"Viona," ucap Axel dengan suara yang bergetar, "Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kamu bisa sampai seperti ini?" Viona menatap Axel dengan perasaan campur aduk. Ada ketakutan dalam matanya, namun juga ada rasa tegar. "Aku baik-baik saja, Axel. Tidak perlu khawatir." Axel memandang Viona dengan pandangan tajam. "Jangan berpura-pura, Viona. Aku tahu apa yang terjadi. Kau sudah berbicara dengan Armand, bukan?" Viona menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. "Aku tidak tahu apa yang kamu maksud, Axel." Axel tertawa sinis. "Kau pikir aku bodoh? Aku sudah mendengar semua ceritanya dari beberapa sumber. Kau berusaha menghancurkan aku, bukan? Mempermalukanku di depan umum." Viona menggelengkan kepala dengan keras. "Itu bukan niatku, Axel. Aku hanya ingin melanjutkan hidupku tanpa melibatkanmu lagi." Axel menatapnya dengan marah. "Kau tahu betapa sulitnya hidup tanpa dukungan dari perusahaanku. Kau tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa aku." Viona merasakan amarahnya mulai memuncak. "A
Viona terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat pucat dan lelah. Orang tuanya duduk di sisi tempat tidurnya, ekspresi cemas tergambar jelas di wajah mereka. Ibunya mengelus lembut punggung Viona sambil berkata dengan nada khawatir, "Nak, bagaimana ini bisa terjadi? Kamu tiba-tiba pingsan begitu saja." Viona mencoba tersenyum, meskipun wajahnya terlihat lemah. "Ibu, Ayah, aku hanya terlalu lelah. Bekerja terlalu keras, mungkin." Ayahnya memandangnya dengan khawatir. "Tapi ini tidak biasa, sayang. Kamu harus hati-hati dengan kesehatanmu." Viona mengangguk lemah. "Iya, Ayah. Maafkan aku, aku hanya terlalu fokus dengan pekerjaan." Ibu Viona meletakkan tangannya di pipi putrinya dengan penuh kelembutan. "Kamu perlu istirahat, Nak. Jangan terlalu memaksakan diri." Viona menggenggam tangan ibunya dengan lembut. "Aku tahu, Ibu. Aku janji akan lebih berhati-hati." Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan seorang dokter masuk. Ia memeriksa catatan medis Viona dan berkata, "V
Saat malam semakin larut, Viona masih terjaga di ruangannya di rumah sakit. Ponselnya terang benderang karena pekerjaan yang harus diselesaikannya. Dia sibuk menyusun rencana kerja dan memeriksa email dari kliennya. Namun, tak disadari, matanya semakin berat dan kelelahan mulai merasuki tubuhnya. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba, dan seorang suster masuk dengan wajah cemberut. "Hei, Anda! Kenapa masih begadang seperti ini? Anda harus beristirahat!" tegur suster dengan nada keras. Viona kaget dan buru-buru menutup ponselnya. "Maaf, saya hanya ingin menyelesaikan beberapa pekerjaan yang mendesak." Suster menghela napas. "Anda tidak akan bisa membantu diri sendiri jika Anda terus begadang seperti ini. Ini tidak baik untuk pemulihan Anda. Anda harus beristirahat agar tubuh Anda bisa pulih." Viona mengangguk mengerti, meskipun terasa sulit untuk menghentikan pekerjaannya. "Terima kasih atas perhatiannya. Saya akan berusaha istirahat." Suster itu masih memandangnya taja
Viona tertidur lelap di atas brankas rumah sakit, tak menyadari bahwa dunia di sekitarnya telah ramai dengan berita heboh di media sosial. Ponselnya terus bergetar dan berbunyi notifikasi yang memanggilnya, namun dia tetap tidak terganggu. Suara gemuruh lalu lintas dan langkah kaki di koridor hanya berpadu dengan mimpinya yang dalam. Tak jauh dari meja tempat Viona tidur, ponselnya terus bergetar dengan gesit. Notifikasi dari media sosial dan pesan masuk tak henti-hentinya datang. Namun, Viona tetap tak sadar akan semua itu. Dia terus berada dalam tidurnya, bahkan saat dunia di sekelilingnya telah berubah. "Viona, kamu harus bangun!" seru teman sekantornya, Rina, sambil mencoba membangunkannya dengan lembut. Namun, Viona hanya sedikit bergeming dan terus terlelap. Rina menggeleng frustasi. "Apa yang sedang terjadi denganmu?" Sementara itu, notifikasi di ponsel Viona terus berdering tanpa henti, memenuhi layar dengan berita dan pesan dari teman-temannya. Namun, Viona masih terlelap,
