DesirePart 8 Gadis Itu IIKabut pagi melayang di awang-awang. Puncak Wilis juga masih berselimut kabut tebal. Padahal sekarang sudah jam tujuh pagi, tapi suasana masih agak gelap. Tidak seperti di kota yang sudah terang benderang. Beberapa hari tinggal di Ngliman, Fariq mulai terbiasa dengan suasana dan udara dinginnya. Siangnya datang lebih lambat dan sorenya datang lebih cepat. Meski sinar matahari terik di siang hari. Tapi udara tetap saja terasa sejuk.Pagi itu Fariq, Erwin, dan beberapa pekerjanya sarapan di warung Mbok Legi. Nasi pecel dengan segelas kopi atau teh. Sarapan khas orang desa.Fariq menatap Toko Ceria yang masih tertutup rapat. Beberapa hari kemarin jam seperti ini sudah buka. Seorang gadis pasti sedang menyapu. Mulai dari dalam toko kemudian hingga halaman luar. Apa karena peristiwa kemarin sore yang membuat toko belum juga di buka? Fariq jadi cemas memikirkan hal yang mungkin saja terjadi dengan gadis berkulit eksotis itu.Mbok Legi sendiri sambil membungkus nas
DesirePart 9 Awal Perkenalan ILantunan ayat-ayat Al Qur'an itu menyejukkan jiwanya. Suaranya juga terdengar lembut di telinga. Bukan ia tidak pernah mendengar orang mendaras Al Qur'an. Di masjid dekat tempat tinggal mamanya, tiap malam Minggu para remaja masjid sering mengadakan kegiatan membaca Al Qur'an. Tapi kali ini terasa berbeda saja bagi Fariq. Pada saat yang bersamaan hatinya juga lega. Berarti gadis itu baik-baik saja. Dia masih di rumah. Fariq menarik Erwin untuk menepi ketika sebuah mobil muncul dari tikungan depan. Mobil hitam itu berhenti di depan rumah Adam. Seorang laki-laki turun dan mengetuk pintu rumah yang tertutup rapat.Laras yang membuka pintu. Perempuan itu kaget melihat Aditya sudah berdiri di depannya. Mantan kekasih Jingga itu tetap tersenyum ramah padanya. "Ada apa?""Saya ingin bertemu Jingga, Mbak.""Untuk apa! Nggak usah nemui adikku lagi." Ketus sekali suara Laras.Bersamaan dengan itu, suara lantunan ayat Al Qur'an terhenti dan di akhiri bacaan iftit
DesirePart 10 Awal Perkenalan IIJingga yang baru saja meletakkan belanjaannya di dapur sekalian mengambil wudhu dan masuk kamar untuk Salat Isya.Usai salat, gadis itu membuka pintu jendelanya lebar-lebar. Berdiri di bingkai jendela dan menatap bulan separuh di angkasa yang pekat. Hening. Hanya suara serangga malam yang terdengar dari pekarangan samping rumah. Jingga melamun."Maafkan aku, Ga. Untuk semuanya," ucap lirih Aditya ketika menghampiri Jingga yang sedang memanasi motornya."Jangan bicarakan itu lagi. Aku sudah melupakannya," jawab Jingga tanpa mau menatap pria yang berdiri di sebelahnya. Melupakan? Tentunya tidak akan semudah itu. Tapi untuk apa juga mengakui kalau dirinya terpuruk. Justru Jingga harus menunjukkan pada pria yang telah mengkhianatinya, menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja.Jingga ingat bagaimana gelisahnya Aditya ketika lelaki itu menghampirinya tadi. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan, tapi Jingga sama sekali tidak ingin memberinya kesempatan. Untu
DesirePart 11 Dingin, Aroma Cengkeh, dan Wangi Mawar 1"Hati-hati, Ga. Licin jalannya," pesan dari Mbak Laras ketika Jingga pamitan hendak berangkat mengajar. "Iya, Mbak." Sisa hujan semalam membuat jalanan becek sana sini. Terlebih jalan kampung juga sudah mulai rusak. Aspalnya banyak yang berlubang. Mesti hati-hati kalau bawa motor, supaya tidak tergelincir atau masuk kubangan air.Gadis itu melewati depan rumah Pak Lurah sekaligus depan rumah Pak Saman. Rumah yang ditempati rombongannya Fariq. Jingga melihat mobil putih tadi terparkir di pinggir jalan. Entah jam berapa wanita tadi berangkat dari rumah, hingga sepagi itu sudah sampai di desa Ngliman.Aditya yang sedang memanasi mesin mobil memandang ke arah Jingga yang lewat. Memperhatikan gadis itu dengan segenap rasa yang masih utuh seperti dulu. Namun Jingga lebih memilih menoleh ke arah kanan. Melihat Fariq yang duduk berbincang dengan perempuan yang bertanya padanya tadi. Para ibu-ibu yang mengantar sekolah anaknya masih du
