Kami meneruskan langkah menuju perpustakan di seberang sana. Kalau kalian menebak kami melewati kelasku dan April atau tidak. Tentu jawaban kalian benar, jawabannya iya kami akan melewati ruang kelas yang seharusnya kami hindari. Bagaimana cara kami agar bisa terlepas atau setidaknya menghindar dari anak kelas, yang pasti mereka akan sama sedang mencari April seperti tiga siswi perempuan tadi. Aku sendiri belum memikirkannya, sedangkan April aku tidak tahu. Ia tidak mengatakannya padaku, ia lebih balas membalas sapaan orang-orang yang memberinya selamat atas show-nya tadi. Kalau dalam bidang olah suara, April memang menjuarai. Tahun lalu ia menjuarai peringkat kedua, sedangkan peringkat pertama diraih oleh kakak tingkat yang sekarang sudah menjadi alumni sekolah. Aku pastikan dengan yakin tahun ini April yang akan menggantikan kakak kelas itu menjadi Diva sekolahan. Ya, meski hanya diakui pihak sekolah, setidaknya itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Tidak sepertiku, yang tidak memiliki bakat apapun bisa untuk dibanggakan.
Kelas 9A—kelasku dan April sudah mulai terlihat, jarak kami sekitar lima belas langkah dari pintu kelas. Sialnya ada sekitar lebih lima anak yang berdiri di tralis pembatas, mereka serius menatap teater drama di sana. Aku merapal doa dalam hati, semoga adegan teater di bawah makin dramatis, agar lima anak lebih itu tetap teralihkan pandangannya dan tidak menyadari ada aku, April, dan Laura lewat. Mungkin adegan ketika si perempuan meninggal karena penyakit berat lalu si laki-laki menyesal dan bersumpah tidak akan menikah dengan orang lain. Atau yang lebih manis si laki-laki balik mencintai si perempuan dengan sungguhan, berjanji akan saling membahagian setelah perjuangan si perempuan yang amat serius. Apa ide ceritaku terlalu buruk? Kurasa memang, kan sudah kubilang aku tidak terlalu mengerti apa drama yang dimainkan. Acara classmeet seperti ini biasanya aku lebih suka bersantai di dalam kelas, memanfaatkan seminggu tanpa materi pelajaran, berbincang dengan teman membahas cerita orang—maaf seharusnya ini tidak dilakukan karena terlibat dosa. Partisipasiku dalam acara seperti ini hanya sedikit, kalau ditunjuk untuk ikut lomba, ya, ikut saja. Kalau tidak, ya, balik ke rencana awal tadi atau menonton pertunjukkan April.
“Kamu lanjut saja bawa Laura ke perpustakaan, Lin.” April berbisik memberitahu langkah selanjutnya. Jarak kami dengan kelas 9A sudah tidak ada sepuluh langkah lagi.
“Kalau ditanya gimana?” Aku balas berbisiki, bertanya, tanganku masih menggegam erat lengan Laura.
“Sudah. Kamu peranmu main cengar-cengir saja. Alasannya biar aku yang buat. Oke?”
“Oke, deh.” Pasrahku, mau bagaimana lagi, aku juga tidak tahu harus mengatasi anak kelas dengan cara apa. Beruntung saja April sudah memiliki rencana terlebih dahulu.
“Kamu ngikutin Olin, ya, Laura?” April menyakinkan Laura.
“Iya, Kak,” jawab Laura mengangguk.
Detik-detik menegangkan ketika kami hampir sampai di depan kelas 9A—kelasku dan April yang sebenarnya tidak perlu ditakuti kalau bukan karena ada yang harus dilindungi. Takut saja kalau anak kelas bertanya aneh-aneh ke Laura, mengorek apapun, memakai insting kepo mereka dengan kelewatan. Aku tidak menginginkan itu, terlebih April yang mengetahui semua seluk beluknya.
Detik selanjutnya baru berjarak empat langkah, satu anak yang berdiri di tralis pembatas menolehkan kepala cepat, menatap aku, April, dan Laura. Sepertinya ia menggunakan indra ke enam, bagaimana mungkin bisa sepeka itu. Diikuti beberapa kepala di sisinya yang ikut menoleh. Ayolah, aku benar-benar tegang. Ini sudah seperti adegan cerita zombie saja, ibaratkan aku, April, dan Laura adalah manusia normal yang datang mendekati kawanan zombie. Mencium aura kami, mereka langsung saja memutar kepala, menatap seakan kami santapan paling sedap, siap menerkam.
