"Saya tidak akan melakukan itu. Tentu Mas Adam sudah menceritakan juga kenapa saya terpaksa berpoligami. Maaf, bukan saya mau cari pembenaran untuk diri sendiri. Sebab saya juga salah, kenapa tidak keukeh menolaknya waktu itu.""Ya, Mas Adam sudah menceritakan semuanya."Pembicaraan mereka terjeda, ketika pramusaji mengantarkan pesanan. "Makan dulu, kita bicara lagi nanti!" kata Fariq.Mereka makan tanpa percakapan. Dapoer Kota Angin sudah penuh oleh pengunjung yang berdatangan. Hari Minggu kota Nganjuk lumayan ramai. "Jadi, lamaran saya diterima? Jangan khawatir saya tidak akan melakukan kesalahan lagi. Saya sendiri pernah berada di titik paling rendah dan saya tidak ingin mengulanginya lagi." Fariq memulai percakapan lagi setelah mereka selesai makan."Maaf, Pak Fariq. Kalau boleh tahu. Siapa wanita yang pernah datang mencari Pak Fariq waktu itu?""Oh, itu namanya Mbak Mahika. Dia teman kerja sekaligus keponakan dari big bos.""Bukan pacar Pak Fariq?""Bukan. Mungkin dia memiliki p
Jingga bukan pemilih soal pakaian. Yang penting pantas, menutup aurat, dan harga terjangkau, itu sudah cukup baginya. Gamis warna deep sky blue dengan hiasan fayet dan bordir di bagian lengan dan kerah menjadi pilihannya. "Mau sekalian dengan Masnya?" tanya Mbak yang melayani. Sebab gamis itu ternyata sepasang dengan baju milik pria. Kebanyakkan gamis di sana satu set dengan baju muslim untuk bapak dan anak."Iya, Mbak," jawab Fariq sambil berdiri dan menghampiri. Kemudian ia meminta dicarikan satu set pakaian untuk Adam, Laras, dan dua anak mereka. "Nggak usah, Pak Fariq," tolak Jingga lirih."Tidak apa-apa. Tolong jangan ditolak. Nanti bisa dipakai di acara lamaran."Memilih pakaian untuk keluarga Adam agak menyita waktu. Sebab pakaian untuk Lanang yang tidak ada ukurannya. Terpaksa di ambilkan warna yang mirip dan berbeda model dengan adik dan orang tuanya. Arum juga dibelikan sepotong gamis.Fariq mengajak mampir di Toko Roti Olivia yang berada di dekat perempatan Ploso. Setelah
Jingga mencium tangan Bu Salim. Juga bersalaman dengan kerabat Fariq yang lain. Yang datang hari itu saudara Fariq dari pihak papa dan mamanya. Semua orang tua. Hanya satu yang seumuran Fariq, pria yang mengemudikan mobil. Dia adalah sepupu Fariq dari pihak papanya.Adam dan Kang Lamidi menyambut serta mempersilakan masuk tamunya. Bu Fariq memandangi Jingga yang kini duduk di sebelah Laras dan berseberangan dengannya menghadap ke timur. Dalam pandangannya, sikap dan sosok Jingga tidak jauh berbeda dengan Embun. Hanya saja Jingga jauh lebih muda. Pantas saja putranya jatuh cinta pada gadis itu. Beliau sangat memahami selera Fariq. Putranya menyukai perempuan sederhana.Acara di buka oleh Pak Haji Fathurrahman. Kyai yang sangat disegani di desa Ngliman. Laki-laki penuh wibawa itu mewakili keluarga Adam menyambut tamunya.Tidak ada percakapan yang bertele-tele. Pembahasan langsung ke acara inti, salah satu perwakilan dari pihak keluarga Fariq menyampaikan maksud kedatangan mereka untuk
Fariq memperhatikan Pak Idin yang melangkah menuju mushola hingga berbelok di tikungan depan sana. Dalam beberapa hari setelah kabar lamarannya pada Jingga mencuat, ada saja cerita sumbang yang dilontarkan oleh warga di sekitar rumah kontrakannya. "Pak Fariq itu dah kena pelet oleh mulut manisnya keluarga Adam. Dia kan bukan orang sini. Tahu Jingga pun hanya sekilas-sekilas saja. Kok bisa-bisanya ngelamar gadis itu. Apa dia ndak tahu, sudah berapa lama si Jingga itu pacaran sama Mas Aditya. Bisa jadi kan mereka dah ehem-ehem. Kasihan kalau dia dapat bekasnya orang.""Pria seganteng itu kok milih Jingga. Apa nggak salah?""Banyak anak perawan di desa kita ini, lha kok milihnya yang udah bekas orang. Memanglah dia sendiri duda, tapi laki-laki kan bisa milih, apalagi dia ganteng dan sukses."Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat tak pantas yang ia dengar. Baik dari anak buahnya yang cerita padanya setelah mendengar suara dari luar, atau dari orang yang memang sengaja memanggilnya hanya
