Beranda / Romansa / Exit / Laura Bercerita

Share

Laura Bercerita

Penulis: Aksara Raya
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-03 20:39:43

Suara pukulan yang dihantamkan ke pintu terdengar berulang-ulang, menyiksa gendang telinga. Jelas juga membuatku terlonjak kaget, refleks memegang tangan April karena ketakutan. April berdecak sebal, menghela napas.

“Kan tadi aku suruh kamu jaga pintu, Oliiin.” April menoleh kepadaku, berbisik, menekankan setiap katanya, menahan kesal.

“Ya, aku pikir benda mati nggak bakal bisa lari kemana-kemana,” balasku asal-asalan, suaraku gemetar.

April memutar bola mata, melepaskan pegangan tanganku, aku hanya diam mematung kaku.

“Ya sudah. Kamu masuk bareng anak tadi ke dalam saja. Sepertinya nggak dikunci sama dia. Jangan berisik dan berusaha tenang, ya.” Lagi-lagi April memberi titah yang akhirnya membuatku mematuhinya. Duh kalau bukan karena salahku lagi aku tidak akan mau masuk ke dalam bilik toilet bareng siswi itu. Mending saja aku ke luar, tapi lagi-lagi nyaliku tidak sebesar April untuk menghadapi seseorang yang menggedor pintu.

“Jangan nakut-nakutin. Kalau bisa tenangin anak itu.” Seperti bisa membaca pikiranku April memberi peringatan, mengacungkan jempol.

Aku balas mengangguk, memutar kenop pintu, mencoba membuka pintu bilik yang dipakai siswi itu, dan benar dugaan April, pintu itu tidak terkunci. Sebelum masuk, aku menoleh sekilas ke belakang, dimana April yang sudah berjalan menuju pintu toilet.

***

Dari dalam bilik aku tidak bisa mendengar jelas apa yang sedang terjadi di luar sana. Hanya yang pasti, lawan bicara April adalah sosok laki-laki. Aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih, untuk menerka-nerka siapa sekiranya yang sedang berbincang dengan April di luar. Mungkin pegawai kebersihan sekolah, karena tadi aku dan April membuat lantai kotor dengan air tea jus yang manis juga lengket. Mungkin juga juri laki-laki yang tadi memberikan tepuk tangan paling meriah untuk April, menyuarakan pujian berderet-deret kalimat, berniat membawa April menuju audisi ternama paling bergengsi. Mungkin juga teman kelas kami yang mengetahui bahwa tadi April mentraktirku saja, tanpa mengajak mereka semua ke kantin. Apa kalian bisa menebaknya? Siapa sosok laki-laki yang sedang beradu argument dengan April di luar toilet? Sebenarnya ini scenario cerita yang bagaimana sih? Membingungkan. Aku saja berniat ingin ke luar, tapi suara kegaduhan di depan terdengar jelas, sosok laki-laki itu membentak dengan suara besarnya. Aku mengigit bibir bawah, bagaimana nasib April temanku? Tiba-tiba aku teringat nasihat April, untuk menenangkan siswi perempuan yang sekarang ada di hadapanku.

Siswi perempuan itu masih menundukkan kepala, membuat leherku yang malah merasakan pegal. Rambut panjangnya sudah dikuncir jadi satu belakang sesuai perintah April, samar-samar wajahnya kelihatan. Bibirnya sudah tidak terlipat, namun berubah jadi bergetar. Pipinya yang tadi basah sekarang sudah mengering. Ia tidak memandangku sama sekali.

“Hei, kamu gapapa, kan?” Aku mulai bertanya, berusaha setenang mungkin meski rasanya suaraku yang terdengar bergetar.

“Engg… engga apa-apa, kok, Kak,” jawabnya terputus-putus. Kenapa, sih? Apa dia takut kepadaku karena merasa bersalah sudah menumpahkan minumanku?

