Beranda / Thriller / Ellipsis / Psalm XXIX

Share

Psalm XXIX

last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-30 08:05:01
Ashmir masih berusaha untuk memecahkan misteri yang terdapat dalam kasus tersebut. Ada ratusan berkas yang bertumpuk di meja kerjanya. Sudah berulang kali ia memeriksa bertumpuk-tumpuk berkas yang sama, namun ia belum juga menemukan titik terang. Ia bahkan tak peduli dengan kantuk dan penat yang menyerangnya akibat kurangnya waktu istirahat selama beberapa minggu ke belakang.

Sejauh ini metode yang Ashmir gunakan adalah dengan mencocokkan setiap nama orang tua korban dan mengelompokkannya dalam beberapa rentang waktu kejadian. Hipotesisnya adalah semua peristiwa yang menimpa anak-anak itu bermotif balas dendam. Oleh karena itu, ia coba mencari berkas perkara di mana semua orang tua korban berada dalam satu rantai korelasi yang sama. Ia berpendapat demikian sebab terdapat begitu banyak kebetulan dalam kasus itu; profesi orang tua yang berkaitan, semua korban berusia delapan tahun dan berbagai bukti lain yang menunjukkan kalau kejahatan tersebut sudah direncanakan dengan sangat matang.
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Ellipsis   Psalm XXX

    Zenith telah salah menduga, ternyata bukan Albern yang menghubunginya. Tapi, Ashmir. Dan sekarang Ashmir ingin bertemu dengannya. Jika pemuda berambut ikal itu telah menemukan lebih banyak petunjuk, itu artinya ia telah mendapatkan lebih banyak bukti yang semakin menyudutkan posisi Albern sebagai tersangka utama dan satu-satunya. Ingin rasanya Zenith menolak ajakan Ashmir untuk bertemu. Terlalu sakit dan berat rasanya untuk mengetahui semakin banyak kenyataan pahit yang menyudutkan mantan tunangannya itu. Walau bagaimanapun ia masih mencintai Albern, masih sangat mencintainya. Tapi, akhirnya ia menyadari jika semua itu sudah menjadi bagian dan komitmen dari keputusan yantg telah dibuat olehnya. Sebuah konsekuensi yang mesti ia jalani seutuhnya. Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan seksama, Zenith memutuskan untuk menemui Ashmir di Tamani Express, kafe tempat di mana mereka biasa mengadakan janji temu. Tidak seperti biasanya, kali ini ia tampil dengan riasan yang cukup te

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XXXI

    Petang ini, usai Adnan dan Sumargo masing-masing selesai beribadah. Keduanya berbincang-bincang sambil menyantap makan malam bersama. "Sekarang saya mengerti kenapa mereka menempatkan kita pada satu sel dan memberikan kita perlakuan yang agak berbeda." "Maksudmu?" "Kenapa Anda tidak pernah bilang kalau Anda adalah seorang doktor?" Sumargo tersedak. Ia lekas meminum air yang sudah Adnan siapkan untuknya. "Kamu ini ada-ada saja. Mana mungkin ada doktor yang mau mencuri hanya demi sesuap nasi." "Menjadi mungkin jika Anda memiliki alasan lain." Sumargo diam sejenak. Mungkin memang ini adalah saat yang tepat baginya untuk berterus terang. Ia kemudian meletakkan piring nasinya. Usai membersihkan tangan ia berkata, "Apakah kamu pernah melihat pencuri ayam dicium tangannya? Apakah kamu pernah menyaksikan koruptor dipukuli badannya?" Adnan tidak menjawabnya. Kedua hal itu adalah fakta yang diputarbalikkan. "Kamu tahu, masih banyak di antara kita yang menilai orang lain berdasarkan strat

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XXXII

    Knock... knock... knock... Ketukan jari Albern di atas meja memecah kesunyian. Tatapan matanya kosong, memandang bias sinar mentari pagi yang menembus dinding kaca. Ia tercenung. Ia melamun, setengah merenung. Sudah berjam-jam Albern duduk terpaku di kursi itu. Ia tidak bisa tidur sepanjang malam. Masalah yang sedang ia hadapi sekarang terasa sangat berat. Overload dan sarat. Hari di mana semestinya ia merasa bahagia malah berganti dengan kepedihan yang menyesakkan dada. Albern terus menghentakkan jari-jemarinya. Hanya untuk membuatnya tetap terjaga. Agar ia tidak larut terlalu jauh dalam lamunannya. Setelah cukup lama ia merenungkan segala sesuatunya, akhirnya ia sampai pada satu kesimpulan. Ia harus menghubungi seseorang. Albern bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Ia mengambil ponsel yang masih terhubung dengan port charger di atas meja rias. Ia mencari kontak salah seorang kawan lama dan menekan tombol dial begitu menemukan namanya. Cukup lama ia menunggu sampai akhirnya ada r