DesirePart 12 Dingin, Aroma Cengkeh, dan Wangi Mawar 2Di kejauhan, tampak deretan pegunungan telah diselimuti kabut. Gerimis lembut turun sore itu. Menambah syahdu suasana lereng Wilis. Dingin, aroma cengkeh, wangi mawar yang beterbangan diembus angin, serta suara kicau burung hutan liar yang terbang pulang ke sarang. Maka nikmat mana yang kamu dustakan.Sejenak Jingga menatap di kejauhan sambil menunggu Arum selesai mengunci rolling door. "Ikut aku dulu ya. Sepedamu biar di toko saja.""Ke mana, Mbak?" tanya Arum sambil memasukkan kunci ke dalam tas selempangnya. Tiap hari dia yang bawa kunci, karena datang ke toko lebih pagi."Ada pesan dari Bu Sri yang harus kusamapaikan pada Pak Fariq.""Pak Fariq yang bosnya orang proyek itu?" tanya Arum dengan netra berbinar-binar. Membuat Jingga mengernyit heran. "Kamu sudah tau?"Arum tersenyum. "Tau. Dia sudah viral di kalangan anak gadis dan kaum janda. Ibu-ibu juga suka membicarakannya. Kan tiap pagi dia sering sarapan di warungnya Mbok L
DesirePart 13 Hari Sabtu Pagi 1"Kurasa kamu lebih mengenali siapa aku daripada mengenali siapa Mawar. Kita berteman sejak masih kecil. Kamu tahu bagaimana aku. Tapi sudahlah, Aditya memang sepupumu. Berarti Mawar juga menjadi kerabatmu sekarang. Wajarlah kalau kamu lebih percaya mereka." Perkataan Jingga membuat Yayuk terdiam. Jingga membayar dan mengambil barang belanjaannya. "Aku pulang dulu, Mbak Rah," pamit Jingga pada pemilik warung.Sedih. Jingga merasa sangat kehilangan. Terputusnya hubungan dengan Aditya, berimbas banyak dalam kehidupannya. Membuatnya jadi pergunjingan banyak orang, hingga ke desa tetangga kala itu. Sungguh, beban mental yang luar biasa. Walaupun mereka mengunjung karena iba. Tapi hubungannya dengan Yayuk merenggang. Padahal selama ini ke mana-mana mereka selalu bersama. Sekolah, mengaji, belajar kelompok, dan bermain.Sama-sama berasal dari keluarga tidak punya, membuat keduanya saling menjaga semenjak zaman kanak-kanak. Meski keluarga Aditya kaya dan suks
DesirePart 14 Hari Sabtu Pagi 2Aroma maskulin menyambut Jingga ketika masuk dan duduk. Tidak ada pernak-pernik milik perempuan di sana. Sama sekali tidak ada hiasan apapun selain sekotak tisu yang berada di antara kedua jok mobil dan pengharum mobil.Ketiga kendaraan meninggalkan halaman TK diiringi teriakan anak-anak yang melambaikan tangan pada orang tuanya. Di belakang, beberapa orang tua yang hendak mendampingi, mengikuti dengan motor mereka."Anak-anak diam ya, jangan berisik." Jingga memandang ke belakang. Menyuruh diam anak-anak yang berceloteh riang sambil memandang sepanjang perjalanan. Dia merasa tak enak jika Fariq terganggu."Maaf, Pak Fariq. Udah kami repotkan, anak-anak juga berisik."Pria itu tersenyum. "Tidak apa-apa. Santai saja.""Terima kasih banyak, Pak.""Sama-sama."Jingga memandang ke depan. Pada mobil Aditya yang melaju tepat di hadapan mereka. Hatinya tidak tenang. Bukan karena ada Aditya saja, tapi duduk berdampingan di mobil dengan lelaki yang bisa saja i
DesirePart 15 Boleh saya ikut, Nona? IKeseluruhan acara selesai jam sebelas siang. Mulai dari pembukaan, sambutan, senam masal, dan lomba mewarnai. Anak-anak diajak berkumpul di lapangan bagian selatan. Duduk berteduh di bawah pohon-pohon besar. Jingga, Bu Sri, dan Bu Lindi membagikan kotak berisi nasi sekaligus minum pada anak-anak. Mereka duduk bersila sambil makan dengan lahap. Konsumsi yang dipesan dari salah satu wali murid."Pak Fariq, ini makan siang untuk Bapak." Jingga mengulurkan kotak berwarna cokelat pada Fariq."Saya juga dapat?""Iya.""Terima kasih," jawab pria itu sambil tersenyum.Jingga juga memberikan jatah nasi pada Aditya dan sopirnya. Dua insan yang pernah menjalin asmara itu saling pandang sejenak. Kemudian Jingga yang lebih dulu memalingkan muka dan pergi.Jika besok Mawar mendengar kalau hari ini suaminya mengantarkan anak-anak TK, sudah bisa dipastikan wanita itu bakalan murka. Tapi apa pedulinya sekarang. Bodo amat dengan kehidupan mereka.Fariq, Aditya,
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su