November pada bulan di mana aku menduduki kelas 3 SMP.
Namaku Olin Arda Efrosin. Bisa dipanggil Olin, Arda, atau bahkan biasanya orang rumah menyebutku dengan panggilan sinchan. Padahal aku tidak memiliki alis hitam setebal ulat bulu seperti milik karakter kartun sinchan itu. Mungkin karena tubuh pendek dan sangat menyukai warna merah, orang rumah menyamakan aku dengan karakter film kartun sinchan. Tidak apa lah, setidaknya mereka tidak menyebutku dengan sesuatu yang lebih buruk dan menyakitkan dari pada itu.
Umurku baru saja menginjak lima belas tahun tiga bulan lalu. Tentu saja aku sedang tidak memiliki pacar. Tahun depan ujian untuk mengakhiri masa SMP akan diadakan serentak. Tidak ada waktu senggang untuk membahas perihal pacaran sekarang ini. Meskipun aku bukan anak yang genius, yang selalu mendapat ranking nomor satu, bukan juga ambisius, yang akan berusaha sepenuh jiwa meraih juara satu seantero sekolah, belajar pagi siang sore malam tanpa kenal lelah. Setidaknya aku menjunjung tinggi harga diri untuk tidak merosot di peringkat sepuluh besar dari belakang. Sangat memalukan.
Semester satu kelas 3 SMP sudah berjalan sekitar empat bulan lamanya. Rasanya terlalu cepat untuk keluar sekolah lama, lalu masuk sekolah baru, bertemu manusia baru dengan beragam karakter, berkenalan satu persatu, mengadaptasi diri, berbaur berteman seperti pada umunya.
“Olin.” Seseorang meneriaki namaku, aku berhenti dari langkah kaki yang ingin segera masuk ke dalam kelas, menoleh kanan kiri melihat siapa yang barusan memanggil.
“Heii.”
Entah datang darimana. Seseorang itu sekarang sudah berada di sisi kanan ku, berdiri menatap tanpa dosa. Padahal baru saja sedetik lalu aku menoleh ke sisi kanan dan tidak ada apa-apa. Lalu seketika persis menoleh lagi ke kanan sosok itu muncul di depan mata ku, berjarak tidak ada satu jengkal, sambil menepuk pundakku. Bukan main aku terjengkal ke belakang, terkejut, mengusap-ngusap dada. Jantung satu-satunya ini hampir saja lepas karena sosok itu.
“Punya dendam kesumat apa, sih, kamu ke aku, Pril?” tanyaku kelewat kesal.
Namanya April Agustine. Aku tidak tahu kenapa ada imbuhan ‘Agustine’ di belakang namanya. Sedangkan anak itu lahir di bulan April, bukan Agustus. Aku saja yang lahir pada bulan Agustus tidak menambahkan embel-embel bulan itu. Dia malah mencuri nama bulan lahirku yang terpaut jauh dari bulan lahirnya. Seperti namanya, orangnya juga aneh dan tidak nyambung. April ini teman pertamaku di bangku SMP. Selama tiga tahun kita barengan, meski ketika kelas 2 tidak sekelas, namun akhirnya Tuhan menjodohkan kita bertemu lagi di kelas 3 yang sama.
“Sebentar lagi gue tampil. Lihat dulu, kek.” April tidak memperdulikan kesalku, ia malah asyik mengenggam lenganku, bersikap sok imut dan kasihaniable—orang yang perlu atau lebih cocok dikasihani.
Hari ini adalah akhir dari classmeet yang diadakan setiap selesai mengikuti ujian semester. Hari akhir biasanya ditutup dengan pentas seni dancer, penari, menyanyi, dan drama teater. April ikut ke dalam salah satu peserta acara kali ini. Tebak saja ia akan menampilkan apa. Dan beri tepuk kaki jika show-nya tidak begitu baik. Aku bercanda, April jago di bidang ini. Percayalah, atau tidak karena percaya itu hanya ke Tuhan saja tentunya. Kamu tahu sendiri bukan bahwa kalau percaya ke manusia hasil akhir yang didapat pasti banyak kecewanya. Terlalu berharap, terlalu bergantung. Begitulah kurasa.
