Home / Romansa / Exit / Arda Eatery

Share

Arda Eatery

Author: Aksara Raya
last update Last Updated: 2022-01-15 09:43:29

Jalanan depan sekolah tidak terlalu sepi, juga tidak terlalu ramai. Biasa-biasa saja. Di siang jam kerja ini siapa yang mau keluar jalan-jalan kecuali memang itu profesi mereka. Kalau profesi di bagian dalam ruangan, seperti pegawai kantor mau apa keluar jika tidak ada keperluan. Parkiran motor siswa siswi yang biasanya dititipkan di rumah orang yang berada di dekat sekolahan sudah sepi. Sekolah tidak menyediakan parkiran motor. Karena memang seharusnya anak seusia kami belum boleh mengendarai sepeda motor, selain tidak memiliki SIM, usia kami masih di bawah umur untuk diperbolehkan naik sepeda motor, ikut berlalu lalang di jalan raya yang ramai kendaraan lain. Namun, mau bagaimana lagi, tidak semua anak menurut dan patuh. Malah kebanyakan dari anak-anak itu membangkang, tetap keras kepala meminta untuk naik motor sendiri ke sekolah. Mirisnya lagi, jika ada anak yang sampai mogok sekolah hanya karena tidak dibelikan motor sesuai keinginannya—biasanya mereka mengikuti teman. Tentu kejadian seperti itu pernah terjadi di setiap sekolah, barang hanya satu dua anak. Namun, bukankah kasihan terhadap orang tua, apa lagi jika orang tua itu kurang mampu. Dan, mental anak akan menjadi seperti itu ‘mengancam’ pada hal-hal lain. Dia hanya akan mau melakukan sesuatu jika permintaannya terkabul. 

 Toko foto copy di sebelah parkiran motor—yang biasanya anak sekolahan juga berlangganan di situ untuk membeli alat-alat tulis, guru-guru juga sering mampir untuk foto copy soal tugas. Toko foto copy itu jam siang begini sepi, hanya ada dua anak yang datang entah memesan apa. 

 “Lin? Mau bareng saja nggak?” April menanyaiku. Mobil jemputannya baru saja sampai di depan kami.

 “Kayaknya nggak usah, deh. Mama juga bakalan sampai sepuluh menit lagi mungkin,” jawabku, menggelengkan kepala pelan, tersenyum agar tidak kelihatan seolah aku sedang kesal. 

 “Serius, nih?” April masih tidak yakin, berdiri di dekat mobil, tangannya memegangi pintu mobil yang sudah dibuka. Laura berdiri di sampingnya. 

 Aku balas mengangguk, tersenyum lebar hingga tarikan bibir terasa sakit demi menyakinkan April. 

 “Tapi besok kamu masuk, kan?” April belum habis dengan wawancaranya. Bukannya Laura yang sedang memiliki masalah, kenapa jadi aku yang terkena sidang interogasinya. 

 “Ya sudah, deh. Aku duluan, ya, Lin.” April masuk ke dalam mobil.

 “Duluan, ya, Kak Olin.” Laura menoleh sekilas padaku, tersenyum, lalu mengikuti April masuk. 

 Laura sebenarnya juga antar jemput mobil pribadi. Tetapi karena harus menginap di rumah April, jadi sekalian saja dia ikut mobil April. 

 “Hatu-hati, ya, kalian.” Aku berseru ketika April membuka kaca mobil. 

 “Kamu juga hati-hati. Awas kalau diculik mas-mas SMA sebelah.” April memulai candaannya. 

 “Dih, apaan, sih.” Aku berseru sebal. 

 “Mas-mas mana yang bakal mau sama aku,” ketusku. 

 Di jalanan sebelah, setelah melewati lampu merah juga pertigaan dengan jam besar di tengah jalan. Ada satu SMA yang termasuk dalam sepuluh besar urutan SMA paling terfavorite di kota. Kalau dalam hitungan terfavorite di daerahnya, mungkin bisa masuk lima besar. 

 “Bakalan ada suatu hari nanti. Jangan pesimis dulu.” April sok memberi ceramah denganku. Aku mengabaikannya saja, bukan karena tidak setuju dengan ucapan April. Tapi karena masalahnya, April itu juga jomblo, tidak punya pasangan. Sama sepertiku sekarang. 

