Debu yang menempel pada permukaan botol kaca terlihat begitu tebal, bahkan menutupi label kertas yang menempel pada botol tersebut. Seorang remaja bernama Iris Campbell— sedang menggosoknya dengan ujung lengan bajunya sebelum ia mengingat peringatan dari ibunya untuk tidak menggunakan pakaiannya sebagai kain lap. Sebagai gantinya, Iris mengambil kain yang selalu ia bawa dan masuk di dalam saku celemek kerja yang ia kenakan.
Iris menggosok botol itu dengan kuat, sedikit demi sedikit memperlihatkan tulisan tangan yang tertera di label tersebut. Tulisan tangan yang rapi, menandakan apa isi dari setiap botol yang tersimpan dengan rapi dan sesuai dengan kategorinya pada setiap lemari setinggi tiga meter.
Di ujung lemari, tertutup oleh toples kaca, Iris menemukan satu toples berukuran sedikit lebih besar dan badan toples tersebut masih terbungkus oleh kertas. Dengan rasa penasarannya yang besar, Iris mengambil toples tersebut.
Ia mencengkeram tutupnya dan memutarnya dengan sekuat tenaga. Iris mengalami kesulitan saat membukanya dan setelah beberapa saat, akhirnya tutupnya dapat terlepas, bersamaan dengan kepulan debu bertebaran di udara, tepat di depan wajahnya. Iris terbatuk dan melambaikan satu tangannya yang bebas, berusaha menyingkirkan kepulan debu dari wajahnya.
Dari ruang terdepan dari bangunan tersebut yang digunakan sebagai farmasi, suara percakapan terdengar samar-samar di telinganya. Iris melirik ke arah pintu dan mencoba untuk mendengar percakapan tersebut.
“Bagaimana kalau saya rekomendasikan orang lain? Orang lain yang saya anggap tepat.”
Iris berhenti kegiatannya dan toples yang sedang dipegang langsung diletakan kembali dan turun dari tangga dengan perlahan. Ia mencoba mendengarkan percakapan tersebut dengan lebih dekat lagi.
“Dan siapa itu?” Iris tidak mengenali suara tersebut dan ia hanya dapat berasumsi dari cara ayahnya berbicara kalau ia cukup mengenali orang tersebut.
“Putri saya sendiri.”
Satu kalimat tersebut membuat Iris bertanya-tanya. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, positif maupun negatif. Iris memutuskan untuk keluar dan melihat langsung apa yang sedang terjadi.
Iris membuka pintu dengan cukup pelan dan ketika ia keluar dari laboratorium, asap tipis mengepul keluar sebelum ia berhasil menutupnya. Iris masih berdiri di tempatnya tanpa melangkah sedikitpun.
Gadis tersebut melihat seorang pria muda yang ia tebak adalah salah seorang dari Kerajaan. Terlihat dari pakaian yang pria tersebut kenakan.
“Nah, itu dia.” Ayah Iris— Ben, menggesturkan tangannya ke arah Iris dan pria muda tersebut mengalihkan pandangan kepadanya.
“Selamat malam, nona.” sapa pria tersebut.
“Selamat malam,” Iris membalas sapaannya dengan canggung.
“Ini Iris.” kata Ben ketika Iris mendekati mereka dan berdiri di sebelah ayahnya. “Ia sudah membantu disini cukup lama hingga secara natural, Iris cukup memiliki pengetahuan tentang obat-obatan herbal.”
“Baiklah, Nona Iris.”kata pria tersebut. “Nama saya Maximilian. Max untuk singkatnya.”
Iris yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, menoleh ke arah ayahnya dengan raut wajah bingung. Ben menyadari kalau Iris tidak sepenuhnya menangkap apa yang sedang terjadi, membuka mulutnya. “Kerajaan sedang membutuhkan orang untuk mengisi posisi di farmasi dan Tuan Ben adalah orang yang dicari, namun sepertinya ia keberatan.” jelas Max, menatap Iris dan Ben bergantian.
Iris menoleh ke arah ayahnya. “Benarkah?” tanyanya.
Ben hanya menggangguk dan berkata, “Benar, tapi ayah merekomendasikan kau,” Ia menatap putrinya dengan senyum samar.
“Eh? Aku?” Iris tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Kenapa?”
“Ayah merasa senang disini,” kata Ben. “Tapi aku juga tahu kemampuanmu, Iris. Jadi, mungkin saja kau bisa menggantikanku, benar?”
