Terang dan pusing. Itulah dua hal yang Albern lihat dan rasakan saat pertama kali membuka mata. Ia menengok tangan kirinya, infuse cartheter masih tertancap dengan sempurna. Ia tahu kalau ia sedang berada di salah satu ruang perawatan di rumah sakit. Tapi, ia tidak tahu entah sudah berapa lama ia berada di sana. Ia mengamati seisi ruangan. Retinanya menangkap citra seorang wanita bermukena yang sedang tertidur di sofa. Lamat-lamat ia memfokuskan lensa matanya, wajah wanita itu tampak tidak asing baginya. Albern tak sedikit pun mengalihkan pandangannya. Dan entah kenapa, tiba-tiba pikirannya bergejolak dan mengajaknya untuk berkelana. Ia kembali teringat dengan beberapa momen yang pernah terjadi sebelumnya. "Sepertinya Bora cemburu melihat kemesraan kita." "Kamu terlalu sentimentil. Kita tidak sedang berada di Krimea." ___ "Kamu tahu kalau aku Vegetarian, kan?" "Aku tidak pernah melupakan apa pun tentang kamu." ___ "... Aku ingin menjadi suami yang baik untuk kamu dan juga ayah
Pluit, Jakarta Utara, 25 Desember 2022 19:46 Gedung baru yang tadi pagi masih kosong, lengang dan bau cat itu kini telah berubah 180°. Kursi-kursi sudah berjajar rapi, berkelompok empat-empat dan mengitari masing-masing meja yang berbentuk lingkaran. Sebagian besar kursi yang berjumlah 100 unit itu sudah terisi oleh para tamu undangan. Hanya tinggal sepertiganya yang belum terisi. Suatu hal yang wajar, mengingat acara pernikahan itu digelar sangat mendadak dan undangan baru dikirimkan siang tadi. Selama menunggu dimulainya acara, para tamu disuguhkan hiburan berupa pertunjukkan Tari Ranup Lampuan yang disuguhkan oleh beberapa gadis remaja. Di sudut ruangan, Bigson tampak sibuk mengamati setiap hal yang tertangkap lensa matanya. Ia turun langsung mengkoordinasikan segala sesuatunya karena ingin acara itu berjalan dengan sebaik-baiknya. Ia memberi kode kepada MC ketika melihat Zenith dan Albern siap memasuki ruangan. Tanpa menunggu instruksi lanjutan, sang Master of Ceremony segera n
An den MondFüllest wieder Busch und TalStill mit Nebelglanz,Lösest endlich auch einmalMeine Seele ganz.Breitest über mein GefildLindernd deinen Blick,Wie des Freundes Auge, mildÜber mein Geschick.Jeden Nachklang fühlt mein HerzFroh- und trüber Zeit,Wandle zwischen Freud and SchmerzIn der Einsamkeit.Fliesse, fliesse, lieber Fluss!Nimmer werd ich froh;So verrauschte Scherz und Kuss,Und die Treue so.Rausche, Fluss, das Tal entlang,Ohne Rast und Ruh,Rausche, flüstre meinem SangMelodien zu,Wenn du in der WinternachtWütend überschwillst,Oder um die FrühlingsprachtJunger Knospen quillst.Selig, wer sich vor der WeltOhne Hass verschliesst,Einen Freund am Busen hältUnd mit dem geniesst,Was, von Menschen nicht gewusstOder nicht bedacht,Durch das Labyrinth der BrustWandelt in der Nacht.Damai. Itulah kesan pertama yang kudapatkan usai membaca salah satu puisi penyair besar dari Jerman tersebut. Aku memang sangat menyukai setiap puisi yang Goethe tulis. Benar-benar
AKBP Marisi Butarbutar –Kasat Narkoba Polrestro Jakarta Selatan–, orang yang paling bertanggung jawab dalam penanganan kasusku, kini sudah duduk di hadapanku. Pria empat puluhan tahun, berwajah kotak, berambut ikal dan cepak serta berkening sempit itu tidak lagi sepongah seperti saat pertama kali kami bertemu. Tak ada lagi kesan arogan di sorot matanya yang tajam. Ia terlihat tenang. Sangat tenang. Meski sebenarnya aku bisa melihat kebimbangan yang berusaha ia sembunyikan.Usai membenarkan posisi duduknya –yang sepertinya selalu tidak pas–, AKBP Marisi memainkan jari-jemarinya di atas meja sembari berkata, “Bagaimana kabarmu, Zaynn?”“Tidak pernah sebaik ini,” jawabku. “Setidaknya dalam satu bulan terakhir.” “Syukurlah. Uhm… oh ya-“ “Tidakkah ini terasa janggal?” potongku.“Maaf?”“Saya tidak sepantasnya mendapat perlakuan ini. Maaf, bukannya saya tidak tahu rasa terima kasih. Hanya saja apa yang saya dapatkan sekarang terasa abnormal. Ganjil. Terlebih setelah semua hal buruk yang s