 “Bye, Olin.” 

 April melambaikan tangan singkat, menutup kembali kaca mobil, menyuruh sopirnya untuk menjalankan mobil. Aku menghela nafas pelan, menatap mobil yang ditumpangi April hingga hingga di kelokan jalan sana. 

 ***

 Setelah kepergian April dan Laura, tinggal aku sendiri yang berdiri di depan sekolah, menunggu jemputan mama. Sepuluh menit, dari pada kakiku kram berdiri di tengah jalan seperti anak yang hilang. Aku memutuskan mencari bangku duduk yang disediakan di trotoar. Sampai akhirnya mama datang dengan sepeda motornya. 

 “Nunggu lama?” Kalimat tanya sambutan mama ketika tiba menjemputku di sekolah. 

 “Cuma sekitar sepuluh menit saja, kok, Ma,” jawabku, memasangkan helm ke kepala, lalu naik ke jok motor, duduk di belakang Mama. 

 Mama tidak merespon apa-apa lagi, menarik setir gas, motor melaju membawa aku dan Mama pulang. Sudah hampir selama tiga tahun aku diantar jemput seperti ini oleh Mama sendiri. Ia tidak pernah membolehkanku menaiki kendaraan bermotor sendirian di jalan raya, bahkan selalu memperingati untuk hal itu. Aku menurut saja, dari pada membantah lalu berdebat. Aku bukan tipe anak yang suka sekali berdebat. Maka dari itu, aku bahkan terkejut dan ingin menolak ikut atas apa pun rencana, maksud, dan tujuan April untuk esok atau lusa nanti. Apa lagi ikut campur masalah orang. Aduh, aku tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya. Tapi, mau tidak ikut pun rasanya tidak adil bagi Laura, karena aku termasuk salah satu sanksi yang sudah pernah menjadi tempat Laura sharing cerita. 

 Dua puluh menit perjalanan. Tiba lah aku dan Mama di sebuah rumah makan. Iya, kami mampir dulu ke rumah makan yang tidak jauh dari pusat kota. Rumah makan bernama Arda Eatery ini adalah rumah makan milik Mamaku sendiri. Rumah makan yang didirikan Mama ini sudah lama, semenjak aku kecil rumah makan itu malah sudah ada. Berumur lebih tua dariku, lalu apa aku akan memanggilnya sebagai kakak? Tentu tidak. Aku hanya bercanda. Meski memang ternyata jokesku sama recehnya dengan April, bahkan aku lebih receh dari sekedar receh lagi. 

 “Kapan pengambilan raportnya?” Mama bertanya ketikaaku turun dari atas motor, membuka helm pelindung kepala. 

 “Mungkin lusa, Ma. Surat pengambilannya akan dikasih besok,” jawabku, meletakkan helm ke spion motor.

 Mama mengangguk, menstandarkan motor, turun dari atas jok motor, membuka helm sama sepertiku. Kami berdua masuk ke rumah makan. Interior yang sederhan, lampu gantung di tengah-tengah ruangan rumah makan, meja kayu kotak, kursi bundar yang sama memuat dua sampai enam orang. Ada kursi panjang dengan meja lonjong untuk acara makan keluarga atau rombongan yang berkelompok lebih dari enam orang

 “Dek Olin.” Salah seorang pegawai di rumah makan Mama menyapaku.

 “Hai, Kak Lela,” sapaku balik mendekati meja pemesanan.

 Kak Lela itu salah satu pegawai Mama di rumah makan ini yang paling dekat denganku, bagian pelayanan yang menghantarkan makanan ke meja pelanggan. Anaknya menyenangkan, sih, kalau bicara denganku bisa nyambung dengan pembicaraan topik itu. Bagaimana, ya, menjelaskannya, mungkin nyambung saja karena aku tidak ada teman ngobrol lagi kalau di rumah makan. Atau karena Kak Lela yang menggantikan posisi kakak bagiku di rumah makan ini

 “Baru pulang?” tanya Kak Lela.

 “Iya, Kak. Classmet terakhir hari ini,” jawabku, duduk di belakang meja pemesanan dengan Kak Lela dan Kak Mary sebagai kasir dan pemesanan utama rumah makan.  .  .  