“Iya, baiklah. Aku akan lihat kamu disoraki sama seluruh penonton juga juri,” gurauku tertawa seolah meledek. Masih kesal karena rasa kaget tadi menciptakan degub jantung berdebar, sudah seperti ketika crush atau doi mengirim pesan berkabar akan jumpa mengungkap rasa.
“Aduh, sakit.” April baru saja mencubit pelan lenganku, aku tertawa demi melihat raut muka April yang cemberut, terlipat jadi beberapa bagian, keningnya ikut mengekerut, bibirnya dimajukan dua senti.
“Kamu, tuh, ya, Olin.”
“Maskudnya tuh, sorak sorai karena tampilanmu memukau pasang mata, Pril.” Aku berhenti tertawa, berhasil membuat April kesal sekali saja sudah cukup menyenangkan bagiku.
“Makanya kalau orang bicara tuh didengerin dulu. Ayo!” tambahku, mengenggam tangan April, membawa selebriti papan atas yang akan tampil di panggung besar. Kulihat April tersenyum kembali.
Kami turun dari lantai dua sekolah, berpapasan dengan teman-teman lain yang menikmati acara. Ada yang bergerombol memenuhi lorong, sebagian berdiri di pembatas lorong, beberapa lagi berseliweran, lalu lalang tidak bisa diam mencari entah apa. Kami saling balas sapa dan menyapa. Panggung berada di lapangan tengah sekolahan, lapangan yang biasanya untuk upara hari senin, juga merangkap lapangan basket, futsal, dan voli. Lapangan sekolahan kami memang cukup luas meski aku tidak tahu berapa ukuran tepatnya.
Setibanya kami di lapangan, berdiri di samping panggung yang berhiaskan balon, tali warna-warni seperti beludru atau bukan-itu adalah plastik kaku berwarna. Background panggung ramai oleh hiasan, banner besar terpampang di belakang. Kemeriahan ini hampir mengalahkan acara ulang tahun sekolah.
“Baiklah. Untuk peserta selanjutnya, kita panggilkan April Agustine dari kelas 9A.” Suara MC di atas panggung langsung disambut tepuk tangan oleh penonton.
April menatapku dengan sorotan mata binar. Aku memberi tepukan pelan di pundaknya, menarik lengkung bibir, mengangguk mantap, bergumam “Kamu selalu bisa, April.”
April berjalan menuju panggung, menaiki tangga mini. Untuk tampil kali ini, April menggenakan style fashion yang sudah seperti penyanyi andalan bangsa. Baju putih polkadot dengan bahu sebelah kiri bertingkat, ikat tali yang sama melingkar rapi di pinggang April, senada dengan warna celana kain putih yang membalut lengkuk kaki April. Ditambah dengan sepatu hak tahu standart berwarna hitam. Rambut panjang kecokelatan gadis itu dikuncir satu ke belakang, menyisakan poni berbelah panjang di depan. Sangat memukau para penonton dengan style-nya.
MC perempuan dari pihak anak OSIS yang masih berdiri di sana memberi satu buah mikrofon untuk April, mengangguk lalu melangkah mundur ke tempatnya menunggu. April menatap kerumunan di depannya, penonton setianya sejak tiga tahun terakhir tampil, pasti gadis itu sedang mengumpulkan keberanian, menghalau gugup. Sebentar lagi akan menatap ke arahku. Benar saja, tidak ada lima detik April menatapku, aku yang paham April akan tetap grogi meski sudah berkali-kali tampil memberi senyum paling lebar, mengacungkan jempol. Persis ketika itu juri bersuara mempersilahkan. April kembali menatap ke depan, mengangguk, membungkuk memberi hormat.
Aku tetap berdiri menunggu di samping panggung, menyaksikan temanku itu tampil membawakan sebuah lagu dari Raisa yang berjudul kali kedua. Aku akui, suara April enak didengar, nada-nadanya pas tanpa meleset. Bahkan mampu menghipnotis para juri juga seluruh penonton untuk ikut bernyanyi bersamanya. Juri juga menatap terpukau, penonton bagian depan melambaikan tangan seolah ini memang konser. Hanyut bersama lirik-lirik pada lagu yang dinyanyikan April.
Thanks for reading.
