Saat malam semakin larut, Viona masih terjaga di ruangannya di rumah sakit. Ponselnya terang benderang karena pekerjaan yang harus diselesaikannya. Dia sibuk menyusun rencana kerja dan memeriksa email dari kliennya. Namun, tak disadari, matanya semakin berat dan kelelahan mulai merasuki tubuhnya. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba, dan seorang suster masuk dengan wajah cemberut. "Hei, Anda! Kenapa masih begadang seperti ini? Anda harus beristirahat!" tegur suster dengan nada keras. Viona kaget dan buru-buru menutup ponselnya. "Maaf, saya hanya ingin menyelesaikan beberapa pekerjaan yang mendesak." Suster menghela napas. "Anda tidak akan bisa membantu diri sendiri jika Anda terus begadang seperti ini. Ini tidak baik untuk pemulihan Anda. Anda harus beristirahat agar tubuh Anda bisa pulih." Viona mengangguk mengerti, meskipun terasa sulit untuk menghentikan pekerjaannya. "Terima kasih atas perhatiannya. Saya akan berusaha istirahat." Suster itu masih memandangnya taja
Viona tertidur lelap di atas brankas rumah sakit, tak menyadari bahwa dunia di sekitarnya telah ramai dengan berita heboh di media sosial. Ponselnya terus bergetar dan berbunyi notifikasi yang memanggilnya, namun dia tetap tidak terganggu. Suara gemuruh lalu lintas dan langkah kaki di koridor hanya berpadu dengan mimpinya yang dalam. Tak jauh dari meja tempat Viona tidur, ponselnya terus bergetar dengan gesit. Notifikasi dari media sosial dan pesan masuk tak henti-hentinya datang. Namun, Viona tetap tak sadar akan semua itu. Dia terus berada dalam tidurnya, bahkan saat dunia di sekelilingnya telah berubah. "Viona, kamu harus bangun!" seru teman sekantornya, Rina, sambil mencoba membangunkannya dengan lembut. Namun, Viona hanya sedikit bergeming dan terus terlelap. Rina menggeleng frustasi. "Apa yang sedang terjadi denganmu?" Sementara itu, notifikasi di ponsel Viona terus berdering tanpa henti, memenuhi layar dengan berita dan pesan dari teman-temannya. Namun, Viona masih terlelap,
Axel duduk di ujung tempat tidurnya, terlihat begitu bersemangat dan penuh energi. Ia membuka laci meja dan mengeluarkan baju putih yang rapi, lalu mengenakannya dengan hati-hati. Tatapannya memandang cermin di depannya, dan senyum licik merekah di wajahnya. Pagi ini, segalanya tampak begitu berada di bawah kendalinya. "Dua minggu persiapan, dan akhirnya rencana ini siap dijalankan," gumam Axel pada dirinya sendiri sambil merapikan dasinya di depan cermin. Senyumannya semakin lebar saat ia memikirkan tahap-tahap rencananya yang akan berjalan. Ia merasa seperti memiliki kendali penuh atas situasi ini. Ketika Axel melangkah keluar dari kamar dan menuju ruang kerja, ia bisa merasakan tatapan orang-orang yang menyapuinya. Tapi dia sama sekali tidak terganggu oleh itu, malah ia menikmatinya. Setibanya di ruang kerja, ia duduk di kursinya dengan penuh keyakinan, melihat layar komputernya yang menyala. Ia memulai hari dengan mengecek berbagai laporan dan rencana yang telah disiapkan dengan
