Iris menjelaskan alasan mengapa ia berada di sana kepada pengawal tersebut. Hal tersebut cukup memakan waktu lebih lama dari yang ia perkirakan. Karena pengawal tersebut meminta bukti surat dan harus menunggu konfirmasi dari orang farmasi terlebih dahulu sebelum memperbolehkan Iris untuk masuk. Salah satu dari mereka memutuskan untuk mengantarkan Iris masuk ke dalam area istana.
Pengawal tersebut adalah seorang pemuda yang Iris tebak usianya sekitar dua puluh lima tahun— empat tahun lebih tua dari dirinya. Ia bertubuh ramping tapi kekar. Tidak hanya rambutnya, matanya pun berwarna hitam. Kulitnya menjadi terlihat lebih pucat akibat seragamnya.
Seragam berlengan panjang berwarna hitam, berleher tinggi dengan belasan kancing di sisi kiri, celana panjang hitam dengan lencana emas yang tertera simbol kerajaan serta sepatu boots berwarna hitam dengan sebuah garis berwarna putih pada kedua sisinya.
“Ayo,” katanya. Suaranya terdengar lebih dalam dari apa yang Iris kira. Pengawal tersebut membawakan koper yang Iris bawa.
Melewati gerbang utama yang tinggi dan dengan dinding batu yang terlihat sangat kokoh. Pengawal yang lainnya membuka pintu dan bergeser untuk berdiri menempel pada dinding, mempersilakan Iris untuk masuk terlebih dulu.
Iris berlari kecil agar ia tidak tertinggal di belakang dengan pengawal muda tersebut dan ia meliriknya, memperhatikan penampilannya.
Pemuda itu menyadari tatapan penuh penilaian dari gadis di sebelahnya dan ia berdeham. “Kau tidak akan menemukan apapun tentang diriku hanya dengan memperhatikan seluruh penampilanku, nona.”
Iris merasa wajahnya memanas. Gadis itu berdeham, mencoba mengabaikan rasa malunya. “Siapa namamu?” Iris bertanya kepadanya.
Pemuda itu menatapnya dengan sedikit terkejut, lalu berhasil menutupinya lagi. “Tidak seorang pun yang datang kesini pernah bertanya namaku. Semuanya mengucapkan terima kasih atau hanya sekedar memaki-maki, lalu pergi,” katanya.
Iris mengedikkan bahunya dengan santai. “Aku perlu tahu namamu agar aku tahu harus memanggilmu siapa,” katanya “Lagipula aku akan tinggal di sini, jadi apa salahnya kita saling berkenalan? Dan kau sudah tahu namaku.”
Pemuda itu tersenyum. “Cleon,” katanya. “Cleon Alistair.”
“Aku Iris.” kata Iris.
Cleon tersenyum. “Aku tahu. Ada namamu tertulis di amplop tadi.” katanya. Suasana di antara mereka kembali hening. Lingkungan istana yang benar-benar baru bagi Iris lebih menarik daripada memulai percakapan dengan seseorang yang baru saja ia kenal.
Melihat sekelilingnya, Iris melihat sebuah bangunan bertingkat yang besar dan megah dengan dinding bercat abu-abu menjulang tinggi ke langit, mengalahkan tinggi pohon-pohon yang mengelilinginya bagai pagar hidup. Bangunan itu muncul seluruhnya sekaligus, menjulang tinggi di depan matanya. Cleon berjalan di depannya, memimpin ke arah mana ia harus berjalan. Iris melihat bangunan itu dengan wajah tercengang.
Koridor dengan pilar-pilar yang masing-masing berjarak sekitar empat hingga lima meter. Tanaman sulur dan lampu-lampu kecil mengitari pada pilar-pilar tersebut. Lantai marmer berwarna putih sepanjang koridor. Pintu besar dengan bingkai pintu yang melengkung di atas, terpasang di antara jendela-jendela yang tinggi.
Setelah beberapa saat, Iris mulai merasakan bahwa selama ini mereka berjalan memutar dan masuk ke area belakang istana.
“Tentu saja. Aku tidak akan pernah keluar masuk istana melewati gerbang utama istana. Itu hanya digunakan untuk orang-orang berjabatan tinggi,” Pikir Iris.