Kurang dari lima menit peforma April selesai. Benar saja bukan kataku, bahwa April akan mendapat sorak sorai dari seluruh penonton, bahkan juri pun ikut berdiri. Tepuk tangan meriah bergema di lapangan. Teman-teman lain di lantai atas juga tidak ketinggalan show menakjubkan tadi, ikut bersorak, beberapa membawa balon yang digunakan untuk tepukan, menambah gebyar semarak. April tersenyum lebar di sana, membungkuk-bungkuk, berucap terima kasih berulang kali. Hingga pembawa acara maju ke depan, memberi ucapan selamat pada April, lalu April menyerahkan mikrofon pada pembawa acara itu, berjalan menuruni tangga mini panggung. “Oliiinnnn.” April berteriak, berjalan ke arahku dengan wajah sumringahnya. Belum sempat aku membuka suara memberi selamat. April sudah dulu memeluk tubuhku erat hampir su
Beberapa pengunjung kantin menonton keributan kecil yang dibuat siswi perempuan itu denganku dan April. Ibu kantin yang tadi membawakan pesanan kami juga diam melihat dari dalam standnya. Sudah tiga kali April bertanya, tiga kali juga siswi perempuan itu tidak menjawab dengan benar, hanya meminta maaf, dan keinginin untuk pergi tapi tangan kiri April sudah mengenggam tangan kanan siswi perempuan itu, menahan siswi itu untuk kabur entah apa yang ada di kepala April. Aku benar-benar tidak tahu.“Ayo!” Mendadak April menyeret tangan kananku dengan tangan kanannya, juga mengajak siswi perempuan itu ikut dengan kami.“Bu, bayarnya nanti sebelum pulang, ya,” teriak April pada ibu kantin yang diam di dalam stand.April tidak menunggui jawaban dari ibu kantin. Ia segera menarik aku dan siswi perempuan itu ke luar kantin, entah mau kemana aku masih belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran April. Pendatang kantin yang berdiri diam menonton di samping pintu ke luar
Suara pukulan yang dihantamkan ke pintu terdengar berulang-ulang, menyiksa gendang telinga. Jelas juga membuatku terlonjak kaget, refleks memegang tangan April karena ketakutan. April berdecak sebal, menghela napas.“Kan tadi aku suruh kamu jaga pintu, Oliiin.” April menoleh kepadaku, berbisik, menekankan setiap katanya, menahan kesal.“Ya, aku pikir benda mati nggak bakal bisa lari kemana-kemana,” balasku asal-asalan, suaraku gemetar.April memutar bola mata, melepaskan pegangan tanganku, aku hanya diam mematung kaku.“Ya sudah. Kamu masuk bareng anak tadi ke dalam saja. Sepertinya nggak dikunci sama dia. Jangan berisik dan berusaha tenang, ya.” Lagi-lagi April memberi titah yang akhirnya membuatku mematuhinya. Duh kalau bukan karena salahku lagi aku tidak akan mau masuk ke dalam bilik toilet bareng siswi itu. Mending saja aku ke luar, tapi lagi-lagi nyaliku tidak sebesar April untuk menghadapi seseorang yang menggedor
Suara kegaduhan di luar sudah tidak terdengar, atau memang sudah tidak ada. Aku masih membayangkan insiden yang diceritakan oleh Laura. Jika kalian ikut mengetahui cerita Laura, aku tidak tahu kalian akan merespon dengan ekpresi wajah yang bagaimana. Entah mungkin kalian akan merasa ini terlalu lebay atau sama sepertiku yang ikut menatap prihatin mendengarnya, hati tersentuh iba rasanya. Kenop pintu diputar, Laura refleks bersembunyi di belakang badankuku, sedangkan aku menahan nafas. Ketika pintu terbuka, barulah aku bisa kembali bernafas lega. April yang datang masuk, aku dan Laura sudah parnoan terlebih dahulu.“Kalian kenapa?” Itu kalimat sambutan April yang baru saja masuk tanpa aba-aba, yang berhasil membuat suasana mencekam selama beberapa detik. Aku menghela nafas, menahan kelas yang bisa kapan pun aku tumpahkan pada April. Tapi tidak kulakukan, di sampingku ada Laura yang masih gemetar ketakuta