“Masalah minuman tadi kamu nggak perlu mikirin. Lagian aku sama April bisa beli lagi nanti,” terangku, berusaha menenangkan siswi itu yang menurut pradugaku masih merasa bersalah tentang segelas tea jus.

“Iya. Terima kasih, Kak.”

Eh, aku mengerjapkan mata. Terima kasih untuk apa? Aku merasa tidak memberikan dia uang atau barang apapun.

“Kamu bisa ceritain semuanya ke aku nggak? Bingung aku dibuat sama April.” Aku sedikit sebal, kebingunan ini disebabkan oleh ulah April.

Entah dapat hidayah dari mana, siswi perempuan itu perlahan mengangkat kepala, menatap wajah kebingunanku, terlihat bodoh sekali diriku di hadapan adik kelas. Aku juga balas menatapnya bengong. Sepertinya aku tidak asing dengan siswi perempuan di hadapanku ini. Suara kegaduhan di luar masih terdengar, entah April masih kuat nyali atau tidak, aku lebih terfokus dengan anak di depanku. Wajahnya cantik, hidung mancung, pipi merah merona, kulit bersih. Hei, aku ingat, dia adalah pasangan yang sedang gempar di seantero sekolahan ini. Setiap istirahat aku biasa melihatnya berjalan berdampingan dengan pacarnya, seorang anak laki-laki yang juga terkenal, tidak kalah cakep dengan artis-artis penyanyi yang diidolakan April. Mereka membuat anak-anak yang lain merasa iri dengan kemesraan yang dipamerkan siswi perempuan ini dengan pacarnya. Pulang bareng, jalan-jalan weekend, hang out, saling menggoda ketika jam istirahat. Asli sudah lengket amat kayak lem.

“Namaku Laura, Kak.” Aku menghela nafas lega. Akhirnya dia membuka suara juga, aku sudah takut bahwa ia akan bungkam dan masalah ini tidak selesai-selesai. Karena aku yakin pasti aku akan ikut terseret lagi.

“Panggil saja aku Olin,” jawabku memperkenal diri, tersenyum seramah mungkin, agar tidak membuatnya takut lagi. Dipikir aku ini rentenir kali, ya. Yang bakal mengejarnya kemana pun untuk mendapatkan tagihan bulanan.

“Iya, Kak Olin.”

Aku manggut-manggut. Anaknya sopan sekali ternyata, sepertinya juga baik, tidak kelihatan memiliki kriteria jahat.

“Memangnya ada apa, sih, Laura?” Aku mendekatkan badan, ingin mengetahui yang sebenarnya terjadi dari mulut Laura.

Karena semua ini terjadi akibat Laura menyenggol tanganku, menumpahkan tea jus, lalu April membawa Laura ikut bersama kami. Eh, maksudku yang tahu semua ini, ya, hanya April dan Laura. Aku mana ngerti. Disuruh menjaga benda mati saja, main iya-iya saja. Dan sekarang masuk ke dalam bilik toilet bersama anak perempuan, hei April, aku tuh risih tahu nggak sih kamu. Awas saja nanti, akan kutarik pita suaramu agar tidak bisa menyanyi lagi.

Demi melihat wajah bingung campur kesalku, Laura mulai menceritakan awal kenapa ia bisa oleng, menabrak meja ku, dan menyenggol lengan, menumpahkan tea jus yang belum sempat masuk ke kekerongkongan yang dehidrasi ini. Selagi Laura berdongeng, aku yang mendengarkan dengan raut muka betapa bodohnya diriku. Suara kegaduhan di luar sana berangsur tidak terdengar lagi, bentakan hebat memekakan gendang telinga itu sudah tidak ada, tapi aku belum mendengar langkah sepatu hak hitam standar April yang memasuki toilet. Untuk kesekian kali, aku melihat ketrampilan April yang bisa berlari ke luar kantin dengan sepatu hak standart, ya, meski tidak setinggi high heels orang-orang. Tetapi April bisa menyeimbangkan tubuh tanpa kejengklok, bukan. Kalau aku dibandingkan dengan April yang multitalenta, ya jelas kalah telak. Anaknya menyebalkan tapi juga menyenangkan.