“Baiklah,” kata Max. “Tapi saya perlu mendiskusikannya terlebih dahulu sebelum memutuskan.”
Ben mengangguk. “Tidak masalah.” katanya.
Pria tersebut mengangguk perlahan. “Baiklah, saya rasa cukup sampai sini.” katanya, sambil melihat ke arah jam kantong yang dikeluarkan dari saku celananya. “Berikutnya akan di infokan melalui surat saja, tidak apa-apa?”
“Oh, tidak masalah.” kata Ben.
“Selamat malam, Tuan Campbell.” kata pria tersebut kepada Ben, sebelum ia menoleh ke arah Iris dan memberikan salam dengan tubuhnya.
“Apa itu tadi?” tanya Iris dengan pelan, menoleh ke balik bahunya. Namun ayahnya bergerak lebih cepat karena ia sudah masuk ke dalam laboratorium. Iris mengedikkan bahunya dan menatap kelua jendela, dimana ia melihat pria yang disebut dengan nama Max tadi menaiki sebuah kereta kuda besar dan mewah sebelum kereta kuda tersebut pergi menjauh,menghilang dari jarak pandangnya.
Iris menghela nafas pelan dan memperhatikan sekelilingnya. Jika sebagian besar bangunan keluarga lainnya memiliki sofa yang empuk, perapian untuk menghangatkan seluruh anggota keluarganya, keluarga Iris memiliki satu lantai bangunan penuh dengan rak-rak kayu berisi botol-botol kaca penuh dengan tanaman kering, belasan hingga puluhan pot tanaman kecil, cairan alkohol dan minyak. Sebuah mesin kasir dan beberapa kursi untuk para pelanggan yang datang.
“Selamat malam,”
Iris menoleh ke arah pintu dan raut wajahnya langsung berubah drastis. Iris terlihat sangat senang dan kedua matanya berbinar-binar. Ia tidak bisa kesal terlalu lama tentang masalah tadi.
“Ethan!” Iris berseru dan berjalan mendekati salah satu pelanggan apotiknya. Di ambang pintu, seorang pemuda berdiri dengan senyumannya yang ramah.
“Halo Iris.” sapanya.
Ethan tersenyum, lalu berkata. “Aku datang untuk mengambil pesanan beberapa hari yang lalu.” Keduanya matanya melihat sekelilingnya. Melihat setiap sudut dari apotek kecil tersebut.
“Tentu saja. Semuanya sudah disiapkan.” Iris bergegas mengambil sebuah kotak yang sudah di bungkus dengan rapi. “Semuanya sudah ada di dalam ini, beserta dengan petunjuk pemakaiannya.”
“Terima kasih, Iris.” Ethan mengambil kotak tersebut dengan kedua tangannya. Ethan membuka bungkusan tersebut dan memeriksanya satu per satu. Dan Iris juga menjelaskan setiap manfaat dari obat tersebut. “Akan aku pastikan ayahku akan meminum ini sampai habis.” Iris tertawa pelan dan mengantarkan Ethan ke pintu.
Ethan tidak terlalu tampan, tapi Iris menemukan bahwa penampilannya serta raut wajahnya dan ketajaman mata berwarna cokelat keemasannya terlihat menarik.
“Iris.”
Iris menoleh ke belakang dan melihat ayahnya melangkah keluar dari pintu yang mengarah ke laboratorium, lapisan tipis asap mengepul masuk ke apotek sebelum ia berhasil menutup pintu. Aroma pahit dari obat-obatan langsung tercium oleh hidung.
“Oh, Ethan?” seru Ben.
Ethan memberi salam kepada Ben. “Selamat malam,”
“Malam, Ethan.” sapa Ben. “Mengambil pesanan?”
Ethan mengangguk. “Iya.”
Ben menoleh ke arah Iris dan Iris menatapnya sejenak sebelum meninggalkan Ethan bersama dengan ayahnya untuk mengambil pesanan milik Ethan. “Bagaimana kabar ayahmu?” tanya Ben lagi.
“Beliau terlalu fokus bekerja sehingga keadaannya sedang tidak cukup baik,” Ethan menghembuskan nafas pasrah. “Aku dan ibu sudah hampir setiap hari memberi peringatan tapi ayah tetap saja keras kepala,”
Ben bergumam. “Ayahmu masih belum berubah rupanya.”