Lima menit kami berpikir keras akan pindah tempat persembunyian di mana, belum juga menemukan jawabannya. “Kalau ruang seni gimana?” Aku mencoba memberi usul. April menggeleng. “Nggak mungkin. Itu lantai bawah. Ini untuk menghindar dari anak-anak yang tadi di kantin bawah. Kita harus cari ruang di lorong lantai atas. Lagian ruang seni pasti ramai.” April menjelaskan dengan seksama dan serius. Sudah seperti dictator yang sedang merencanakan perang, mengatur strategi pasukan, menata tempat yang akan diserbu saja. “Terus di mana dong?” tanyaku menyerah pasrah. “Kalau perpustakan lantai atas bagaimana, Kak?” Tiba-tiba Laura membuka suara, mem
Kami meneruskan langkah menuju perpustakan di seberang sana. Kalau kalian menebak kami melewati kelasku dan April atau tidak. Tentu jawaban kalian benar, jawabannya iya kami akan melewati ruang kelas yang seharusnya kami hindari. Bagaimana cara kami agar bisa terlepas atau setidaknya menghindar dari anak kelas, yang pasti mereka akan sama sedang mencari April seperti tiga siswi perempuan tadi. Aku sendiri belum memikirkannya, sedangkan April aku tidak tahu. Ia tidak mengatakannya padaku, ia lebih balas membalas sapaan orang-orang yang memberinya selamat atas show-nya tadi. Kalau dalam bidang olah suara, April memang menjuarai. Tahun lalu ia menjuarai peringkat kedua, sedangkan peringkat pertama diraih oleh kakak tingkat yang sekarang sudah menjadi alumni sekolah. Aku pastikan dengan yakin tahun ini April yang akan menggantikan kakak kelas itu menjadi Diva sekolahan. Ya, meski hanya diakui pihak sekolah, setidaknya itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Tidak sepertiku, yang t
Aku akui, Laura memang benar-benar cantik bak orang luar negeri dengan kulit bersih, pipi memerah, dan hidung yang mancung. April juga sama cantik. Bedanya Laura lebih kebarat-baratan, April masih asli produk lokal. Tapi itu tidak jadi masalah. Toh, semua perempuan itu cantik, karena cantik itu relatif bukan menurut kata orang, tidak perlu mengikuti trend yang sedang gempar. Buat standart kecantikanmu sendiri. Kamu cantik di mata orang yang menyanyangimu. Dan ingat, paling utama kamu cantik dengan adanya dirimu sendiri, akui dirimu memang cantik meski jerawat sedang nangkring manja di pipi. Insecure memang manusiawi, tapi tidak perlu insecure yang berlebihan hingga membuat kamu kehilangan dirimu sendiri.Mungkin juga ketika kamu membaca ini, kamu juga sedang begadang dan pusing memikirkan produk apa yang bisa memutihkan kulit, obat manjur untuk jerawat batu, atau suplemen untuk badan kurus. Sebab siang tadi ada orang yang mengomentari bentuk akan dirimu, kamu hanya balas terse
Dan benar saja. Buku yang kuambil merupakan buku ilmiah self-reminder karya Charles Duhigg yang berjudul The Power of Habit, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia—kekuatan kebiasaan. Ketika aku membuka lembaran pertama firasat buruk menyergap. Benar saja, ketika tiba di bagian pertama aku menyadari sesuatu, menelan ludah. Sial ternyata buku aslinya, belum terjemahan, masih murni dalam bahasa asing. Aku mengatur nafas, merasa pusing kepala karena melihat banyak huruf-huruf menjadi kalimat, bak tanaman kebun besar yang saling menyesaki halaman, belum lagi bahasanya yang tidak akan pernah kumengerti. Aku melempar pandangan ke buku milik Laura sebelum rasa pusing membuatku pingsan di tempat dalam hitungan detik.“Kamu baca buku apa, Ra?” tanyaku ingin tahu sekaligus mengalihkan pikiran dari kesalahan memilih buku, tulisan bahasa asing itu masih sedikit mempengaruhi pusing kepalaku.“Ini, Kak. Buku novel karya Anna Godbersen. The Luxe, kisah orang-orang bangsawan New York pa