Hari kesembilan dan masih belum ada perubahan signifikan. Pemuda itu masih tergeletak lemah di tempat tidurnya. Tak berdaya. Selang infus dan selang oksigen masih menancap erat di lengan dan mulutnya. Tidak sedikitpun ia pernah membuka mata. Ia masih terlalu pulas dengan tidur panjangnya. Mungkin saat ini jiwanya sedang berkelana, melanglang buana entah ke mana.Saya hanya bisa berharap dan berdoa. Semoga ia bisa lekas sadar dari masa koma.Saya tidak tahu hal apa lagi yang harus saya lakukan. Saya sudah berusaha mencari keluarga ataupun kerabatnya, tapi sia-sia. Tidak ada petunjuk sama sekali tentang siapa dan darimana dia berasal sebab ponsel dan dompetnya digondol oleh kedua berandal itu.Meski tanpa identitas, saya sangat yakin kalau ia bukanlah gelandangan. Sebab sepengetahuan saya, di seantero provinsi ini tidak ada gelandangan yang mengenakan setelan Prada seperti dirinya. Malam itu ia mengenakan tuksedo berkacing empat ukuran 45, kemeja putih, sepatu kulit berwarna hitam, dan
Terang. Tempat itu terlalu terang. Panas terik menyengat badan. Sesaat aku menengadahkan pandanganku ke langit lapang. Dalam termangu, aku terheran-heran. Tercengang. Bagaimana bisa dua matahari berada dalam satu jalur peredaran? Warna kedua bintang itu sama, nyaris tak ada beda. Sama-sama kuning dalam penampakannya. Mungkinkah salah satu matahari itu adalah bintang Capella dari konstelasi Auriga? Karena setahuku, cahaya Capella juga berwarna kuning serupa rona sang surya.Mungkinkah ini bisa terjadi? Atau jangan-jangan, ini semua hanyalah mimpi. Tapi, kenapa semua terasa begitu nyata? Rasa sakit, perih, panas, haus dan semuanya terasa sangat nyata. Mungkinkah sekarang aku berada di neraka? Tapi, kenapa aku tak menjumpai seorangpun di sini? Bukankah semestinya neraka itu ramai, sesak dengan para pendosa? Sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci semua agama.Aku sudah sangat lelah. Sepasang kakiku terasa lemah, seperti tak sanggup lagi melangkah. Aku melemparkan pandanganku jauh ke d
Dia adalah masa lalu yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Entah sampai kapan bayang-bayangnya akan mengisi 3 hal penting dalam diriku: otak, pikiran dan hatiku. Semua terasa berbeda, penuh warna, tidak 0 tanpa rasa. Membuatku selalu teringat dengan momen-momen indah dan menyakitkan itu. Intuisiku bergejolak, mencoba meredam kerinduan yang menyeruak.Perlahan tapi pasti, rasa itu mulai berubah menjadi vaksin yang membuatku kebal terhadap semua rasa lain yang mencoba menyerang keteguhan pendirianku. Ini bukan hanya tentang cinta yang menyatukan sepasang anak manusia, tapi tentang semua rasa yang berpadu menjadi 1. Rintihan kasih yang terpendam jauh di lubuk hati yang selalu berseteru. Antara rasa dan logika, 2 hal berbeda yang saling beradu.Waktu terus mengalir, tak peduli dengan air mata yang selalu bergulir, melewati celah di pipi dan menjadi 1 dengan bibir. Asaku mulai memudar, tak ada lagi senyum yang terpancar. Tekanan datang bertubi-tubi, 99 masalah datang menghampiri. Ingin ku
Kopi Sudah Menjadi JelagaAku tahu bagaimana rasanyaMenjadi arang di antara intanSerupa kerikil di hamparan bacanTak pernah diperhatikanTerpinggirkanAku telah mencipratkan lumpur dan nodaDi muka pakaian merekaTanpa kataMereka pergi dengan wajah merah menyalaSendiri aku di tengah padang sabanaMenyesap penuh segala lukaMenyeruak kasar semua dukaTak ada lagi senyum tersisaDanKetika aku membuka mataAku tersadar dari mimpi segala durjaMenyatu padu semua dilemaMerobek tudung segala rasaTak ada hal lain yang kurasakanSelain sesal teramat dalamTak mungkin aku meneruskan perjalananDengan mata separuh terpejamAku berjalan memutar haluanCoba perbaiki cela yang tertinggal di belakangKuketuk setiap pintu rumah merekaNamun, tak ada satupun yang dibukaDari dalam rumah mereka berkata;Kopi sudah menjadi jelaga…Aku menundukkan pandangan dan memijat pangkal hidungku begitu Ashika selesai membaca puisiku. Aku hanya bisa menahan tawa dan malu melihat tingkahnya. Entah kenapa ia