Lima menit kami berpikir keras akan pindah tempat persembunyian di mana, belum juga menemukan jawabannya.
“Kalau ruang seni gimana?” Aku mencoba memberi usul.
April menggeleng. “Nggak mungkin. Itu lantai bawah. Ini untuk menghindar dari anak-anak yang tadi di kantin bawah. Kita harus cari ruang di lorong lantai atas. Lagian ruang seni pasti ramai.” April menjelaskan dengan seksama dan serius. Sudah seperti dictator yang sedang merencanakan perang, mengatur strategi pasukan, menata tempat yang akan diserbu saja.
“Terus di mana dong?” tanyaku menyerah pasrah.
“Kalau perpustakan lantai atas bagaimana, Kak?” Tiba-tiba Laura membuka suara, memberi saran yang ternyata langsung disetujui April.
“Ide yang bagus. Acara seperti ini siapa yang bakal kepikiran buat ke perpus, kan?” April berseru semangat. Aku mengangguk menyetujui.
“Sekarang, nih?” tanyaku memastikan kapan kami akan bergerak.
“Kita tunggu mereka lengah. Kalau pas lagi ramai-ramainya teriakan, kita langsung keluar. Cari anak tangga buat naik ke lantai atas. Mengerti?” April benar-benar sudah seperti pemimpin dalam insiden ini.
Aku lagi-lagi hanya mengangguk, sumpek dengan hawa toilet, ingin segera keluar. Lima menit lagi kami menunggu acara di depan berlangsung heboh. April di depan memandu aku dan Laura keluar, mencari jalan, Laura berada di barisan tengah, dan aku sendiri yang di belakang, bertugas mengawasi keadaan. Lapangan benar-benar lagi heboh, drama treater di atas panggung mampu membawa seluruh penonton terbawa perasaan. Adegan yang diperankan tentang drama percintaan, beberapa murid berteriak histeris, sisanya lagi menatap terhipnotis. Pemainnya sendiri juga merupakan pasangan fenomenal dari angkatanku—angkatan kelas 9. Moment seperti itu mereka lengah, tidak akan sadar kami bertiga yang tadi menjadi perbincangan di kantin, membuat keributan, memancing segerombolan laki-laki karena membawa Laura bersama kami. Kami mengambil jalan belakang dari penonton, berpura-pura ikut menikmati reka adegan yang sedang berlangsung, sedikit demi sedikit bergeser, tidak lupa dengan mata yang selalu awas, siapa tahu gerombolan anak laki-laki di kantin tadi mengikuti, atau para geng perkepoan mengawasi keberadaan.
Anak tangga sudah hampir sampai, aku menahan nafas, berusaha tenang, berusaha tidak gemetar, berusaha bersikap biasa saja bukan malah membuat orang sekitar curiga. April berjalan naik ke atas tangga terlebih dahulu, diikuti Laura, sebelum tiba giliranku, aku memeriksa sekitar sekali lagi, memastikan tidak ada yang mencurigai atau ada hal yang tidak beres—seperti orang yang mengawasi atau mengikuti. Aku mengembuskan nafas lega, clear , tidak ada yang menatap ke arahku, semua orang yang berada di lapangan sedang terpaku menonton drama teater. Bahkan murid yang berada di lantai atas juga menatap ke arah panggung. Kalau kalian tanya padaku drama percintaan apa yang sedang diperagakan hingga begitu bapernya penontin, aku juga tidak terlalu tahu. Yang aku tahu hanya seorang perempuan memperjuangkan kisah cintanya pada sosok laki-laki yang dia suka, sudah seperti itu, selebihnya aku tidak tahu. Karena aku tidak begitu paham. Popularitas pemeran mungkin juga menjadi salah satu factor yang jadi daya tarik penonton, sebagaimana yang memerankan adalah dua sejoli angkatan atas yang paling tersohor kisah cintanya. Parah-parah memang, masih kelas 9 sudah bucin saja.
“Kemana saja, sih, April?”
“Habis manggung langsung hilang, kebiasaan, deh.”
“Dicariin anak kelas tahu dari tadi.”
Aku mendengar kalimat-kalimat itu sambil menghela nafas kasar. Ini pasti anak-anak kelas yang mengincar artis papan atas kami. Aduh, menghambat rencana saja.
“Hmm, anu, tadi aku dipanggil guru sebentar. Disuruh bantuin angkat berkas-berkas. Biasa lah.” April mengelak, tersenyum kikuk, berusaha bisa senormal mungkin. Aku sudah berdiri di dekat April beberapa detik yang lalu, sebelum April menjawab.
