Seorang tunanetra mungkin memang tidak akan pernah bisa melihat ekspresi orang-orang di sekitarnya. Akan tetapi, ia bisa mendengar apapun yang mereka katakan. Dan hal itu disadari betul oleh Albern. Sejak berada di dalam kafe, mimik muka Nayla berubah dalam sekejap. Tidak ada lagi keceriaan seperti ketika ia masih berada di rumah dan di perjalanan. Bisik-bisik pengunjung kafelah yang menjadi penyebabnya. Ucapan mereka yang mendiskreditkan keterbatasan Nayla telah membuat senyum di bibir malaikat kecil itu memudar. Nayla mendengar semua yang mereka bicarakan tentangnya. Dan itu membuat hati kecilnya merintih karenanya. Albern memandang mereka semua, tidak mungkin baginya untuk meluapkan amarah. Bukan karena ia takut atau segan, tapi lebih karena ia tidak ingin bersikap kasar di hadapan anak kecil. Selain itu juga karena ia sadar, jika setiap orang berhak untuk berkomentar dan memberikan penilaian. Meskipun bersifat insult dan terkesan merendahkan. Albern terus mengamati sekelilingnya
Di salah satu sudut lingkungan padat penduduk di Jakarta, di sebuah perkampungan kumuh yang sudah minim dengan kontrol sosial, Ashmir memilih untuk masuk dan tinggal. Sebuah lingkungan yang keras dan sarat dengan kriminalitas. Fenomena yang biasa terjadi di lingkungan kumuh dengan densitas melebihi ambang batas. Perkelahian antar remaja, kekerasan dalam rumah tangga dan pencurian adalah hal yang sudah biasa Ashmir dengar dan saksikan setiap harinya. Seperti yang terjadi pagi ini, cekcok tetangga kontrakannya di pagi buta telah membangunkan ia dari tidurnya. Hampir setiap pagi pertengkaran mereka terjadi sebelum alarm jam bekernya berbunyi. Tapi, setidaknya hal itu memiliki nilai positif karena membantunya untuk tidak melewatkan doa pagi di jam pertama. Setelah gelap benar-benar hilang dan panas matahari sudah datang menjerang permukaan, Ashmir bersiap-siap untuk memulai aktivitasnya. Ia kemudian mengambil ponselnya, menghubungi seseorang. *** Setiap orang pasti ingin hidup tenang d
Ashmir dan Deasy saat ini sedang berada di Tamani Express, sebuah kafe cepat saji yang terletak di Kemang. Sudah hampir dua jam Deasy menunggu Ashmir berbicara dan mengutarakan maksudnya. Sudah tiga porsi Chicken Maryland Steak yang terlumat habis di mulutnya. Tapi, Ashmir tak kunjung buka suara. Deasy mendesah tak sabar. "Cepat katakan apa yang membuatmu ingin menemuiku!" Ashmir tak lekas menjawabnya. Ia gugup bukan main. Wajahnya pucat karena tidak tahu apa yang mesti diperbuat. "Kenapa kamu hanya diam? Kalau memang tidak ada yang ingin kamu bicarakan, sebaiknya aku pulang." Karena Ashmir tak kunjung bicara dan hanya diam saja, maka Deasy mulai berkemas bergegas pergi. Suasana hatinya sedang tidak baik hari ini. "Tunggu!" seru Ashmir ketika Deasy sudah berjalan beberapa langkah. Deasy berhenti. Menolehkan sedikit kepalanya dan menyiratkan gurat tanda tanya di matanya. Kira-kira mata beriris hitam itu berkata, 'Ada apa lagi?!' Ashmir berdiri dan berusaha meneguhkan pandangannya
Perlahan tapi pasti, cahaya kebenaran mulai menyingkap selimut kegelapan. Ada semacam das Lichtquant yang menelusup masuk ke dalam relung hati Adnan yang terdalam. Diam dan bertahan. Adnan mulai merasakan kedamaian dan ketenangan. Tidak lagi ia merasa sendiri dan terasingkan. Tidak lagi ia merasa dihakimi dan disalahkan. Ia coba menerima segala ujian dan cobaan dengan penuh keikhlasan. Suatu bentuk kepasrahan, bukan keputusasaan. Adnan mulai sedikit tahu tentang makna hidup yang sesungguhnya. Sebuah perjalanan panjang yang penuh warna, sarat halangan dan identik dengan perjuangan. Dan bagi orang-orang yang tidak bisa berkompromi dengan ketiganya, maka mereka akan memupus segala asa dan harapan. Mereka akan membiarkan diri mereka terperosok ke dalam palung keputusasaan, terjebak dan terhimpit apofisis kesengsaraan. Hilang dan terbenam. Adnan sekarang mafhum jika tidak semua individu yang berada di penjara adalah orang-orang yang bersalah. Sebagian di antara mereka ditahan karena dije
