Axel duduk di ujung tempat tidurnya, terlihat begitu bersemangat dan penuh energi. Ia membuka laci meja dan mengeluarkan baju putih yang rapi, lalu mengenakannya dengan hati-hati. Tatapannya memandang cermin di depannya, dan senyum licik merekah di wajahnya. Pagi ini, segalanya tampak begitu berada di bawah kendalinya. "Dua minggu persiapan, dan akhirnya rencana ini siap dijalankan," gumam Axel pada dirinya sendiri sambil merapikan dasinya di depan cermin. Senyumannya semakin lebar saat ia memikirkan tahap-tahap rencananya yang akan berjalan. Ia merasa seperti memiliki kendali penuh atas situasi ini. Ketika Axel melangkah keluar dari kamar dan menuju ruang kerja, ia bisa merasakan tatapan orang-orang yang menyapuinya. Tapi dia sama sekali tidak terganggu oleh itu, malah ia menikmatinya. Setibanya di ruang kerja, ia duduk di kursinya dengan penuh keyakinan, melihat layar komputernya yang menyala. Ia memulai hari dengan mengecek berbagai laporan dan rencana yang telah disiapkan dengan
Armand meletakkan ponselnya dengan perasaan campur aduk. Kata-kata Axel terus terngiang di telinganya, menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian semakin tumbuh dalam pikirannya. Ia menatap layar laptop-nya yang penuh dengan tumpukan pekerjaan yang belum terselesaikan. Walaupun tubuhnya lelah, ia tahu ia harus fokus menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Dalam ruang kerjanya yang sunyi, Armand merasa pusing dengan semua kata-kata yang diucapkan oleh Axel dalam percakapan telepon tadi. Dia tahu bahwa Axel tengah mencoba mempengaruhinya, tapi pikirannya terasa begitu kacau. Ia mengusap pelipisnya dengan lembut, mencoba mengusir rasa pusing yang mendera. "Armand, apa yang terjadi?" tanya seorang rekan kerja yang lewat di depan meja Armand. Armand menghela nafas. "Sedang banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan." Rekan kerja itu mengangguk mengerti. "Semangat, ya! Kita semua tahu kamu pasti bisa menyelesaikannya." Armand tersenyum tipis, menghargai dukungan rekan kerjanya. Setelah reka
Armand terbangun dari tidurnya dengan perasaan bingung. Ia merasa masih lemas dan mengantuk setelah tidur sebentar, namun suara pintu ruangan yang terbuka mengingatkannya bahwa ada yang menunggu. "Maaf, Pak Armand," suara karyawan bernama Dika yang membangunkannya. "Pak Hendra memanggil Anda untuk pertemuan darurat." Armand segera duduk tegak di kursinya dan mencoba mengumpulkan kembali kesadarannya. Ia menyadari bahwa suara pintu yang terbuka adalah suara Dika, salah satu karyawan yang setia bekerja bersamanya. "Baik, terima kasih, Dika," jawab Armand dengan suara lirih. "Aku akan segera ke ruangannya." Armand mengusap wajahnya dan mencoba merapikan penampilannya sebelum akhirnya bangkit dari kursi dan menuju ruangan kepala perusahaan, Pak Hendra. Ia berusaha mengumpulkan pikiran-pikirannya yang masih terasa kacau akibat tidur yang terpotong. Ketika memasuki ruangan Pak Hendra, Armand melihat bahwa wajah pemimpin perusahaan tersebut terlihat serius dan penuh perhatian. Pak Hendra
Tiba-tiba, ponsel Armand berdering. Ia mengambilnya dan melihat panggilan dari Viona. Dengan cepat, ia menjawab panggilan tersebut. "Halo, Viona. Bagaimana kabarmu?" tanyanya dengan suara hangat. "Armand, terima kasih atas dukunganmu," jawab Viona dengan suara lembut. "Aku sangat menghargainya." Armand merasa senang mendengar suara Viona. Ia merasa bahwa dukungan dan perhatian mereka satu sama lain adalah sesuatu yang sangat berarti di tengah situasi sulit ini. "Tidak perlu mengucapkan terima kasih," kata Armand dengan tulus. "Kita harus saling mendukung, Viona. Aku akan berusaha untuk mengungkap identitas pembuli ini." Viona terdengar terharu. "Terima kasih, Armand. Aku tahu kamu akan melakukan yang terbaik." Setelah beberapa lama fokus pada pekerjaannya, Armand akhirnya merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ia menyadari bahwa sebelumnya, hubungannya dengan Viona hanya sebatas rekan kerja biasa. Namun, belakangan ini, perasaannya terhadap Viona terasa berubah. Ia mer
