DesirePart 15 Boleh saya ikut, Nona? IKeseluruhan acara selesai jam sebelas siang. Mulai dari pembukaan, sambutan, senam masal, dan lomba mewarnai. Anak-anak diajak berkumpul di lapangan bagian selatan. Duduk berteduh di bawah pohon-pohon besar. Jingga, Bu Sri, dan Bu Lindi membagikan kotak berisi nasi sekaligus minum pada anak-anak. Mereka duduk bersila sambil makan dengan lahap. Konsumsi yang dipesan dari salah satu wali murid."Pak Fariq, ini makan siang untuk Bapak." Jingga mengulurkan kotak berwarna cokelat pada Fariq."Saya juga dapat?""Iya.""Terima kasih," jawab pria itu sambil tersenyum.Jingga juga memberikan jatah nasi pada Aditya dan sopirnya. Dua insan yang pernah menjalin asmara itu saling pandang sejenak. Kemudian Jingga yang lebih dulu memalingkan muka dan pergi.Jika besok Mawar mendengar kalau hari ini suaminya mengantarkan anak-anak TK, sudah bisa dipastikan wanita itu bakalan murka. Tapi apa pedulinya sekarang. Bodo amat dengan kehidupan mereka.Fariq, Aditya,
DesirePart 16 Boleh saya ikut, Nona? IIJingga bangkit dari duduknya dan mendekati anak-anak yang sedang bermain. Lukanya kembali terasa, sangat sakit dan mencabik-cabik. Ia ditinggalkan, dipermalukan sedemikian rupa. Tanpa mempedulikan bagaimana beban mentalnya berhadapan dengan masyarakat. Gadis itu tertawa bersama anak didiknya untuk menghalau rasa kecewa. Mereka yang jadi hiburan bagi Jingga.Gadis itu ingat setelah kedatangan kedua orang tua Aditya untuk membatalkan pernikahan mereka, Jingga menangis semalaman. Paginya tidak bisa mengajar karena matanya bengkak.Namun keesokan harinya, Jingga pergi juga ke sekolah. "Kamu beneran mau ngajar hari ini, Ga?" tanya Laras dengan matanya yang sembab juga."Ya, Mbak.""Kamu nggak apa-apa?""Di rumah hanya membuatku makin sedih saja. Pada akhirnya orang-orang juga bakalan tahu, Mbak. Untuk itu aku nggak boleh rapuh," jawab Jingga sambil tersenyum. Laras melihatnya itu senyuman untuk menutupi luka. Dipeluknya sang adik ipar sambil menah
DesirePart 17 Nona INona?Panggilan itu terasa asing di telinga Jingga. Belum pernah ia dipanggil dengan sebutan Nona. Apa itu kebiasaan orang kota jika memanggil seorang gadis? Sebentar kemudian Jingga menepis rasa kagetnya. Berganti dengan kebingungan. Jika mengizinkan tanpa sepengetahuan kakaknya, pasti Jingga bakalan di marahi. Jika bilang tidak boleh, rasanya juga tak enak. Padahal lelaki di sampingnya ini tampak sekali kalau dia pria baik-baik. "Boleh? Atau saya harus tanya kakaknya, Bu Guru?""Iya. Biar saya saja yang bilang sama Mas Adam dulu.""Oke, saya tunggu."Laju kendaraan Fariq melambat karena hujan turun lumayan lebat. Harus sangat hati-hati karena jalanan licin. Air dari atas mengalir turun lewat jalan raya. Tentu itu air yang mengalir bebas dari pegunungan.Meski di daerahnya sendiri, Jingga juga was-was jika berkendaraan dalam situasi hujan lebat begini. Ketiga mobil melaju pelan melewati jalanan yang menanjak, menurun dan berbelok-belok. Jalanan makin menanjak
DesirePart 18 Nona IISetelah mencium tangan iparnya, Jingga meraih tas ranselnya dan segera melangkah keluar. Baru saja motor turun ke jalan, dari arah barat muncul mobil Fariq. Kendaraan itu berhenti, Fariq menyapa dari jendela kaca. Jingga mengangguk dan tersenyum pada lelaki itu. "Selamat pagi, Bu Guru," sapa Fariq sambil membalas senyum Jingga."Pagi, Pak Fariq. Udah mau berangkat kerja?""Hari ini saya ada meeting di kantor pusat, sekalian mau jenguk Mama saya.""Hmm, iya, Pak. Hati-hati di jalan.""Terima kasih, Nona." Lagi-lagi panggilan itu membuat Jingga terpana, meski Fariq mengucapnya dengan nada biasa. Tidak ada kegenitan dalam cara bicaranya. Namun sukses membuat hati Jingga bergemuruh. Tapi Bu Guru berparas manis itu tahu bagaimana mengendalikan dirinya. Ia selalu bisa menjaga sikapnya agar tidak terlihat kampungan meski dia gadis gunung.Fariq tersenyum sekali lagi lantas melaju pelan meninggalkan Jingga. Gadis itu pun segera berbelok ke arah kiri untuk berangkat ke