Di rumah makan ini. Mama memiliki lima karyawan tetap yang sudah lama mengabdi dan menjadi andalan Mama. Kalian sudah tahu dua di antaranya. Kak Mary yang mendapat bagian mengurus menu apa yang dipesan sekaligus menghitung masalah keuangan yang akan dilaporkan pada Mama. Sesekali Mama membantu Kak Mary untuk menghitung uang, karena memang pekerjaan soal hitung menghitung uang tidak bisa disepelekan. Apalagi itu adalah uang milik tempat kerja. Lalu ada Kak Mira, seorang asisten chef kepercayaan Mama yang ditugaskan di bagian dapur. Ikut membantu acara masak-memasak Mama. Kalau pesanan membludak, Mama mempunyai satu lagi asisten chef laki-laki, yaitu Kak Koko, yang tugas sampingannya ringan sebagai delivery order. Entah kenapa Mama menempatkan Kak Koko di bagian delivery order, padahal tidak banyak yang akan memesan online. Kalau pun ada mereka lebih memilih menggunakan aplikasi online saja. Tapi tentu Kak Koko ini bisa diandalkan jika soal urusan distributor. Kadang Mama meminta bant
Jalanan depan sekolah tidak terlalu sepi, juga tidak terlalu ramai. Biasa-biasa saja. Di siang jam kerja ini siapa yang mau keluar jalan-jalan kecuali memang itu profesi mereka. Kalau profesi di bagian dalam ruangan, seperti pegawai kantor mau apa keluar jika tidak ada keperluan. Parkiran motor siswa siswi yang biasanya dititipkan di rumah orang yang berada di dekat sekolahan sudah sepi. Sekolah tidak menyediakan parkiran motor. Karena memang seharusnya anak seusia kami belum boleh mengendarai sepeda motor, selain tidak memiliki SIM, usia kami masih di bawah umur untuk diperbolehkan naik sepeda motor, ikut berlalu lalang di jalan raya yang ramai kendaraan lain. Namun, mau bagaimana lagi, tidak semua anak menurut dan patuh. Malah kebanyakan dari anak-anak itu membangkang, tetap keras kepala meminta untuk naik motor sendiri ke sekolah. Mirisnya lagi, jika ada anak yang sampai mogok sekolah hanya karena tidak dibelikan motor sesuai keinginannya—biasanya mereka mengikuti teman. Tentu ke
Ternyata lembaran itu adalah hasil ulangan harian satu bulan lalu. Hadeh, aku menghela nafas malas. Kenapa baru diberikan setelah satu bulan berselang. Kalau saja ini adalah makanan yang tidak bisa bertahan jangka panjang, tentu saja sudah basi sebelum sampai ke tangan penerima. “Ya elah. Ulangan bulan lalu kenapa baru dikasih sekarang.” April mengomel entah dengan diri sendiri atau pada empat anak yang duduk berhadapan. “Biasa lah. Guru sudah usia lanjut, kadang suka pikunan.” Salah satu dari mereka yang memegang pulpen menatap April. “Lagian nilaimu nggak merosot, kok, Pril. Jadi, nggak perlu khawatir remedial ulangan harian.” Teman di sebelahnya yang memakai kaca mata ikut menimpali. April tidak menjawab, memasukkan lembaran i
“Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny
“Ya, pulang, lah.” April menambahkan ucapannya sebelum mataku sempat keluar dari tempatnya. Aku melototi lebar April yang mulai tidak seserius tadi. “Ya, kalau pulang. Kita ajak Laura ke kelas ambil tas?” tanyaku. Nah, kan, April mulai bingung lagi. Putar otak saja sana, sekalian kepalanya ikut. “Aku nunggu di sini saja, gapapa, Kak.” Laura memberi jalan pintas. “Beneran?” April bertanya memastikan. Aku hanya menatap Laura menunggu jawaban dari pertanyaan April. “Beneran, Kak.” “Lagian kelas kakak dari sini kelihatan. Aku bakal aman di sini. Ujung jauh dari kelasku.” Laura berucap panjang kali ini, berusaha meny