“Eh, tunggu. Ini bukannya anak kelas 8, ya?”
“Eh, iya. Kalian kenal sama anak inii?” Kalian yang dimaksud itu adalah aku dan April, mereka menatap kami.
Padahal baru saja tadi aku berdoa agar mereka tidak bertanya-tanya tentang Laura, atau setidaknya menghiraukan kehadiran Laura dan lebih fokus menggodai April.
“Kita baru kenal saja. Guru kelas sebelah yang suruh kita tadi buat nganterin anak ini.” Aku membantu April memberi alasan logis.
“Nganterin kemana, Lin?” Sekarang mereka malah menatapku, lebih parah mereka bertanya lebih dalam.
Gawat. Aku langsung menelan ludah, ciut nyali. Ayolah nyaliku tidak sebesar April yang menghadapi beberapa anak laki-laki di toilet tadi. Bahkan ini hanya tiga anak perempuan saja, teman kelasku, aku bisa ciut nyali duluan.
“Emm nganterin…” Aku berusaha menjawab, menutupi gorgi meski tergagap.
“Nganterin ambil barang dari guru perpustakaan, Kak.” Laura langsung berinisiatif menjawab, membantu kegugupanku.
Tiga teman perempuan sekelas denganku dan April itu ber-oh pelan, mengangguk-angguk. Semoga saja mereka percaya dan segera pergi.
“Eh, kalian mau turun lihat drama, kan?”
“Tadi lagi seru-seruannya tahu. Mana yang cowo tiba-tiba jadi suka sama cewenya itu.” April segera mengalihkan pembicaraan dengan sangat mahir, sebelum tiga anak perempuan di depan kami itu memulai menggunakan insting kepo-nya. April mengepalkan tangannya menopang dagu, seolah gemas karena kami habis menonton drama teater tadi.
“Yang benar kamu, Pril?” Salah satu dari mereka bertanya memastikan, melebarkan mata, mendekatkan wajah ke April. April mundur selangkah, mengangguk pelan tiga kali.
“Serius, Lin?” Mereka ganti menatapku. Aku menjawab “iya”, mengangguk.
Seketika mereka bertiga menjerit heboh, berteriak ‘Ayo cepat. Keburu kelar, nih’ berlari menuruni anak tangga di belakang kami. Aku, April, dan Laura segera gesit menyingkir sebelum ditabrak tiga bocah bucin aku yang terlalu terbawa perasaan. Anak-anak yang berada di lorong lantai atas mendengar teriakan tadi, bahkan ada satu dua anak yang sampai keluar kelas, penasaran ada apa. Sama seperti anak-anak yang lain, aku menatap kepergian tiga anak perempuan tadi tanpa berkedip, mengelus dada kaget. Beberapa detik setelah mereka pergi, suasana lantai lorong atas kembali normal. Anak-anak lain kembali pada aktivitasnya yang sempat terganggu, mengobrol saling berbagi bahan gosipan, berpacaran mengadu mesra membuat iri sekitar, sebagian lagi kembali menonton drama teater dari atas, bertopang tangan di teralis pembatas. Satu dua anak yang keluar berdiri di depan pintu tadi berdecak sebal, ia kecewa ternyata hanya ulah kelas tetangga. Mereka sudah pikir ada idol cogan yang sedang diundang ke sekolahan, hingga membuat teriakan histeris.
Aku menoleh ke seberang, di mana April tadi bergeser ke sisi kirinya, menyender di dinding. Sedangkan Laura bersamaku, kebetulan tadi tanganku refleks menyeret Laura sebelum tiga anak perempuan tadi kelabakan. April yang mengetahui sedang kutatap, medongakkan kepala, lalu mengangguk tegas, memberi isyarat untuk segera menuju perpustakaan sebelum ada halangan yang menghambat lagi. Aku mengangguk, menatap Laura yang juga menatapku, memberi senyum semangat, takut-takut kalau adik kelas satu ini bertambah terkejutnya akibat tiga teman kelasku tadi.
Thanks for reading.