Armand meletakkan ponselnya dengan perasaan campur aduk. Kata-kata Axel terus terngiang di telinganya, menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian semakin tumbuh dalam pikirannya. Ia menatap layar laptop-nya yang penuh dengan tumpukan pekerjaan yang belum terselesaikan. Walaupun tubuhnya lelah, ia tahu ia harus fokus menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Dalam ruang kerjanya yang sunyi, Armand merasa pusing dengan semua kata-kata yang diucapkan oleh Axel dalam percakapan telepon tadi. Dia tahu bahwa Axel tengah mencoba mempengaruhinya, tapi pikirannya terasa begitu kacau. Ia mengusap pelipisnya dengan lembut, mencoba mengusir rasa pusing yang mendera. "Armand, apa yang terjadi?" tanya seorang rekan kerja yang lewat di depan meja Armand. Armand menghela nafas. "Sedang banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan." Rekan kerja itu mengangguk mengerti. "Semangat, ya! Kita semua tahu kamu pasti bisa menyelesaikannya." Armand tersenyum tipis, menghargai dukungan rekan kerjanya. Setelah reka
Armand terbangun dari tidurnya dengan perasaan bingung. Ia merasa masih lemas dan mengantuk setelah tidur sebentar, namun suara pintu ruangan yang terbuka mengingatkannya bahwa ada yang menunggu. "Maaf, Pak Armand," suara karyawan bernama Dika yang membangunkannya. "Pak Hendra memanggil Anda untuk pertemuan darurat." Armand segera duduk tegak di kursinya dan mencoba mengumpulkan kembali kesadarannya. Ia menyadari bahwa suara pintu yang terbuka adalah suara Dika, salah satu karyawan yang setia bekerja bersamanya. "Baik, terima kasih, Dika," jawab Armand dengan suara lirih. "Aku akan segera ke ruangannya." Armand mengusap wajahnya dan mencoba merapikan penampilannya sebelum akhirnya bangkit dari kursi dan menuju ruangan kepala perusahaan, Pak Hendra. Ia berusaha mengumpulkan pikiran-pikirannya yang masih terasa kacau akibat tidur yang terpotong. Ketika memasuki ruangan Pak Hendra, Armand melihat bahwa wajah pemimpin perusahaan tersebut terlihat serius dan penuh perhatian. Pak Hendra
Tiba-tiba, ponsel Armand berdering. Ia mengambilnya dan melihat panggilan dari Viona. Dengan cepat, ia menjawab panggilan tersebut. "Halo, Viona. Bagaimana kabarmu?" tanyanya dengan suara hangat. "Armand, terima kasih atas dukunganmu," jawab Viona dengan suara lembut. "Aku sangat menghargainya." Armand merasa senang mendengar suara Viona. Ia merasa bahwa dukungan dan perhatian mereka satu sama lain adalah sesuatu yang sangat berarti di tengah situasi sulit ini. "Tidak perlu mengucapkan terima kasih," kata Armand dengan tulus. "Kita harus saling mendukung, Viona. Aku akan berusaha untuk mengungkap identitas pembuli ini." Viona terdengar terharu. "Terima kasih, Armand. Aku tahu kamu akan melakukan yang terbaik." Setelah beberapa lama fokus pada pekerjaannya, Armand akhirnya merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ia menyadari bahwa sebelumnya, hubungannya dengan Viona hanya sebatas rekan kerja biasa. Namun, belakangan ini, perasaannya terhadap Viona terasa berubah. Ia mer
Viona mencoba menyembunyikan perasaannya di balik senyuman tipis. "Saya baik-baik saja, terima kasih." Perawat itu merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi ia memilih untuk tidak menanyakan lebih lanjut. "Baiklah, jika kamu butuh sesuatu, jangan ragu untuk memanggil kami." Setelah perawat pergi, Viona kembali merenung dan memandang keluar jendela kamarnya. Hatinya terasa hancur oleh sindiran-sindiran yang ia dengar dari teman-temannya. Ia merasa kesal karena mereka tidak mencoba mengerti situasinya dan justru malah ikut menghakimi. Meskipun hatinya masih terasa sedikit tersentuh oleh gosip-gosip yang beredar, Viona memutuskan untuk tidak membiarkan hal tersebut mengganggu konsentrasi kerjanya. Ia tahu bahwa pekerjaannya masih menunggu dan harus diselesaikan, terlebih lagi karena dirinya sedang dirawat di rumah sakit. Viona mengambil laptopnya yang ada di samping tempat tidurnya dan mulai bekerja. Ia membuka file pekerjaan yang sudah ia siapkan sebelumnya dan mulai meninjau ulang ko