Related chapters

  • Exit   Cadangan

    Di rumah makan ini. Mama memiliki lima karyawan tetap yang sudah lama mengabdi dan menjadi andalan Mama. Kalian sudah tahu dua di antaranya. Kak Mary yang mendapat bagian mengurus menu apa yang dipesan sekaligus menghitung masalah keuangan yang akan dilaporkan pada Mama. Sesekali Mama membantu Kak Mary untuk menghitung uang, karena memang pekerjaan soal hitung menghitung uang tidak bisa disepelekan. Apalagi itu adalah uang milik tempat kerja. Lalu ada Kak Mira, seorang asisten chef kepercayaan Mama yang ditugaskan di bagian dapur. Ikut membantu acara masak-memasak Mama. Kalau pesanan membludak, Mama mempunyai satu lagi asisten chef laki-laki, yaitu Kak Koko, yang tugas sampingannya ringan sebagai delivery order. Entah kenapa Mama menempatkan Kak Koko di bagian delivery order, padahal tidak banyak yang akan memesan online. Kalau pun ada mereka lebih memilih menggunakan aplikasi online saja. Tapi tentu Kak Koko ini bisa diandalkan jika soal urusan distributor. Kadang Mama meminta bant

    Last Updated : 2022-01-15
  • Exit   Classmeet Terakhir

    November pada bulan di mana aku menduduki kelas 3 SMP. Namaku Olin Arda Efrosin. Bisa dipanggil Olin, Arda, atau bahkan biasanya orang rumah menyebutku dengan panggilan sinchan. Padahal aku tidak memiliki alis hitam setebal ulat bulu seperti milik karakter kartun sinchan itu. Mungkin karena tubuh pendek dan sangat menyukai warna merah, orang rumah menyamakan aku dengan karakter film kartun sinchan. Tidak apa lah, setidaknya mereka tidak menyebutku dengan sesuatu yang lebih buruk dan menyakitkan dari pada itu.Umurku baru saja menginjak lima belas tahun tiga bulan lalu. Tentu saja aku sedang tidak memiliki pacar. Tahun depan ujian untuk mengakhiri masa SMP akan diadakan serentak. Tidak ada waktu senggang untuk membahas perihal pacaran sekarang ini. Meskipun aku bukan anak yang genius, yang selalu mendapat ranking nomor satu, bukan juga ambisius, yang akan berusaha sepenuh jiwa meraih juara satu sea

    Last Updated : 2021-05-01
  • Exit   Siswi Perempuan

    Kurang dari lima menit peforma April selesai. Benar saja bukan kataku, bahwa April akan mendapat sorak sorai dari seluruh penonton, bahkan juri pun ikut berdiri. Tepuk tangan meriah bergema di lapangan. Teman-teman lain di lantai atas juga tidak ketinggalan show menakjubkan tadi, ikut bersorak, beberapa membawa balon yang digunakan untuk tepukan, menambah gebyar semarak. April tersenyum lebar di sana, membungkuk-bungkuk, berucap terima kasih berulang kali. Hingga pembawa acara maju ke depan, memberi ucapan selamat pada April, lalu April menyerahkan mikrofon pada pembawa acara itu, berjalan menuruni tangga mini panggung. “Oliiinnnn.” April berteriak, berjalan ke arahku dengan wajah sumringahnya. Belum sempat aku membuka suara memberi selamat. April sudah dulu memeluk tubuhku erat hampir su

    Last Updated : 2021-05-02
  • Exit   Ide April

    Beberapa pengunjung kantin menonton keributan kecil yang dibuat siswi perempuan itu denganku dan April. Ibu kantin yang tadi membawakan pesanan kami juga diam melihat dari dalam standnya. Sudah tiga kali April bertanya, tiga kali juga siswi perempuan itu tidak menjawab dengan benar, hanya meminta maaf, dan keinginin untuk pergi tapi tangan kiri April sudah mengenggam tangan kanan siswi perempuan itu, menahan siswi itu untuk kabur entah apa yang ada di kepala April. Aku benar-benar tidak tahu.“Ayo!” Mendadak April menyeret tangan kananku dengan tangan kanannya, juga mengajak siswi perempuan itu ikut dengan kami.“Bu, bayarnya nanti sebelum pulang, ya,” teriak April pada ibu kantin yang diam di dalam stand.April tidak menunggui jawaban dari ibu kantin. Ia segera menarik aku dan siswi perempuan itu ke luar kantin, entah mau kemana aku masih belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran April. Pendatang kantin yang berdiri diam menonton di samping pintu ke luar

