela etalase pada sisi kiri dan kanan, menghimpit sebuah pintu kac
Aria menoleh ke arah pintu dan melihat Iris masuk dengan rait wajah yang berbeda dari sebelumnya. “Kau kenapa?” tanyanya. Iris menghampiri Aria dan langsung duduk di kursi dan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Ia pun mulai menceritakan apa yang ia bicarakan dengan Max. “Hmm, memang tidak biasanya...” Aria bergumam. “Memangnya sebelum ini selalu Max?” Tiba-tiba Iris bertanya— terdorong oleh rasa penasarannya. “Sepertinya iya...” kata Aria. Ia terdengar tidak yakin. “Sepertinya?” Iris mengulang apa yang ia dengar. Aria mencoba menggali ingatannya, mencoba mengumpulkan apa saja yang ia ingat tentang Max. “Ia bahkan sudah disini di hari pertama aku memulai karir,” katanya. “Bahkan aku pernah mendengar kalau Max adalah salah satu teman dekat Pangeran sejak kecil.” Iris menaikkan alisnya. Itu merupakan suatu info yang baru un
Waktu sudah melewati pukul dua belas malam dan Iris melihat ke arah panci yang saat itu sedang merebus pasta. Bagaimana ia bisa melewati jam makan malam? Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia memeriksa rebusan pastanya untuk mengecek apakah sudah siap untuk diolah kembali dengan saus tomat yang memang sudah tersedia di dapur. Dengan banyaknya orang yang butuh makan di seluruh istana tersebut, para pekerja di dapur selalu mempersiapkan berbagai bahan siap masak dalam jumlah banyak, bahkan lebih dari cukup apabila ada orang-orang lain seperti Iris yang membutuhkan makan di luar jam makan.Iris tersenyum puas ketika melihat hasil masakannya sendiri. Ia memang bukan orang yang pintar dalam urusan memasak, namun tidak terlalu buruk juga hingga membuat berbagai kekacauan di dapur. “Terima kasih, ibu karena selalu memaksaku untuk membantu di dapur,” gumamnya, tertawa pelan. “Ternyata karena itu, aku masih dapat memasak untuk diriku di saat seperti ini,” matanya melih
Kisah-kisah bertema romansa sudah sangat dikenal luas, tentang mencintai dan kehilangan, tentang kerinduan dan kelupaan, umum di masa sekarang seperti tahun-tahun yang lalu, tentang mencintai seseorang begitu dalam, tanpa keinginan tetapi bukan tanpa hasrat, tentang raja dan pejuang, tentang kekasih dan saudara.Tentu saja banyak cerita, sama tragisnya, tentang bagaimana seorang pria yang membunuh kekasihnya karena membuatnya merasakan apa yang dianggap tidak perlu, kekasihnya yang menawarinya sedikit anyelir putih, berlumuran darah, tetapi ia mengangkat tangannya. pedang dan memotong daging, hanya untuk mengikuti beberapa hari kemudian dalam kesedihannya.Adrian duduk di salah satu meja di perpustakaan, satu sikunya bertumpu di atas meja sambil menopang berat kepalanya saat ia duduk dengan malas, sementara tangan lainnya membolak-balik lembaran halaman dari buku fiksi yang ia temukan pada salah satu rak. “Aku tidak paham kenapa ada orang yang menyukai cerita seper
Max mengerutkan keningnya. “Jadi? Kau akan menolaknya?” tanyanya, kedua tangannya sibuk membereskan apapun yang terlihat berantakan di atas meja. Merapikan tumpukan buku, kertas dan mengembalikan pena ke tempatnya semula. Arah matanya bergantian menatap Iris dan memperhatikan apa yang sedang ia rapikan.“Aku tidak tahu,” jawab Iris. Di saat yang sama, Iris menyadari penampilan Max. ada lingkaran hitam dibawah matanya, samar tapi tetap dapat dilihat. “Max? Kau belum tidur?” tanyanya.“Ya dan kelopak mataku terasa sangat berat sekarang,” Max menjawab, memijat pangkal hidungnya perlahan. “Aku akan beristirahat sekarang, kecuali kalau ada hal lain yang ingin kau katakan?” lanjutnya.Iris dengan cepat menggoyangkan kedua telapak tangannya. “Tidak, tidak ada lagi,” jawabnya dengan cepat.Max dengan cepat berdiri, sambil bertanya lagi. “Apa kau menjadi bimbang?” Ia mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu dan alih-alih memaka
“Yang Mulia…?” Iris membeku ketika ia melihat Adrian mulai memuntahkan kelopak bunga lagi, napasnya terengah-engah sementara tangannya memegang tenggorokannya, seperti ia akan mencekik lehernya sendiri. Tubuh Iris seolah bergerak sendiri, dan ia mendapati dirinya berada di samping sang pangeran panik sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Kulit pucat Adrian terlihat sangat kontras dengan warna merah saat darah berceceran di karpet bercampur dengan kelopak bunga berwarna putih yang telah bercampur dengan warna merah.Di saat yang sama, kedua orang tersebut memikirkan hal yang sama— berharap kalau semua itu hanya mimpi.Iris meringis dan menatap Pangeran di hadapannya dengan rasa cemas. “Apakah…selalu seburuk ini? Setiap saat?” tanyanya dengan pelan dan hati-hati. Ia perlu tahu apakah selama ini yang ia lihat hanya sebagian kecil dari apa yang menimpanya.“...Tidak,” Adrian terbatuk lagi, namun kali ini Iris menyadari sepertinya ia b