Tiba-tiba Iris melihat seseorang berdiri di tengah-tengah koridor. Seorang wanita berambut coklat yang disanggul dengan sangat rapi, dengan kemeja hitam berlengan panjang serta rok hitam dengan celemek putih di depannya. Seorang pelayan.
“Ini orangnya?” tanya pelayan tersebut kepada Cleon. Iris tersenyum ketika ia melihat pelayan tersebut tersenyum ke arahnya. Cleon mengangguk dan meletakan koper yang ia bawa.
“Iris, ia akan mengantarkanmu ke kamar yang telah disiapkan.” kata Cleon.
Wanita ini terlihat sangat cantik, kulitnya tidak terlalu putih juga tidak terlalu gelap, tinggi badannya kurang lebih sama seperti Iris sendiri, dan postur tubuhnya tidak terlalu kurus ataupun gemuk. Beberapa helai rambutnya yang gelap jatuh tepat di bawah dagunya. Satu-satunya hal yang luar biasa tentangnya adalah warna matanya. Warna kuning emas, membuat wajahnya menjadi sangat terlihat menawan.
Wanita itu membungkuk kepadanya, memberi hormat. “Aku akan mengambil alih dari sini.” kata pelayan wanita tersebut. Cleon mengangguk sekali dan pelayan tersebut mengambil koper Iris.
“Sampai jumpa nanti,” kata Cleon kepada Iris.
Iris belum sempat membalas perkataannya, namun Cleon sudah berbalik arah dan pergi meninggalkannya berdua dengan pelayan yang tidak ia kenal.
Pelayan tersebut menunggu Iris saat ia hanya berdiri diam, menatap punggung Cleon yang semakin menjauh sebelum akhirnya menghilang di balik dinding yang mengelilinginya. “Bisa kita pergi sekarang?” tanyanya. “Aku akan menunjukkan kamarmu. Kau dapat bertemu lagi dengannya nanti.” tambahnya.
“Eh— Iya,” kata Iris. Rasa malunya muncul, panasnya merayap dari leher dan mencapai pipinya. Di dalam benaknya, Iris berharap agar ia tidak mempermalukan dirinya sendiri di depan Raja dan orang lainnya. Itu bisa berakibat lebih buruk, sangat buruk terhadap penilaian orang-orang terhadapnya di hari pertama dan terutama apabila ruang tahta dipenuhi orang penting lainnya.
Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya mengangguk dan mulai berjalan mengikutinya. Iris mempersiapkan diri untuk semua yang akan datang, dan membuat dirinya menjadi lebih berani. Sebenarnya, Iris tidak nyaman karena ia harus meninggalkan rumahnya— zona amannya dan masuk ke istana. Iris tahu beberapa hal dasar yang ia ingat apabila bertemu dengan keluarga kerajaan: Punggung tegak. Tidak berbicara apabila tidak diminta. Jangan memperlihatkan sisi lemah kepada mereka.
Iris diantar oleh pelayan wanita itu menuju ruangan yang akan ia pakai selama di sana. Ia tidak memperhatikan seluruh koridor ini dengan baik selama berjalan. Ia merasa sedang berjalan berputar-putar di tempat yang sama. Setiap koridor hampir sama. Namun setelah beberapa saat, ia mulai menyadari bahwa koridor kali ini tampak lebih besar dari sebelumnya.
Setiap gerakan dari pelayan ini sangat memukau, walaupun yang ia lakukan hanyalah sesuatu yang sepele. Dari caranya berjalan, tubuhnya yang tegak, pandangannya lurus ke depan. Apalagi yang diharapkan dari seseorang yang telah lama melayani kerajaan? Semuanya telah dipoles oleh etika kerajaan. Cara berbicara, berjalan bahkan cara untuk tersenyum.
Selama berjalan di koridor, ada beberapa orang-orang yang terlihat seperti memiliki jabatan tinggi. Hal tersebut mudah untuk ditebak hanya dari cara mereka berpakaian.
