DesirePart 11 Dingin, Aroma Cengkeh, dan Wangi Mawar 1"Hati-hati, Ga. Licin jalannya," pesan dari Mbak Laras ketika Jingga pamitan hendak berangkat mengajar. "Iya, Mbak." Sisa hujan semalam membuat jalanan becek sana sini. Terlebih jalan kampung juga sudah mulai rusak. Aspalnya banyak yang berlubang. Mesti hati-hati kalau bawa motor, supaya tidak tergelincir atau masuk kubangan air.Gadis itu melewati depan rumah Pak Lurah sekaligus depan rumah Pak Saman. Rumah yang ditempati rombongannya Fariq. Jingga melihat mobil putih tadi terparkir di pinggir jalan. Entah jam berapa wanita tadi berangkat dari rumah, hingga sepagi itu sudah sampai di desa Ngliman.Aditya yang sedang memanasi mesin mobil memandang ke arah Jingga yang lewat. Memperhatikan gadis itu dengan segenap rasa yang masih utuh seperti dulu. Namun Jingga lebih memilih menoleh ke arah kanan. Melihat Fariq yang duduk berbincang dengan perempuan yang bertanya padanya tadi. Para ibu-ibu yang mengantar sekolah anaknya masih du
DesirePart 12 Dingin, Aroma Cengkeh, dan Wangi Mawar 2Di kejauhan, tampak deretan pegunungan telah diselimuti kabut. Gerimis lembut turun sore itu. Menambah syahdu suasana lereng Wilis. Dingin, aroma cengkeh, wangi mawar yang beterbangan diembus angin, serta suara kicau burung hutan liar yang terbang pulang ke sarang. Maka nikmat mana yang kamu dustakan.Sejenak Jingga menatap di kejauhan sambil menunggu Arum selesai mengunci rolling door. "Ikut aku dulu ya. Sepedamu biar di toko saja.""Ke mana, Mbak?" tanya Arum sambil memasukkan kunci ke dalam tas selempangnya. Tiap hari dia yang bawa kunci, karena datang ke toko lebih pagi."Ada pesan dari Bu Sri yang harus kusamapaikan pada Pak Fariq.""Pak Fariq yang bosnya orang proyek itu?" tanya Arum dengan netra berbinar-binar. Membuat Jingga mengernyit heran. "Kamu sudah tau?"Arum tersenyum. "Tau. Dia sudah viral di kalangan anak gadis dan kaum janda. Ibu-ibu juga suka membicarakannya. Kan tiap pagi dia sering sarapan di warungnya Mbok L
DesirePart 13 Hari Sabtu Pagi 1"Kurasa kamu lebih mengenali siapa aku daripada mengenali siapa Mawar. Kita berteman sejak masih kecil. Kamu tahu bagaimana aku. Tapi sudahlah, Aditya memang sepupumu. Berarti Mawar juga menjadi kerabatmu sekarang. Wajarlah kalau kamu lebih percaya mereka." Perkataan Jingga membuat Yayuk terdiam. Jingga membayar dan mengambil barang belanjaannya. "Aku pulang dulu, Mbak Rah," pamit Jingga pada pemilik warung.Sedih. Jingga merasa sangat kehilangan. Terputusnya hubungan dengan Aditya, berimbas banyak dalam kehidupannya. Membuatnya jadi pergunjingan banyak orang, hingga ke desa tetangga kala itu. Sungguh, beban mental yang luar biasa. Walaupun mereka mengunjung karena iba. Tapi hubungannya dengan Yayuk merenggang. Padahal selama ini ke mana-mana mereka selalu bersama. Sekolah, mengaji, belajar kelompok, dan bermain.Sama-sama berasal dari keluarga tidak punya, membuat keduanya saling menjaga semenjak zaman kanak-kanak. Meski keluarga Aditya kaya dan suks
DesirePart 14 Hari Sabtu Pagi 2Aroma maskulin menyambut Jingga ketika masuk dan duduk. Tidak ada pernak-pernik milik perempuan di sana. Sama sekali tidak ada hiasan apapun selain sekotak tisu yang berada di antara kedua jok mobil dan pengharum mobil.Ketiga kendaraan meninggalkan halaman TK diiringi teriakan anak-anak yang melambaikan tangan pada orang tuanya. Di belakang, beberapa orang tua yang hendak mendampingi, mengikuti dengan motor mereka."Anak-anak diam ya, jangan berisik." Jingga memandang ke belakang. Menyuruh diam anak-anak yang berceloteh riang sambil memandang sepanjang perjalanan. Dia merasa tak enak jika Fariq terganggu."Maaf, Pak Fariq. Udah kami repotkan, anak-anak juga berisik."Pria itu tersenyum. "Tidak apa-apa. Santai saja.""Terima kasih banyak, Pak.""Sama-sama."Jingga memandang ke depan. Pada mobil Aditya yang melaju tepat di hadapan mereka. Hatinya tidak tenang. Bukan karena ada Aditya saja, tapi duduk berdampingan di mobil dengan lelaki yang bisa saja i