Jingga termangu setelah turun dari mobil. Di hadapannya berdiri megah rumah dua lantai bercat putih dengan kombinasi kuning keemasan. Ada taman bunga di dekat gazebo yang terletak di samping barat rumah. Meski sebelumnya ia menduga tentu Fariq berasal dari keluarga berada karena ayahnya dulu adalah seorang diplomat. Namun ia tetap kaget melihat hunian yang baginya sangat mewah."Ayo, kita masuk. Mama sudah menunggu di dalam," ajak Fariq setelah menutup lagi pintu pagar.Jika mengangguk dan ikut melangkah di samping pria itu. Baru saja mereka menginjak teras, pintu utama dibuka dari dalam. Bu Salim yang berjilbab lebar warna ungu tersenyum pada putra dan calon menantunya."Assalamu'alaikum." Fariq dan Jingga mengucapkan salam hampir bersamaan. "Wa'alaikumsalam. Alhamdulillah, kalian sudah sampai."Fariq dan Jingga mencium tangan Bu Salim bergantian. Wanita itu lantas merangkul Jingga masuk ke dalam rumah. "Selamat datang di rumah Fariq yang akan jadi rumah kalian juga nanti. Ayo, ki
Matahari bersinar cerah di akhir bulan September. Burung-burung berkicau riang terbang dari satu dahan ke dahan lainnya. Menjadi irama alam menyambut acara besar pagi itu.Tepat jam sembilan pagi para tetangga yang di undang walimatul 'ursy sudah berdatangan. Suasana sangat meriah di rumah Adam.Jingga duduk di pelaminan bernuansa putih dengan kombinasi kuning emas. Enam gadis kecil pengapit pengantin sudah duduk berjajar sambil menunggu pengantin pria datang dan acara akad nikah akan dilaksanakan. Fariq dan keluarga besarnya menginap di hotel Nirwana kota Nganjuk.Bu Lindi yang malah lebih dulu menjadi bridesmaid Jingga menemani gadis itu duduk di singgasananya. Padahal seminggu lagi dia juga nikahan. Ganti Jingga yang nanti jadi bridesmaid-nya.Lima belas menit kemudian rombongan Fariq sampai. Dan suasana sakral penuh haru mewarnai acara ijab qobul. Dengan suara tegas dan jelas, Adam sendiri yang menikahkan sang adik dengan Fariq.Tangan kedua pria itu saling menggenggam erat. "Sau
Fariq sudah menyiapkan sajadah dan mukena milik Jingga ketika sang istri masuk kamar. Perempuan yang pipinya merona merah itu membuat Fariq makin suka melihatnya dan tidak sabar untuk mengecupnya.Kamar Jingga tidak seberapa luas, hanya berukuran tiga kali empat meter. Ada dipan kayu berukuran sedang, lemari pakaian dan meja kecil. Kursi sudah di keluarkan karena membuat ruangan menjadi sempit. Mereka salat pun di sisa ruangan yang terbatas.Dua rakaat telah dilaksanakan. Ini salat pengantin ketiga yang Fariq lakukan. Sejenak memorinya menjangkau beberapa tahun yang lewat, hanya sekedar mengingat bukan mengenang. Semua sudah berlalu dan bersama Jingga, ia ingin menatap masa depan.Fariq berbalik, meletakkan telapak tangan di atas ubun-ubun istrinya. Melafalkan doa kemudian mengecup kening Jingga untuk pertama kalinya. Jingga berdebar bersama wajahnya yang menghangat. Pasti pipinya sudah semerah tomat ketika menerima sentuhan pertamanya. Mereka saling tersenyum ketika pandangan mata
"Bulan depan kamu kan harus kembali setelah proyek sudah berjalan lancar. Mbak Jingga pasti ikut juga kan?" tanya Sigit. Dan itu membuat Jingga kaget juga. Karena Fariq belum memberitahunya soal itu."Atau mau tetap tinggal di sini dan kamu yang bakalan bolak-balik ke Nganjuk?" tambah Sigit."Aku belum membahas hal ini dengan Pak Roby. Waktu aku ke kantor itu beliau memang bilang, kalau sudah bisa di tinggal sebaiknya aku segera kembali ke kantor. Mungkin dua minggu sekali atau sebulan sekali aku akan ngecek ke sini."Meski hanya mendengarkan saja, tapi Jingga merasakan pedih. Baru sehari semalam menikah, pagi ini harus mendengarkan kabar lain. Memang ia pun sadar, pada akhirnya akan tetap ikut Fariq. Namun ia tidak berpikir akan secepat ini. Dipikirnya sang suami akan bertahan di sana hingga proyek itu selesai. Bayangan anak-anak didiknya memenuhi benak. Mereka sudah menjadi bagian dari hidupnya.Percakapan mereka terhenti ketika Laras membawakan hidangan ke ruang tamu. Jingga ke be