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XXXIII

    Walaupun hasratnya terus memburu, pria itu mencoba untuk tetap mengendalikan dirinya. Ia masih membiarkan Nayla, belum waktunya untuk melaksanakan perbuatan kejinya. Ia akan menunggu hingga malam tiba. Sebagaimana biasanya, saat di mana gelap dan keheningan bersenggama.Sejenak ia menengok keadaan Nayla yang masih terkurung di ruang isolasi. Ruang yang sama yang ia gunakan untuk menyekap dan mencabuli korban-korban sebelumnya. Di dalam ruangan itu, Nayla terikat di sebuah kursi kayu dengan mulut terbungkam lakban. Raut wajah gadis kecil itu datar, tanpa ekspresi. Entah ia sedang tertidur atau tetap terjaga, tak ada yang tahu pasti.Mengetahui kondisi Nayla masih baik-baik saja, pria itu tersenyum lega. Ia kemudian beranjak kembali ke ruang keluarga, menonton TV dan bersantai ria. Usai menyalakan televisi, ia pergi ke dapur; mengambil kudapan dan sekaleng Pepsi. Setelah semuanya siap sedia, ia menghempaskan tubuhnya ke sofa. Sepasang matanya menatap layar kaca, menikmati sajian informas

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XXXIV

    Hanya berselang tiga hari usai peristiwa nahas itu terjadi, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan resmi agar kasus kejahatan Julian segera diusut hingga benar-benar tuntas. Ia tidak ingin efek dari kasus itu semakin menimbulkan keresahan pada masyarakat luas. Izin KPAN dibekukan sementara selama masa penyidikan dan baru akan dinormalkan kembali usai semua perkara yang berkaitan dinyatakan selesai. Presiden juga mendesak agar DPR segera membahas dan menyetujui draft revisi UU Perlindungan Anak yang diajukan beberapa pihak. Ia tidak ingin peristiwa serupa terjadi lagi di masa depan. Julian memang sudah tewas, tapi perbuatannya akan selalu diingat sebagai kejahatan paling keji yang pernah terjadi. Ia adalah pelaku utama dan satu-satunya dari kasus kejahatan yang paling kompleks di negeri ini. Ia dituduh melakukan tindak pembunuhan, penculikan serta pencabulan terhadap anak-anak di bawah umur. Ia didakwa bertanggung jawab atas menghilangnya 4 orang, terbunuhnya 18 orang; 12 di antarany

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XXXV

    Terang dan pusing. Itulah dua hal yang Albern lihat dan rasakan saat pertama kali membuka mata. Ia menengok tangan kirinya, infuse cartheter masih tertancap dengan sempurna. Ia tahu kalau ia sedang berada di salah satu ruang perawatan di rumah sakit. Tapi, ia tidak tahu entah sudah berapa lama ia berada di sana. Ia mengamati seisi ruangan. Retinanya menangkap citra seorang wanita bermukena yang sedang tertidur di sofa. Lamat-lamat ia memfokuskan lensa matanya, wajah wanita itu tampak tidak asing baginya. Albern tak sedikit pun mengalihkan pandangannya. Dan entah kenapa, tiba-tiba pikirannya bergejolak dan mengajaknya untuk berkelana. Ia kembali teringat dengan beberapa momen yang pernah terjadi sebelumnya. "Sepertinya Bora cemburu melihat kemesraan kita." "Kamu terlalu sentimentil. Kita tidak sedang berada di Krimea." ___ "Kamu tahu kalau aku Vegetarian, kan?" "Aku tidak pernah melupakan apa pun tentang kamu." ___ "... Aku ingin menjadi suami yang baik untuk kamu dan juga ayah