***

Selama hampir delapan menit aku mendengar Laura mendongeng, mencoba mencerna setiap adegan, mematut-matut memahami, merubah raut muka ikut prihatin.

“Kok bisa gitu, ya, ada manusia modelan begitu.” Komentarku heran ketika Laura menyelesaikan ceritanya. Aku dan Laura sudah pindah ke luar dari bilik toilet pengap itu sebelum Laura memulai cerita.

Siapa yang akan betah dengan hawa pengap di bilik toilet sambil mendengarkan cerita? Mematut diam menahan suasana tidak nyaman. Dari pada aku tidak bisa memahami cerita Laura, jadi aku memutuskan mengajaknya ke luar. Lagi pula aku juga kakak tingkat akhir yang mempunyai hak mengambil keputusan, ya, kan. Aku rasa Laura sama tidak tahan dengan suasana bilik itu.

Thanks for reading.

Bab terkait

  • Exit   Who?

    Suara kegaduhan di luar sudah tidak terdengar, atau memang sudah tidak ada. Aku masih membayangkan insiden yang diceritakan oleh Laura. Jika kalian ikut mengetahui cerita Laura, aku tidak tahu kalian akan merespon dengan ekpresi wajah yang bagaimana. Entah mungkin kalian akan merasa ini terlalu lebay atau sama sepertiku yang ikut menatap prihatin mendengarnya, hati tersentuh iba rasanya. Kenop pintu diputar, Laura refleks bersembunyi di belakang badankuku, sedangkan aku menahan nafas. Ketika pintu terbuka, barulah aku bisa kembali bernafas lega. April yang datang masuk, aku dan Laura sudah parnoan terlebih dahulu.“Kalian kenapa?” Itu kalimat sambutan April yang baru saja masuk tanpa aba-aba, yang berhasil membuat suasana mencekam selama beberapa detik. Aku menghela nafas, menahan kelas yang bisa kapan pun aku tumpahkan pada April. Tapi tidak kulakukan, di sampingku ada Laura yang masih gemetar ketakuta

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-03
  • Exit   Teater

    Lima menit kami berpikir keras akan pindah tempat persembunyian di mana, belum juga menemukan jawabannya. “Kalau ruang seni gimana?” Aku mencoba memberi usul. April menggeleng. “Nggak mungkin. Itu lantai bawah. Ini untuk menghindar dari anak-anak yang tadi di kantin bawah. Kita harus cari ruang di lorong lantai atas. Lagian ruang seni pasti ramai.” April menjelaskan dengan seksama dan serius. Sudah seperti dictator yang sedang merencanakan perang, mengatur strategi pasukan, menata tempat yang akan diserbu saja. “Terus di mana dong?” tanyaku menyerah pasrah. “Kalau perpustakan lantai atas bagaimana, Kak?” Tiba-tiba Laura membuka suara, mem

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-09
  • Exit   9A Class

    Kami meneruskan langkah menuju perpustakan di seberang sana. Kalau kalian menebak kami melewati kelasku dan April atau tidak. Tentu jawaban kalian benar, jawabannya iya kami akan melewati ruang kelas yang seharusnya kami hindari. Bagaimana cara kami agar bisa terlepas atau setidaknya menghindar dari anak kelas, yang pasti mereka akan sama sedang mencari April seperti tiga siswi perempuan tadi. Aku sendiri belum memikirkannya, sedangkan April aku tidak tahu. Ia tidak mengatakannya padaku, ia lebih balas membalas sapaan orang-orang yang memberinya selamat atas show-nya tadi. Kalau dalam bidang olah suara, April memang menjuarai. Tahun lalu ia menjuarai peringkat kedua, sedangkan peringkat pertama diraih oleh kakak tingkat yang sekarang sudah menjadi alumni sekolah. Aku pastikan dengan yakin tahun ini April yang akan menggantikan kakak kelas itu menjadi Diva sekolahan. Ya, meski hanya diakui pihak sekolah, setidaknya itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Tidak sepertiku, yang t

