Kurang dari lima menit peforma April selesai. Benar saja bukan kataku, bahwa April akan mendapat sorak sorai dari seluruh penonton, bahkan juri pun ikut berdiri. Tepuk tangan meriah bergema di lapangan. Teman-teman lain di lantai atas juga tidak ketinggalan show menakjubkan tadi, ikut bersorak, beberapa membawa balon yang digunakan untuk tepukan, menambah gebyar semarak.
April tersenyum lebar di sana, membungkuk-bungkuk, berucap terima kasih berulang kali. Hingga pembawa acara maju ke depan, memberi ucapan selamat pada April, lalu April menyerahkan mikrofon pada pembawa acara itu, berjalan menuruni tangga mini panggung.
“Oliiinnnn.” April berteriak, berjalan ke arahku dengan wajah sumringahnya.
Belum sempat aku membuka suara memberi selamat. April sudah dulu memeluk tubuhku erat hampir susah bernafas, aku yang tidak punya tenaga besar membalas pelukan dengan menahan nafas.
“Aku berhasil lagi. Terima kasih, ya.” April melepaskan pelukan, membuatku merasa lega bisa bernafas lancar.
“Kan, apa aku bilang,” ujarku masih mengambil oksigen sebanyak-banyaknya.
“Iyaaa.” Untuk sekali lagi tanpa aku ketahui geraknya. April memelukku erat, lebih erat dari sebelumnya. Beruntungnya juga tidak lebih lama dari pada sebelumnya.
“Kantin. Aku yang traktir.” April sudah memegang lenganku, menatapku, menawari untuk pergi ke kantin.
“Ya sudah. Gas kalau ditraktir,” kataku tertawa kecil.
April ikut tertawa. Kami berjalan berdampingan menuju kantin dengan tangan April yang masih mengenggam lenganku.
***
Sesampainya di kantin, April melepas pegangan tangan, bergumam pelan padaku untuk menunggu di bangku. Aku mengangguk, mengikuti saja, lagi pula aku sedang ditraktir, tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun. Itung-itung aku menghemat penggeluaran minggu ini, memanfaatkan kebaikan April hari ini.
Sekolah ini memiliki satu ruang kantin dengan tiap ruang ada tiga stand makanan di setiap lantainya. Karena aku dan April berada di lapangan, langsung saja kita menuju kantin yang berada di lantai bawah. Kantin ramai diisi anak-anak yang tidak terlalu tertarik dengan acara classmeet begini. Mereka lebih senang nongkrong di kantin, mengobrol apa saja sambil menikmati makanan yang dipesan. Dominan dari mereka semua adalah siswa laki-laki yang bodoa matan. Dua menit kemudian April menghampiriku yang menunggu di bangku sendirian.
“Kamu pesan apa?” tanyaku.
“Mie instan pakai telur,” jawab April, matanya memandangi arah lain, seperti mencari sesuatu.
“Nyari siapa?”
“Anak-anak lain,” lirih April menatapku.
Aku paham maksudnya. April mewaspadai teman-teman lain akan tiba-tiba datang dan ikut meminta jatah traktir.
“Aku lagi nggak bawa uang banyak. Papa pergi pagi-pagi banget tadi,” terang April, menjelaskan alasan dia hanya bisa mentraktirku, tidak lagi ingin mentraktir seluruh anak sekelas.
Aku manggut-manggut sudah paham. Pesanan datang ke meja kami dibawakan oleh ibu kantin.
“Tadi es tea jusnya dua, ya?” Ibu kantin itu bertanya menatap April, memastikan pesanan.
“Iya, benar, Bu,” jawab April. Aku hanya memandangi mereka bergantian.
Lantas Ibu kantin itu berjalan masuk stand, tidak lama kembali ke meja kami membawakan pesanan es. April dan aku serempak berucap terima kasih, mengangguk. Dua mie instan pakai telur rebus matang dan dua gelas es tea jus. Dalam hati aku menebak kalau tea jus yang dipesan April adalah tea jus rasa lemon.
“Lin.” April membuka suara, berusaha memotong mie yang panjang di dalam mangkok dengan sendoknya.