April melangsungkan cerita menurut sudut pandangnya dengan lirih tapi jelas dan terperinci. Aku mendengarnya dengan seksama, tanpa menjeda, sesekali merespon dengan anggukan kepala, lalu melebarkan mata pada adegan puncak penyebab semua keributan ini, sama seperti di toilet ketika Laura bercerita padaku tadi. “Lalu maksud, rencana, dan tujuanmu itu apa, Pril?” Aku bertanya sedikit geram. Padahal kan April bisa saja meninggalkan Laura di kantin, mengabaikan Laura yang menumpahkan minuman tea jusku, mengacaukan jam makan siangku dan April. “Ceritaku belum selesai. Dengerin lagi.” April berbisik, kembali bercerita. “Hah? Apa? Aku nggak mau ikut. Jangan cari gara-gara, deh, Pril,” pekikku setelah mendengar tujuan April. Niatnya bagus, sih, untuk membantu Laura. Tapi, l
Dan benar saja. Buku yang kuambil merupakan buku ilmiah self-reminder karya Charles Duhigg yang berjudul The Power of Habit, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia—kekuatan kebiasaan. Ketika aku membuka lembaran pertama firasat buruk menyergap. Benar saja, ketika tiba di bagian pertama aku menyadari sesuatu, menelan ludah. Sial ternyata buku aslinya, belum terjemahan, masih murni dalam bahasa asing. Aku mengatur nafas, merasa pusing kepala karena melihat banyak huruf-huruf menjadi kalimat, bak tanaman kebun besar yang saling menyesaki halaman, belum lagi bahasanya yang tidak akan pernah kumengerti. Aku melempar pandangan ke buku milik Laura sebelum rasa pusing membuatku pingsan di tempat dalam hitungan detik.“Kamu baca buku apa, Ra?” tanyaku ingin tahu sekaligus mengalihkan pikiran dari kesalahan memilih buku, tulisan bahasa asing itu masih sedikit mempengaruhi pusing kepalaku.“Ini, Kak. Buku novel karya Anna Godbersen. The Luxe, kisah orang-orang bangsawan New York pa
Aku akui, Laura memang benar-benar cantik bak orang luar negeri dengan kulit bersih, pipi memerah, dan hidung yang mancung. April juga sama cantik. Bedanya Laura lebih kebarat-baratan, April masih asli produk lokal. Tapi itu tidak jadi masalah. Toh, semua perempuan itu cantik, karena cantik itu relatif bukan menurut kata orang, tidak perlu mengikuti trend yang sedang gempar. Buat standart kecantikanmu sendiri. Kamu cantik di mata orang yang menyanyangimu. Dan ingat, paling utama kamu cantik dengan adanya dirimu sendiri, akui dirimu memang cantik meski jerawat sedang nangkring manja di pipi. Insecure memang manusiawi, tapi tidak perlu insecure yang berlebihan hingga membuat kamu kehilangan dirimu sendiri.Mungkin juga ketika kamu membaca ini, kamu juga sedang begadang dan pusing memikirkan produk apa yang bisa memutihkan kulit, obat manjur untuk jerawat batu, atau suplemen untuk badan kurus. Sebab siang tadi ada orang yang mengomentari bentuk akan dirimu, kamu hanya balas terse
Kami meneruskan langkah menuju perpustakan di seberang sana. Kalau kalian menebak kami melewati kelasku dan April atau tidak. Tentu jawaban kalian benar, jawabannya iya kami akan melewati ruang kelas yang seharusnya kami hindari. Bagaimana cara kami agar bisa terlepas atau setidaknya menghindar dari anak kelas, yang pasti mereka akan sama sedang mencari April seperti tiga siswi perempuan tadi. Aku sendiri belum memikirkannya, sedangkan April aku tidak tahu. Ia tidak mengatakannya padaku, ia lebih balas membalas sapaan orang-orang yang memberinya selamat atas show-nya tadi. Kalau dalam bidang olah suara, April memang menjuarai. Tahun lalu ia menjuarai peringkat kedua, sedangkan peringkat pertama diraih oleh kakak tingkat yang sekarang sudah menjadi alumni sekolah. Aku pastikan dengan yakin tahun ini April yang akan menggantikan kakak kelas itu menjadi Diva sekolahan. Ya, meski hanya diakui pihak sekolah, setidaknya itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Tidak sepertiku, yang t