DesirePart 18 Nona IISetelah mencium tangan iparnya, Jingga meraih tas ranselnya dan segera melangkah keluar. Baru saja motor turun ke jalan, dari arah barat muncul mobil Fariq. Kendaraan itu berhenti, Fariq menyapa dari jendela kaca. Jingga mengangguk dan tersenyum pada lelaki itu. "Selamat pagi, Bu Guru," sapa Fariq sambil membalas senyum Jingga."Pagi, Pak Fariq. Udah mau berangkat kerja?""Hari ini saya ada meeting di kantor pusat, sekalian mau jenguk Mama saya.""Hmm, iya, Pak. Hati-hati di jalan.""Terima kasih, Nona." Lagi-lagi panggilan itu membuat Jingga terpana, meski Fariq mengucapnya dengan nada biasa. Tidak ada kegenitan dalam cara bicaranya. Namun sukses membuat hati Jingga bergemuruh. Tapi Bu Guru berparas manis itu tahu bagaimana mengendalikan dirinya. Ia selalu bisa menjaga sikapnya agar tidak terlihat kampungan meski dia gadis gunung.Fariq tersenyum sekali lagi lantas melaju pelan meninggalkan Jingga. Gadis itu pun segera berbelok ke arah kiri untuk berangkat ke
"Saya dukung Pak Fariq pedekate sama Bu Guru."Fariq diam. Usianya dengan Jingga terpaut jauh. Jujur saja, meski gadis itu tidak berkulit putih seperti wanita-wanita kota yang ia kenali, tapi Jingga memiliki daya pikat tersendiri. Matanya bening, alisnya tebal, dan hidungnya runcing. Dia gadis berkulit eksotis yang sangat memikat."Pak Fariq, nggak tertarik?""Mungkin dia yang tidak mau sama saya. Dia masih muda.""Pak Fariq juga masih muda. Orang nggak akan mengira kalau Anda sudah empat puluh tahun. Ayolah, saya dukung, Pak. Apa perlu saya comblangi?""Tidak perlu. Kalau saya mau, saya bisa sendiri.""Nah, gitu. Saya tahu kalau Pak Fariq ini gentleman." Erwin terus membujuk bosnya. Sumpah, jika dia belum bertunangan. Jingga akan didekatinya sendiri. Dia sepemikiran dengan Fariq. Jingga gadis yang sangat menarik.Mereka akhirnya sampai di dekat loket masuk. Setelah turun dari motor, Fariq bergegas ke depan sambil merogoh dompet dari sakunya. Ia yang membayar tiket untuk mereka. Sete
Fariq tersenyum melihat hasil jepretan Erwin dan Laras di kameranya. Malam itu ia sedang duduk di pinggir ranjang kayu di kamar yang ditempatinya. Memerhatikan Jingga yang ada di fotonya. Gadis itu sederhana, tapi cerdas. Membesar tanpa kehadiran orang tua membuatnya tangguh dan mandiri. Fariq kagum.Adam juga sukses mengantarkan adiknya menjadi seperti sekarang ini. Meski itu juga butuh perjuangan yang tentunya tidak mudah. Walaupun Jingga masih menjadi guru honorer dengan gaji yang tidak seberapa. Tapi gadis itu juga penuh semangat mengabdi mendidik anak negeri.Jingga mengingatnya pada sosok istri pertamanya. Dulu pertama kali kenal Embun ketika wanita itu baru bekerja di rumah sakit. Dengan gaji yang masih pas-pasan. Namun sekarang dia sudah menemukan cinta sejatinya. Menjadi istri pengusaha sukses, ibu rumah tangga dengan dua anak yang tampan dan memiliki apotek yang terlengkap di kotanya. Embun sudah bahagia.Dirinya juga harus bangkit dan bahagia. Meninggalkan luka masa lalunya
Jingga masih duduk di atas sajadah usai Salat Maghrib. Dia kepikiran dengan perkataan Fariq tadi yang ingin menemuinya. Terus untuk apa? Kenapa tidak dikatakan tadi saja saat bertemu di warung Mbok Legi?Ingin memberitahu Adam atau Laras juga tak sempat. Mereka pulang dari balai desa sudah menjelang Maghrib. Tadi pun gerimis juga. Biasanya musim hujan datang di bulan September, tapi sudah sejak bulan kemarin, hujan mulai turun.Cukup lama Jingga termenung, hingga ketukan di pintu kamar membuatnya menoleh. "Jingga." Suara Laras memanggil. "Udah belum salatnya?""Iya, Mbak. Sebentar. Aku sudah selesai." Jingga bangkit dari duduknya. Melepaskan mukena, menaruhnya di hanger, dan ia langsung membuka pintu."Pakai hijabmu. Ada Mas Fariq di luar," ucap Laras lirih, kemudian meninggalkan sang adik ipar.Jingga meraih bergo warna ungu yang tergeletak di atas tempat tidur. Mematut diri sebentar di depan cermin, baru keluar kamar. Dua keponakannya sedang belajar di kamar Lanang.Di teras sudah a