“Apa?” Aku merespon panggilan, sebelum akhirnya memasukkan satu suap mie ke dalam mulut, menatap April, menunggu kalimat selanjutnya.
“Kamu ada rencana akan masuk sekolah mana lulus nanti?” Satu pertanyaan klise dari April, ia masih keukeh memotong mie dengan sendok.
“Belum tahu, sih.”
“Kalau kamu bagaimana?” Aku menjawab sekaligus memberi melempar pertanyaan yang sama.
“Papah menyuruhku masuk SMA pilihannya. Yang paling terbaik dari yang terbaik, katanya.” April membanting pelan sendok ke dalam mangkok, mendesah kesal, mengambil garpu dari tempatnya.
Aku hanya bisa menatap heran sekaligus kasihan. Heran kenapa tiba-tiba April melempar sendok, seperti sedang meluapkan kekesalnnya, kasihan karena mengapa tidak sedari tadi ia menggunakan garpu, malah lebih memilih untuk keukeh memotong mie dengan satu sendok yang dimana pasti melelahkan tangan.
“Wah. Pilihan yang bagus dong.” Aku memuji pilihan Papahnya April, beliau memang selalu memberikan yang terbaik untuk April.
“Bagus apanya. Kalau aku tidak nyaman dan suka. Tetap saja kesannya nggak bagus.” April menggerutu, ia baru bisa mengunyah mie sambil cemberut.
“Memangnya kamu sudah ada pilihan sendiri?” tanyaku ingin tahu.
“Belum juga sih.” April menatapku sejenak lalu kembali sibuk dengan garpu baru dan mangkok mienya.
Kantin lama-kelamaan ramai didatangi penghuni sekolah lainnya, mungkin karena acara show di lapangan sedang dijeda, jadi anak-anak yang kelaparan memutuskan menunggu membeli camilan di kantin, mengisi lambung yang mengembung bosan. Pasangan muda yang jalan berdua, duduk berdekatan, saling bercanda gurau merupakan hal familiar yang akan kita dapat lihat dalam kegiatan classmeet. Mereka sangat pandai memanfaatkan hari bebas selama sekitar empat hari ini untuk mendekap rindu, mencairkan hati yang beku, memeluk perih yang mengringkih. Hei, hanya duduk berdua, memberi canda tawa, berbagi banyak hal, bukankah sudah cukup membawa euphoria dalam jiwa.
“Gimana?” April menatapku, mengangkat dagu. Aku menatapnya balik dengan kening berkerut, tidak paham. Gadis itu suka sekali menjeda bicaranya, membuat lawan bicaranya terlihat bodoh atau menatap tidak mengerti.
“Gimana rasa tea jusnya? Segar nggak?”
Aku ber-oh pelan. Ternyata April menanyakan minuman kesukaannya yang sedang ku pegang, belum sempat ku minum. Mie instan di mangkokku sudah habis sejak jawaban April tentang sekolah baru.
“Belum juga masuk ke mulut, Pril,” kesalku.
April nyengir. Bodohnya aku juga ikut terkekeh pelan. Ketika gelas es tea jus itu hampir menyentuh bibirku, seorang anak menabrak bangku meja makan kami lalu tak sengaja badannya menyenggol lenganku. Alhasil, jatah minuman segelas tea jusku itu tumpah mengenai seragam olahragaku, gelas plastiknya jatuh ke lantai. Untung saja gelasnya bukan gelas kaca, jadi tidak menimbulkan pecahan yang bisa saja harus bayar ganti rugi nantinya.
“Maaf, Kak. Maaf.” Seorang siswi perempuan yang menabrakku tadi berucap meminta maaf berulang-ulang, tangan kananya kirinya mengambil gelas yang jatuh, sedangkan tangan kananya sibuk mengusap bagian mata dan pipi.
April memberikan gelas minumnya padaku yang berusaha membersihkan seragam dari basah manis air es tea jus tadi, tatapannya seperti mengatakan ‘minum saja punyaku.’
“Kamu kenapa?” Bukannya menanyaiku, April malah mendekati siswi perempuan tadi.