Kebanyakan orang-orang yang mereka lewati kelihatannya masih dapat dibilang cukup muda, mungkin sekitar dua puluh tahun lebih. Meski ada beberapa yang sudah cukup tua untuk disebut orangtua atau bahkan kakek dan nenek. Namun, Iris dapat merasakan tatapan dari mereka. Iris membenci cara mereka yang angkuh, memandang rendah orang-orang sepertinya. Bahkan hingga saat ini, ia sendiri masih tidak dapat percaya bahwa akan datang harinya dimana ia akan bekerja di bawah perintah Raja.
Iris dibawa melewati pintu yang berada di belakang bangunan. Mereka menaiki tangga yang terlihat seperti tidak ada akhir, melewati belasan pintu dan Iris hanya dapat bertanya-tanya kepada dirinya sendiri seberapa jauh mereka harus berjalan. Saat itu juga, pelayan di depannya tiba-tiba berhenti berjalan dan Iris pun ikut berhenti.
“Ini adalah kamar yang akan kau pakai,” kata pelayan tersebut. Wanita muda itu membuka pintu pertama di sebelah kanan dan menunjukan sebuah kamar. Pelayan tersebut masuk ke dalam dan Iris mengikutinya dari belakang.
Hal pertama yang Iris lihat adalah jendela tinggi tepat berhadapan dengan pintu masuk, yang menjadikannya satu-satunya sumber cahaya di siang hari. Di sebelah kiri terdapat sebuah rak buku yang kosong. Meja tulis sederhana dengan satu laci berjarak beberapa langkah dari tempat tidur itu. Ada lemari untuk menyimpan pakaian, dan meja kecil dengan sebuah lampu di atasnya. Tepat di sisi kiri, ada sebuah pintu dan pada sisi kanan, sebuah tempat tidur sederhana dengan nakas kecil di sisi tempat tidur.
Tidak ada barang-barang seperti buku atau pernak-pernik, tapi melihat dari lekukan aneh di atas lantai dilapisi oleh karpet, kamar ini memiliki perabot yang telah dipindahkan atau diangkat keluar baru-baru ini.
Pelayan itu menarik gorden berwarna putih dan membuka jendela untuk membiarkan udara segar masuk. “Kamar ini sudah lama kosong tapi masih dibersihkan sesekali dan itu adalah pintu kamar mandi,” lanjutnya, menunjuk ke arah pintu yang berada di sudut kamar. Iris berkedip berkali-kali dan dalam benaknya, ia tidak menyangka bahwa akan disediakan kamar yang melebihi ekspektasinya. Iris tidak dapat membayangkan seberapa luas kamar pribadi untuk keluarga kerajaan.
Wanita itu berjalan mengelilingi kamar, menjelaskan kepada Iris setiap ruangan serta tempat untuk menaruh kain kotor karena akan ada seseorang yang datang untuk mengambil seprai kotor untuk dicuci dan akan dikembalikan pada malamnya.
“Terima kasih—” perkataan Iris terhenti. “Siapa namamu?” tanyanya dengan ragu. Ia tidak mungkin memanggil wanita muda tersebut dengan panggilan ‘kau’ atau ‘hei’ seakan ia tidak memiliki nama.
Pelayan itu menoleh ke arahnya. Wanita muda itu tidak pernah menyangka bahwa seseorang akan menanyakan namanya. “Evie.” jawabnya.
“Baiklah, Evie.” kata Iris tersenyum. “Sekali lagi, terima kasih”
“Sama-sama.” Evie tersenyum. “Silakan beristirahat.” tambahnya, lalu meninggalkan Iris sendirian dalam kamar barunya, menutup pintu kamar dengan perlahan, meninggalkan kunci pintu menggantung di lubang kunci.
Iris menyeret kopernya dengan langkah pelan dan menaikan di atas kasur. Ia mulai mengeluarkan pakaiannya, beberapa pakaian harus digantung, beberapa pakaian dilipat kembali dengan rapi dan disusun. Iris memperhatikan setiap sudut kamarnya.
“Wow, apa pelayan disini benar-benar membersihkan semuanya walaupun tidak ada orang?” ia bertanya kepada dirinya sendiri. Iris tidak menemukan sedikitpun debu di dalam kamarnya.
Belum ada satu jam, terdengar suara ketukan pada pintu kamarnya. Iris berlari kecil dan membuka pintu kamarnya. Seorang pria berdiri di depan pintu kamarnya. Iris langsung mengenali pria tersebut.