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XXXVI

    Pluit, Jakarta Utara, 25 Desember 2022 19:46 Gedung baru yang tadi pagi masih kosong, lengang dan bau cat itu kini telah berubah 180°. Kursi-kursi sudah berjajar rapi, berkelompok empat-empat dan mengitari masing-masing meja yang berbentuk lingkaran. Sebagian besar kursi yang berjumlah 100 unit itu sudah terisi oleh para tamu undangan. Hanya tinggal sepertiganya yang belum terisi. Suatu hal yang wajar, mengingat acara pernikahan itu digelar sangat mendadak dan undangan baru dikirimkan siang tadi. Selama menunggu dimulainya acara, para tamu disuguhkan hiburan berupa pertunjukkan Tari Ranup Lampuan yang disuguhkan oleh beberapa gadis remaja. Di sudut ruangan, Bigson tampak sibuk mengamati setiap hal yang tertangkap lensa matanya. Ia turun langsung mengkoordinasikan segala sesuatunya karena ingin acara itu berjalan dengan sebaik-baiknya. Ia memberi kode kepada MC ketika melihat Zenith dan Albern siap memasuki ruangan. Tanpa menunggu instruksi lanjutan, sang Master of Ceremony segera n

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-30
  • Ellipsis   Psalm XXXVII

    An den MondFüllest wieder Busch und TalStill mit Nebelglanz,Lösest endlich auch einmalMeine Seele ganz.Breitest über mein GefildLindernd deinen Blick,Wie des Freundes Auge, mildÜber mein Geschick.Jeden Nachklang fühlt mein HerzFroh- und trüber Zeit,Wandle zwischen Freud and SchmerzIn der Einsamkeit.Fliesse, fliesse, lieber Fluss!Nimmer werd ich froh;So verrauschte Scherz und Kuss,Und die Treue so.Rausche, Fluss, das Tal entlang,Ohne Rast und Ruh,Rausche, flüstre meinem SangMelodien zu,Wenn du in der WinternachtWütend überschwillst,Oder um die FrühlingsprachtJunger Knospen quillst.Selig, wer sich vor der WeltOhne Hass verschliesst,Einen Freund am Busen hältUnd mit dem geniesst,Was, von Menschen nicht gewusstOder nicht bedacht,Durch das Labyrinth der BrustWandelt in der Nacht.Damai. Itulah kesan pertama yang kudapatkan usai membaca salah satu puisi penyair besar dari Jerman tersebut. Aku memang sangat menyukai setiap puisi yang Goethe tulis. Benar-benar

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-21

Bab terbaru

  • Ellipsis   Psal XLVI

    Mbah Ran sedang duduk santai di teras rumah saat aku hendak keluar mencari udara segar. Meski ada dua buah kursi, ia memilih duduk di lantai dan bersandar pada sebuah pilar. Ia meletakkan blangkonnya pada tempurung lututnya yang terangkat. Di depannya terdapat sebuah radio antik merek National berwarna hitam yang suaranya sudah tidak lagi jernih.Sudah hampir satu minggu kami tinggal satu atap. Tapi, kebekuan di antara kami belum juga meretak. Aku tetap saja menajaga jarak terhadapnya meski ia selalu ramah dan baik terhadapku. Entah kenapa, selalu sulit buatku untuk membina hubungan dengan orang-orang baru.“Mulailah untuk membuka diri, Zaynn.” Kalimat yang Ashika lontarkan minggu lalu tiba-tiba menggema di dalam kepalaku. Membuka diri? Bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan untuk memulainya?Aku sudah siap berbalik dan memutar haluan, tapi aku urung melakukannya. Aku tidak mungkin terus menerus menghindarinya. Ya, aku harus menghadapinya.Perlahan aku melangkah ragu dan berhenti

  • Ellipsis   Psalm XLV

    Aku telah terlahir ke dalam sebuah dunia yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Dan aneh rasanya, aku sama sekali tidak bisa mengingat apa yang aku telah alami sebelum membuka mata untuk pertama kalinya. Seandainya setiap hal yang kulalui dapat direkam oleh memori otak dan pikiranku sejak aku berada di dalam kandungan ibuku. Mungkin aku tidak akan bertanya-tanya, dari mana aku berasal? Kenapa aku dilahirkan? Dan apa tujuanku hidup di dunia ini?Semua pertanyaan-pertanyaan itu masih belum kutemukan jawabnya hingga saat ini. Dan anehnya, semakin aku berusaha menemukan jawabnya, semakin aku dibuat bingung karenanya.Alur kehidupan seperti halnya rangkaian gerbong kereta yang terus melaju dan hanya berhenti di setiap stasiun. Kadang kala ada saat-saat di mana kita harus berganti gerbong tujuan. Kita tidak bisa berhenti sembarangan. Namun bila memang itu yang kita inginkan, kita bisa melompat dari dalam kereta dan menemui kematian sebelum ia datang. Dan seandainya kita beruntung serta selam