Pagi masih gelap. Di dalam ruangan itu semburat pekat masih menyelimuti segala sisi dan mengendap. Di salah satu sudut ruang tahanan, Adnan duduk bersila dan menghadap ke arah barat. Usai shalat subuh Adnan menghabiskan waktu pagi dengan berdzikir. Samar-samar dapat terdengar lantunan dzikir yang terucap dari bibirnya, terasa begitu sendu namun syahdu. Lafadz-lafadz yang terucap itu ibarat aliran Waw an Namus yang menyegarkan gersangnya Sahara. Setelah dirasa cukup Adnan bangkit dan melepas seulas senyum untuk Sumargo. Sahabat baik yang sejak dari tadi menantinya. Sumargo membalas senyum itu dan lekas bangkit dari ranjang. Ia mengambil semangkuk air jernih yang telah ia siapkan sebelumnya. Ia kemudian duduk di sisi yang berlawanan dengan tempat yang biasa Adnan gunakan untuk shalat. Tempat itu adalah wilayah otoritasnya sealama beribadah di ruang tahanan. Meski ia dan Adnan sebelumnya tidak pernah membuat perjanjian, semua rutinitas bisa berjalan dengan baik karena adanya sikap sali
Ashmir masih berusaha untuk memecahkan misteri yang terdapat dalam kasus tersebut. Ada ratusan berkas yang bertumpuk di meja kerjanya. Sudah berulang kali ia memeriksa bertumpuk-tumpuk berkas yang sama, namun ia belum juga menemukan titik terang. Ia bahkan tak peduli dengan kantuk dan penat yang menyerangnya akibat kurangnya waktu istirahat selama beberapa minggu ke belakang. Sejauh ini metode yang Ashmir gunakan adalah dengan mencocokkan setiap nama orang tua korban dan mengelompokkannya dalam beberapa rentang waktu kejadian. Hipotesisnya adalah semua peristiwa yang menimpa anak-anak itu bermotif balas dendam. Oleh karena itu, ia coba mencari berkas perkara di mana semua orang tua korban berada dalam satu rantai korelasi yang sama. Ia berpendapat demikian sebab terdapat begitu banyak kebetulan dalam kasus itu; profesi orang tua yang berkaitan, semua korban berusia delapan tahun dan berbagai bukti lain yang menunjukkan kalau kejahatan tersebut sudah direncanakan dengan sangat matang.
Zenith telah salah menduga, ternyata bukan Albern yang menghubunginya. Tapi, Ashmir. Dan sekarang Ashmir ingin bertemu dengannya. Jika pemuda berambut ikal itu telah menemukan lebih banyak petunjuk, itu artinya ia telah mendapatkan lebih banyak bukti yang semakin menyudutkan posisi Albern sebagai tersangka utama dan satu-satunya. Ingin rasanya Zenith menolak ajakan Ashmir untuk bertemu. Terlalu sakit dan berat rasanya untuk mengetahui semakin banyak kenyataan pahit yang menyudutkan mantan tunangannya itu. Walau bagaimanapun ia masih mencintai Albern, masih sangat mencintainya. Tapi, akhirnya ia menyadari jika semua itu sudah menjadi bagian dan komitmen dari keputusan yantg telah dibuat olehnya. Sebuah konsekuensi yang mesti ia jalani seutuhnya. Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan seksama, Zenith memutuskan untuk menemui Ashmir di Tamani Express, kafe tempat di mana mereka biasa mengadakan janji temu. Tidak seperti biasanya, kali ini ia tampil dengan riasan yang cukup te
Petang ini, usai Adnan dan Sumargo masing-masing selesai beribadah. Keduanya berbincang-bincang sambil menyantap makan malam bersama. "Sekarang saya mengerti kenapa mereka menempatkan kita pada satu sel dan memberikan kita perlakuan yang agak berbeda." "Maksudmu?" "Kenapa Anda tidak pernah bilang kalau Anda adalah seorang doktor?" Sumargo tersedak. Ia lekas meminum air yang sudah Adnan siapkan untuknya. "Kamu ini ada-ada saja. Mana mungkin ada doktor yang mau mencuri hanya demi sesuap nasi." "Menjadi mungkin jika Anda memiliki alasan lain." Sumargo diam sejenak. Mungkin memang ini adalah saat yang tepat baginya untuk berterus terang. Ia kemudian meletakkan piring nasinya. Usai membersihkan tangan ia berkata, "Apakah kamu pernah melihat pencuri ayam dicium tangannya? Apakah kamu pernah menyaksikan koruptor dipukuli badannya?" Adnan tidak menjawabnya. Kedua hal itu adalah fakta yang diputarbalikkan. "Kamu tahu, masih banyak di antara kita yang menilai orang lain berdasarkan strat