“...Selamat siang.” kata Iris dengan pelan.
“Siang,” kata pemuda tersebut. Ia berambut hitam dan di balik kacamata bulatnya, Iris melihat bola matanya yang berwarna coklat. “Masih ingat aku” tanyanya.
“Iya,” jawab Iris. “Kau… Max,”
“Benar sekali dan aku akan menjadi rekanmu selama disini, jadi jangan terlalu takut kepadaku.” katanya tertawa pelan. “Ini seragam baru milikmu.” Ia memberikan satu kantong kertas berwarna coklat kepada Iris.
Iris melihat apa isi dari tas tersebut dan Max memanggilnya lagi. Max mengulurkan tangannya yang sedang memegang sebuah lipatan kertas yg terlihat cukup tebal dan besar.
“Apa ini?” tanya Iris, menerima kertas itu dengan kedua tangannya.
“Peta. Kau akan sangat membutuhkannya.” jawab Max. “Silakan ganti pakaianmu. Aku akan menunggu di farmasi.” lanjutnya lalu meninggalkan Iris berdiri terpaku menatap peta di tangannya dan tas kantong di tangan lainnya.
Iris hanya berdiri di tempat dengan lembaran peta di tangannya, melihat punggung Max menjauh hingga akhirnya menghilang di balik dinding koridor. Ia sudah dapat membayangkan bahwa di hari pertama ini, ia harus berusaha mencari jalan menuju farmasi dan kamarnya sendiri. Apabila ia tidak dapat mengingat arah ke dua tempat tersebut, ia sudah pasti akan mengalami kesulitan di istana yang luas itu.
Iris menatap meja di sebelahnya dan melihat tasnya masih berada di sudut kamar. Ia menyalakan lampu meja dan meraih tasnya dan menariknya ke tempat tidur. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan buku berserta pena. Ia berencana untuk menjadikan buku ini semacam buku jurnal, apa yang ia alami, apa yang ia lihat di istana ini. Iris duduk di lantai dan bersandar pada tempat tidur, tangannya tidak bisa berhenti memainkan pena. Memutar-mutar dan mengetuk-ngetukkan ke atas buku di pangkuannya.
Ia menulis setiap detail yang ia ingat agar kenangannya tetap hidup apabila suatu saat ia akan kembali ke tempatnya berasal— ke rumahnya, kembali kepada keluarganya, meninggalkan seluruh suasana ini dan tidak kembali untuk waktu yang lama. Rasanya baru kemarin Iris menjalani setiap harinya dengan sangat normal dan tanpa dikelilingi oleh ratusan barang mewah.
“Lebih baik aku ganti pakaian dan segera ke farmasi,” kata Iris.
Tanpa membuang waktu lagi, Iris langsung mengganti pakaiannya. Saat itu, Iris menatap pakaiannya dengan kagum. Meraba halusnya dan betapa rapi setiap jahitannya. Jas berlengan panjang, berwarna putih dengan kemeja putih di balik jubah tersebut, rok selutut yang terasa pas di pinggangnya, dasi berwarna hitam, hiasan kain berwarna perak pada pergelangan dan tepi jas. Di bahunya dihiasi oleh rangkaian rantai perak, menggantung di lengan atasnya— Seperti seragam militer dengan berbagai hiasan dan tanpa senjata tajam.