Mereka saling berbincang-bincang untuk beberapa saat hingga Iris kembali dan memberikan satu kantung kertas berwarna coklat. Ethan akhirnya pamit untuk pulang. Iris mengantarkan Ethan ke depan farmasinya, melihat pemuda tersebut pergi meninggalkan farmasi.
Iris kembali masuk ke dalam setelah membereskan beberapa barang yang perlu di masukkan ke dalam. Ketika pintu tertutup, bel yang terpasang pada pintu masuk tiba-tiba terlepas dari engselnya dan jatuh ke lantai. Iris menoleh ke arah suara tersebut.
“Menambah satu lagi ke dalam daftar hal yang harus dibetulkan...” Iris mendengar ayahnya bergumam kepada dirinya sendiri. Ayahnya menuliskan bel pintu masuk setelah atap yang bocor dan beberapa lemari kayu yang telah lapuk.
Ibunya— Myra melangkah turun dari tangga yang menghubungkan antara farmasi dengan rumahnya yang terletak di lantai atas bangunan tersebut. Myra berjalan mendekati Ben dan melihat apa saja yang tertulis di dalam buku catatan di tangan suaminya. “Seluruh bagian dari bangunan ini memang sudah waktunya direnovasi,” katanya.
Hari sudah semakin larut. Kedua orangtua Iris sudah kembali ke kamar mereka untuk beristirahat, meninggalkannya sendirian di dapur untuk membereskan peralatan makan setelah makan malam.
Berbeda dengan lantai satu yang hanya tercium aroma obat-obatan, lemari dan puluhan pot tanaman berisi berbagai tumbuhan herbal. Di lantai dua tercium aroma yang manis dan lembut, sisi kiri dan kanan dari pintu masuk terdapat jendela yang digantungi dengan gorden manik-manik berwarna kuning keemasan dan bingkai-bingkai foto tergantung dimana-mana dengan berbagai ukuran. Ada tangga dengan pegangan kayu yang diukir dengan sangat rapi dan penuh detail menuju lantai tiga.
Iris memijat bahu kanannya dan menggerakkannya perlahan. “Akhirnya aku bisa istirahat,” Kedua matanya terpejam sejenak dan ia menghela nafas lelah sebelum Ia melangkah perlahan menaiki tangga menuju kamarnya. “Anna pasti sudah tidur,” gumamnya. Lantai kayu di bawah kakinya mengeluarkan suara derit setiap kali Iris melangkah.
Iris membuka jendela dan melihat ke bawah, halaman belakang rumahnya yang penuh dengan pot-pot tanaman obat. Tidak ada banyak cahaya karena ayahnya sudah mematikan lampu taman, jadi Iris harus menyesuaikan matanya di kegelapan.
Hingga saat ini, ia sendiri masih tidak dapat percaya bahwa akan datang harinya dimana ia akan bekerja di bawah perintah Raja. “Ini pasti semacam tipuan karena tidak mungkin keluarga Kerajaan ingin sesuatu dari seorang yang tidak memiliki hubungan apapun dengan kaum bangsawan.“ gumamnya.
Apabila harus memilih, Iris akan menolak semuanya tanpa berpikir dua kali. Namun keluarganya membutuhkan kesempatan ini. Iris tidak dapat mengatakan bahwa ia ingin menolaknya setelah melihat betapa bahagianya kedua orangtuanya setelah mengetahui berita ini.
”Kesempatan seperti itu belum tentu muncul setiap hari, Iris.” kata ayahnya. Iris tidak mengatakan apapun karena memang benar bahwa kesempatan yang saat ini ia dapatkan sangat jarang muncul.
Pikiran Iris kembali kepada keadaan farmasi keluarganya. Iris tidak akan menyangkal bahwa kenyataannya farmasi tersebut sudah mulai berantakan, persediaan bahan untuk obat semakin menipis dan saat ini, hampir tidak banyak yang ditemukan di hutan untuk mengubahnya. Namun, situasi mereka tidak begitu genting yang akan membuat mereka hidup dalam ketakutan akan kelangsungan hidup atau apa pun. Keluarganya bukan keluarga yang miskin, tetapi bukan keluarga kaya juga. Iris berpikir tentang generasi sebelum dirinya yang mengisi bangunan ini— kakek dan neneknya, mungkin beberapa generasi leluhur keluarganya yang telah memperjuangkan farmasi milik keluarganya tersebut. Tapi tidak ada yang membutuhkan obat herbal lagi. Tidak saat mereka memiliki farmasi modern di kota yang menjual obat sintetis dari ramuan tradisional dengan membayar setengah harga.