“Eh, nggak kenapa-kenapa, kok, Kak. Maaf, ya, Kak,” ucap siswi perempuan itu dengan menundukkan pandangan, punggungnya bergetar.
“Kamu jangan bohong. Kamu kenapa?” April masih kurang puas dengan jawaban anak itu, bertanya menyelidiki, berusaha mengintip wajah siswi perempuan yang sudah membuat seragamku basah dan manis rasanya.
Thanks for reading.
Beberapa pengunjung kantin menonton keributan kecil yang dibuat siswi perempuan itu denganku dan April. Ibu kantin yang tadi membawakan pesanan kami juga diam melihat dari dalam standnya. Sudah tiga kali April bertanya, tiga kali juga siswi perempuan itu tidak menjawab dengan benar, hanya meminta maaf, dan keinginin untuk pergi tapi tangan kiri April sudah mengenggam tangan kanan siswi perempuan itu, menahan siswi itu untuk kabur entah apa yang ada di kepala April. Aku benar-benar tidak tahu.“Ayo!” Mendadak April menyeret tangan kananku dengan tangan kanannya, juga mengajak siswi perempuan itu ikut dengan kami.“Bu, bayarnya nanti sebelum pulang, ya,” teriak April pada ibu kantin yang diam di dalam stand.April tidak menunggui jawaban dari ibu kantin. Ia segera menarik aku dan siswi perempuan itu ke luar kantin, entah mau kemana aku masih belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran April. Pendatang kantin yang berdiri diam menonton di samping pintu ke luar
Suara pukulan yang dihantamkan ke pintu terdengar berulang-ulang, menyiksa gendang telinga. Jelas juga membuatku terlonjak kaget, refleks memegang tangan April karena ketakutan. April berdecak sebal, menghela napas.“Kan tadi aku suruh kamu jaga pintu, Oliiin.” April menoleh kepadaku, berbisik, menekankan setiap katanya, menahan kesal.“Ya, aku pikir benda mati nggak bakal bisa lari kemana-kemana,” balasku asal-asalan, suaraku gemetar.April memutar bola mata, melepaskan pegangan tanganku, aku hanya diam mematung kaku.“Ya sudah. Kamu masuk bareng anak tadi ke dalam saja. Sepertinya nggak dikunci sama dia. Jangan berisik dan berusaha tenang, ya.” Lagi-lagi April memberi titah yang akhirnya membuatku mematuhinya. Duh kalau bukan karena salahku lagi aku tidak akan mau masuk ke dalam bilik toilet bareng siswi itu. Mending saja aku ke luar, tapi lagi-lagi nyaliku tidak sebesar April untuk menghadapi seseorang yang menggedor
Suara kegaduhan di luar sudah tidak terdengar, atau memang sudah tidak ada. Aku masih membayangkan insiden yang diceritakan oleh Laura. Jika kalian ikut mengetahui cerita Laura, aku tidak tahu kalian akan merespon dengan ekpresi wajah yang bagaimana. Entah mungkin kalian akan merasa ini terlalu lebay atau sama sepertiku yang ikut menatap prihatin mendengarnya, hati tersentuh iba rasanya. Kenop pintu diputar, Laura refleks bersembunyi di belakang badankuku, sedangkan aku menahan nafas. Ketika pintu terbuka, barulah aku bisa kembali bernafas lega. April yang datang masuk, aku dan Laura sudah parnoan terlebih dahulu.“Kalian kenapa?” Itu kalimat sambutan April yang baru saja masuk tanpa aba-aba, yang berhasil membuat suasana mencekam selama beberapa detik. Aku menghela nafas, menahan kelas yang bisa kapan pun aku tumpahkan pada April. Tapi tidak kulakukan, di sampingku ada Laura yang masih gemetar ketakuta
Lima menit kami berpikir keras akan pindah tempat persembunyian di mana, belum juga menemukan jawabannya. “Kalau ruang seni gimana?” Aku mencoba memberi usul. April menggeleng. “Nggak mungkin. Itu lantai bawah. Ini untuk menghindar dari anak-anak yang tadi di kantin bawah. Kita harus cari ruang di lorong lantai atas. Lagian ruang seni pasti ramai.” April menjelaskan dengan seksama dan serius. Sudah seperti dictator yang sedang merencanakan perang, mengatur strategi pasukan, menata tempat yang akan diserbu saja. “Terus di mana dong?” tanyaku menyerah pasrah. “Kalau perpustakan lantai atas bagaimana, Kak?” Tiba-tiba Laura membuka suara, mem