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, kondisi Viona mulai membaik. Ia memutuskan untuk mematuhi saran suster dan tidak lagi begadang untuk bekerja. Pagi itu, ia bangun dengan lebih segar dan bugar dari sebelumnya. Setelah mandi dan mengenakan pakaian yang lebih nyaman, Viona memutuskan untuk pergi jalan-jalan sejenak untuk mencari udara segar di luar. Dengan langkah yang ringan, Viona keluar dari kamar rumah sakit dan berjalan menuju taman yang berada di sekitar. Udara pagi terasa segar di wajahnya, dan sinar matahari yang hangat membuatnya merasa lebih baik. Ia duduk di bangku taman dan menikmati pemandangan di sekelilingnya. Sementara itu, suster yang merawatnya sebelumnya berjalan mendekat dan tersenyum melihat Viona. "Bagaimana perasaanmu pagi ini, Nak?" Viona mengangguk dan tersenyum. "Lebih baik, Bu. Udara segar pagi ini membuat saya merasa lebih bugar." Suster itu tersenyum ramah. "Bagus sekali. Jangan lupa untuk tetap menjaga kesehatanmu dan istirahat de
Viona masih berdiri di tempatnya, merenungkan apa yang baru saja terjadi. Tatapan kosongnya tertuju pada pintu ruang UGD tempat Armand tadi masuk. Ia masih terbayang ekspresi khawatir di wajah Armand saat mereka saling pandang, seolah-olah dia ingin berkata sesuatu.Namun, pemikirannya terganggu saat seseorang mendekatinya. Ia memalingkan pandangan dan melihat seorang pria muda dengan wajah familiar. Pria itu mengenali Viona dan tersenyum."Viona, bukan? Perkenalkan saya Adrian, karyawan Pak Armand" tanya pria tersebut, dan Viona mengangguk, mengenali namanya sebagai Adrian."Iya, betul. Apa kabar, Adrian?" jawab Viona dengan senyum tipis.Adrian mengangguk, tetapi ekspresinya terlihat cemas. "Saya ingin minta maaf jika saya tadi terlihat agak panik. Saya hanya kaget melihat Armand."Viona mencoba untuk memahami situasi. "Tidak apa-apa, Adrian. Tetapi apa yang sebenarnya terjadi dengan Armand? Mengapa sampai dia bisa pingsan seperti itu?"Ad
Beberapa saat kemudian, Armand perlahan-lahan membuka matanya. Ia merasa terbaring di tempat tidur kamarnya, merasa masih sangat lemah. Matanya melirik sekitar, mencari tahu apakah ada yang di sekitarnya.Namun, kamarnya kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya cahaya matahari yang redup masuk melalui jendela, menyoroti keadaan kamarnya yang sepi.Armand merasa bingung. Bagaimana dia bisa tiba-tiba pingsan dan berakhir di sini? Apa yang terjadi padanya?Dengan susah payah, Armand meraih ponselnya yang berada di meja samping tempat tidur. Ia meraihnya dengan tangan gemetar, dan melihat layar ponsel yang memancarkan cahaya terang. Berita tentang insiden di kantor dan cerita palsu yang melibatkan Viona dan Axel menarik perhatiannya. Armand merasa campur aduk, tidak percaya bahwa hal semacam ini bisa terjadi.Saat ia merenungkan berita itu, tiba-tiba ia merasakan pusing yang semakin hebat. Pandangannya menjadi semakin kabur, dan tubuhnya terasa panas. Ia