DesirePart 15 Boleh saya ikut, Nona? IKeseluruhan acara selesai jam sebelas siang. Mulai dari pembukaan, sambutan, senam masal, dan lomba mewarnai. Anak-anak diajak berkumpul di lapangan bagian selatan. Duduk berteduh di bawah pohon-pohon besar. Jingga, Bu Sri, dan Bu Lindi membagikan kotak berisi nasi sekaligus minum pada anak-anak. Mereka duduk bersila sambil makan dengan lahap. Konsumsi yang dipesan dari salah satu wali murid."Pak Fariq, ini makan siang untuk Bapak." Jingga mengulurkan kotak berwarna cokelat pada Fariq."Saya juga dapat?""Iya.""Terima kasih," jawab pria itu sambil tersenyum.Jingga juga memberikan jatah nasi pada Aditya dan sopirnya. Dua insan yang pernah menjalin asmara itu saling pandang sejenak. Kemudian Jingga yang lebih dulu memalingkan muka dan pergi.Jika besok Mawar mendengar kalau hari ini suaminya mengantarkan anak-anak TK, sudah bisa dipastikan wanita itu bakalan murka. Tapi apa pedulinya sekarang. Bodo amat dengan kehidupan mereka.Fariq, Aditya,
DesirePart 16 Boleh saya ikut, Nona? IIJingga bangkit dari duduknya dan mendekati anak-anak yang sedang bermain. Lukanya kembali terasa, sangat sakit dan mencabik-cabik. Ia ditinggalkan, dipermalukan sedemikian rupa. Tanpa mempedulikan bagaimana beban mentalnya berhadapan dengan masyarakat. Gadis itu tertawa bersama anak didiknya untuk menghalau rasa kecewa. Mereka yang jadi hiburan bagi Jingga.Gadis itu ingat setelah kedatangan kedua orang tua Aditya untuk membatalkan pernikahan mereka, Jingga menangis semalaman. Paginya tidak bisa mengajar karena matanya bengkak.Namun keesokan harinya, Jingga pergi juga ke sekolah. "Kamu beneran mau ngajar hari ini, Ga?" tanya Laras dengan matanya yang sembab juga."Ya, Mbak.""Kamu nggak apa-apa?""Di rumah hanya membuatku makin sedih saja. Pada akhirnya orang-orang juga bakalan tahu, Mbak. Untuk itu aku nggak boleh rapuh," jawab Jingga sambil tersenyum. Laras melihatnya itu senyuman untuk menutupi luka. Dipeluknya sang adik ipar sambil menah
DesirePart 17 Nona INona?Panggilan itu terasa asing di telinga Jingga. Belum pernah ia dipanggil dengan sebutan Nona. Apa itu kebiasaan orang kota jika memanggil seorang gadis? Sebentar kemudian Jingga menepis rasa kagetnya. Berganti dengan kebingungan. Jika mengizinkan tanpa sepengetahuan kakaknya, pasti Jingga bakalan di marahi. Jika bilang tidak boleh, rasanya juga tak enak. Padahal lelaki di sampingnya ini tampak sekali kalau dia pria baik-baik. "Boleh? Atau saya harus tanya kakaknya, Bu Guru?""Iya. Biar saya saja yang bilang sama Mas Adam dulu.""Oke, saya tunggu."Laju kendaraan Fariq melambat karena hujan turun lumayan lebat. Harus sangat hati-hati karena jalanan licin. Air dari atas mengalir turun lewat jalan raya. Tentu itu air yang mengalir bebas dari pegunungan.Meski di daerahnya sendiri, Jingga juga was-was jika berkendaraan dalam situasi hujan lebat begini. Ketiga mobil melaju pelan melewati jalanan yang menanjak, menurun dan berbelok-belok. Jalanan makin menanjak
DesirePart 18 Nona IISetelah mencium tangan iparnya, Jingga meraih tas ranselnya dan segera melangkah keluar. Baru saja motor turun ke jalan, dari arah barat muncul mobil Fariq. Kendaraan itu berhenti, Fariq menyapa dari jendela kaca. Jingga mengangguk dan tersenyum pada lelaki itu. "Selamat pagi, Bu Guru," sapa Fariq sambil membalas senyum Jingga."Pagi, Pak Fariq. Udah mau berangkat kerja?""Hari ini saya ada meeting di kantor pusat, sekalian mau jenguk Mama saya.""Hmm, iya, Pak. Hati-hati di jalan.""Terima kasih, Nona." Lagi-lagi panggilan itu membuat Jingga terpana, meski Fariq mengucapnya dengan nada biasa. Tidak ada kegenitan dalam cara bicaranya. Namun sukses membuat hati Jingga bergemuruh. Tapi Bu Guru berparas manis itu tahu bagaimana mengendalikan dirinya. Ia selalu bisa menjaga sikapnya agar tidak terlihat kampungan meski dia gadis gunung.Fariq tersenyum sekali lagi lantas melaju pelan meninggalkan Jingga. Gadis itu pun segera berbelok ke arah kiri untuk berangkat ke