“Bisa saja,” Iris menjawab tanpa ragu. “Tapi aku harus kembali ke kamarku dan mengambil beberapa barang dari farmasi terlebih dahulu.”Adrian mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Iris akan menyetujuinya begitu saja. “Aku tidak tahu wanita ini terlalu tulus atau memang terlalu polos…” pikirnya.“Aku akan segera ke ruanganmu setelah aku menyiapkan yang diperlukan,” kata Iris, memberikan salam sebelum ia bergegas pergi. Adrian yang masih menatap punggung Iris yang semakin menjauh darinya, hanya menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka Iris akan langsung mengiyakan perkataannya soal memeriksa dirinya di ruangannya— yang sebenarnya, Adrian mengatakan hal tersebut dengan spontan tanpa memikirkannya sama sekali.“...Terkadang aku tidak paham apa yang ada di dalam pikirannya,” Adrian bergumam pelan, mengusap tengkuknya perlahan sambil berbalik arah un
Iris mempertanyakan kepada dirinya sendiri— ‘Apa yang sebenarnya Pangeran Caswell dapatkan hanya dengan mencari tahu apa yang dapat ia lakukan, apa yang seorang penyihir dapat lakukan?’ Ada kemungkinan yang sangat kecill bagi dirinya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, jadi ia hanya menggelengkan kepalanya, mengabaikan hal tersebut.Caswell menatap keluar dengan tatapan datar. Iris mengikuti arah pandangnya dan melihat kumpulan pengawal yang sedang berlatih. Saat itu tengah hari dan matahari yang terik menerpa punggung siapapun yang berada di luar sana. Suara pedang latihan yang terbuat dari kayu mengayun kesana kesini, menahan pukulan demi pukulan, masing-masing jatuh lebih cepat dari yang terakhir. Di saat itu, Iris baru menyadari betapa dekat posisinya dengan area berlatih karena ia dapat mendengar suara dari pedang kayu yang saling beradu tersebut.“Sepertinya aku sudah cukup mengikutimu siang ini,” Caswell berkata tiba-tiba, kedua ka
Iris memicingkan kedua matanya. Ia tidak berhenti menarik nafas dan menghembuskan perlahan selama beberapa menit. Ia juga sesekali melirik ke belakangnya, berharap kalau orang yang sedang mengikutinya hanyalah sebuah imajinasinya saja— berharap orang di belakangnya akan menghilang setelah beberapa menit atau setelah beberapa kali Iris memejamkan mata dan menarik nafasnya.“Kenapa kau terus-menerus bernapas seperti itu?” Caswell bertanya. Namun, nyatanya realita tidak sesuai dengan harapan. Mereka sedang berjalan berdua di koridor. Iris mencoba berjalan dengan cepat, namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun karena Caswell yang memiliki kaki jenjang dan tentu saja tinggi tubuhnya yang melebihi Iris tidak akan memiliki masalah untuk mensejajarkan langkah mereka.Langkah kaki Iris menjadi lebih pelan, seperti ia ragu untuk berhenti atau berjalan seperti biasa. Ia melirik ke arah Pangeran tersebut. “...Maaf, Yang Mulia…” katanya dengan pelan. “Apa…Apa anda
“Aku tidak percaya kalau aku akan mendengar berbagai desas desus sepagi ini,” Aiden memejamkan kedua matanya, satu tangannya menyisir rambutnya, menyingkirkan helaian rambut yang selalu menutup dahinya.Iris hanya tertawa pelan. “Tapi apakah yang mereka katakan benar?” tanyanya.“Sebagian benar, namun Adrian sendiri sangat menolak ajuan ayahnya,” kata Aiden. “Ia tidak berhenti mengoceh semenjak pertunangannya yang tidak diinginkan menjadi topik pembicaraan pelayan—” ia berhenti sejenak, seperti sedang berpikir sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “...Sekarang aku tahu kenapa Adrian selalu berusaha kabur dariku,”“Kenapa?” tanya Iris dengan pelan, ia tersenyum samar.“Sama seperti Adrian yang tidak berhenti mengomel, aku juga sering melakukan itu padanya,” Aiden berkata dengan sedikit canggung, mengusap tengkuknya perlahan. Melihat itu, Iris hanya tertawa. Ada sedikit rasa kasihan kepada Aiden, namun di sisi lain, Iris juga
Dengan udara segar yang mendinginkan pipinya, Iris bersenandung pelan saat ia berjalan ke dapur dari kamarnya. Ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, tapi hari ini ia lebih menikmati jalan-jalan. Pagi ini, sudah ada beberapa pelayan wanita bersama dengan pelayan pria sedang membicarakan berbagai desas desus sebelum memulai kegiatan mereka di ujung dapur.Iris mengatupkan bibir saat menuangkan jus jeruk segar ke dalam gelas kaca. Bau bumbu dan telur orak-arik menguar dari kompor yang berada tepat di belakangnya, sisa kulit jeruk yang masih belum dibuang berserakan di atas papan kayu di konter di depannya. Iris mengambil tempat favoritnya, meja yang menghadap ke halaman rumput yang selalu dipangkas rutin.“Iris…” Iris baru saja duduk sebelum ia mendengar suara Aria yang memanggilnya.