DesirePart 14 Hari Sabtu Pagi 2Aroma maskulin menyambut Jingga ketika masuk dan duduk. Tidak ada pernak-pernik milik perempuan di sana. Sama sekali tidak ada hiasan apapun selain sekotak tisu yang berada di antara kedua jok mobil dan pengharum mobil.Ketiga kendaraan meninggalkan halaman TK diiringi teriakan anak-anak yang melambaikan tangan pada orang tuanya. Di belakang, beberapa orang tua yang hendak mendampingi, mengikuti dengan motor mereka."Anak-anak diam ya, jangan berisik." Jingga memandang ke belakang. Menyuruh diam anak-anak yang berceloteh riang sambil memandang sepanjang perjalanan. Dia merasa tak enak jika Fariq terganggu."Maaf, Pak Fariq. Udah kami repotkan, anak-anak juga berisik."Pria itu tersenyum. "Tidak apa-apa. Santai saja.""Terima kasih banyak, Pak.""Sama-sama."Jingga memandang ke depan. Pada mobil Aditya yang melaju tepat di hadapan mereka. Hatinya tidak tenang. Bukan karena ada Aditya saja, tapi duduk berdampingan di mobil dengan lelaki yang bisa saja i
DesirePart 15 Boleh saya ikut, Nona? IKeseluruhan acara selesai jam sebelas siang. Mulai dari pembukaan, sambutan, senam masal, dan lomba mewarnai. Anak-anak diajak berkumpul di lapangan bagian selatan. Duduk berteduh di bawah pohon-pohon besar. Jingga, Bu Sri, dan Bu Lindi membagikan kotak berisi nasi sekaligus minum pada anak-anak. Mereka duduk bersila sambil makan dengan lahap. Konsumsi yang dipesan dari salah satu wali murid."Pak Fariq, ini makan siang untuk Bapak." Jingga mengulurkan kotak berwarna cokelat pada Fariq."Saya juga dapat?""Iya.""Terima kasih," jawab pria itu sambil tersenyum.Jingga juga memberikan jatah nasi pada Aditya dan sopirnya. Dua insan yang pernah menjalin asmara itu saling pandang sejenak. Kemudian Jingga yang lebih dulu memalingkan muka dan pergi.Jika besok Mawar mendengar kalau hari ini suaminya mengantarkan anak-anak TK, sudah bisa dipastikan wanita itu bakalan murka. Tapi apa pedulinya sekarang. Bodo amat dengan kehidupan mereka.Fariq, Aditya,
DesirePart 16 Boleh saya ikut, Nona? IIJingga bangkit dari duduknya dan mendekati anak-anak yang sedang bermain. Lukanya kembali terasa, sangat sakit dan mencabik-cabik. Ia ditinggalkan, dipermalukan sedemikian rupa. Tanpa mempedulikan bagaimana beban mentalnya berhadapan dengan masyarakat. Gadis itu tertawa bersama anak didiknya untuk menghalau rasa kecewa. Mereka yang jadi hiburan bagi Jingga.Gadis itu ingat setelah kedatangan kedua orang tua Aditya untuk membatalkan pernikahan mereka, Jingga menangis semalaman. Paginya tidak bisa mengajar karena matanya bengkak.Namun keesokan harinya, Jingga pergi juga ke sekolah. "Kamu beneran mau ngajar hari ini, Ga?" tanya Laras dengan matanya yang sembab juga."Ya, Mbak.""Kamu nggak apa-apa?""Di rumah hanya membuatku makin sedih saja. Pada akhirnya orang-orang juga bakalan tahu, Mbak. Untuk itu aku nggak boleh rapuh," jawab Jingga sambil tersenyum. Laras melihatnya itu senyuman untuk menutupi luka. Dipeluknya sang adik ipar sambil menah
DesirePart 17 Nona INona?Panggilan itu terasa asing di telinga Jingga. Belum pernah ia dipanggil dengan sebutan Nona. Apa itu kebiasaan orang kota jika memanggil seorang gadis? Sebentar kemudian Jingga menepis rasa kagetnya. Berganti dengan kebingungan. Jika mengizinkan tanpa sepengetahuan kakaknya, pasti Jingga bakalan di marahi. Jika bilang tidak boleh, rasanya juga tak enak. Padahal lelaki di sampingnya ini tampak sekali kalau dia pria baik-baik. "Boleh? Atau saya harus tanya kakaknya, Bu Guru?""Iya. Biar saya saja yang bilang sama Mas Adam dulu.""Oke, saya tunggu."Laju kendaraan Fariq melambat karena hujan turun lumayan lebat. Harus sangat hati-hati karena jalanan licin. Air dari atas mengalir turun lewat jalan raya. Tentu itu air yang mengalir bebas dari pegunungan.Meski di daerahnya sendiri, Jingga juga was-was jika berkendaraan dalam situasi hujan lebat begini. Ketiga mobil melaju pelan melewati jalanan yang menanjak, menurun dan berbelok-belok. Jalanan makin menanjak