    Last Updated : 2021-05-02
  • Exit   Laura Bercerita

    Suara pukulan yang dihantamkan ke pintu terdengar berulang-ulang, menyiksa gendang telinga. Jelas juga membuatku terlonjak kaget, refleks memegang tangan April karena ketakutan. April berdecak sebal, menghela napas.“Kan tadi aku suruh kamu jaga pintu, Oliiin.” April menoleh kepadaku, berbisik, menekankan setiap katanya, menahan kesal.“Ya, aku pikir benda mati nggak bakal bisa lari kemana-kemana,” balasku asal-asalan, suaraku gemetar.April memutar bola mata, melepaskan pegangan tanganku, aku hanya diam mematung kaku.“Ya sudah. Kamu masuk bareng anak tadi ke dalam saja. Sepertinya nggak dikunci sama dia. Jangan berisik dan berusaha tenang, ya.” Lagi-lagi April memberi titah yang akhirnya membuatku mematuhinya. Duh kalau bukan karena salahku lagi aku tidak akan mau masuk ke dalam bilik toilet bareng siswi itu. Mending saja aku ke luar, tapi lagi-lagi nyaliku tidak sebesar April untuk menghadapi seseorang yang menggedor

    Last Updated : 2021-05-03
  • Exit   Who?

    Suara kegaduhan di luar sudah tidak terdengar, atau memang sudah tidak ada. Aku masih membayangkan insiden yang diceritakan oleh Laura. Jika kalian ikut mengetahui cerita Laura, aku tidak tahu kalian akan merespon dengan ekpresi wajah yang bagaimana. Entah mungkin kalian akan merasa ini terlalu lebay atau sama sepertiku yang ikut menatap prihatin mendengarnya, hati tersentuh iba rasanya. Kenop pintu diputar, Laura refleks bersembunyi di belakang badankuku, sedangkan aku menahan nafas. Ketika pintu terbuka, barulah aku bisa kembali bernafas lega. April yang datang masuk, aku dan Laura sudah parnoan terlebih dahulu.“Kalian kenapa?” Itu kalimat sambutan April yang baru saja masuk tanpa aba-aba, yang berhasil membuat suasana mencekam selama beberapa detik. Aku menghela nafas, menahan kelas yang bisa kapan pun aku tumpahkan pada April. Tapi tidak kulakukan, di sampingku ada Laura yang masih gemetar ketakuta

    Last Updated : 2021-05-03
  • Exit   Teater

    Lima menit kami berpikir keras akan pindah tempat persembunyian di mana, belum juga menemukan jawabannya. “Kalau ruang seni gimana?” Aku mencoba memberi usul. April menggeleng. “Nggak mungkin. Itu lantai bawah. Ini untuk menghindar dari anak-anak yang tadi di kantin bawah. Kita harus cari ruang di lorong lantai atas. Lagian ruang seni pasti ramai.” April menjelaskan dengan seksama dan serius. Sudah seperti dictator yang sedang merencanakan perang, mengatur strategi pasukan, menata tempat yang akan diserbu saja. “Terus di mana dong?” tanyaku menyerah pasrah. “Kalau perpustakan lantai atas bagaimana, Kak?” Tiba-tiba Laura membuka suara, mem

    Last Updated : 2021-05-09
  • Exit   9A Class

    Kami meneruskan langkah menuju perpustakan di seberang sana. Kalau kalian menebak kami melewati kelasku dan April atau tidak. Tentu jawaban kalian benar, jawabannya iya kami akan melewati ruang kelas yang seharusnya kami hindari. Bagaimana cara kami agar bisa terlepas atau setidaknya menghindar dari anak kelas, yang pasti mereka akan sama sedang mencari April seperti tiga siswi perempuan tadi. Aku sendiri belum memikirkannya, sedangkan April aku tidak tahu. Ia tidak mengatakannya padaku, ia lebih balas membalas sapaan orang-orang yang memberinya selamat atas show-nya tadi. Kalau dalam bidang olah suara, April memang menjuarai. Tahun lalu ia menjuarai peringkat kedua, sedangkan peringkat pertama diraih oleh kakak tingkat yang sekarang sudah menjadi alumni sekolah. Aku pastikan dengan yakin tahun ini April yang akan menggantikan kakak kelas itu menjadi Diva sekolahan. Ya, meski hanya diakui pihak sekolah, setidaknya itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Tidak sepertiku, yang t