• • •
Iris berdiri di depan cermin, mengamati pantulan bayangan dirinya sendiri. Pantulan tersebut menunjukkan seorang wanita muda dengan tubuh kecil dan kurus, rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai hingga mencapai punggung dan satu-satunya hal yang membuatnya berbeda adalah matanya.Iris berdiri di depan pintu kamarnya, menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia pergi berjalan menelusuri koridor.Untuk pertama kalinya, Iris berkeliling sendirian di istana dengan lembaran peta yang diberikan kepadanya. Peta yang ia terima ternyata bukan satu lembar besar, melainkan berlembar-lembar. “Astaga, seberapa luas tempat ini?” Iris terkesiap saat ia membuka tiap lembaran peta yang ternyata bukan hanya satu lembar.Ia sudah menyusuri koridor demi koridor, tapi yang ia dapatkan adalah ia seperti berputar-putar di tempat yang sama. Semuanya terlihat sama, yang membedakan hanya lukisan di dinding dan pot tanaman
Iris berada di ruang kerja, memasukkan bahan herbal kering ke dalam toples kaca kosong dan menimbang berat dari setiap bahan untuk di jadikan minyak esensial.“Orang yang seharusnya bertugas mengatur stok dan daftar isi lemari obat tiba-tiba mengundurkan diri,” kata Aria sambil membaca setumpuk kertas di tangannya. Aria adalah senior di farmasi tersebut dan Ia adalah wanita muda yang hanya lebih tua tiga tahun dari Iris.Iris memiringkan kepalanya sedikit, ia tidak begitu mengerti kenapa Aria mengatakan itu kepadanya. “Bukankah Max yang bertanggung jawab?” tanyanya.Aria mengalihkan pandangannya dari kertas di tangan dan tersenyum lebar ketika ia bertatap muka dengan Iris. “Iya dan kau akan membantunya juga” katanya dengan santai dan ada kesan tegas dari suaranya.“...Hah?” Iris tercengang. Tugas itu sama sekali bukan hal yang mudah karena ada banyak se
“Apa ada sesuatu yang terjadi?” Aria bertanya ketika Iris baru saja masuk ke dalam rumah kaca.“Eh?” Iris masih merasakan degup jantungnya yang berdetak cepat, bukan karena ia gugup akan pekerjaannya, melainkan ia masih ada rasa takut yang tertinggal akibat hal yang ia alami di perpustakaan.Aria berjalan mendekat agar ia dapat melihat raut wajah Iris dengan jelas. “Kau terlihat pucat...” katanya.Iris dapat merasakan bahwa Aria khawatir dengannya. “Tidak, tidak ada apa-apa.” katanya.“Benarkah?” Aria tidak yakin dengan jawabannya.Iris mengangguk. “Mungkin aku hanya sedikit gugup,” Iris berusaha menyakinkannya.“Baiklah kalau begitu,” kata Aria pada akhirnya.Iris tidak dapat menceritakannya karena dua alasan. Pertama, ia masih belum mengenal Aria dan jug
“...is?” “Iris?” Iris menoleh ke belakang— ke arah Max. Suara Max berhasil menyadarkan Iris dari lamunannya. “Eh? Apa?” tanyanya. Max menaikkan satu alisnya. Ia ingin mengetahui apa yang sedang gadis tersebut pikirkan hingga ia melamun di tengah hari, namun ia mengurungkan niatnya. “Apa yang kau temukan?” tanyanya. Mata Iris melihat kembali ke rak di hadapannya yang penuh dengan deretan toples kaca. “Selain beberapa toples kosong dan tumpukan debu, tidak ada.” Iris melambaikan tangannya di depan wajah, berusaha menyingkirkan debu yang berterbangan. Max mengangguk dan menulis sesuatu di buku. “Aku tidak pernah menyadari betapa banyaknya semua bahan yang ada disini hingga hari ini,” Iris berkata tiba-tiba. Tangannya sibuk mengeluarkan setiap toples kaca yang berada di paling bawah dan memeriksa isinya satu per sa