  • Ellipsis   Psalm XLIV

    Senyap dan pekat. Hanya desahan napasku yang terdengar mengisi gelap. Mimpi yang sama kembali terulang, membuatku terjaga di penghujung malam. Aku terengah, mendesah tak karuan. Irama napasku tidak beraturan. Keteganganku mulai luruh seiring menguapnya seluruh peluh. Kerongkonganku terasa kering dan tercekat, sebab rasa haus yang melekat semakin kuat.Aku melihat sekitarku. Semua masih tampak gelap. Jam digital yang berada di sebelah kiri ranjangku menunjukkan pukul 05.38 am. Sudah pagi rupanya. Aku segera beranjak dari tempat tidurku. Area perut dan pinggangku masih terasa nyeri, tapi tidak senyeri hari-hari sebelumnya. Selain itu, sepertinya aku juga sudah mulai terbiasa dengan rasa sakitnya.Aku berjalan dengan hati-hati. Semua masih tampak samar saat ini. Aku mendekati jendela dan membuka tirainya. Sorot terang yang ada di luar sana perlahan menyusup masuk ke dalam kamar. Matahari sudah muncul di ufuk timur. Cahayanya menerangi setiap sudut tempat yang masih terasa asing buatku.

  • Ellipsis   Psalm XLIII

    Kopi Sudah Menjadi JelagaAku tahu bagaimana rasanyaMenjadi arang di antara intanSerupa kerikil di hamparan bacanTak pernah diperhatikanTerpinggirkanAku telah mencipratkan lumpur dan nodaDi muka pakaian merekaTanpa kataMereka pergi dengan wajah merah menyalaSendiri aku di tengah padang sabanaMenyesap penuh segala lukaMenyeruak kasar semua dukaTak ada lagi senyum tersisaDanKetika aku membuka mataAku tersadar dari mimpi segala durjaMenyatu padu semua dilemaMerobek tudung segala rasaTak ada hal lain yang kurasakanSelain sesal teramat dalamTak mungkin aku meneruskan perjalananDengan mata separuh terpejamAku berjalan memutar haluanCoba perbaiki cela yang tertinggal di belakangKuketuk setiap pintu rumah merekaNamun, tak ada satupun yang dibukaDari dalam rumah mereka berkata;Kopi sudah menjadi jelaga…Aku menundukkan pandangan dan memijat pangkal hidungku begitu Ashika selesai membaca puisiku. Aku hanya bisa menahan tawa dan malu melihat tingkahnya. Entah kenapa ia

  • Ellipsis   Psalm XLI

    Dia adalah masa lalu yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Entah sampai kapan bayang-bayangnya akan mengisi 3 hal penting dalam diriku: otak, pikiran dan hatiku. Semua terasa berbeda, penuh warna, tidak 0 tanpa rasa. Membuatku selalu teringat dengan momen-momen indah dan menyakitkan itu. Intuisiku bergejolak, mencoba meredam kerinduan yang menyeruak.Perlahan tapi pasti, rasa itu mulai berubah menjadi vaksin yang membuatku kebal terhadap semua rasa lain yang mencoba menyerang keteguhan pendirianku. Ini bukan hanya tentang cinta yang menyatukan sepasang anak manusia, tapi tentang semua rasa yang berpadu menjadi 1. Rintihan kasih yang terpendam jauh di lubuk hati yang selalu berseteru. Antara rasa dan logika, 2 hal berbeda yang saling beradu.Waktu terus mengalir, tak peduli dengan air mata yang selalu bergulir, melewati celah di pipi dan menjadi 1 dengan bibir. Asaku mulai memudar, tak ada lagi senyum yang terpancar. Tekanan datang bertubi-tubi, 99 masalah datang menghampiri. Ingin ku

  • Ellipsis   Psalm XL

    Terang. Tempat itu terlalu terang. Panas terik menyengat badan. Sesaat aku menengadahkan pandanganku ke langit lapang. Dalam termangu, aku terheran-heran. Tercengang. Bagaimana bisa dua matahari berada dalam satu jalur peredaran? Warna kedua bintang itu sama, nyaris tak ada beda. Sama-sama kuning dalam penampakannya. Mungkinkah salah satu matahari itu adalah bintang Capella dari konstelasi Auriga? Karena setahuku, cahaya Capella juga berwarna kuning serupa rona sang surya.Mungkinkah ini bisa terjadi? Atau jangan-jangan, ini semua hanyalah mimpi. Tapi, kenapa semua terasa begitu nyata? Rasa sakit, perih, panas, haus dan semuanya terasa sangat nyata. Mungkinkah sekarang aku berada di neraka? Tapi, kenapa aku tak menjumpai seorangpun di sini? Bukankah semestinya neraka itu ramai, sesak dengan para pendosa? Sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci semua agama.Aku sudah sangat lelah. Sepasang kakiku terasa lemah, seperti tak sanggup lagi melangkah. Aku melemparkan pandanganku jauh ke d