Kami meneruskan langkah menuju perpustakan di seberang sana. Kalau kalian menebak kami melewati kelasku dan April atau tidak. Tentu jawaban kalian benar, jawabannya iya kami akan melewati ruang kelas yang seharusnya kami hindari. Bagaimana cara kami agar bisa terlepas atau setidaknya menghindar dari anak kelas, yang pasti mereka akan sama sedang mencari April seperti tiga siswi perempuan tadi. Aku sendiri belum memikirkannya, sedangkan April aku tidak tahu. Ia tidak mengatakannya padaku, ia lebih balas membalas sapaan orang-orang yang memberinya selamat atas show-nya tadi. Kalau dalam bidang olah suara, April memang menjuarai. Tahun lalu ia menjuarai peringkat kedua, sedangkan peringkat pertama diraih oleh kakak tingkat yang sekarang sudah menjadi alumni sekolah. Aku pastikan dengan yakin tahun ini April yang akan menggantikan kakak kelas itu menjadi Diva sekolahan. Ya, meski hanya diakui pihak sekolah, setidaknya itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Tidak sepertiku, yang t
Aku akui, Laura memang benar-benar cantik bak orang luar negeri dengan kulit bersih, pipi memerah, dan hidung yang mancung. April juga sama cantik. Bedanya Laura lebih kebarat-baratan, April masih asli produk lokal. Tapi itu tidak jadi masalah. Toh, semua perempuan itu cantik, karena cantik itu relatif bukan menurut kata orang, tidak perlu mengikuti trend yang sedang gempar. Buat standart kecantikanmu sendiri. Kamu cantik di mata orang yang menyanyangimu. Dan ingat, paling utama kamu cantik dengan adanya dirimu sendiri, akui dirimu memang cantik meski jerawat sedang nangkring manja di pipi. Insecure memang manusiawi, tapi tidak perlu insecure yang berlebihan hingga membuat kamu kehilangan dirimu sendiri.Mungkin juga ketika kamu membaca ini, kamu juga sedang begadang dan pusing memikirkan produk apa yang bisa memutihkan kulit, obat manjur untuk jerawat batu, atau suplemen untuk badan kurus. Sebab siang tadi ada orang yang mengomentari bentuk akan dirimu, kamu hanya balas terse
Dan benar saja. Buku yang kuambil merupakan buku ilmiah self-reminder karya Charles Duhigg yang berjudul The Power of Habit, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia—kekuatan kebiasaan. Ketika aku membuka lembaran pertama firasat buruk menyergap. Benar saja, ketika tiba di bagian pertama aku menyadari sesuatu, menelan ludah. Sial ternyata buku aslinya, belum terjemahan, masih murni dalam bahasa asing. Aku mengatur nafas, merasa pusing kepala karena melihat banyak huruf-huruf menjadi kalimat, bak tanaman kebun besar yang saling menyesaki halaman, belum lagi bahasanya yang tidak akan pernah kumengerti. Aku melempar pandangan ke buku milik Laura sebelum rasa pusing membuatku pingsan di tempat dalam hitungan detik.“Kamu baca buku apa, Ra?” tanyaku ingin tahu sekaligus mengalihkan pikiran dari kesalahan memilih buku, tulisan bahasa asing itu masih sedikit mempengaruhi pusing kepalaku.“Ini, Kak. Buku novel karya Anna Godbersen. The Luxe, kisah orang-orang bangsawan New York pa