“Woi itu April.” Satu anak pertama yang melihat kami tadi seketika berteriak, menunjuk ke arah kami.
“April.” Teriakan selanjutnya disusul oleh anak-anak di belakangnya.
Aku lihat April bisa berakting sebagus mungkin, seakan tidak apa-apa. Gadis dengan baju putih polkadot membuka satu bahu itu tersenyum ke arah team suksesnya. Tentu, kami anak sekelas menjadi orang yang pertama mendukung karir April sejak kami sekelas dua tahun lebih ini. Sesama teman sekelas kan harus saling mensupport. Bukan malah menjatuhkan, itu kelihatan tidak etis dan tidak berpendidikan. Bahasa kasarnya bisa dibilang, level rendahan.
“Sama Olin juga.” Satu anak di belakangnya lagi menatapku, tersenyum. Aku balas tersenyum kaku, mengangguk, tetap berjalan pelan menggandeng Laura. April malah sudah berhenti, berdiri di hadapan team suksesnya.
“Emang setiap tampil April, kan, Olin yang di samping panggung.” Anak di depannya memberi komentar lagi. Dia juga, kan yang tadi pertama menoleh, melihat aku, April, dan Laura, otomatis membuat April terjebak di situ entah sampai kapan. Dan aku kena sialnya, membawa Laura ke perpustakaan dengan selamat.
“Eh, Olin. Mau kemana? Pindah kelas apa lupa kelas kamu.” Anak barisan ketiga meneriakiku heran.
Padahal aku suka sekali bersantai di kelas, bercanda mengobrolkan apapun dengan anak-anak. Jadinya mereka bingung melihatku yang malah seperti ketakutan dan malah terus jalan lurus. Bentar apa, pindah kelas katanya, kalau pindah kelas sih sudah sejak kelas satu aku pindahnya. Lupa dia kata, masih muda imut gini dikatain lupa.
“Sudah. Sudah. Ada urusan pribadi mungkin. Jangan digangguu.” Aku dengar suara April meng-handle mereka. Anak-anak serempak ber-oh pelan mengangguk.
“Tadi ada yang tahu seragam ganti aku dimana nggak?” imbuh April, bertanya sekaligus mengalihkan perhatian dan pikiran mereka tentangku yang nggak berhenti di kelas.
“Oh. Seragammu. Aku yang simpan tadi.” Salah satu dari mereka berkata, aku tidak tahu siapa, karena aku sudah berjalan menjauhi kelas, hanya bisa mendengar samar-samar suara hingga benar-benar tidak terdengar lagi.
Semoga April bisa mengatasinya. Meski pun aku tahu pasti April selalu bisa, tapi tetap saja aku akan merapal berdoa untuk segala kemungkinan yang baik. Aku fokus lanjut berjalan dengan Laura, tanganku sudah tidak segemetar tadi, wajahku yang ketakutan juga sudah lenyap. Aku dan Laura saling diam selama berjalan menyusuri lorong kelas lantai atas. Jika kalian mau tahu, anak-anak angkatanku yang sedang nongkrong di sepanjang koridor menatap Laura terpana, kudengar juga ada bisik-bisik di antaranya—ini adalah kerjaan siswi perempuan yang merasa kalah saing saja. Siswa laki-laki lebih suka menatap Laura tidak berkedip, seakan Laura adalah bidadari yang hanya sekelabat datang, sebelum durasi habis, lebih baik menatapnya hingga hilang, begitu kira-kira pikiran siswa laki-laki menurut perkiraanku.
Melihat kejadian ini aku berpikir lagi tentang apa yang dialami Laura. Gadis secantik ini mendapat perlakuan yang tidak enak dari orang tersayangnya. Padahal banyak orang lain yang menginginkan Laura. Ia dengan bodohnya memperlakukan Laura begitu kejam.