Setelah bekerja seharian membantu orangtuanya, akhirnya Iris mendapatkan waktu kosong untuk dirinya sendiri. Iris berdiri di tengah-tengah kamarnya yang berada di lantai tiga. Dua jendela yang tidak terpasang gorden memperlihatkan pemandangan sekitar. Cahaya bulan menembus masuk ke dalam. Pandangannya menatap keluar jendela, menatap bulan purnama di langit malam yang cerah— tanpa adanya awan sedikit pun.
Pada malam itu, bulan terlihat lebih besar dan lebih bercahaya dari hari-hari biasanya. Besar dan berwarna perak— sendirian di langit malam.
Bukan rahasia umum kalau ujian tersebut diusulkan pertama kali oleh raja Brittale generasi pertama. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan orang-orang yang sangat pintar dan ahli dalam bidang tersebut maka obat terbaik akan ditemukan juga apabila suatu saat salah satu keluarga Kerajaan berada dalam bahaya besar.
Dan sekarang ia mendapatkan posisi tersebut dengan mudah hanya karena ayahnya pernah bekerja di farmasi kerajaan untuk waktu yang lama.
Brittale adalah kota yang makmur, negara yang memiliki pengetahuan dan teknologi yang melebihi negara lain. Oleh karena itu, Brittale disebut sebagai kota orang-orang terpelajar. Pada saat Iris masih bersekolah, ia sering mendengar bahwa betapa beruntungnya mereka yang terlahir di sini.
Dan hingga saat ini, ujian tersebut masih terus berjalan. Bahkan rumornya adalah semakin lama, semakin sulit. Iris merasa beruntung karena ia berhasil lolos.
Iris mengambil sesuatu dari salah satu laci meja dan meletakan sebuah botol kaca yang berisi batu kristal tepat di bawah cahaya bulan dan menyalakan beberapa lilin yang ia bawa. Iris kembali menatap langit dan memejamkan kedua matanya. Kedua tangannya saling bertaut di depan dada. Iris berkonsentrasi, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh ibunya beberapa tahun yang lalu.
“Aku adalah penyihir.” Iris mengatakannya dalam bisikan namun tegas.
“Aku tidak mengutuk atau memperdaya orang lain. Aku hanyalah seseorang yang hidup dalam harmoni bersama dengan alam, dan aku mewujudkan impian melalui saluran alam semesta.“
Setelah mengatakan kata-kata tersebut dalam bisikan yang hanya dirinya sendiri yang dapat mendengar, ia membuka kedua matanya. Kristal di dalam botol mulai berubah warna, awalnya berwarna putih, perlahan-lahan berubah menjadi lebih jernih dan nyaris transparan.
Iris duduk di lantai, menunggu dan tiba-tiba ia tersenyum samar. Ia teringat bagaimana reaksinya ketika ia pertama kali melihat ibunya melakukan hal yang sama. Semuanya terlihat sangat asing dan mengerikan bagi Iris yang masih berusia lima tahun. Namun sekarang, Iris sudah terbiasa dengan hal tersebut.
Ia menatap langit. Iris sangat menyukai bulan purnama. Menurutnya, bulan tidak menyerang siapapun dan tidak pernah mencoba untuk menghancurkan orang lain. Bulan selalu setia kepada alam dan kekuatannya tidak pernah berkurang.
Seringkali, Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Apakah ada hal lain di luar sana yang dapat menyebabkan pasang surut selain bulan?
Iris menunggu berjam-jam dan akhirnya bangkit berdiri dan mengambil botol kaca tersebut. ”Aku rasa ini cukup,“ gumamnya pelan. Iris membereskan semuanya dan tanpa menunggu lama, ia langsung menghempaskan dirinya ke tempat tidur lalu mulai tertidur.