April melangsungkan cerita menurut sudut pandangnya dengan lirih tapi jelas dan terperinci. Aku mendengarnya dengan seksama, tanpa menjeda, sesekali merespon dengan anggukan kepala, lalu melebarkan mata pada adegan puncak penyebab semua keributan ini, sama seperti di toilet ketika Laura bercerita padaku tadi. “Lalu maksud, rencana, dan tujuanmu itu apa, Pril?” Aku bertanya sedikit geram. Padahal kan April bisa saja meninggalkan Laura di kantin, mengabaikan Laura yang menumpahkan minuman tea jusku, mengacaukan jam makan siangku dan April. “Ceritaku belum selesai. Dengerin lagi.” April berbisik, kembali bercerita. “Hah? Apa? Aku nggak mau ikut. Jangan cari gara-gara, deh, Pril,” pekikku setelah mendengar tujuan April. Niatnya bagus, sih, untuk membantu Laura. Tapi, l
Di rumah makan ini. Mama memiliki lima karyawan tetap yang sudah lama mengabdi dan menjadi andalan Mama. Kalian sudah tahu dua di antaranya. Kak Mary yang mendapat bagian mengurus menu apa yang dipesan sekaligus menghitung masalah keuangan yang akan dilaporkan pada Mama. Sesekali Mama membantu Kak Mary untuk menghitung uang, karena memang pekerjaan soal hitung menghitung uang tidak bisa disepelekan. Apalagi itu adalah uang milik tempat kerja. Lalu ada Kak Mira, seorang asisten chef kepercayaan Mama yang ditugaskan di bagian dapur. Ikut membantu acara masak-memasak Mama. Kalau pesanan membludak, Mama mempunyai satu lagi asisten chef laki-laki, yaitu Kak Koko, yang tugas sampingannya ringan sebagai delivery order. Entah kenapa Mama menempatkan Kak Koko di bagian delivery order, padahal tidak banyak yang akan memesan online. Kalau pun ada mereka lebih memilih menggunakan aplikasi online saja. Tapi tentu Kak Koko ini bisa diandalkan jika soal urusan distributor. Kadang Mama meminta bant
Jalanan depan sekolah tidak terlalu sepi, juga tidak terlalu ramai. Biasa-biasa saja. Di siang jam kerja ini siapa yang mau keluar jalan-jalan kecuali memang itu profesi mereka. Kalau profesi di bagian dalam ruangan, seperti pegawai kantor mau apa keluar jika tidak ada keperluan. Parkiran motor siswa siswi yang biasanya dititipkan di rumah orang yang berada di dekat sekolahan sudah sepi. Sekolah tidak menyediakan parkiran motor. Karena memang seharusnya anak seusia kami belum boleh mengendarai sepeda motor, selain tidak memiliki SIM, usia kami masih di bawah umur untuk diperbolehkan naik sepeda motor, ikut berlalu lalang di jalan raya yang ramai kendaraan lain. Namun, mau bagaimana lagi, tidak semua anak menurut dan patuh. Malah kebanyakan dari anak-anak itu membangkang, tetap keras kepala meminta untuk naik motor sendiri ke sekolah. Mirisnya lagi, jika ada anak yang sampai mogok sekolah hanya karena tidak dibelikan motor sesuai keinginannya—biasanya mereka mengikuti teman. Tentu ke
Ternyata lembaran itu adalah hasil ulangan harian satu bulan lalu. Hadeh, aku menghela nafas malas. Kenapa baru diberikan setelah satu bulan berselang. Kalau saja ini adalah makanan yang tidak bisa bertahan jangka panjang, tentu saja sudah basi sebelum sampai ke tangan penerima. “Ya elah. Ulangan bulan lalu kenapa baru dikasih sekarang.” April mengomel entah dengan diri sendiri atau pada empat anak yang duduk berhadapan. “Biasa lah. Guru sudah usia lanjut, kadang suka pikunan.” Salah satu dari mereka yang memegang pulpen menatap April. “Lagian nilaimu nggak merosot, kok, Pril. Jadi, nggak perlu khawatir remedial ulangan harian.” Teman di sebelahnya yang memakai kaca mata ikut menimpali. April tidak menjawab, memasukkan lembaran i
“Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny
“Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny
April melangsungkan cerita menurut sudut pandangnya dengan lirih tapi jelas dan terperinci. Aku mendengarnya dengan seksama, tanpa menjeda, sesekali merespon dengan anggukan kepala, lalu melebarkan mata pada adegan puncak penyebab semua keributan ini, sama seperti di toilet ketika Laura bercerita padaku tadi. “Lalu maksud, rencana, dan tujuanmu itu apa, Pril?” Aku bertanya sedikit geram. Padahal kan April bisa saja meninggalkan Laura di kantin, mengabaikan Laura yang menumpahkan minuman tea jusku, mengacaukan jam makan siangku dan April. “Ceritaku belum selesai. Dengerin lagi.” April berbisik, kembali bercerita. “Hah? Apa? Aku nggak mau ikut. Jangan cari gara-gara, deh, Pril,” pekikku setelah mendengar tujuan April. Niatnya bagus, sih, untuk membantu Laura. Tapi, l
Dan benar saja. Buku yang kuambil merupakan buku ilmiah self-reminder karya Charles Duhigg yang berjudul The Power of Habit, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia—kekuatan kebiasaan. Ketika aku membuka lembaran pertama firasat buruk menyergap. Benar saja, ketika tiba di bagian pertama aku menyadari sesuatu, menelan ludah. Sial ternyata buku aslinya, belum terjemahan, masih murni dalam bahasa asing. Aku mengatur nafas, merasa pusing kepala karena melihat banyak huruf-huruf menjadi kalimat, bak tanaman kebun besar yang saling menyesaki halaman, belum lagi bahasanya yang tidak akan pernah kumengerti. Aku melempar pandangan ke buku milik Laura sebelum rasa pusing membuatku pingsan di tempat dalam hitungan detik.“Kamu baca buku apa, Ra?” tanyaku ingin tahu sekaligus mengalihkan pikiran dari kesalahan memilih buku, tulisan bahasa asing itu masih sedikit mempengaruhi pusing kepalaku.“Ini, Kak. Buku novel karya Anna Godbersen. The Luxe, kisah orang-orang bangsawan New York pa
Aku akui, Laura memang benar-benar cantik bak orang luar negeri dengan kulit bersih, pipi memerah, dan hidung yang mancung. April juga sama cantik. Bedanya Laura lebih kebarat-baratan, April masih asli produk lokal. Tapi itu tidak jadi masalah. Toh, semua perempuan itu cantik, karena cantik itu relatif bukan menurut kata orang, tidak perlu mengikuti trend yang sedang gempar. Buat standart kecantikanmu sendiri. Kamu cantik di mata orang yang menyanyangimu. Dan ingat, paling utama kamu cantik dengan adanya dirimu sendiri, akui dirimu memang cantik meski jerawat sedang nangkring manja di pipi. Insecure memang manusiawi, tapi tidak perlu insecure yang berlebihan hingga membuat kamu kehilangan dirimu sendiri.Mungkin juga ketika kamu membaca ini, kamu juga sedang begadang dan pusing memikirkan produk apa yang bisa memutihkan kulit, obat manjur untuk jerawat batu, atau suplemen untuk badan kurus. Sebab siang tadi ada orang yang mengomentari bentuk akan dirimu, kamu hanya balas terse
Kami meneruskan langkah menuju perpustakan di seberang sana. Kalau kalian menebak kami melewati kelasku dan April atau tidak. Tentu jawaban kalian benar, jawabannya iya kami akan melewati ruang kelas yang seharusnya kami hindari. Bagaimana cara kami agar bisa terlepas atau setidaknya menghindar dari anak kelas, yang pasti mereka akan sama sedang mencari April seperti tiga siswi perempuan tadi. Aku sendiri belum memikirkannya, sedangkan April aku tidak tahu. Ia tidak mengatakannya padaku, ia lebih balas membalas sapaan orang-orang yang memberinya selamat atas show-nya tadi. Kalau dalam bidang olah suara, April memang menjuarai. Tahun lalu ia menjuarai peringkat kedua, sedangkan peringkat pertama diraih oleh kakak tingkat yang sekarang sudah menjadi alumni sekolah. Aku pastikan dengan yakin tahun ini April yang akan menggantikan kakak kelas itu menjadi Diva sekolahan. Ya, meski hanya diakui pihak sekolah, setidaknya itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Tidak sepertiku, yang t