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-09
  • Exit   Pengawas Perpustakaan

    Aku akui, Laura memang benar-benar cantik bak orang luar negeri dengan kulit bersih, pipi memerah, dan hidung yang mancung. April juga sama cantik. Bedanya Laura lebih kebarat-baratan, April masih asli produk lokal. Tapi itu tidak jadi masalah. Toh, semua perempuan itu cantik, karena cantik itu relatif bukan menurut kata orang, tidak perlu mengikuti trend yang sedang gempar. Buat standart kecantikanmu sendiri. Kamu cantik di mata orang yang menyanyangimu. Dan ingat, paling utama kamu cantik dengan adanya dirimu sendiri, akui dirimu memang cantik meski jerawat sedang nangkring manja di pipi. Insecure memang manusiawi, tapi tidak perlu insecure yang berlebihan hingga membuat kamu kehilangan dirimu sendiri.Mungkin juga ketika kamu membaca ini, kamu juga sedang begadang dan pusing memikirkan produk apa yang bisa memutihkan kulit, obat manjur untuk jerawat batu, atau suplemen untuk badan kurus. Sebab siang tadi ada orang yang mengomentari bentuk akan dirimu, kamu hanya balas terse

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-09
  • Exit   Buku Bahasa Asing

    Dan benar saja. Buku yang kuambil merupakan buku ilmiah self-reminder karya Charles Duhigg yang berjudul The Power of Habit, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia—kekuatan kebiasaan. Ketika aku membuka lembaran pertama firasat buruk menyergap. Benar saja, ketika tiba di bagian pertama aku menyadari sesuatu, menelan ludah. Sial ternyata buku aslinya, belum terjemahan, masih murni dalam bahasa asing. Aku mengatur nafas, merasa pusing kepala karena melihat banyak huruf-huruf menjadi kalimat, bak tanaman kebun besar yang saling menyesaki halaman, belum lagi bahasanya yang tidak akan pernah kumengerti. Aku melempar pandangan ke buku milik Laura sebelum rasa pusing membuatku pingsan di tempat dalam hitungan detik.“Kamu baca buku apa, Ra?” tanyaku ingin tahu sekaligus mengalihkan pikiran dari kesalahan memilih buku, tulisan bahasa asing itu masih sedikit mempengaruhi pusing kepalaku.“Ini, Kak. Buku novel karya Anna Godbersen. The Luxe, kisah orang-orang bangsawan New York pa

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-09
  • Exit   Apa Sebenarnya Tujuan April?

    April melangsungkan cerita menurut sudut pandangnya dengan lirih tapi jelas dan terperinci. Aku mendengarnya dengan seksama, tanpa menjeda, sesekali merespon dengan anggukan kepala, lalu melebarkan mata pada adegan puncak penyebab semua keributan ini, sama seperti di toilet ketika Laura bercerita padaku tadi. “Lalu maksud, rencana, dan tujuanmu itu apa, Pril?” Aku bertanya sedikit geram. Padahal kan April bisa saja meninggalkan Laura di kantin, mengabaikan Laura yang menumpahkan minuman tea jusku, mengacaukan jam makan siangku dan April. “Ceritaku belum selesai. Dengerin lagi.” April berbisik, kembali bercerita. “Hah? Apa? Aku nggak mau ikut. Jangan cari gara-gara, deh, Pril,” pekikku setelah mendengar tujuan April. Niatnya bagus, sih, untuk membantu Laura. Tapi, l

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-07
  • Exit   Lembaran Apa

    “Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-01
  • Exit   Lembaran Apa?