Iris berkedip beberapa kali, menatap Max dan Adrian bergantian sementara otaknya masih membutuhkan waktu untuk memproses apa yang baru saja ia dengar. “Kau memanggilnya dengan nama?” pikirnya ketika ia melihat Max.Tanpa banyak berbicara, Iris membereskan peralatan yang ia gunakan dengan cepat. Jarak mereka dengan Iris tidak terlalu jauh, namun ia tidak ingin mendengar apapun yang sedang mereka bicarakan.“Kemana kau?” Adrian terduduk di sisi tempat tidur, sementara Iris hanya dapat melihat punggung Max yang berdiri di hadapan Adrian. Max terlihat meraih lengan Adrian yang lengan pakaiannya telah dilipat hingga siku.“Rumah kaca, perpustakaan,” Max menjawab sekenanya. “Apa yang kau lakukan disini?”Di saat yang sama, Iris baru selesai merapikan barang yang baru saja ia gunakan. Ketika ia menoleh, gadis tersebut baru saja menyadari bahwa wajah Pang
Iris menutup pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya masih memproses apa yang baru saja ia lihat. “Apakah aku salah lihat?” gumamnya.Ingatannya tentang apa yang telah Iris lihat kembali bermunculan di dalam benaknya, seperti potongan-potongan gambar yang muncul satu per satu. Iris menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mengerang frustasi. “Ok, Iris.” gumamnya kepada dirinya sendiri, kedua tangannya menepuk pipinya pelan. “Lupakan apa yang baru saja kau lihat! Lupakan!”Gadis tersebut tidak memiliki alasan spefisik kenapa ia menghindari Pangeran Adrian, selain ia hanya ingin hidup tanpa mendapatkan perhatian lebih dari orang sekitarnya karena Ia tidak akan pernah dapat menebak apa yang orang lain pikirkan atau bicarakan di belakangnya. Iris pun memilih untuk segera tidur tanpa memakan waktu lebih lama lagi untuk memikirkan persoalan vampire.•••Pagi itu,
Untuk kesekian kalinya, Adrian terbangun dari istirahat siangnya dengan merasakan jari-jari tangan kanannya mati rasa dan ketika Adrian menulis, jari-jarinya sedikit lebih lambat dari biasanya untuk menulis beberapa kalimat pendek. “Haa...” Adrian menghembuskan nafas perlahan. “Awas kau Aiden...” Ingatannya kembali saat Aiden menahannya dan ia harus menulis unttuk waktu yang sangat lama. Satu tangannya meraih ke dahinya dan ia merasakan suhu tubuhnya lebih hangat dari biasanya. “Orang-orang mengatakan bahwa vampire adalah mahkluk berdarah dingin...” gumamnya. “Dan aku? Terlalu sering demam,” Sementara di bulan lainnya, ia dapat merasakan suhu tubuhnya lebih rendah daripada orang lain. Hal itu membuat Adrian tidak jarang mempertanyakan apa yang tubuhnya sendiri in
Aiden menatap meja kerja di hadapannya dengan perasaan campur aduk. Beberapa menit yang lalu, ia baru saja membayangkan raut wajah Pangeran Adrian yang kesal ketika melihatnya masuk.Namun kenyataannya adalah kursi yang seharusnya diduduki oleh Pangeran, kosong. Aiden masuk ke ruang kerja yang sama sekali tidak ada orang. Aiden menghela nafas frustasi, “Kemana Adrian?” gumamnya.Di saat yang sama, pintu di belakangnya terbuka. Aiden berbalik dan melihat Cleon— pengawal yang ia perintahkan untuk mengawasi Adrian. Cleon belum sempat mengatakan apapun, Aiden sudah membuka mulutnya terlebih dahulu. “Mana Pangeran?”“Beliau masih di kamarnya dan ia bilang kalau kondisinya sedang tidak baik.” kata Cleon.“Hah?” Aiden tidak dapat langsung percaya dengan pernyataan tersebut.Cleon menganggukkan kepalanya dengan satu gerakan tegas&mdas
Waktu sudah melewati pukul dua belas malam dan Iris melihat ke arah panci yang saat itu sedang merebus pasta. Bagaimana ia bisa melewati jam makan malam? Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia memeriksa rebusan pastanya untuk mengecek apakah sudah siap untuk diolah kembali dengan saus tomat yang memang sudah tersedia di dapur. Dengan banyaknya orang yang butuh makan di seluruh istana tersebut, para pekerja di dapur selalu mempersiapkan berbagai bahan siap masak dalam jumlah banyak, bahkan lebih dari cukup apabila ada orang-orang lain seperti Iris yang membutuhkan makan di luar jam makan.Iris tersenyum puas ketika melihat hasil masakannya sendiri. Ia memang bukan orang yang pintar dalam urusan memasak, namun tidak terlalu buruk juga hingga membuat berbagai kekacauan di dapur. “Terima kasih, ibu karena selalu memaksaku untuk membantu di dapur,” gumamnya, tertawa pelan. “Ternyata karena itu, aku masih dapat memasak untuk diriku di saat seperti ini,” matanya melih