"Saya dukung Pak Fariq pedekate sama Bu Guru."Fariq diam. Usianya dengan Jingga terpaut jauh. Jujur saja, meski gadis itu tidak berkulit putih seperti wanita-wanita kota yang ia kenali, tapi Jingga memiliki daya pikat tersendiri. Matanya bening, alisnya tebal, dan hidungnya runcing. Dia gadis berkulit eksotis yang sangat memikat."Pak Fariq, nggak tertarik?""Mungkin dia yang tidak mau sama saya. Dia masih muda.""Pak Fariq juga masih muda. Orang nggak akan mengira kalau Anda sudah empat puluh tahun. Ayolah, saya dukung, Pak. Apa perlu saya comblangi?""Tidak perlu. Kalau saya mau, saya bisa sendiri.""Nah, gitu. Saya tahu kalau Pak Fariq ini gentleman." Erwin terus membujuk bosnya. Sumpah, jika dia belum bertunangan. Jingga akan didekatinya sendiri. Dia sepemikiran dengan Fariq. Jingga gadis yang sangat menarik.Mereka akhirnya sampai di dekat loket masuk. Setelah turun dari motor, Fariq bergegas ke depan sambil merogoh dompet dari sakunya. Ia yang membayar tiket untuk mereka. Sete
Fariq tersenyum melihat hasil jepretan Erwin dan Laras di kameranya. Malam itu ia sedang duduk di pinggir ranjang kayu di kamar yang ditempatinya. Memerhatikan Jingga yang ada di fotonya. Gadis itu sederhana, tapi cerdas. Membesar tanpa kehadiran orang tua membuatnya tangguh dan mandiri. Fariq kagum.Adam juga sukses mengantarkan adiknya menjadi seperti sekarang ini. Meski itu juga butuh perjuangan yang tentunya tidak mudah. Walaupun Jingga masih menjadi guru honorer dengan gaji yang tidak seberapa. Tapi gadis itu juga penuh semangat mengabdi mendidik anak negeri.Jingga mengingatnya pada sosok istri pertamanya. Dulu pertama kali kenal Embun ketika wanita itu baru bekerja di rumah sakit. Dengan gaji yang masih pas-pasan. Namun sekarang dia sudah menemukan cinta sejatinya. Menjadi istri pengusaha sukses, ibu rumah tangga dengan dua anak yang tampan dan memiliki apotek yang terlengkap di kotanya. Embun sudah bahagia.Dirinya juga harus bangkit dan bahagia. Meninggalkan luka masa lalunya
Jingga masih duduk di atas sajadah usai Salat Maghrib. Dia kepikiran dengan perkataan Fariq tadi yang ingin menemuinya. Terus untuk apa? Kenapa tidak dikatakan tadi saja saat bertemu di warung Mbok Legi?Ingin memberitahu Adam atau Laras juga tak sempat. Mereka pulang dari balai desa sudah menjelang Maghrib. Tadi pun gerimis juga. Biasanya musim hujan datang di bulan September, tapi sudah sejak bulan kemarin, hujan mulai turun.Cukup lama Jingga termenung, hingga ketukan di pintu kamar membuatnya menoleh. "Jingga." Suara Laras memanggil. "Udah belum salatnya?""Iya, Mbak. Sebentar. Aku sudah selesai." Jingga bangkit dari duduknya. Melepaskan mukena, menaruhnya di hanger, dan ia langsung membuka pintu."Pakai hijabmu. Ada Mas Fariq di luar," ucap Laras lirih, kemudian meninggalkan sang adik ipar.Jingga meraih bergo warna ungu yang tergeletak di atas tempat tidur. Mematut diri sebentar di depan cermin, baru keluar kamar. Dua keponakannya sedang belajar di kamar Lanang.Di teras sudah a
Hari Selasa pagi Jingga sudah tidak melihat mobil Fariq ada di garasi rumah Pak Saman. Mungkin pria itu sudah berangkat pagi-pagi sekali. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan niat lelaki itu yang ingin melamarnya. Tidak menduga saja kalau Fariq ingin menjadikannya istri. Mereka memang sering bertemu, terutama ketika Jingga hendak berangkat mengajar. Namun ia tidak tahu kalau perhatian pria itu memiliki maksud yang berbeda."Bu, besok aku mau izin sehari saja. Mau beli kain. Nanti punya Bu Jingga saya anterin ke rumah ya. Langsung Bu Jingga bawa ke penjahit," kata Bu Lindi ketika mereka duduk berdua di jam istirahat."Sebulan lagi kan, Bu. Udah fix kan tanggalnya.""Iya. Kemarin ditunda karena calon bapak mertua meninggal. Jadi di undur. Nyari tanggal dan hari lagi. Aku manut saja, Bu. Hidup di desa semua serba dihitung. Tanggal baik, bulan baik, hari baik, dan jam temu manten yang baik. Padahal orang muda kayak kita nggak perlu lagi njelimet seperti itu kan?"Jingga tersenyum. Ma