• • •
Beberapa hari telah berlalu semenjak kedatangan Max ke farmasinya. Hal yang tidak terduga adalah ketika sepucuk surat dengan amplop berwarna putih gading yang disegel dengan segel lilin berlambangkan simbol kerajaan dikirimkan kepada Iris. Iris telah disetujui oleh kerajaan untuk menggantikan ayahnya di posisi farmasi kerajaan dengan syarat masa percobaan selama satu tahun. Tidak hanya itu, satu hari setelah kedatangan surat tersebut, ada orang kerajaan lagi yang datang, mengukur badan Iris untuk membuatkan seragam. Hal itu hanya berlangsung selama dua hari. Iris akan menjadi gila kalau lebih dari dua hari. Di hari pertamanya untuk memulai kehidupan barunya, Iris terbangun dengan suara gaduh di dapur. Karena posisi kamarnya berada tepat di atas dapur, suaranya terdengar lebih keras. Iris hanya dapat mendesah keras. “Iris! Sampai kapan kau ingin tidur?” Myra berseru memanggilnya sambil menaiki tangga menuju ka
Iris menjelaskan alasan mengapa ia berada di sana kepada pengawal tersebut. Hal tersebut cukup memakan waktu lebih lama dari yang ia perkirakan. Karena pengawal tersebut meminta bukti surat dan harus menunggu konfirmasi dari orang farmasi terlebih dahulu sebelum memperbolehkan Iris untuk masuk. Salah satu dari mereka memutuskan untuk mengantarkan Iris masuk ke dalam area istana.Pengawal tersebut adalah seorang pemuda yang Iris tebak usianya sekitar dua puluh lima tahun— empat tahun lebih tua dari dirinya. Ia bertubuh ramping tapi kekar. Tidak hanya rambutnya, matanya pun berwarna hitam. Kulitnya menjadi terlihat lebih pucat akibat seragamnya.Seragam berlengan panjang berwarna hitam, berleher tinggi dengan belasan kancing di sisi kiri, celana panjang hitam dengan lencana emas yang tertera simbol kerajaan serta sepatu boots berwarna hitam dengan sebuah garis berwarna putih pada kedua sisinya.“Ayo,” kat
Iris berdiri di depan cermin, mengamati pantulan bayangan dirinya sendiri. Pantulan tersebut menunjukkan seorang wanita muda dengan tubuh kecil dan kurus, rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai hingga mencapai punggung dan satu-satunya hal yang membuatnya berbeda adalah matanya.Iris berdiri di depan pintu kamarnya, menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia pergi berjalan menelusuri koridor.Untuk pertama kalinya, Iris berkeliling sendirian di istana dengan lembaran peta yang diberikan kepadanya. Peta yang ia terima ternyata bukan satu lembar besar, melainkan berlembar-lembar. “Astaga, seberapa luas tempat ini?” Iris terkesiap saat ia membuka tiap lembaran peta yang ternyata bukan hanya satu lembar.Ia sudah menyusuri koridor demi koridor, tapi yang ia dapatkan adalah ia seperti berputar-putar di tempat yang sama. Semuanya terlihat sama, yang membedakan hanya lukisan di dinding dan pot tanaman
Iris berada di ruang kerja, memasukkan bahan herbal kering ke dalam toples kaca kosong dan menimbang berat dari setiap bahan untuk di jadikan minyak esensial.“Orang yang seharusnya bertugas mengatur stok dan daftar isi lemari obat tiba-tiba mengundurkan diri,” kata Aria sambil membaca setumpuk kertas di tangannya. Aria adalah senior di farmasi tersebut dan Ia adalah wanita muda yang hanya lebih tua tiga tahun dari Iris.Iris memiringkan kepalanya sedikit, ia tidak begitu mengerti kenapa Aria mengatakan itu kepadanya. “Bukankah Max yang bertanggung jawab?” tanyanya.Aria mengalihkan pandangannya dari kertas di tangan dan tersenyum lebar ketika ia bertatap muka dengan Iris. “Iya dan kau akan membantunya juga” katanya dengan santai dan ada kesan tegas dari suaranya.“...Hah?” Iris tercengang. Tugas itu sama sekali bukan hal yang mudah karena ada banyak se