    Last Updated : 2021-05-09

Latest chapter

  • Exit   Cadangan

    Di rumah makan ini. Mama memiliki lima karyawan tetap yang sudah lama mengabdi dan menjadi andalan Mama. Kalian sudah tahu dua di antaranya. Kak Mary yang mendapat bagian mengurus menu apa yang dipesan sekaligus menghitung masalah keuangan yang akan dilaporkan pada Mama. Sesekali Mama membantu Kak Mary untuk menghitung uang, karena memang pekerjaan soal hitung menghitung uang tidak bisa disepelekan. Apalagi itu adalah uang milik tempat kerja. Lalu ada Kak Mira, seorang asisten chef kepercayaan Mama yang ditugaskan di bagian dapur. Ikut membantu acara masak-memasak Mama. Kalau pesanan membludak, Mama mempunyai satu lagi asisten chef laki-laki, yaitu Kak Koko, yang tugas sampingannya ringan sebagai delivery order. Entah kenapa Mama menempatkan Kak Koko di bagian delivery order, padahal tidak banyak yang akan memesan online. Kalau pun ada mereka lebih memilih menggunakan aplikasi online saja. Tapi tentu Kak Koko ini bisa diandalkan jika soal urusan distributor. Kadang Mama meminta bant

  • Exit   Arda Eatery

    Jalanan depan sekolah tidak terlalu sepi, juga tidak terlalu ramai. Biasa-biasa saja. Di siang jam kerja ini siapa yang mau keluar jalan-jalan kecuali memang itu profesi mereka. Kalau profesi di bagian dalam ruangan, seperti pegawai kantor mau apa keluar jika tidak ada keperluan. Parkiran motor siswa siswi yang biasanya dititipkan di rumah orang yang berada di dekat sekolahan sudah sepi. Sekolah tidak menyediakan parkiran motor. Karena memang seharusnya anak seusia kami belum boleh mengendarai sepeda motor, selain tidak memiliki SIM, usia kami masih di bawah umur untuk diperbolehkan naik sepeda motor, ikut berlalu lalang di jalan raya yang ramai kendaraan lain. Namun, mau bagaimana lagi, tidak semua anak menurut dan patuh. Malah kebanyakan dari anak-anak itu membangkang, tetap keras kepala meminta untuk naik motor sendiri ke sekolah. Mirisnya lagi, jika ada anak yang sampai mogok sekolah hanya karena tidak dibelikan motor sesuai keinginannya—biasanya mereka mengikuti teman. Tentu ke

  • Exit   5th

    Ternyata lembaran itu adalah hasil ulangan harian satu bulan lalu. Hadeh, aku menghela nafas malas. Kenapa baru diberikan setelah satu bulan berselang. Kalau saja ini adalah makanan yang tidak bisa bertahan jangka panjang, tentu saja sudah basi sebelum sampai ke tangan penerima. “Ya elah. Ulangan bulan lalu kenapa baru dikasih sekarang.” April mengomel entah dengan diri sendiri atau pada empat anak yang duduk berhadapan. “Biasa lah. Guru sudah usia lanjut, kadang suka pikunan.” Salah satu dari mereka yang memegang pulpen menatap April. “Lagian nilaimu nggak merosot, kok, Pril. Jadi, nggak perlu khawatir remedial ulangan harian.” Teman di sebelahnya yang memakai kaca mata ikut menimpali. April tidak menjawab, memasukkan lembaran i

  • Exit   Lembaran Apa?

    “Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny

  • Exit   Lembaran Apa

    “Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny

  • Exit   Apa Sebenarnya Tujuan April?