Aku akui, Laura memang benar-benar cantik bak orang luar negeri dengan kulit bersih, pipi memerah, dan hidung yang mancung. April juga sama cantik. Bedanya Laura lebih kebarat-baratan, April masih asli produk lokal. Tapi itu tidak jadi masalah. Toh, semua perempuan itu cantik, karena cantik itu relatif bukan menurut kata orang, tidak perlu mengikuti trend yang sedang gempar. Buat standart kecantikanmu sendiri. Kamu cantik di mata orang yang menyanyangimu. Dan ingat, paling utama kamu cantik dengan adanya dirimu sendiri, akui dirimu memang cantik meski jerawat sedang nangkring manja di pipi. Insecure memang manusiawi, tapi tidak perlu insecure yang berlebihan hingga membuat kamu kehilangan dirimu sendiri.Mungkin juga ketika kamu membaca ini, kamu juga sedang begadang dan pusing memikirkan produk apa yang bisa memutihkan kulit, obat manjur untuk jerawat batu, atau suplemen untuk badan kurus. Sebab siang tadi ada orang yang mengomentari bentuk akan dirimu, kamu hanya balas terse
Dan benar saja. Buku yang kuambil merupakan buku ilmiah self-reminder karya Charles Duhigg yang berjudul The Power of Habit, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia—kekuatan kebiasaan. Ketika aku membuka lembaran pertama firasat buruk menyergap. Benar saja, ketika tiba di bagian pertama aku menyadari sesuatu, menelan ludah. Sial ternyata buku aslinya, belum terjemahan, masih murni dalam bahasa asing. Aku mengatur nafas, merasa pusing kepala karena melihat banyak huruf-huruf menjadi kalimat, bak tanaman kebun besar yang saling menyesaki halaman, belum lagi bahasanya yang tidak akan pernah kumengerti. Aku melempar pandangan ke buku milik Laura sebelum rasa pusing membuatku pingsan di tempat dalam hitungan detik.“Kamu baca buku apa, Ra?” tanyaku ingin tahu sekaligus mengalihkan pikiran dari kesalahan memilih buku, tulisan bahasa asing itu masih sedikit mempengaruhi pusing kepalaku.“Ini, Kak. Buku novel karya Anna Godbersen. The Luxe, kisah orang-orang bangsawan New York pa
April melangsungkan cerita menurut sudut pandangnya dengan lirih tapi jelas dan terperinci. Aku mendengarnya dengan seksama, tanpa menjeda, sesekali merespon dengan anggukan kepala, lalu melebarkan mata pada adegan puncak penyebab semua keributan ini, sama seperti di toilet ketika Laura bercerita padaku tadi. “Lalu maksud, rencana, dan tujuanmu itu apa, Pril?” Aku bertanya sedikit geram. Padahal kan April bisa saja meninggalkan Laura di kantin, mengabaikan Laura yang menumpahkan minuman tea jusku, mengacaukan jam makan siangku dan April. “Ceritaku belum selesai. Dengerin lagi.” April berbisik, kembali bercerita. “Hah? Apa? Aku nggak mau ikut. Jangan cari gara-gara, deh, Pril,” pekikku setelah mendengar tujuan April. Niatnya bagus, sih, untuk membantu Laura. Tapi, l
“Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny
“Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny
Ternyata lembaran itu adalah hasil ulangan harian satu bulan lalu. Hadeh, aku menghela nafas malas. Kenapa baru diberikan setelah satu bulan berselang. Kalau saja ini adalah makanan yang tidak bisa bertahan jangka panjang, tentu saja sudah basi sebelum sampai ke tangan penerima. “Ya elah. Ulangan bulan lalu kenapa baru dikasih sekarang.” April mengomel entah dengan diri sendiri atau pada empat anak yang duduk berhadapan. “Biasa lah. Guru sudah usia lanjut, kadang suka pikunan.” Salah satu dari mereka yang memegang pulpen menatap April. “Lagian nilaimu nggak merosot, kok, Pril. Jadi, nggak perlu khawatir remedial ulangan harian.” Teman di sebelahnya yang memakai kaca mata ikut menimpali. April tidak menjawab, memasukkan lembaran i