Kisah-kisah bertema romansa sudah sangat dikenal luas, tentang mencintai dan kehilangan, tentang kerinduan dan kelupaan, umum di masa sekarang seperti tahun-tahun yang lalu, tentang mencintai seseorang begitu dalam, tanpa keinginan tetapi bukan tanpa hasrat, tentang raja dan pejuang, tentang kekasih dan saudara.Tentu saja banyak cerita, sama tragisnya, tentang bagaimana seorang pria yang membunuh kekasihnya karena membuatnya merasakan apa yang dianggap tidak perlu, kekasihnya yang menawarinya sedikit anyelir putih, berlumuran darah, tetapi ia mengangkat tangannya. pedang dan memotong daging, hanya untuk mengikuti beberapa hari kemudian dalam kesedihannya.Adrian duduk di salah satu meja di perpustakaan, satu sikunya bertumpu di atas meja sambil menopang berat kepalanya saat ia duduk dengan malas, sementara tangan lainnya membolak-balik lembaran halaman dari buku fiksi yang ia temukan pada salah satu rak. “Aku tidak paham kenapa ada orang yang menyukai cerita seper
Max mengerutkan keningnya. “Jadi? Kau akan menolaknya?” tanyanya, kedua tangannya sibuk membereskan apapun yang terlihat berantakan di atas meja. Merapikan tumpukan buku, kertas dan mengembalikan pena ke tempatnya semula. Arah matanya bergantian menatap Iris dan memperhatikan apa yang sedang ia rapikan.“Aku tidak tahu,” jawab Iris. Di saat yang sama, Iris menyadari penampilan Max. ada lingkaran hitam dibawah matanya, samar tapi tetap dapat dilihat. “Max? Kau belum tidur?” tanyanya.“Ya dan kelopak mataku terasa sangat berat sekarang,” Max menjawab, memijat pangkal hidungnya perlahan. “Aku akan beristirahat sekarang, kecuali kalau ada hal lain yang ingin kau katakan?” lanjutnya.Iris dengan cepat menggoyangkan kedua telapak tangannya. “Tidak, tidak ada lagi,” jawabnya dengan cepat.Max dengan cepat berdiri, sambil bertanya lagi. “Apa kau menjadi bimbang?” Ia mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu dan alih-alih memaka
“Yang Mulia…?” Iris membeku ketika ia melihat Adrian mulai memuntahkan kelopak bunga lagi, napasnya terengah-engah sementara tangannya memegang tenggorokannya, seperti ia akan mencekik lehernya sendiri. Tubuh Iris seolah bergerak sendiri, dan ia mendapati dirinya berada di samping sang pangeran panik sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Kulit pucat Adrian terlihat sangat kontras dengan warna merah saat darah berceceran di karpet bercampur dengan kelopak bunga berwarna putih yang telah bercampur dengan warna merah.Di saat yang sama, kedua orang tersebut memikirkan hal yang sama— berharap kalau semua itu hanya mimpi.Iris meringis dan menatap Pangeran di hadapannya dengan rasa cemas. “Apakah…selalu seburuk ini? Setiap saat?” tanyanya dengan pelan dan hati-hati. Ia perlu tahu apakah selama ini yang ia lihat hanya sebagian kecil dari apa yang menimpanya.“...Tidak,” Adrian terbatuk lagi, namun kali ini Iris menyadari sepertinya ia b
“Bisa saja,” Iris menjawab tanpa ragu. “Tapi aku harus kembali ke kamarku dan mengambil beberapa barang dari farmasi terlebih dahulu.”Adrian mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Iris akan menyetujuinya begitu saja. “Aku tidak tahu wanita ini terlalu tulus atau memang terlalu polos…” pikirnya.“Aku akan segera ke ruanganmu setelah aku menyiapkan yang diperlukan,” kata Iris, memberikan salam sebelum ia bergegas pergi. Adrian yang masih menatap punggung Iris yang semakin menjauh darinya, hanya menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka Iris akan langsung mengiyakan perkataannya soal memeriksa dirinya di ruangannya— yang sebenarnya, Adrian mengatakan hal tersebut dengan spontan tanpa memikirkannya sama sekali.“...Terkadang aku tidak paham apa yang ada di dalam pikirannya,” Adrian bergumam pelan, mengusap tengkuknya perlahan sambil berbalik arah un