    April melangsungkan cerita menurut sudut pandangnya dengan lirih tapi jelas dan terperinci. Aku mendengarnya dengan seksama, tanpa menjeda, sesekali merespon dengan anggukan kepala, lalu melebarkan mata pada adegan puncak penyebab semua keributan ini, sama seperti di toilet ketika Laura bercerita padaku tadi. “Lalu maksud, rencana, dan tujuanmu itu apa, Pril?” Aku bertanya sedikit geram. Padahal kan April bisa saja meninggalkan Laura di kantin, mengabaikan Laura yang menumpahkan minuman tea jusku, mengacaukan jam makan siangku dan April. “Ceritaku belum selesai. Dengerin lagi.” April berbisik, kembali bercerita. “Hah? Apa? Aku nggak mau ikut. Jangan cari gara-gara, deh, Pril,” pekikku setelah mendengar tujuan April. Niatnya bagus, sih, untuk membantu Laura. Tapi, l

  • Exit   Buku Bahasa Asing

    Dan benar saja. Buku yang kuambil merupakan buku ilmiah self-reminder karya Charles Duhigg yang berjudul The Power of Habit, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia—kekuatan kebiasaan. Ketika aku membuka lembaran pertama firasat buruk menyergap. Benar saja, ketika tiba di bagian pertama aku menyadari sesuatu, menelan ludah. Sial ternyata buku aslinya, belum terjemahan, masih murni dalam bahasa asing. Aku mengatur nafas, merasa pusing kepala karena melihat banyak huruf-huruf menjadi kalimat, bak tanaman kebun besar yang saling menyesaki halaman, belum lagi bahasanya yang tidak akan pernah kumengerti. Aku melempar pandangan ke buku milik Laura sebelum rasa pusing membuatku pingsan di tempat dalam hitungan detik.“Kamu baca buku apa, Ra?” tanyaku ingin tahu sekaligus mengalihkan pikiran dari kesalahan memilih buku, tulisan bahasa asing itu masih sedikit mempengaruhi pusing kepalaku.“Ini, Kak. Buku novel karya Anna Godbersen. The Luxe, kisah orang-orang bangsawan New York pa

  • Exit   Pengawas Perpustakaan

    Aku akui, Laura memang benar-benar cantik bak orang luar negeri dengan kulit bersih, pipi memerah, dan hidung yang mancung. April juga sama cantik. Bedanya Laura lebih kebarat-baratan, April masih asli produk lokal. Tapi itu tidak jadi masalah. Toh, semua perempuan itu cantik, karena cantik itu relatif bukan menurut kata orang, tidak perlu mengikuti trend yang sedang gempar. Buat standart kecantikanmu sendiri. Kamu cantik di mata orang yang menyanyangimu. Dan ingat, paling utama kamu cantik dengan adanya dirimu sendiri, akui dirimu memang cantik meski jerawat sedang nangkring manja di pipi. Insecure memang manusiawi, tapi tidak perlu insecure yang berlebihan hingga membuat kamu kehilangan dirimu sendiri.Mungkin juga ketika kamu membaca ini, kamu juga sedang begadang dan pusing memikirkan produk apa yang bisa memutihkan kulit, obat manjur untuk jerawat batu, atau suplemen untuk badan kurus. Sebab siang tadi ada orang yang mengomentari bentuk akan dirimu, kamu hanya balas terse

  • Exit   9A Class

    Kami meneruskan langkah menuju perpustakan di seberang sana. Kalau kalian menebak kami melewati kelasku dan April atau tidak. Tentu jawaban kalian benar, jawabannya iya kami akan melewati ruang kelas yang seharusnya kami hindari. Bagaimana cara kami agar bisa terlepas atau setidaknya menghindar dari anak kelas, yang pasti mereka akan sama sedang mencari April seperti tiga siswi perempuan tadi. Aku sendiri belum memikirkannya, sedangkan April aku tidak tahu. Ia tidak mengatakannya padaku, ia lebih balas membalas sapaan orang-orang yang memberinya selamat atas show-nya tadi. Kalau dalam bidang olah suara, April memang menjuarai. Tahun lalu ia menjuarai peringkat kedua, sedangkan peringkat pertama diraih oleh kakak tingkat yang sekarang sudah menjadi alumni sekolah. Aku pastikan dengan yakin tahun ini April yang akan menggantikan kakak kelas itu menjadi Diva sekolahan. Ya, meski hanya diakui pihak sekolah, setidaknya itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Tidak sepertiku, yang t

DMCA.com Protection Status