Jalanan depan sekolah tidak terlalu sepi, juga tidak terlalu ramai. Biasa-biasa saja. Di siang jam kerja ini siapa yang mau keluar jalan-jalan kecuali memang itu profesi mereka. Kalau profesi di bagian dalam ruangan, seperti pegawai kantor mau apa keluar jika tidak ada keperluan. Parkiran motor siswa siswi yang biasanya dititipkan di rumah orang yang berada di dekat sekolahan sudah sepi. Sekolah tidak menyediakan parkiran motor. Karena memang seharusnya anak seusia kami belum boleh mengendarai sepeda motor, selain tidak memiliki SIM, usia kami masih di bawah umur untuk diperbolehkan naik sepeda motor, ikut berlalu lalang di jalan raya yang ramai kendaraan lain. Namun, mau bagaimana lagi, tidak semua anak menurut dan patuh. Malah kebanyakan dari anak-anak itu membangkang, tetap keras kepala meminta untuk naik motor sendiri ke sekolah. Mirisnya lagi, jika ada anak yang sampai mogok sekolah hanya karena tidak dibelikan motor sesuai keinginannya—biasanya mereka mengikuti teman. Tentu ke
Di rumah makan ini. Mama memiliki lima karyawan tetap yang sudah lama mengabdi dan menjadi andalan Mama. Kalian sudah tahu dua di antaranya. Kak Mary yang mendapat bagian mengurus menu apa yang dipesan sekaligus menghitung masalah keuangan yang akan dilaporkan pada Mama. Sesekali Mama membantu Kak Mary untuk menghitung uang, karena memang pekerjaan soal hitung menghitung uang tidak bisa disepelekan. Apalagi itu adalah uang milik tempat kerja. Lalu ada Kak Mira, seorang asisten chef kepercayaan Mama yang ditugaskan di bagian dapur. Ikut membantu acara masak-memasak Mama. Kalau pesanan membludak, Mama mempunyai satu lagi asisten chef laki-laki, yaitu Kak Koko, yang tugas sampingannya ringan sebagai delivery order. Entah kenapa Mama menempatkan Kak Koko di bagian delivery order, padahal tidak banyak yang akan memesan online. Kalau pun ada mereka lebih memilih menggunakan aplikasi online saja. Tapi tentu Kak Koko ini bisa diandalkan jika soal urusan distributor. Kadang Mama meminta bant
Di rumah makan ini. Mama memiliki lima karyawan tetap yang sudah lama mengabdi dan menjadi andalan Mama. Kalian sudah tahu dua di antaranya. Kak Mary yang mendapat bagian mengurus menu apa yang dipesan sekaligus menghitung masalah keuangan yang akan dilaporkan pada Mama. Sesekali Mama membantu Kak Mary untuk menghitung uang, karena memang pekerjaan soal hitung menghitung uang tidak bisa disepelekan. Apalagi itu adalah uang milik tempat kerja. Lalu ada Kak Mira, seorang asisten chef kepercayaan Mama yang ditugaskan di bagian dapur. Ikut membantu acara masak-memasak Mama. Kalau pesanan membludak, Mama mempunyai satu lagi asisten chef laki-laki, yaitu Kak Koko, yang tugas sampingannya ringan sebagai delivery order. Entah kenapa Mama menempatkan Kak Koko di bagian delivery order, padahal tidak banyak yang akan memesan online. Kalau pun ada mereka lebih memilih menggunakan aplikasi online saja. Tapi tentu Kak Koko ini bisa diandalkan jika soal urusan distributor. Kadang Mama meminta bant
Jalanan depan sekolah tidak terlalu sepi, juga tidak terlalu ramai. Biasa-biasa saja. Di siang jam kerja ini siapa yang mau keluar jalan-jalan kecuali memang itu profesi mereka. Kalau profesi di bagian dalam ruangan, seperti pegawai kantor mau apa keluar jika tidak ada keperluan. Parkiran motor siswa siswi yang biasanya dititipkan di rumah orang yang berada di dekat sekolahan sudah sepi. Sekolah tidak menyediakan parkiran motor. Karena memang seharusnya anak seusia kami belum boleh mengendarai sepeda motor, selain tidak memiliki SIM, usia kami masih di bawah umur untuk diperbolehkan naik sepeda motor, ikut berlalu lalang di jalan raya yang ramai kendaraan lain. Namun, mau bagaimana lagi, tidak semua anak menurut dan patuh. Malah kebanyakan dari anak-anak itu membangkang, tetap keras kepala meminta untuk naik motor sendiri ke sekolah. Mirisnya lagi, jika ada anak yang sampai mogok sekolah hanya karena tidak dibelikan motor sesuai keinginannya—biasanya mereka mengikuti teman. Tentu ke
Ternyata lembaran itu adalah hasil ulangan harian satu bulan lalu. Hadeh, aku menghela nafas malas. Kenapa baru diberikan setelah satu bulan berselang. Kalau saja ini adalah makanan yang tidak bisa bertahan jangka panjang, tentu saja sudah basi sebelum sampai ke tangan penerima. “Ya elah. Ulangan bulan lalu kenapa baru dikasih sekarang.” April mengomel entah dengan diri sendiri atau pada empat anak yang duduk berhadapan. “Biasa lah. Guru sudah usia lanjut, kadang suka pikunan.” Salah satu dari mereka yang memegang pulpen menatap April. “Lagian nilaimu nggak merosot, kok, Pril. Jadi, nggak perlu khawatir remedial ulangan harian.” Teman di sebelahnya yang memakai kaca mata ikut menimpali. April tidak menjawab, memasukkan lembaran i
“Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny
“Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny
April melangsungkan cerita menurut sudut pandangnya dengan lirih tapi jelas dan terperinci. Aku mendengarnya dengan seksama, tanpa menjeda, sesekali merespon dengan anggukan kepala, lalu melebarkan mata pada adegan puncak penyebab semua keributan ini, sama seperti di toilet ketika Laura bercerita padaku tadi. “Lalu maksud, rencana, dan tujuanmu itu apa, Pril?” Aku bertanya sedikit geram. Padahal kan April bisa saja meninggalkan Laura di kantin, mengabaikan Laura yang menumpahkan minuman tea jusku, mengacaukan jam makan siangku dan April. “Ceritaku belum selesai. Dengerin lagi.” April berbisik, kembali bercerita. “Hah? Apa? Aku nggak mau ikut. Jangan cari gara-gara, deh, Pril,” pekikku setelah mendengar tujuan April. Niatnya bagus, sih, untuk membantu Laura. Tapi, l
Dan benar saja. Buku yang kuambil merupakan buku ilmiah self-reminder karya Charles Duhigg yang berjudul The Power of Habit, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia—kekuatan kebiasaan. Ketika aku membuka lembaran pertama firasat buruk menyergap. Benar saja, ketika tiba di bagian pertama aku menyadari sesuatu, menelan ludah. Sial ternyata buku aslinya, belum terjemahan, masih murni dalam bahasa asing. Aku mengatur nafas, merasa pusing kepala karena melihat banyak huruf-huruf menjadi kalimat, bak tanaman kebun besar yang saling menyesaki halaman, belum lagi bahasanya yang tidak akan pernah kumengerti. Aku melempar pandangan ke buku milik Laura sebelum rasa pusing membuatku pingsan di tempat dalam hitungan detik.“Kamu baca buku apa, Ra?” tanyaku ingin tahu sekaligus mengalihkan pikiran dari kesalahan memilih buku, tulisan bahasa asing itu masih sedikit mempengaruhi pusing kepalaku.“Ini, Kak. Buku novel karya Anna Godbersen. The Luxe, kisah orang-orang bangsawan New York pa
Aku akui, Laura memang benar-benar cantik bak orang luar negeri dengan kulit bersih, pipi memerah, dan hidung yang mancung. April juga sama cantik. Bedanya Laura lebih kebarat-baratan, April masih asli produk lokal. Tapi itu tidak jadi masalah. Toh, semua perempuan itu cantik, karena cantik itu relatif bukan menurut kata orang, tidak perlu mengikuti trend yang sedang gempar. Buat standart kecantikanmu sendiri. Kamu cantik di mata orang yang menyanyangimu. Dan ingat, paling utama kamu cantik dengan adanya dirimu sendiri, akui dirimu memang cantik meski jerawat sedang nangkring manja di pipi. Insecure memang manusiawi, tapi tidak perlu insecure yang berlebihan hingga membuat kamu kehilangan dirimu sendiri.Mungkin juga ketika kamu membaca ini, kamu juga sedang begadang dan pusing memikirkan produk apa yang bisa memutihkan kulit, obat manjur untuk jerawat batu, atau suplemen untuk badan kurus. Sebab siang tadi ada orang yang mengomentari bentuk akan dirimu, kamu hanya balas terse
Kami meneruskan langkah menuju perpustakan di seberang sana. Kalau kalian menebak kami melewati kelasku dan April atau tidak. Tentu jawaban kalian benar, jawabannya iya kami akan melewati ruang kelas yang seharusnya kami hindari. Bagaimana cara kami agar bisa terlepas atau setidaknya menghindar dari anak kelas, yang pasti mereka akan sama sedang mencari April seperti tiga siswi perempuan tadi. Aku sendiri belum memikirkannya, sedangkan April aku tidak tahu. Ia tidak mengatakannya padaku, ia lebih balas membalas sapaan orang-orang yang memberinya selamat atas show-nya tadi. Kalau dalam bidang olah suara, April memang menjuarai. Tahun lalu ia menjuarai peringkat kedua, sedangkan peringkat pertama diraih oleh kakak tingkat yang sekarang sudah menjadi alumni sekolah. Aku pastikan dengan yakin tahun ini April yang akan menggantikan kakak kelas itu menjadi Diva sekolahan. Ya, meski hanya diakui pihak sekolah, setidaknya itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Tidak sepertiku, yang t