Hari Selasa pagi Jingga sudah tidak melihat mobil Fariq ada di garasi rumah Pak Saman. Mungkin pria itu sudah berangkat pagi-pagi sekali. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan niat lelaki itu yang ingin melamarnya. Tidak menduga saja kalau Fariq ingin menjadikannya istri. Mereka memang sering bertemu, terutama ketika Jingga hendak berangkat mengajar. Namun ia tidak tahu kalau perhatian pria itu memiliki maksud yang berbeda."Bu, besok aku mau izin sehari saja. Mau beli kain. Nanti punya Bu Jingga saya anterin ke rumah ya. Langsung Bu Jingga bawa ke penjahit," kata Bu Lindi ketika mereka duduk berdua di jam istirahat."Sebulan lagi kan, Bu. Udah fix kan tanggalnya.""Iya. Kemarin ditunda karena calon bapak mertua meninggal. Jadi di undur. Nyari tanggal dan hari lagi. Aku manut saja, Bu. Hidup di desa semua serba dihitung. Tanggal baik, bulan baik, hari baik, dan jam temu manten yang baik. Padahal orang muda kayak kita nggak perlu lagi njelimet seperti itu kan?"Jingga tersenyum. Ma
"Saya tidak akan melakukan itu. Tentu Mas Adam sudah menceritakan juga kenapa saya terpaksa berpoligami. Maaf, bukan saya mau cari pembenaran untuk diri sendiri. Sebab saya juga salah, kenapa tidak keukeh menolaknya waktu itu.""Ya, Mas Adam sudah menceritakan semuanya."Pembicaraan mereka terjeda, ketika pramusaji mengantarkan pesanan. "Makan dulu, kita bicara lagi nanti!" kata Fariq.Mereka makan tanpa percakapan. Dapoer Kota Angin sudah penuh oleh pengunjung yang berdatangan. Hari Minggu kota Nganjuk lumayan ramai. "Jadi, lamaran saya diterima? Jangan khawatir saya tidak akan melakukan kesalahan lagi. Saya sendiri pernah berada di titik paling rendah dan saya tidak ingin mengulanginya lagi." Fariq memulai percakapan lagi setelah mereka selesai makan."Maaf, Pak Fariq. Kalau boleh tahu. Siapa wanita yang pernah datang mencari Pak Fariq waktu itu?""Oh, itu namanya Mbak Mahika. Dia teman kerja sekaligus keponakan dari big bos.""Bukan pacar Pak Fariq?""Bukan. Mungkin dia memiliki p
Jingga bukan pemilih soal pakaian. Yang penting pantas, menutup aurat, dan harga terjangkau, itu sudah cukup baginya. Gamis warna deep sky blue dengan hiasan fayet dan bordir di bagian lengan dan kerah menjadi pilihannya. "Mau sekalian dengan Masnya?" tanya Mbak yang melayani. Sebab gamis itu ternyata sepasang dengan baju milik pria. Kebanyakkan gamis di sana satu set dengan baju muslim untuk bapak dan anak."Iya, Mbak," jawab Fariq sambil berdiri dan menghampiri. Kemudian ia meminta dicarikan satu set pakaian untuk Adam, Laras, dan dua anak mereka. "Nggak usah, Pak Fariq," tolak Jingga lirih."Tidak apa-apa. Tolong jangan ditolak. Nanti bisa dipakai di acara lamaran."Memilih pakaian untuk keluarga Adam agak menyita waktu. Sebab pakaian untuk Lanang yang tidak ada ukurannya. Terpaksa di ambilkan warna yang mirip dan berbeda model dengan adik dan orang tuanya. Arum juga dibelikan sepotong gamis.Fariq mengajak mampir di Toko Roti Olivia yang berada di dekat perempatan Ploso. Setelah
Jingga mencium tangan Bu Salim. Juga bersalaman dengan kerabat Fariq yang lain. Yang datang hari itu saudara Fariq dari pihak papa dan mamanya. Semua orang tua. Hanya satu yang seumuran Fariq, pria yang mengemudikan mobil. Dia adalah sepupu Fariq dari pihak papanya.Adam dan Kang Lamidi menyambut serta mempersilakan masuk tamunya. Bu Fariq memandangi Jingga yang kini duduk di sebelah Laras dan berseberangan dengannya menghadap ke timur. Dalam pandangannya, sikap dan sosok Jingga tidak jauh berbeda dengan Embun. Hanya saja Jingga jauh lebih muda. Pantas saja putranya jatuh cinta pada gadis itu. Beliau sangat memahami selera Fariq. Putranya menyukai perempuan sederhana.Acara di buka oleh Pak Haji Fathurrahman. Kyai yang sangat disegani di desa Ngliman. Laki-laki penuh wibawa itu mewakili keluarga Adam menyambut tamunya.Tidak ada percakapan yang bertele-tele. Pembahasan langsung ke acara inti, salah satu perwakilan dari pihak keluarga Fariq menyampaikan maksud kedatangan mereka untuk