Axel duduk di ujung tempat tidurnya, terlihat begitu bersemangat dan penuh energi. Ia membuka laci meja dan mengeluarkan baju putih yang rapi, lalu mengenakannya dengan hati-hati. Tatapannya memandang cermin di depannya, dan senyum licik merekah di wajahnya. Pagi ini, segalanya tampak begitu berada di bawah kendalinya. "Dua minggu persiapan, dan akhirnya rencana ini siap dijalankan," gumam Axel pada dirinya sendiri sambil merapikan dasinya di depan cermin. Senyumannya semakin lebar saat ia memikirkan tahap-tahap rencananya yang akan berjalan. Ia merasa seperti memiliki kendali penuh atas situasi ini. Ketika Axel melangkah keluar dari kamar dan menuju ruang kerja, ia bisa merasakan tatapan orang-orang yang menyapuinya. Tapi dia sama sekali tidak terganggu oleh itu, malah ia menikmatinya. Setibanya di ruang kerja, ia duduk di kursinya dengan penuh keyakinan, melihat layar komputernya yang menyala. Ia memulai hari dengan mengecek berbagai laporan dan rencana yang telah disiapkan dengan
Armand meletakkan ponselnya dengan perasaan campur aduk. Kata-kata Axel terus terngiang di telinganya, menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian semakin tumbuh dalam pikirannya. Ia menatap layar laptop-nya yang penuh dengan tumpukan pekerjaan yang belum terselesaikan. Walaupun tubuhnya lelah, ia tahu ia harus fokus menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Dalam ruang kerjanya yang sunyi, Armand merasa pusing dengan semua kata-kata yang diucapkan oleh Axel dalam percakapan telepon tadi. Dia tahu bahwa Axel tengah mencoba mempengaruhinya, tapi pikirannya terasa begitu kacau. Ia mengusap pelipisnya dengan lembut, mencoba mengusir rasa pusing yang mendera. "Armand, apa yang terjadi?" tanya seorang rekan kerja yang lewat di depan meja Armand. Armand menghela nafas. "Sedang banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan." Rekan kerja itu mengangguk mengerti. "Semangat, ya! Kita semua tahu kamu pasti bisa menyelesaikannya." Armand tersenyum tipis, menghargai dukungan rekan kerjanya. Setelah reka
Armand terbangun dari tidurnya dengan perasaan bingung. Ia merasa masih lemas dan mengantuk setelah tidur sebentar, namun suara pintu ruangan yang terbuka mengingatkannya bahwa ada yang menunggu. "Maaf, Pak Armand," suara karyawan bernama Dika yang membangunkannya. "Pak Hendra memanggil Anda untuk pertemuan darurat." Armand segera duduk tegak di kursinya dan mencoba mengumpulkan kembali kesadarannya. Ia menyadari bahwa suara pintu yang terbuka adalah suara Dika, salah satu karyawan yang setia bekerja bersamanya. "Baik, terima kasih, Dika," jawab Armand dengan suara lirih. "Aku akan segera ke ruangannya." Armand mengusap wajahnya dan mencoba merapikan penampilannya sebelum akhirnya bangkit dari kursi dan menuju ruangan kepala perusahaan, Pak Hendra. Ia berusaha mengumpulkan pikiran-pikirannya yang masih terasa kacau akibat tidur yang terpotong. Ketika memasuki ruangan Pak Hendra, Armand melihat bahwa wajah pemimpin perusahaan tersebut terlihat serius dan penuh perhatian. Pak Hendra
Tiba-tiba, ponsel Armand berdering. Ia mengambilnya dan melihat panggilan dari Viona. Dengan cepat, ia menjawab panggilan tersebut. "Halo, Viona. Bagaimana kabarmu?" tanyanya dengan suara hangat. "Armand, terima kasih atas dukunganmu," jawab Viona dengan suara lembut. "Aku sangat menghargainya." Armand merasa senang mendengar suara Viona. Ia merasa bahwa dukungan dan perhatian mereka satu sama lain adalah sesuatu yang sangat berarti di tengah situasi sulit ini. "Tidak perlu mengucapkan terima kasih," kata Armand dengan tulus. "Kita harus saling mendukung, Viona. Aku akan berusaha untuk mengungkap identitas pembuli ini." Viona terdengar terharu. "Terima kasih, Armand. Aku tahu kamu akan melakukan yang terbaik." Setelah beberapa lama fokus pada pekerjaannya, Armand akhirnya merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ia menyadari bahwa sebelumnya, hubungannya dengan Viona hanya sebatas rekan kerja biasa. Namun, belakangan ini, perasaannya terhadap Viona terasa berubah. Ia mer