Pak Agus meletakkan tumpukan berita di depan Viona, termasuk yang berisi cerita palsu tentang kejadian di kantor mereka. "Aku yakin kamu sudah melihat berita ini."Viona mengangguk lagi, mencoba untuk tetap tenang meskipun perasaannya makin tegang. "Ya, Pak. Saya melihatnya."Pak Agus menatap Viona dengan tajam, dan Viona merasa seolah-olah ia tengah diuji. "Apakah kamu tahu sesuatu tentang ini, Viona? Apakah kamu terlibat dalam cerita ini?"Viona terkejut dengan pertanyaan tersebut. Tatapannya berpindah-pindah, mencari kata-kata yang tepat. "Tidak, Pak. Saya sama sekali tidak terlibat dalam ini. Saya tidak tahu darimana cerita itu berasal."Pak Agus menghela nafas panjang, matanya menatap tajam Viona. "Viona, saya sudah mencoba memberikanmu kesempatan untuk menjelaskan beberapa kali. Tapi sepertinya situasi ini semakin berlarut-larut dan mempengaruhi nama baik perusahaan."Viona terdiam, merasa keringat dingin mulai mengalir di punggungnya. "Pak A
Axel merasa tekanan semakin bertambah saat wartawan mulai mendekat. Dalam sekali gerakan, Axel dan Dila harus menjalankan perannya dengan baik atau rencana busuk mereka akan jatuh ke dalam kekacauan. Dalam perasaan khawatir dan panik, mereka mendekati wartawan yang menanti dengan penuh minat."Maaf, apakah kami dapat memberikan sedikit klarifikasi mengenai kejadian saat itu?" tanya wartawan tersebut.Axel tersenyum tipis, berbicara dengan nada yang tenang dan meyakinkan. "Tentu saja. Kami sepertinya memiliki kesalahpahaman besar tentang kejadian sebelumnya."Dila mengangguk setuju, berusaha memperlihatkan ekspresi kaget dan terkejut. "Benar, kami sebenarnya sedang membahas proyek kita yang berlangsung dengan sangat sibuk. Tidak sengaja melewati depan kamar mandi, kami melihat Viona dan Armand masuk bersamaan, tetapi kami tidak punya niat untuk mengintip atau sejenisnya."Dila mengangguk, berusaha memainkan perannya dengan baik. "Kami hanya melihat sekilas
Armand memasuki rumahnya dengan langkah hati-hati, masih merasakan sedikit kelemahan setelah perjalanan. Ia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, membiarkan air hangat mengalir menenangkan tubuhnya. Tetapi meskipun air hangat itu menyentuh kulitnya, kekhawatiran dan pemikiran yang berputar di kepalanya tidak begitu saja hilang.Dengan handuk di tangan, ia duduk di tepi tempat tidur dan memandang ke luar jendela. Langit senja menggambarkan warna-warna yang hangat, tapi dalam hatinya, ada rasa gelisah yang belum reda. Ia tahu ada banyak tanggung jawab yang menanti di depan, dan pemikiran tentang tugas-tugas yang harus dihadapinya mulai mengganggu pikirannya.Seiring mata Armand mulai terpejam, ia merenungkan tentang hubungannya dengan Pak Budi, sopir setianya. Bagaimana kesetiaan dan perhatian Pak Budi telah memberikan kenyamanan selama perjalanan. Itu mengingatkannya bahwa di tengah hiruk-pikuk tugas dan tanggung jawab, ada juga manusia-manusia baik yang me
Viona duduk di meja kerjanya, sambil menatap layar laptopnya dengan wajah tegang. Beberapa berita di media sosial masih membicarakan tentang peristiwa sebelumnya dan mencampuradukkan fakta dengan spekulasi. Ia melihat banyak komentar yang mencela Armand, mengaitkan dirinya dengan permasalahan yang tidak ada kaitannya sama sekali. Rasa bersalah dan prihatin muncul dalam diri Viona.Sambil menggigit bibirnya, Viona memutuskan untuk memberanikan diri dan menulis komentar di salah satu artikel yang menyinggung Armand."Maafkan saya, tetapi saya ingin mengklarifikasi bahwa Armand tidak ada kaitannya dengan masalah tersebut. Mari kita hormati privasi dan fokus pada hal-hal yang lebih positif," tulis Viona dengan hati-hati.Tak lama setelah komentarnya terkirim, beberapa komentar positif mulai muncul dari netizen yang mendukung pandangan Viona. Namun, ada juga yang tetap skeptis dan masih mempertanyakan keterlibatan Armand.***Armand duduk di meja kerjan