“Apa ada sesuatu yang terjadi?” Aria bertanya ketika Iris baru saja masuk ke dalam rumah kaca.“Eh?” Iris masih merasakan degup jantungnya yang berdetak cepat, bukan karena ia gugup akan pekerjaannya, melainkan ia masih ada rasa takut yang tertinggal akibat hal yang ia alami di perpustakaan.Aria berjalan mendekat agar ia dapat melihat raut wajah Iris dengan jelas. “Kau terlihat pucat...” katanya.Iris dapat merasakan bahwa Aria khawatir dengannya. “Tidak, tidak ada apa-apa.” katanya.“Benarkah?” Aria tidak yakin dengan jawabannya.Iris mengangguk. “Mungkin aku hanya sedikit gugup,” Iris berusaha menyakinkannya.“Baiklah kalau begitu,” kata Aria pada akhirnya.Iris tidak dapat menceritakannya karena dua alasan. Pertama, ia masih belum mengenal Aria dan jug
“...is?” “Iris?” Iris menoleh ke belakang— ke arah Max. Suara Max berhasil menyadarkan Iris dari lamunannya. “Eh? Apa?” tanyanya. Max menaikkan satu alisnya. Ia ingin mengetahui apa yang sedang gadis tersebut pikirkan hingga ia melamun di tengah hari, namun ia mengurungkan niatnya. “Apa yang kau temukan?” tanyanya. Mata Iris melihat kembali ke rak di hadapannya yang penuh dengan deretan toples kaca. “Selain beberapa toples kosong dan tumpukan debu, tidak ada.” Iris melambaikan tangannya di depan wajah, berusaha menyingkirkan debu yang berterbangan. Max mengangguk dan menulis sesuatu di buku. “Aku tidak pernah menyadari betapa banyaknya semua bahan yang ada disini hingga hari ini,” Iris berkata tiba-tiba. Tangannya sibuk mengeluarkan setiap toples kaca yang berada di paling bawah dan memeriksa isinya satu per sa
Iris berkedip beberapa kali, menatap Max dan Adrian bergantian sementara otaknya masih membutuhkan waktu untuk memproses apa yang baru saja ia dengar. “Kau memanggilnya dengan nama?” pikirnya ketika ia melihat Max.Tanpa banyak berbicara, Iris membereskan peralatan yang ia gunakan dengan cepat. Jarak mereka dengan Iris tidak terlalu jauh, namun ia tidak ingin mendengar apapun yang sedang mereka bicarakan.“Kemana kau?” Adrian terduduk di sisi tempat tidur, sementara Iris hanya dapat melihat punggung Max yang berdiri di hadapan Adrian. Max terlihat meraih lengan Adrian yang lengan pakaiannya telah dilipat hingga siku.“Rumah kaca, perpustakaan,” Max menjawab sekenanya. “Apa yang kau lakukan disini?”Di saat yang sama, Iris baru selesai merapikan barang yang baru saja ia gunakan. Ketika ia menoleh, gadis tersebut baru saja menyadari bahwa wajah Pang
Iris menutup pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya masih memproses apa yang baru saja ia lihat. “Apakah aku salah lihat?” gumamnya.Ingatannya tentang apa yang telah Iris lihat kembali bermunculan di dalam benaknya, seperti potongan-potongan gambar yang muncul satu per satu. Iris menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mengerang frustasi. “Ok, Iris.” gumamnya kepada dirinya sendiri, kedua tangannya menepuk pipinya pelan. “Lupakan apa yang baru saja kau lihat! Lupakan!”Gadis tersebut tidak memiliki alasan spefisik kenapa ia menghindari Pangeran Adrian, selain ia hanya ingin hidup tanpa mendapatkan perhatian lebih dari orang sekitarnya karena Ia tidak akan pernah dapat menebak apa yang orang lain pikirkan atau bicarakan di belakangnya. Iris pun memilih untuk segera tidur tanpa memakan waktu lebih lama lagi untuk memikirkan persoalan vampire.•••Pagi itu,
Waktu sudah melewati pukul dua belas malam dan Iris melihat ke arah panci yang saat itu sedang merebus pasta. Bagaimana ia bisa melewati jam makan malam? Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia memeriksa rebusan pastanya untuk mengecek apakah sudah siap untuk diolah kembali dengan saus tomat yang memang sudah tersedia di dapur. Dengan banyaknya orang yang butuh makan di seluruh istana tersebut, para pekerja di dapur selalu mempersiapkan berbagai bahan siap masak dalam jumlah banyak, bahkan lebih dari cukup apabila ada orang-orang lain seperti Iris yang membutuhkan makan di luar jam makan.Iris tersenyum puas ketika melihat hasil masakannya sendiri. Ia memang bukan orang yang pintar dalam urusan memasak, namun tidak terlalu buruk juga hingga membuat berbagai kekacauan di dapur. “Terima kasih, ibu karena selalu memaksaku untuk membantu di dapur,” gumamnya, tertawa pelan. “Ternyata karena itu, aku masih dapat memasak untuk diriku di saat seperti ini,” matanya melih