Viona mencoba menyembunyikan perasaannya di balik senyuman tipis. "Saya baik-baik saja, terima kasih." Perawat itu merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi ia memilih untuk tidak menanyakan lebih lanjut. "Baiklah, jika kamu butuh sesuatu, jangan ragu untuk memanggil kami." Setelah perawat pergi, Viona kembali merenung dan memandang keluar jendela kamarnya. Hatinya terasa hancur oleh sindiran-sindiran yang ia dengar dari teman-temannya. Ia merasa kesal karena mereka tidak mencoba mengerti situasinya dan justru malah ikut menghakimi. Meskipun hatinya masih terasa sedikit tersentuh oleh gosip-gosip yang beredar, Viona memutuskan untuk tidak membiarkan hal tersebut mengganggu konsentrasi kerjanya. Ia tahu bahwa pekerjaannya masih menunggu dan harus diselesaikan, terlebih lagi karena dirinya sedang dirawat di rumah sakit. Viona mengambil laptopnya yang ada di samping tempat tidurnya dan mulai bekerja. Ia membuka file pekerjaan yang sudah ia siapkan sebelumnya dan mulai meninjau ulang ko
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, kondisi Viona mulai membaik. Ia memutuskan untuk mematuhi saran suster dan tidak lagi begadang untuk bekerja. Pagi itu, ia bangun dengan lebih segar dan bugar dari sebelumnya. Setelah mandi dan mengenakan pakaian yang lebih nyaman, Viona memutuskan untuk pergi jalan-jalan sejenak untuk mencari udara segar di luar. Dengan langkah yang ringan, Viona keluar dari kamar rumah sakit dan berjalan menuju taman yang berada di sekitar. Udara pagi terasa segar di wajahnya, dan sinar matahari yang hangat membuatnya merasa lebih baik. Ia duduk di bangku taman dan menikmati pemandangan di sekelilingnya. Sementara itu, suster yang merawatnya sebelumnya berjalan mendekat dan tersenyum melihat Viona. "Bagaimana perasaanmu pagi ini, Nak?" Viona mengangguk dan tersenyum. "Lebih baik, Bu. Udara segar pagi ini membuat saya merasa lebih bugar." Suster itu tersenyum ramah. "Bagus sekali. Jangan lupa untuk tetap menjaga kesehatanmu dan istirahat de
Dengan tekad yang kuat, Viona merasa perlu mencari tahu siapa yang kini bertanggung jawab atas proyek yang dulunya menjadi miliknya. Ia tidak ingin hanya berdiam diri setelah usahanya diambil begitu saja. Setelah mengerjakan beberapa pekerjaan di rumah sakit, Viona mengambil ponselnya dan memutuskan untuk menghubungi bagian informasi perusahaan. Setelah beberapa saat, Viona akhirnya mendapatkan informasi yang ia cari. Ia mengetahui bahwa proyek tersebut kini dikelola oleh Dila, nama yang sangat akrab di telinganya. Dila, orang yang pernah membuli dan bahkan membuatnya pingsan di kamar mandi. Viona merasa bingung dan marah sekaligus. Mengapa perusahaan mempercayakan proyek penting ini kepada seseorang yang tahuannya sangat buruk terhadapnya? Viona merasa terkejut dan tidak percaya ketika ia mendengar nama "Dila" sebagai orang yang sekarang bertanggung jawab atas proyek yang dulu ia kerjakan dengan keras. Ia memutuskan untuk segera mencari tahu lebih lanjut tentang Dila dan alasan meng
Viona tersentak dan menoleh kepada perawat itu. "Saya baik-baik saja, tapi ada sesuatu yang ingin saya selidiki. Saya harus membuktikan bahwa seseorang telah melakukan tindakan yang tidak benar terhadap saya," jawab Viona dengan tekad. Perawat itu merasa simpati terhadap Viona, tetapi ia juga mengingatkan, "Penting bagi Anda untuk tetap menjaga kesehatan dan tidak memberatkan diri sendiri. Mungkin Anda bisa melanjutkan ini setelah Anda pulih sepenuhnya." Viona mengangguk mengerti, tetapi rasa keinginannya untuk menemukan kebenaran terlalu kuat. "Saya akan istirahat sebentar, tapi setelah itu saya harus melanjutkan ini. Saya ingin membuktikan bahwa kejahatan tidak boleh luput dari pengadilan," ucapnya dengan tekad. Perawat itu mengangguk dan pergi dari kamar, meninggalkan Viona kembali pada penelitiannya. Ia merasa semakin terdorong untuk mengungkapkan kebenaran dan membuktikan bahwa tindakan Dila harus dihukum. Meskipun ia sedang dirawat di rumah sakit, semangat dan tekadnya tidak t