    “Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-02

Bab terbaru

  • Exit   Cadangan

    Di rumah makan ini. Mama memiliki lima karyawan tetap yang sudah lama mengabdi dan menjadi andalan Mama. Kalian sudah tahu dua di antaranya. Kak Mary yang mendapat bagian mengurus menu apa yang dipesan sekaligus menghitung masalah keuangan yang akan dilaporkan pada Mama. Sesekali Mama membantu Kak Mary untuk menghitung uang, karena memang pekerjaan soal hitung menghitung uang tidak bisa disepelekan. Apalagi itu adalah uang milik tempat kerja. Lalu ada Kak Mira, seorang asisten chef kepercayaan Mama yang ditugaskan di bagian dapur. Ikut membantu acara masak-memasak Mama. Kalau pesanan membludak, Mama mempunyai satu lagi asisten chef laki-laki, yaitu Kak Koko, yang tugas sampingannya ringan sebagai delivery order. Entah kenapa Mama menempatkan Kak Koko di bagian delivery order, padahal tidak banyak yang akan memesan online. Kalau pun ada mereka lebih memilih menggunakan aplikasi online saja. Tapi tentu Kak Koko ini bisa diandalkan jika soal urusan distributor. Kadang Mama meminta bant

  • Exit   Arda Eatery

    Jalanan depan sekolah tidak terlalu sepi, juga tidak terlalu ramai. Biasa-biasa saja. Di siang jam kerja ini siapa yang mau keluar jalan-jalan kecuali memang itu profesi mereka. Kalau profesi di bagian dalam ruangan, seperti pegawai kantor mau apa keluar jika tidak ada keperluan. Parkiran motor siswa siswi yang biasanya dititipkan di rumah orang yang berada di dekat sekolahan sudah sepi. Sekolah tidak menyediakan parkiran motor. Karena memang seharusnya anak seusia kami belum boleh mengendarai sepeda motor, selain tidak memiliki SIM, usia kami masih di bawah umur untuk diperbolehkan naik sepeda motor, ikut berlalu lalang di jalan raya yang ramai kendaraan lain. Namun, mau bagaimana lagi, tidak semua anak menurut dan patuh. Malah kebanyakan dari anak-anak itu membangkang, tetap keras kepala meminta untuk naik motor sendiri ke sekolah. Mirisnya lagi, jika ada anak yang sampai mogok sekolah hanya karena tidak dibelikan motor sesuai keinginannya—biasanya mereka mengikuti teman. Tentu ke

  • Exit   5th

    Ternyata lembaran itu adalah hasil ulangan harian satu bulan lalu. Hadeh, aku menghela nafas malas. Kenapa baru diberikan setelah satu bulan berselang. Kalau saja ini adalah makanan yang tidak bisa bertahan jangka panjang, tentu saja sudah basi sebelum sampai ke tangan penerima. “Ya elah. Ulangan bulan lalu kenapa baru dikasih sekarang.” April mengomel entah dengan diri sendiri atau pada empat anak yang duduk berhadapan. “Biasa lah. Guru sudah usia lanjut, kadang suka pikunan.” Salah satu dari mereka yang memegang pulpen menatap April. “Lagian nilaimu nggak merosot, kok, Pril. Jadi, nggak perlu khawatir remedial ulangan harian.” Teman di sebelahnya yang memakai kaca mata ikut menimpali. April tidak menjawab, memasukkan lembaran i

  • Exit   Lembaran Apa?

    “Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny

  • Exit   Lembaran Apa

    “Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny

  • Exit   Apa Sebenarnya Tujuan April?