Kisah-kisah bertema romansa sudah sangat dikenal luas, tentang mencintai dan kehilangan, tentang kerinduan dan kelupaan, umum di masa sekarang seperti tahun-tahun yang lalu, tentang mencintai seseorang begitu dalam, tanpa keinginan tetapi bukan tanpa hasrat, tentang raja dan pejuang, tentang kekasih dan saudara.Tentu saja banyak cerita, sama tragisnya, tentang bagaimana seorang pria yang membunuh kekasihnya karena membuatnya merasakan apa yang dianggap tidak perlu, kekasihnya yang menawarinya sedikit anyelir putih, berlumuran darah, tetapi ia mengangkat tangannya. pedang dan memotong daging, hanya untuk mengikuti beberapa hari kemudian dalam kesedihannya.Adrian duduk di salah satu meja di perpustakaan, satu sikunya bertumpu di atas meja sambil menopang berat kepalanya saat ia duduk dengan malas, sementara tangan lainnya membolak-balik lembaran halaman dari buku fiksi yang ia temukan pada salah satu rak. “Aku tidak paham kenapa ada orang yang menyukai cerita seper
Max mengerutkan keningnya. “Jadi? Kau akan menolaknya?” tanyanya, kedua tangannya sibuk membereskan apapun yang terlihat berantakan di atas meja. Merapikan tumpukan buku, kertas dan mengembalikan pena ke tempatnya semula. Arah matanya bergantian menatap Iris dan memperhatikan apa yang sedang ia rapikan.“Aku tidak tahu,” jawab Iris. Di saat yang sama, Iris menyadari penampilan Max. ada lingkaran hitam dibawah matanya, samar tapi tetap dapat dilihat. “Max? Kau belum tidur?” tanyanya.“Ya dan kelopak mataku terasa sangat berat sekarang,” Max menjawab, memijat pangkal hidungnya perlahan. “Aku akan beristirahat sekarang, kecuali kalau ada hal lain yang ingin kau katakan?” lanjutnya.Iris dengan cepat menggoyangkan kedua telapak tangannya. “Tidak, tidak ada lagi,” jawabnya dengan cepat.Max dengan cepat berdiri, sambil bertanya lagi. “Apa kau menjadi bimbang?” Ia mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu dan alih-alih memaka
“Yang Mulia…?” Iris membeku ketika ia melihat Adrian mulai memuntahkan kelopak bunga lagi, napasnya terengah-engah sementara tangannya memegang tenggorokannya, seperti ia akan mencekik lehernya sendiri. Tubuh Iris seolah bergerak sendiri, dan ia mendapati dirinya berada di samping sang pangeran panik sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Kulit pucat Adrian terlihat sangat kontras dengan warna merah saat darah berceceran di karpet bercampur dengan kelopak bunga berwarna putih yang telah bercampur dengan warna merah.Di saat yang sama, kedua orang tersebut memikirkan hal yang sama— berharap kalau semua itu hanya mimpi.Iris meringis dan menatap Pangeran di hadapannya dengan rasa cemas. “Apakah…selalu seburuk ini? Setiap saat?” tanyanya dengan pelan dan hati-hati. Ia perlu tahu apakah selama ini yang ia lihat hanya sebagian kecil dari apa yang menimpanya.“...Tidak,” Adrian terbatuk lagi, namun kali ini Iris menyadari sepertinya ia b
“Bisa saja,” Iris menjawab tanpa ragu. “Tapi aku harus kembali ke kamarku dan mengambil beberapa barang dari farmasi terlebih dahulu.”Adrian mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Iris akan menyetujuinya begitu saja. “Aku tidak tahu wanita ini terlalu tulus atau memang terlalu polos…” pikirnya.“Aku akan segera ke ruanganmu setelah aku menyiapkan yang diperlukan,” kata Iris, memberikan salam sebelum ia bergegas pergi. Adrian yang masih menatap punggung Iris yang semakin menjauh darinya, hanya menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka Iris akan langsung mengiyakan perkataannya soal memeriksa dirinya di ruangannya— yang sebenarnya, Adrian mengatakan hal tersebut dengan spontan tanpa memikirkannya sama sekali.“...Terkadang aku tidak paham apa yang ada di dalam pikirannya,” Adrian bergumam pelan, mengusap tengkuknya perlahan sambil berbalik arah un