Iris mempertanyakan kepada dirinya sendiri— ‘Apa yang sebenarnya Pangeran Caswell dapatkan hanya dengan mencari tahu apa yang dapat ia lakukan, apa yang seorang penyihir dapat lakukan?’ Ada kemungkinan yang sangat kecill bagi dirinya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, jadi ia hanya menggelengkan kepalanya, mengabaikan hal tersebut.Caswell menatap keluar dengan tatapan datar. Iris mengikuti arah pandangnya dan melihat kumpulan pengawal yang sedang berlatih. Saat itu tengah hari dan matahari yang terik menerpa punggung siapapun yang berada di luar sana. Suara pedang latihan yang terbuat dari kayu mengayun kesana kesini, menahan pukulan demi pukulan, masing-masing jatuh lebih cepat dari yang terakhir. Di saat itu, Iris baru menyadari betapa dekat posisinya dengan area berlatih karena ia dapat mendengar suara dari pedang kayu yang saling beradu tersebut.“Sepertinya aku sudah cukup mengikutimu siang ini,” Caswell berkata tiba-tiba, kedua ka
Iris memicingkan kedua matanya. Ia tidak berhenti menarik nafas dan menghembuskan perlahan selama beberapa menit. Ia juga sesekali melirik ke belakangnya, berharap kalau orang yang sedang mengikutinya hanyalah sebuah imajinasinya saja— berharap orang di belakangnya akan menghilang setelah beberapa menit atau setelah beberapa kali Iris memejamkan mata dan menarik nafasnya.“Kenapa kau terus-menerus bernapas seperti itu?” Caswell bertanya. Namun, nyatanya realita tidak sesuai dengan harapan. Mereka sedang berjalan berdua di koridor. Iris mencoba berjalan dengan cepat, namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun karena Caswell yang memiliki kaki jenjang dan tentu saja tinggi tubuhnya yang melebihi Iris tidak akan memiliki masalah untuk mensejajarkan langkah mereka.Langkah kaki Iris menjadi lebih pelan, seperti ia ragu untuk berhenti atau berjalan seperti biasa. Ia melirik ke arah Pangeran tersebut. “...Maaf, Yang Mulia…” katanya dengan pelan. “Apa…Apa anda
“Aku tidak percaya kalau aku akan mendengar berbagai desas desus sepagi ini,” Aiden memejamkan kedua matanya, satu tangannya menyisir rambutnya, menyingkirkan helaian rambut yang selalu menutup dahinya.Iris hanya tertawa pelan. “Tapi apakah yang mereka katakan benar?” tanyanya.“Sebagian benar, namun Adrian sendiri sangat menolak ajuan ayahnya,” kata Aiden. “Ia tidak berhenti mengoceh semenjak pertunangannya yang tidak diinginkan menjadi topik pembicaraan pelayan—” ia berhenti sejenak, seperti sedang berpikir sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “...Sekarang aku tahu kenapa Adrian selalu berusaha kabur dariku,”“Kenapa?” tanya Iris dengan pelan, ia tersenyum samar.“Sama seperti Adrian yang tidak berhenti mengomel, aku juga sering melakukan itu padanya,” Aiden berkata dengan sedikit canggung, mengusap tengkuknya perlahan. Melihat itu, Iris hanya tertawa. Ada sedikit rasa kasihan kepada Aiden, namun di sisi lain, Iris juga
Dengan udara segar yang mendinginkan pipinya, Iris bersenandung pelan saat ia berjalan ke dapur dari kamarnya. Ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, tapi hari ini ia lebih menikmati jalan-jalan. Pagi ini, sudah ada beberapa pelayan wanita bersama dengan pelayan pria sedang membicarakan berbagai desas desus sebelum memulai kegiatan mereka di ujung dapur.Iris mengatupkan bibir saat menuangkan jus jeruk segar ke dalam gelas kaca. Bau bumbu dan telur orak-arik menguar dari kompor yang berada tepat di belakangnya, sisa kulit jeruk yang masih belum dibuang berserakan di atas papan kayu di konter di depannya. Iris mengambil tempat favoritnya, meja yang menghadap ke halaman rumput yang selalu dipangkas rutin.“Iris…” Iris baru saja duduk sebelum ia mendengar suara Aria yang memanggilnya.