Kami meneruskan langkah menuju perpustakan di seberang sana. Kalau kalian menebak kami melewati kelasku dan April atau tidak. Tentu jawaban kalian benar, jawabannya iya kami akan melewati ruang kelas yang seharusnya kami hindari. Bagaimana cara kami agar bisa terlepas atau setidaknya menghindar dari anak kelas, yang pasti mereka akan sama sedang mencari April seperti tiga siswi perempuan tadi. Aku sendiri belum memikirkannya, sedangkan April aku tidak tahu. Ia tidak mengatakannya padaku, ia lebih balas membalas sapaan orang-orang yang memberinya selamat atas show-nya tadi. Kalau dalam bidang olah suara, April memang menjuarai. Tahun lalu ia menjuarai peringkat kedua, sedangkan peringkat pertama diraih oleh kakak tingkat yang sekarang sudah menjadi alumni sekolah. Aku pastikan dengan yakin tahun ini April yang akan menggantikan kakak kelas itu menjadi Diva sekolahan. Ya, meski hanya diakui pihak sekolah, setidaknya itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Tidak sepertiku, yang t
Aku akui, Laura memang benar-benar cantik bak orang luar negeri dengan kulit bersih, pipi memerah, dan hidung yang mancung. April juga sama cantik. Bedanya Laura lebih kebarat-baratan, April masih asli produk lokal. Tapi itu tidak jadi masalah. Toh, semua perempuan itu cantik, karena cantik itu relatif bukan menurut kata orang, tidak perlu mengikuti trend yang sedang gempar. Buat standart kecantikanmu sendiri. Kamu cantik di mata orang yang menyanyangimu. Dan ingat, paling utama kamu cantik dengan adanya dirimu sendiri, akui dirimu memang cantik meski jerawat sedang nangkring manja di pipi. Insecure memang manusiawi, tapi tidak perlu insecure yang berlebihan hingga membuat kamu kehilangan dirimu sendiri.Mungkin juga ketika kamu membaca ini, kamu juga sedang begadang dan pusing memikirkan produk apa yang bisa memutihkan kulit, obat manjur untuk jerawat batu, atau suplemen untuk badan kurus. Sebab siang tadi ada orang yang mengomentari bentuk akan dirimu, kamu hanya balas terse
Dan benar saja. Buku yang kuambil merupakan buku ilmiah self-reminder karya Charles Duhigg yang berjudul The Power of Habit, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia—kekuatan kebiasaan. Ketika aku membuka lembaran pertama firasat buruk menyergap. Benar saja, ketika tiba di bagian pertama aku menyadari sesuatu, menelan ludah. Sial ternyata buku aslinya, belum terjemahan, masih murni dalam bahasa asing. Aku mengatur nafas, merasa pusing kepala karena melihat banyak huruf-huruf menjadi kalimat, bak tanaman kebun besar yang saling menyesaki halaman, belum lagi bahasanya yang tidak akan pernah kumengerti. Aku melempar pandangan ke buku milik Laura sebelum rasa pusing membuatku pingsan di tempat dalam hitungan detik.“Kamu baca buku apa, Ra?” tanyaku ingin tahu sekaligus mengalihkan pikiran dari kesalahan memilih buku, tulisan bahasa asing itu masih sedikit mempengaruhi pusing kepalaku.“Ini, Kak. Buku novel karya Anna Godbersen. The Luxe, kisah orang-orang bangsawan New York pa
April melangsungkan cerita menurut sudut pandangnya dengan lirih tapi jelas dan terperinci. Aku mendengarnya dengan seksama, tanpa menjeda, sesekali merespon dengan anggukan kepala, lalu melebarkan mata pada adegan puncak penyebab semua keributan ini, sama seperti di toilet ketika Laura bercerita padaku tadi. “Lalu maksud, rencana, dan tujuanmu itu apa, Pril?” Aku bertanya sedikit geram. Padahal kan April bisa saja meninggalkan Laura di kantin, mengabaikan Laura yang menumpahkan minuman tea jusku, mengacaukan jam makan siangku dan April. “Ceritaku belum selesai. Dengerin lagi.” April berbisik, kembali bercerita. “Hah? Apa? Aku nggak mau ikut. Jangan cari gara-gara, deh, Pril,” pekikku setelah mendengar tujuan April. Niatnya bagus, sih, untuk membantu Laura. Tapi, l
“Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny
“Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny
Ternyata lembaran itu adalah hasil ulangan harian satu bulan lalu. Hadeh, aku menghela nafas malas. Kenapa baru diberikan setelah satu bulan berselang. Kalau saja ini adalah makanan yang tidak bisa bertahan jangka panjang, tentu saja sudah basi sebelum sampai ke tangan penerima. “Ya elah. Ulangan bulan lalu kenapa baru dikasih sekarang.” April mengomel entah dengan diri sendiri atau pada empat anak yang duduk berhadapan. “Biasa lah. Guru sudah usia lanjut, kadang suka pikunan.” Salah satu dari mereka yang memegang pulpen menatap April. “Lagian nilaimu nggak merosot, kok, Pril. Jadi, nggak perlu khawatir remedial ulangan harian.” Teman di sebelahnya yang memakai kaca mata ikut menimpali. April tidak menjawab, memasukkan lembaran i
Jalanan depan sekolah tidak terlalu sepi, juga tidak terlalu ramai. Biasa-biasa saja. Di siang jam kerja ini siapa yang mau keluar jalan-jalan kecuali memang itu profesi mereka. Kalau profesi di bagian dalam ruangan, seperti pegawai kantor mau apa keluar jika tidak ada keperluan. Parkiran motor siswa siswi yang biasanya dititipkan di rumah orang yang berada di dekat sekolahan sudah sepi. Sekolah tidak menyediakan parkiran motor. Karena memang seharusnya anak seusia kami belum boleh mengendarai sepeda motor, selain tidak memiliki SIM, usia kami masih di bawah umur untuk diperbolehkan naik sepeda motor, ikut berlalu lalang di jalan raya yang ramai kendaraan lain. Namun, mau bagaimana lagi, tidak semua anak menurut dan patuh. Malah kebanyakan dari anak-anak itu membangkang, tetap keras kepala meminta untuk naik motor sendiri ke sekolah. Mirisnya lagi, jika ada anak yang sampai mogok sekolah hanya karena tidak dibelikan motor sesuai keinginannya—biasanya mereka mengikuti teman. Tentu ke
Di rumah makan ini. Mama memiliki lima karyawan tetap yang sudah lama mengabdi dan menjadi andalan Mama. Kalian sudah tahu dua di antaranya. Kak Mary yang mendapat bagian mengurus menu apa yang dipesan sekaligus menghitung masalah keuangan yang akan dilaporkan pada Mama. Sesekali Mama membantu Kak Mary untuk menghitung uang, karena memang pekerjaan soal hitung menghitung uang tidak bisa disepelekan. Apalagi itu adalah uang milik tempat kerja. Lalu ada Kak Mira, seorang asisten chef kepercayaan Mama yang ditugaskan di bagian dapur. Ikut membantu acara masak-memasak Mama. Kalau pesanan membludak, Mama mempunyai satu lagi asisten chef laki-laki, yaitu Kak Koko, yang tugas sampingannya ringan sebagai delivery order. Entah kenapa Mama menempatkan Kak Koko di bagian delivery order, padahal tidak banyak yang akan memesan online. Kalau pun ada mereka lebih memilih menggunakan aplikasi online saja. Tapi tentu Kak Koko ini bisa diandalkan jika soal urusan distributor. Kadang Mama meminta bant
Jalanan depan sekolah tidak terlalu sepi, juga tidak terlalu ramai. Biasa-biasa saja. Di siang jam kerja ini siapa yang mau keluar jalan-jalan kecuali memang itu profesi mereka. Kalau profesi di bagian dalam ruangan, seperti pegawai kantor mau apa keluar jika tidak ada keperluan. Parkiran motor siswa siswi yang biasanya dititipkan di rumah orang yang berada di dekat sekolahan sudah sepi. Sekolah tidak menyediakan parkiran motor. Karena memang seharusnya anak seusia kami belum boleh mengendarai sepeda motor, selain tidak memiliki SIM, usia kami masih di bawah umur untuk diperbolehkan naik sepeda motor, ikut berlalu lalang di jalan raya yang ramai kendaraan lain. Namun, mau bagaimana lagi, tidak semua anak menurut dan patuh. Malah kebanyakan dari anak-anak itu membangkang, tetap keras kepala meminta untuk naik motor sendiri ke sekolah. Mirisnya lagi, jika ada anak yang sampai mogok sekolah hanya karena tidak dibelikan motor sesuai keinginannya—biasanya mereka mengikuti teman. Tentu ke
Ternyata lembaran itu adalah hasil ulangan harian satu bulan lalu. Hadeh, aku menghela nafas malas. Kenapa baru diberikan setelah satu bulan berselang. Kalau saja ini adalah makanan yang tidak bisa bertahan jangka panjang, tentu saja sudah basi sebelum sampai ke tangan penerima. “Ya elah. Ulangan bulan lalu kenapa baru dikasih sekarang.” April mengomel entah dengan diri sendiri atau pada empat anak yang duduk berhadapan. “Biasa lah. Guru sudah usia lanjut, kadang suka pikunan.” Salah satu dari mereka yang memegang pulpen menatap April. “Lagian nilaimu nggak merosot, kok, Pril. Jadi, nggak perlu khawatir remedial ulangan harian.” Teman di sebelahnya yang memakai kaca mata ikut menimpali. April tidak menjawab, memasukkan lembaran i
“Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny
“Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny
April melangsungkan cerita menurut sudut pandangnya dengan lirih tapi jelas dan terperinci. Aku mendengarnya dengan seksama, tanpa menjeda, sesekali merespon dengan anggukan kepala, lalu melebarkan mata pada adegan puncak penyebab semua keributan ini, sama seperti di toilet ketika Laura bercerita padaku tadi. “Lalu maksud, rencana, dan tujuanmu itu apa, Pril?” Aku bertanya sedikit geram. Padahal kan April bisa saja meninggalkan Laura di kantin, mengabaikan Laura yang menumpahkan minuman tea jusku, mengacaukan jam makan siangku dan April. “Ceritaku belum selesai. Dengerin lagi.” April berbisik, kembali bercerita. “Hah? Apa? Aku nggak mau ikut. Jangan cari gara-gara, deh, Pril,” pekikku setelah mendengar tujuan April. Niatnya bagus, sih, untuk membantu Laura. Tapi, l
Dan benar saja. Buku yang kuambil merupakan buku ilmiah self-reminder karya Charles Duhigg yang berjudul The Power of Habit, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia—kekuatan kebiasaan. Ketika aku membuka lembaran pertama firasat buruk menyergap. Benar saja, ketika tiba di bagian pertama aku menyadari sesuatu, menelan ludah. Sial ternyata buku aslinya, belum terjemahan, masih murni dalam bahasa asing. Aku mengatur nafas, merasa pusing kepala karena melihat banyak huruf-huruf menjadi kalimat, bak tanaman kebun besar yang saling menyesaki halaman, belum lagi bahasanya yang tidak akan pernah kumengerti. Aku melempar pandangan ke buku milik Laura sebelum rasa pusing membuatku pingsan di tempat dalam hitungan detik.“Kamu baca buku apa, Ra?” tanyaku ingin tahu sekaligus mengalihkan pikiran dari kesalahan memilih buku, tulisan bahasa asing itu masih sedikit mempengaruhi pusing kepalaku.“Ini, Kak. Buku novel karya Anna Godbersen. The Luxe, kisah orang-orang bangsawan New York pa
Aku akui, Laura memang benar-benar cantik bak orang luar negeri dengan kulit bersih, pipi memerah, dan hidung yang mancung. April juga sama cantik. Bedanya Laura lebih kebarat-baratan, April masih asli produk lokal. Tapi itu tidak jadi masalah. Toh, semua perempuan itu cantik, karena cantik itu relatif bukan menurut kata orang, tidak perlu mengikuti trend yang sedang gempar. Buat standart kecantikanmu sendiri. Kamu cantik di mata orang yang menyanyangimu. Dan ingat, paling utama kamu cantik dengan adanya dirimu sendiri, akui dirimu memang cantik meski jerawat sedang nangkring manja di pipi. Insecure memang manusiawi, tapi tidak perlu insecure yang berlebihan hingga membuat kamu kehilangan dirimu sendiri.Mungkin juga ketika kamu membaca ini, kamu juga sedang begadang dan pusing memikirkan produk apa yang bisa memutihkan kulit, obat manjur untuk jerawat batu, atau suplemen untuk badan kurus. Sebab siang tadi ada orang yang mengomentari bentuk akan dirimu, kamu hanya balas terse
Kami meneruskan langkah menuju perpustakan di seberang sana. Kalau kalian menebak kami melewati kelasku dan April atau tidak. Tentu jawaban kalian benar, jawabannya iya kami akan melewati ruang kelas yang seharusnya kami hindari. Bagaimana cara kami agar bisa terlepas atau setidaknya menghindar dari anak kelas, yang pasti mereka akan sama sedang mencari April seperti tiga siswi perempuan tadi. Aku sendiri belum memikirkannya, sedangkan April aku tidak tahu. Ia tidak mengatakannya padaku, ia lebih balas membalas sapaan orang-orang yang memberinya selamat atas show-nya tadi. Kalau dalam bidang olah suara, April memang menjuarai. Tahun lalu ia menjuarai peringkat kedua, sedangkan peringkat pertama diraih oleh kakak tingkat yang sekarang sudah menjadi alumni sekolah. Aku pastikan dengan yakin tahun ini April yang akan menggantikan kakak kelas itu menjadi Diva sekolahan. Ya, meski hanya diakui pihak sekolah, setidaknya itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Tidak sepertiku, yang t