DesirePart 18 Nona IISetelah mencium tangan iparnya, Jingga meraih tas ranselnya dan segera melangkah keluar. Baru saja motor turun ke jalan, dari arah barat muncul mobil Fariq. Kendaraan itu berhenti, Fariq menyapa dari jendela kaca. Jingga mengangguk dan tersenyum pada lelaki itu. "Selamat pagi, Bu Guru," sapa Fariq sambil membalas senyum Jingga."Pagi, Pak Fariq. Udah mau berangkat kerja?""Hari ini saya ada meeting di kantor pusat, sekalian mau jenguk Mama saya.""Hmm, iya, Pak. Hati-hati di jalan.""Terima kasih, Nona." Lagi-lagi panggilan itu membuat Jingga terpana, meski Fariq mengucapnya dengan nada biasa. Tidak ada kegenitan dalam cara bicaranya. Namun sukses membuat hati Jingga bergemuruh. Tapi Bu Guru berparas manis itu tahu bagaimana mengendalikan dirinya. Ia selalu bisa menjaga sikapnya agar tidak terlihat kampungan meski dia gadis gunung.Fariq tersenyum sekali lagi lantas melaju pelan meninggalkan Jingga. Gadis itu pun segera berbelok ke arah kiri untuk berangkat ke
"Saya dukung Pak Fariq pedekate sama Bu Guru."Fariq diam. Usianya dengan Jingga terpaut jauh. Jujur saja, meski gadis itu tidak berkulit putih seperti wanita-wanita kota yang ia kenali, tapi Jingga memiliki daya pikat tersendiri. Matanya bening, alisnya tebal, dan hidungnya runcing. Dia gadis berkulit eksotis yang sangat memikat."Pak Fariq, nggak tertarik?""Mungkin dia yang tidak mau sama saya. Dia masih muda.""Pak Fariq juga masih muda. Orang nggak akan mengira kalau Anda sudah empat puluh tahun. Ayolah, saya dukung, Pak. Apa perlu saya comblangi?""Tidak perlu. Kalau saya mau, saya bisa sendiri.""Nah, gitu. Saya tahu kalau Pak Fariq ini gentleman." Erwin terus membujuk bosnya. Sumpah, jika dia belum bertunangan. Jingga akan didekatinya sendiri. Dia sepemikiran dengan Fariq. Jingga gadis yang sangat menarik.Mereka akhirnya sampai di dekat loket masuk. Setelah turun dari motor, Fariq bergegas ke depan sambil merogoh dompet dari sakunya. Ia yang membayar tiket untuk mereka. Sete
Fariq tersenyum melihat hasil jepretan Erwin dan Laras di kameranya. Malam itu ia sedang duduk di pinggir ranjang kayu di kamar yang ditempatinya. Memerhatikan Jingga yang ada di fotonya. Gadis itu sederhana, tapi cerdas. Membesar tanpa kehadiran orang tua membuatnya tangguh dan mandiri. Fariq kagum.Adam juga sukses mengantarkan adiknya menjadi seperti sekarang ini. Meski itu juga butuh perjuangan yang tentunya tidak mudah. Walaupun Jingga masih menjadi guru honorer dengan gaji yang tidak seberapa. Tapi gadis itu juga penuh semangat mengabdi mendidik anak negeri.Jingga mengingatnya pada sosok istri pertamanya. Dulu pertama kali kenal Embun ketika wanita itu baru bekerja di rumah sakit. Dengan gaji yang masih pas-pasan. Namun sekarang dia sudah menemukan cinta sejatinya. Menjadi istri pengusaha sukses, ibu rumah tangga dengan dua anak yang tampan dan memiliki apotek yang terlengkap di kotanya. Embun sudah bahagia.Dirinya juga harus bangkit dan bahagia. Meninggalkan luka masa lalunya
Jingga masih duduk di atas sajadah usai Salat Maghrib. Dia kepikiran dengan perkataan Fariq tadi yang ingin menemuinya. Terus untuk apa? Kenapa tidak dikatakan tadi saja saat bertemu di warung Mbok Legi?Ingin memberitahu Adam atau Laras juga tak sempat. Mereka pulang dari balai desa sudah menjelang Maghrib. Tadi pun gerimis juga. Biasanya musim hujan datang di bulan September, tapi sudah sejak bulan kemarin, hujan mulai turun.Cukup lama Jingga termenung, hingga ketukan di pintu kamar membuatnya menoleh. "Jingga." Suara Laras memanggil. "Udah belum salatnya?""Iya, Mbak. Sebentar. Aku sudah selesai." Jingga bangkit dari duduknya. Melepaskan mukena, menaruhnya di hanger, dan ia langsung membuka pintu."Pakai hijabmu. Ada Mas Fariq di luar," ucap Laras lirih, kemudian meninggalkan sang adik ipar.Jingga meraih bergo warna ungu yang tergeletak di atas tempat tidur. Mematut diri sebentar di depan cermin, baru keluar kamar. Dua keponakannya sedang belajar di kamar Lanang.Di teras sudah a
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su