  • Ellipsis   Psalm XXXIX

    Hari kesembilan dan masih belum ada perubahan signifikan. Pemuda itu masih tergeletak lemah di tempat tidurnya. Tak berdaya. Selang infus dan selang oksigen masih menancap erat di lengan dan mulutnya. Tidak sedikitpun ia pernah membuka mata. Ia masih terlalu pulas dengan tidur panjangnya. Mungkin saat ini jiwanya sedang berkelana, melanglang buana entah ke mana.Saya hanya bisa berharap dan berdoa. Semoga ia bisa lekas sadar dari masa koma.Saya tidak tahu hal apa lagi yang harus saya lakukan. Saya sudah berusaha mencari keluarga ataupun kerabatnya, tapi sia-sia. Tidak ada petunjuk sama sekali tentang siapa dan darimana dia berasal sebab ponsel dan dompetnya digondol oleh kedua berandal itu.Meski tanpa identitas, saya sangat yakin kalau ia bukanlah gelandangan. Sebab sepengetahuan saya, di seantero provinsi ini tidak ada gelandangan yang mengenakan setelan Prada seperti dirinya. Malam itu ia mengenakan tuksedo berkacing empat ukuran 45, kemeja putih, sepatu kulit berwarna hitam, dan

  • Ellipsis   Psalm XXXVIII

    AKBP Marisi Butarbutar –Kasat Narkoba Polrestro Jakarta Selatan–, orang yang paling bertanggung jawab dalam penanganan kasusku, kini sudah duduk di hadapanku. Pria empat puluhan tahun, berwajah kotak, berambut ikal dan cepak serta berkening sempit itu tidak lagi sepongah seperti saat pertama kali kami bertemu. Tak ada lagi kesan arogan di sorot matanya yang tajam. Ia terlihat tenang. Sangat tenang. Meski sebenarnya aku bisa melihat kebimbangan yang berusaha ia sembunyikan.Usai membenarkan posisi duduknya –yang sepertinya selalu tidak pas–, AKBP Marisi memainkan jari-jemarinya di atas meja sembari berkata, “Bagaimana kabarmu, Zaynn?”“Tidak pernah sebaik ini,” jawabku. “Setidaknya dalam satu bulan terakhir.” “Syukurlah. Uhm… oh ya-“ “Tidakkah ini terasa janggal?” potongku.“Maaf?”“Saya tidak sepantasnya mendapat perlakuan ini. Maaf, bukannya saya tidak tahu rasa terima kasih. Hanya saja apa yang saya dapatkan sekarang terasa abnormal. Ganjil. Terlebih setelah semua hal buruk yang s

  • Ellipsis   Psalm XXXVII

    An den MondFüllest wieder Busch und TalStill mit Nebelglanz,Lösest endlich auch einmalMeine Seele ganz.Breitest über mein GefildLindernd deinen Blick,Wie des Freundes Auge, mildÜber mein Geschick.Jeden Nachklang fühlt mein HerzFroh- und trüber Zeit,Wandle zwischen Freud and SchmerzIn der Einsamkeit.Fliesse, fliesse, lieber Fluss!Nimmer werd ich froh;So verrauschte Scherz und Kuss,Und die Treue so.Rausche, Fluss, das Tal entlang,Ohne Rast und Ruh,Rausche, flüstre meinem SangMelodien zu,Wenn du in der WinternachtWütend überschwillst,Oder um die FrühlingsprachtJunger Knospen quillst.Selig, wer sich vor der WeltOhne Hass verschliesst,Einen Freund am Busen hältUnd mit dem geniesst,Was, von Menschen nicht gewusstOder nicht bedacht,Durch das Labyrinth der BrustWandelt in der Nacht.Damai. Itulah kesan pertama yang kudapatkan usai membaca salah satu puisi penyair besar dari Jerman tersebut. Aku memang sangat menyukai setiap puisi yang Goethe tulis. Benar-benar

DMCA.com Protection Status