Iris mempertanyakan kepada dirinya sendiri— ‘Apa yang sebenarnya Pangeran Caswell dapatkan hanya dengan mencari tahu apa yang dapat ia lakukan, apa yang seorang penyihir dapat lakukan?’ Ada kemungkinan yang sangat kecill bagi dirinya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, jadi ia hanya menggelengkan kepalanya, mengabaikan hal tersebut.Caswell menatap keluar dengan tatapan datar. Iris mengikuti arah pandangnya dan melihat kumpulan pengawal yang sedang berlatih. Saat itu tengah hari dan matahari yang terik menerpa punggung siapapun yang berada di luar sana. Suara pedang latihan yang terbuat dari kayu mengayun kesana kesini, menahan pukulan demi pukulan, masing-masing jatuh lebih cepat dari yang terakhir. Di saat itu, Iris baru menyadari betapa dekat posisinya dengan area berlatih karena ia dapat mendengar suara dari pedang kayu yang saling beradu tersebut.“Sepertinya aku sudah cukup mengikutimu siang ini,” Caswell berkata tiba-tiba, kedua ka
Iris memicingkan kedua matanya. Ia tidak berhenti menarik nafas dan menghembuskan perlahan selama beberapa menit. Ia juga sesekali melirik ke belakangnya, berharap kalau orang yang sedang mengikutinya hanyalah sebuah imajinasinya saja— berharap orang di belakangnya akan menghilang setelah beberapa menit atau setelah beberapa kali Iris memejamkan mata dan menarik nafasnya.“Kenapa kau terus-menerus bernapas seperti itu?” Caswell bertanya. Namun, nyatanya realita tidak sesuai dengan harapan. Mereka sedang berjalan berdua di koridor. Iris mencoba berjalan dengan cepat, namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun karena Caswell yang memiliki kaki jenjang dan tentu saja tinggi tubuhnya yang melebihi Iris tidak akan memiliki masalah untuk mensejajarkan langkah mereka.Langkah kaki Iris menjadi lebih pelan, seperti ia ragu untuk berhenti atau berjalan seperti biasa. Ia melirik ke arah Pangeran tersebut. “...Maaf, Yang Mulia…” katanya dengan pelan. “Apa…Apa anda
“Aku tidak percaya kalau aku akan mendengar berbagai desas desus sepagi ini,” Aiden memejamkan kedua matanya, satu tangannya menyisir rambutnya, menyingkirkan helaian rambut yang selalu menutup dahinya.Iris hanya tertawa pelan. “Tapi apakah yang mereka katakan benar?” tanyanya.“Sebagian benar, namun Adrian sendiri sangat menolak ajuan ayahnya,” kata Aiden. “Ia tidak berhenti mengoceh semenjak pertunangannya yang tidak diinginkan menjadi topik pembicaraan pelayan—” ia berhenti sejenak, seperti sedang berpikir sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “...Sekarang aku tahu kenapa Adrian selalu berusaha kabur dariku,”“Kenapa?” tanya Iris dengan pelan, ia tersenyum samar.“Sama seperti Adrian yang tidak berhenti mengomel, aku juga sering melakukan itu padanya,” Aiden berkata dengan sedikit canggung, mengusap tengkuknya perlahan. Melihat itu, Iris hanya tertawa. Ada sedikit rasa kasihan kepada Aiden, namun di sisi lain, Iris juga
Dengan udara segar yang mendinginkan pipinya, Iris bersenandung pelan saat ia berjalan ke dapur dari kamarnya. Ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, tapi hari ini ia lebih menikmati jalan-jalan. Pagi ini, sudah ada beberapa pelayan wanita bersama dengan pelayan pria sedang membicarakan berbagai desas desus sebelum memulai kegiatan mereka di ujung dapur.Iris mengatupkan bibir saat menuangkan jus jeruk segar ke dalam gelas kaca. Bau bumbu dan telur orak-arik menguar dari kompor yang berada tepat di belakangnya, sisa kulit jeruk yang masih belum dibuang berserakan di atas papan kayu di konter di depannya. Iris mengambil tempat favoritnya, meja yang menghadap ke halaman rumput yang selalu dipangkas rutin.“Iris…” Iris baru saja duduk sebelum ia mendengar suara Aria yang memanggilnya.