    April melangsungkan cerita menurut sudut pandangnya dengan lirih tapi jelas dan terperinci. Aku mendengarnya dengan seksama, tanpa menjeda, sesekali merespon dengan anggukan kepala, lalu melebarkan mata pada adegan puncak penyebab semua keributan ini, sama seperti di toilet ketika Laura bercerita padaku tadi. “Lalu maksud, rencana, dan tujuanmu itu apa, Pril?” Aku bertanya sedikit geram. Padahal kan April bisa saja meninggalkan Laura di kantin, mengabaikan Laura yang menumpahkan minuman tea jusku, mengacaukan jam makan siangku dan April. “Ceritaku belum selesai. Dengerin lagi.” April berbisik, kembali bercerita. “Hah? Apa? Aku nggak mau ikut. Jangan cari gara-gara, deh, Pril,” pekikku setelah mendengar tujuan April. Niatnya bagus, sih, untuk membantu Laura. Tapi, l

  • Exit   Buku Bahasa Asing

    Dan benar saja. Buku yang kuambil merupakan buku ilmiah self-reminder karya Charles Duhigg yang berjudul The Power of Habit, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia—kekuatan kebiasaan. Ketika aku membuka lembaran pertama firasat buruk menyergap. Benar saja, ketika tiba di bagian pertama aku menyadari sesuatu, menelan ludah. Sial ternyata buku aslinya, belum terjemahan, masih murni dalam bahasa asing. Aku mengatur nafas, merasa pusing kepala karena melihat banyak huruf-huruf menjadi kalimat, bak tanaman kebun besar yang saling menyesaki halaman, belum lagi bahasanya yang tidak akan pernah kumengerti. Aku melempar pandangan ke buku milik Laura sebelum rasa pusing membuatku pingsan di tempat dalam hitungan detik.“Kamu baca buku apa, Ra?” tanyaku ingin tahu sekaligus mengalihkan pikiran dari kesalahan memilih buku, tulisan bahasa asing itu masih sedikit mempengaruhi pusing kepalaku.“Ini, Kak. Buku novel karya Anna Godbersen. The Luxe, kisah orang-orang bangsawan New York pa

  • Exit   Pengawas Perpustakaan

    Aku akui, Laura memang benar-benar cantik bak orang luar negeri dengan kulit bersih, pipi memerah, dan hidung yang mancung. April juga sama cantik. Bedanya Laura lebih kebarat-baratan, April masih asli produk lokal. Tapi itu tidak jadi masalah. Toh, semua perempuan itu cantik, karena cantik itu relatif bukan menurut kata orang, tidak perlu mengikuti trend yang sedang gempar. Buat standart kecantikanmu sendiri. Kamu cantik di mata orang yang menyanyangimu. Dan ingat, paling utama kamu cantik dengan adanya dirimu sendiri, akui dirimu memang cantik meski jerawat sedang nangkring manja di pipi. Insecure memang manusiawi, tapi tidak perlu insecure yang berlebihan hingga membuat kamu kehilangan dirimu sendiri.Mungkin juga ketika kamu membaca ini, kamu juga sedang begadang dan pusing memikirkan produk apa yang bisa memutihkan kulit, obat manjur untuk jerawat batu, atau suplemen untuk badan kurus. Sebab siang tadi ada orang yang mengomentari bentuk akan dirimu, kamu hanya balas terse

  • Exit   9A Class

    Kami meneruskan langkah menuju perpustakan di seberang sana. Kalau kalian menebak kami melewati kelasku dan April atau tidak. Tentu jawaban kalian benar, jawabannya iya kami akan melewati ruang kelas yang seharusnya kami hindari. Bagaimana cara kami agar bisa terlepas atau setidaknya menghindar dari anak kelas, yang pasti mereka akan sama sedang mencari April seperti tiga siswi perempuan tadi. Aku sendiri belum memikirkannya, sedangkan April aku tidak tahu. Ia tidak mengatakannya padaku, ia lebih balas membalas sapaan orang-orang yang memberinya selamat atas show-nya tadi. Kalau dalam bidang olah suara, April memang menjuarai. Tahun lalu ia menjuarai peringkat kedua, sedangkan peringkat pertama diraih oleh kakak tingkat yang sekarang sudah menjadi alumni sekolah. Aku pastikan dengan yakin tahun ini April yang akan menggantikan kakak kelas itu menjadi Diva sekolahan. Ya, meski hanya diakui pihak sekolah, setidaknya itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Tidak sepertiku, yang t

DMCA.com Protection Status