Malam semakin larut, tetapi Viona masih terlihat sibuk di meja kerjanya. Layar laptopnya terang benderang, memantulkan cahaya ke wajahnya yang penuh konsentrasi. Ia tenggelam dalam dunia informasi dan data yang sedang ia teliti. Berbagai file dan dokumen tersebar di sekitarnya, menandakan betapa seriusnya ia menyelidiki proyek yang kini dipegang oleh Dila.Tiba-tiba, Viona menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya dalam salah satu laporan proyek. Ia membaca dengan cermat, mencatat setiap detail yang penting. Suara ketikan di keyboardnya semakin cepat, mengikuti aliran pikirannya yang semakin mendalam. Ia merasa ada yang tidak beres dengan proyek tersebut dan ingin mengetahui lebih lanjut.Viona terus memeriksa berbagai dokumen terkait project yang kini dipegang oleh Dila. Ia mencari informasi lebih rinci, menggali setiap detail yang mungkin bisa membantunya memahami jalannya project tersebut. Matanya fokus memeriksa data dan catatan yang tersimpan di dalam laptopnya.
Dengan tekad yang kuat, Viona memutuskan untuk kembali bekerja setelah masa pemulihannya. Ia merasa sudah siap menghadapi suasana di kantor yang mungkin sudah berubah akibat berita-berita yang tersebar. Namun, ketika ia memasuki ruang kantor, ia merasakan tatapan-tatapan tidak menyenangkan yang ditujukan kepadanya. Beberapa karyawan bahkan mengalihkan pandangan dengan sinis saat ia berjalan melewati mereka.Viona merasa detak jantungnya berdebar lebih cepat saat ia memasuki kantor. Ia merasakan pandangan tajam dari beberapa rekan kerja yang dulu pernah dekat dengannya. Namun, kali ini pandangan itu penuh dengan rasa tidak suka dan penilaian yang buruk. Meskipun hatinya merasa tidak nyaman, Viona memilih untuk tetap tenang dan berusaha menjaga kehormatannya.Dengan langkah mantap, Viona melangkah menuju meja kerjanya. Ia bisa merasakan pandangan dari sudut mata yang terus mengikuti setiap gerakannya. Tanpa menoleh atau menunjukkan bahwa ia terpengaruh, Viona fokus
Selama beberapa hari ke depan, Viona benar-benar berusaha untuk mengabaikan berita yang tersebar di media sosial. Ia merasa bahwa membiarkan dirinya terus terikat pada komentar-komentar negatif hanya akan mengganggu pemulihannya. Sebagai gantinya, ia memilih untuk fokus pada proses penyembuhannya dan mengembalikan kekuatannya.Saat matahari bersinar terang di pagi hari, Viona duduk di kursinya di rumah sakit, menikmati sinar matahari yang masuk lewat jendela. Ia merasa angin sejuk dan segar menyapu wajahnya, dan ia tersenyum."Sudah seminggu kamu di sini, Viona. Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya suster yang datang dengan senyuman."Lebih baik, bu," jawab Viona sambil tersenyum. "Saya merasa lebih segar hari ini."Suster itu mengangguk puas. "Itu bagus. Ingatlah untuk tetap istirahat dan jangan terlalu banyak beraktivitas."Viona mengangguk dan berjanji untuk mematuhi anjuran suster. Setelah suster pergi, ia merenung sejenak tentang rencananya